George Floyd dan Bendera Keadilan.
Di tengah pandemic Covid-19, dunia kembali digoncang dengan pembunuhan George Floyd yang dilakukan oleh seorang polisi bernama Derek Chauvin. Buntutnya, pembunuhan ini membakar semangat penduduk dunia khususnya Amerika untuk menyuarakan keadilan.
Sepertinya corona punya saingan dalam memperebutkan perhatian publik saat ini. Beberapa hari yang lalu tepatnya pada tangga 25 Mei 2020 di Minneapolis, Minnesota, seorang Afrika-Amerika berusia 46 tahun bernama George Floyd menjadi buah bibir masyarakat setelah ia menjadi korban pembunuhan polisi setempat. Derek Chauvin, 44 tahun, seorang perwira polisi setempat menindih leher George dengan lututnya tanpa memberikannya celah untuk bernapas meskipun George sudah meraung dan merintih meminta tolong.
Selama delapan menit 46 detik, Derek meletakkan lututnya di leher George hingga akhirnya George harus kalah bertarung dengan malaikat maut. Ia meninggal kehabisan napas di siang hari, di negara Amerika, salah satu negara republik konstitusional dalam benua Amerika.
Awal cerita pembunuhan itu dikarenakan salah satu karyawan toko setempat melaporkan George pada polisi karena telah membayar dengan uang palsu. George yang bekerja sebagai penjaga di sebuah tempat hiburan di Minneapolis mengelak untuk diborgol tatkala polisi setempat menangkapnya.
Sang eksekutor, Derek datang tak lama kemudian, ia dan beberapa polisi lainnya ikut memaksa George untuk masuk mobil polisi. Mendapati George menolak diborgol, beberapa polisi menjatuhkannya dan Derek meletakkan lututnya di lehernya.
Sang pemilik toko yang pada hari kejadian tidak ada di toko, mengenal George sebagai orang yang baik. Namun sang karyawan nyatanya tetap mengikuti protokol yang ada. Meskipun George sudah meraung bahwa ia tidak bernapas, Derek tetap tidak mengangkat lututnya dari leher George.
"Aku tidak bisa bernapas," ujar George berkali-kali sembari memanggil ibunya dan memohon, "tolong, tolong, tolong."
Beberapa saksi yang melihat kejadian itu memaksa polisi untuk memeriksa keadaan George. Salah satu perwira polisi bernama, JA Kueng, memeriksanya namun tidak menemukan denyut nadinya. Tak lama kemudian, Derek melepaskan lututnya dan mendapati George tidak bergerak. Mobil ambulans pun dipanggil guna membawanya ke Pusat Medis Hennepin. Dan Tuhan berkata lain, George dinyatakan meninggal satu jam kemudian.
Kematian George mengundan masyarakat untuk menyuarakan keadilan di negri paman Sam itu. Tidak hanya warga biasa, publik figure ternama seperti Gigi Hadid, Halsey dan lain-lain pun ikut menyuarakan keadilan, baik lewat media sosial atau ikut turun ke jalan bersama demonstran. Sebagian dari mereka mengajak para penggemar untuk menandatangani petisi. Bahkan penyanyi dunia, Taylor Swift, secara terang-terangan mengancam kebijakan Donald Trump yang berkehendak menembagi para demonstran.
George Floyd menambah daftar korban rasisme di negri tersebut. Donald Trump yang dengan terbuka menunjukkan sikap rasismenya ternyata menjadi celah bagi para rasisme lainnya. Kericuhan meledak setelah publik mendengar George Floyd meninggal. Warga turun ke jalan dan membakar toko serta pos polisi. Empat oknum polisi yang terlibat insiden pembunuhan Goege dipecat meski mereka belum diberi hukuman.
Di balik insiden ini, ada beberapa hal menarik yang ingin saya angkat ke publik.
Demonstrasi yang terjadi di Amerika sekarang, dengan maksud menyuarakan justice; antara kebodohan karena meremehkan social distancing atau menjunjung tinggi kemanusiaan?
Nyatanya keadilan bagi seluruh manusia akan sulit ditegakkan, mulai dari penyamarataan hak, penerimaan ras yang berbeda, dan sebagainya. Salah satu sebabnya karena manusia masih saja mengikuti nafsu, kebodohan dan egonya.
Dalam kacamata saya, kasus George Floyd berhasil menarik pandangan publik bukan hanya karena keadilan atau kemanusiaan yang tidak ditegakkan di Amerika, atau motif-motif yang kita bisa lihat di media.
Ada beberapa factor lain hingga publik seakan dengan senang hati menyisihkan waktunya untuk memberi dukungan pada George dan orang yang merasa senasib dengannya, baik dukungan itu mereka salurkan lewat dunia maya atau dunia nyata.
Di antara faktor itu adalah;
1/ Karena role model mereka atau idol mereka pun ikut menyuarakan suara mereka tentang kematian George Floyd. Bak anak onta, penggemar mereka pun ikut menyuarakannya.
2/ Media dunia secara jelas menjadikan berita ini sebagai headline mereka. Menanggap bahwa berita ini adalah turbo atau gas tambahan dalam persaingan perusahaan, atau singkatnya ini adalah strategi marketing mereka.
3/ Kepedulian publik pada hal-hal yang mereka anggap lebih menarik. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa Amerika memiliki daya Tarik tersendiri bagi publik. Dalam buku Bumi Manusia, Eyang Pram mengatakan bahwa pribumi Indonesia masih mendewakan dunia barat dan isinya. Menjadikan mereka sebagai kiblat kehidupan.
4/ Politik yang dilakukan Donald Trump memang unik. Ia dengan jelas menyita perhatian dunia agar panggung politiknya tetap bertahan, meskipun ia sadar bahwa caranya malah membuat publik benci pada dirinya. Terlepas dari benci atau tidak publik padanya, nyatanya kita memang selalu memandang dan membahas apa yang ia lakukan.
Dan sekarang, semua manusia seakan mendadak menjadi aktivis keadilan dan kemanusian. Saya sendiri setuju dan senang jika manusia sadar bahwa keadilan dan kemanusiaan harus ditegakkan. Namun saya tidak setuju jika mereka hanya menjadi aktivis musiman atau aktivis tebang pilih. Karena jauh di balik kasus George Floyd, seharusnya publik juga sadar dan berani mengangkat suara akan ketidakadilan dan pelecehan kemanusiaan di negri bernama Palestina.
Iya, Palestina hanyalah salah satu contoh bahwa bendera kemanusiaan belum benar-benar berkibar di langit dunia. Jika kita masih menyuarakan keadilan hanya karena idola kita menyuarakan keadilan atau karena yang tertindas adalah orang yang satu ras atau satu jalur dengan kita, sepertinya keadilan hanya akan jadi angan-angan.
Komentar
Posting Komentar