PSH-PART THREE-2021
source photo: pinterest.com
Tiga
Cerita
Dulu saya mengira mimpi adalah kebebasan. Terlalu banyak orang yang meletakkan mimpi di atas langit kehidupan. Terlalu banyak orang yang berangan tentang cerita di masa depan. Hingga saya berada di titik di mana saya sadar terlalu sedikit orang yang merubah mimpi jadi kenyataan karena terlalu banyak orang yang terpenjara oleh penilaian akan kegagalan.
“Laut, aku sudah harus pulang,” ucap
Zia.
Saya pun berdiri dari kursi dan
membayar biaya dua nasi goreng dan teh hangat. Ketika saya hendak berjalan
menuju motor, Zia mengatakan dia sudah memesan ojek online. Ingin saya
menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tapi niat itu saya urungkan karena
toh tidak ada gunanya lagi.
“Kamu gak perlu nganter aku pulang,
Laut,” katanya seperti mengetahui apa yang ada di dalam pikiranku. Saya
mengganguk sebelum mendengar dia kembali berkata, “Lain kali, aja.”
“Iya, semoga,” balas saya.
Sepuluh menit menunggu kedatangan
ojek online, sepuluh menit juga kita berdua hanya diam. Seakan obrolan panjang
yang kita sambungkan saat makan malam tadi menguap hilang begitu saja.
Ketika ojek online tiba, saya
melihat jok motor ojek itu basah, dan seperti ada sesuatu yang mendorong saya
bergerak, saya mengusap jok motor itu dengan jaket milik Hendra. Bukan hanya
Zia yang terkejut atau kaget, tukang ojek itu pun sama.
“Mas, kan saya ada lap,” tukang ojek
itu berkata dengan polos, membuat Zia yang berdiri di belakang saya tertawa
sampai memperlihatkan giginya yang putih. Rasa malu hinggap di diri saya.
“Makasih, bang, buat infonya,” ucap
saya sedikit jengkel meski kalo dipikir-pikir lucu juga.
“Lagian, Mas… Mas nih gimana, sih.
Masa cewek secantik ini dibiarin pulang pakai ojek online, ya anter dong, Mas.
Sebagai pacarnya, Mas tuh harus tanggung jawab atas keselamatannya, terutama
keselamatan hatinya. Mau saya tikung?” tukang ojek itu berceloteh tak karuan.
Saya dan Zia sukses dibuatnya salah
tingkah.
“Ya udah, Laut. Aku pulang dulu.
Salam buat Hendra,” pamit Zia sebelum pergi meninggalkan saya sendirian.
Terkadang sendirian menjadi waktu
paling tidak nyaman. Membuat seseorang merasa disingkirkan. Suara gemuruh
keraguan dan kebingungan tentang masa depan kerap kali menghantui pikiran
seseorang ketika ia sedang sendirian, apalagi sebelum ia terlelap dalam mimpi.
Tapi, sendirian adalah waktu di mana seseorang mampu menjadi diri sendiri,
melepas topeng yang sudah berhari-hari menutupi wajahnya. Sendirian pun
mengajarkan indahnya kebersamaan, tapi… kebersamaan juga sering kali
mengajarkan ketidaknyamanan. Mungkin mati adalah titik temu di antara keduanya.
***
Masih pagi, murid-murid sekolah saya
sudah heboh sendiri. Saya tidak tahu tentang apa sampai kemudian Wahyu, teman
kelas saya yang berbadan bulat, menarik tangan saya keluar kelas.
Lorong kelas menuju mading sekolah
sudah dipenuhi murid-murid kelas dua belas. Sedangkan murid kelas sebelas dan
sepuluh hanya menonton di teras kelas. Wahyu dan saya berdiri di barisan
belakang murid-murid yang tengah memenuhi mading.
“Gawat ini, Laut.”
“Gawat kenapa?”
“Ko lo bisa nggak tahu?”
“Tahu apa, sih?”
“Puisi lo, Laut, puisi lo.”
“Memangnya kenapa pu---“
Tiba-tiba, gerombolan murid-murid
itu terbelah dengan sendirinya. Kini, saya bisa melihat Alex, murid kelas 12
IPA 1, dan teman-temannya berjalan mendekati saya dan Wahyu. Wajahnya merah
seperti terbakar. Dengan sekali perintah, Wahyu disuruh pergi. Saya mulai
merasakan duduk masalahnya, maka dari itu saya meminta Wahyu mengikuti perintah
mereka.
“Lo yang nulis ini, kan?” Alex
mengangkat selembar puisi yang sudah diremuk.
Saya menyipitkan mata, berusaha
melihat judul puisinya. Ternyata benar, puisi karya saya yang baru saya kirim
ke seksi pendidikan malam tadi. Saya sudah tahu duduk masalahnya apa.
“Iya, gue yang----“
Ucapan saya dipotong, karena Alex
tanpa basa-basi mendaratkan pukulan kencang di perut saya. Murid-murid sekolah
bersuara. Secara otomatis mereka membuat lingkaran yang mengepung saya bersama
Alex dan teman-temannya.
Alex kembali mendaratkan pukulan.
Yang ini lebih keras daripada sebelumnya. Pipi kiri saya jadi sasarannya. Darah
membasahi sudut bibir saya. Asin. Itu yang saya rasakan ketika mau tidak mau
darah itu terkena lidah dan masuk ke tenggorokan. Dua dari teman-teman Alex
memegangi tangan saya, memberikan Alex ruang untuk menghabisi saya.
Alex tersenyum sekaligus marah. Dua
tendangan keras mendarat di kening kiri dan perut saya. Kulit kening saya
robek. Perut saya mendadak mual dan ingin muntah.
Merasa belum puas, Alex hampir saja
kembali menonjok wajah saya kalo saja guru olahraga, Pak Aji, tidak berteriak
kencang meminta murid-murid bubar. Sebagian besar bersorak mengeluh karena
merasa Pak Aji mengganggu tontonan mereka. Alex pergi setelah menimpuk wajah
saya dengan remukan kertas puisi tadi.
Pak Aji menghampiri dan membantu
saya berjalan menuju UKS, ruang yang biasanya saya jadikan tempat bolos agar
bisa menghabiskan buku.
“Tunggu sini, saya panggilkan anak
UKS dulu.” Pak Aji berkata demikian setelah melihat sebagian wajah saya
membiru. Ia pun pergi keluar UKS.
Sembari menunggu anak UKS, saya
memilih untuk berbaring di ranjang UKS meski rasanya wajah saya memberi rasa
sakit yang sangat. Tak lupa saya menarik tirai yang mengelilingi ranjang.
Tak lama kemudian, telinga saya
mendengar suara langkah yang mendekat. Saya pun bangkit dan duduk di tepi
ranjang lalu memejamkan mata. Tirai disingkap.
“Pelan-pelan aja ngobatinnya,
lumayan sakit,” ujar saya.
“Kirain jago berantem, taunya cuman
jago nulis kata-kata,”
Saya menoleh, sebab suara itu
terdengar tidak asing. Ternyata Zia sudah berdiri di dekat saya sambil
tersenyum. Seketika, jarum jam terasa berhenti berputar. Seorang murid kelas
sebelas tiba-tiba masuk ke UKS. Dia sepertinya anak UKS yang sebenarnya. Ia
mengamati saya dan Zia yang terpatung menatapnya. Ia meminta maaf dan berkata
bahwa Pak Aji memintanya untuk datang ke UKS, katanya ada yang sakit.
“Dewi, biar aku aja yang ngurus.
Kamu balik ke kelas aja. Makasih, ya,” ucap Zia ramah.
Murid kelas sebelas, yang bernama
Dewi, itu mengangguk dan langsung berputar badan.
“Maaf, tapi sejak kapan lo jadi anak
UKS?”
Zia menoleh ke arah saya.
“Mulai sekarang, kalo kamu ada
apa-apa, kamu harus kabarin aku.” Zia menekankan suara di kalimat terakhir.
Saya tidak tahu apa tujuan Zia berkata seperti itu. Jelas-jelas kita tidak
memiliki hubungan apa pun, kenapa saya harus mengabarinya kalo terjadi sesuatu?
Kami jelas-jelas tidak saling memiliki karena tidak ada pernyataan resmi atas
kepemilikan hati.
“Hendra ke mana?” tanya Zia sambil
menuangkan sedikit alcohol ke atas kapas.
“Lagi ada acara kelu--- arghhhh,
sakit,” saya mengeluh karena ini sungguh perih. Terlihat lemah? Terserah. Lagi
pula kalian tidak perlu menahan rasa sakit jika rasa sakit itu-lah yang
mengajarkan kita kesembuhan. Rasa sakit yang dipendam hanya membuat hati
semakin tenggelam. Rasa sakit yang semakin ditahan hanya menghilangkan
kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan.
“Tahan, Laut,”
“Bagaimana gue bisa tahan kalo lo
ngobatinnya kaya lagi bikin sambel, dibenyek gitu,” ucap saya lepas. Yang
nyatanya malah membuat Zia tertawa. Saya heran sekaligus senang. Tidak tahu
karena apa, mungkin karena melihat tawanya.
“Maaf, Laut. Aku tidak bisa menahan
tawa karena mendengar cerocosanmu yang seperti ibu-ibu,” ujarnya dengan
sumringah.
Bila orang-orang mengatakan senyum
itu ibadah, saya akan bilang senyum Zia adalah senyum paling indah. Seketika
rasa sakit saya pergi begitu saja saat melihatnya tertawa, apalagi sebab
tawanya adalah saya. Di saat Zia tertawa, saya berharap saya hanya melukiskan
tawa di wajahnya, tidak melukiskan luka, karena saya tidak tahu apakah saya
mampu mengobatinya atau tidak.
Setelah tenang, Zia kembali
mengobati luka saya. Kini ia bertanya sesuatu, “Laut, apa benar Alex memukulmu
karena puisimu?”
“Sepertinya iya.”
“Boleh aku membaca puisimu?”
Meski sempat ragu, saya memberikan
kertas puisi yang sudah remuk itu ke Zia. Zia menerimanya lalu membacanya.
Tiba-tiba, matanya berkaca-kaca dan akhirnya pecah. Ia menangis sendu. Saya
tidah tahu harus apa. Tapi ada sesuatu yang berkecamuk di kepala saya. Tanpa
berpikir, saya mengambilnya ke pelukan saya, membiarkannya membasahi dada saya.
Sore harinya, saya pergi ke rumah
Hendra. Ternyata Hendra tidak masuk hari ini karena ada adik cowoknya yang
berumur enam tahun khitanan dan ia menjadikan itu sebagai kesempatan untuk
tidak sekolah.
Hendra kaget melihat wajah saya yang
babak-belur meski sudah ada beberapa perban yang menutupi lukanya. Saya pun
menceritakan duduk masalahnya, termasuk Zia yang tiba-tiba menangis saat
membaca puisi saya. Sambil meminum es kopi yang ia pesan lewat gofood, ia
membaca puisi yang tadi Zia kembalikan.
Malam itu
terlihat terang
Riuh pikuk
Ibukota hilang
Cahaya gedung
tinggi terbang
Apa kiamat
sudah datang?
Sebab tidak ada
Akibat lahir
nyata
Ketidakmungkinan
masuk pikiran
Mungkin menjadi
jawaban
Malam itu
berbeda
Kita
dipertemukan tidak sengaja
Malam itu sama
Kita
dipertemukan sengaja
Kembali!
Kata mereka
yang ada di rumah.
Pergi!
Kata mereka
yang ada di rumah.
Dua jalan
berbeda tujuan
Satu tujuan
berbeda jalan
Malam itu
melahirkan cerita
Timbul dari
sepasang mata
***
“Laut!” Hendra berteriak. “Kapan lo
nulis puisi ini?” tanyanya menyelidik.
“Tadi malam,”
“Setelah kita pulang dari café?”
Kali ini saya menjawab dengana
anggukan. Hendra meremuk kertas puisi itu dan menimpuknya ke wajah saya, persis
seperti apa yang Alex lakukan. “Lo tahu gak sih Alex itu udah ngincer Zia dari
lama?”
Gue mengangguk karena kabar itu
memang sudah tersebar di mana-mana. Tapi saya masih bingung alasan di balik
pertanyaan Hendra.
“Idihh, lo tuh mikir pakai otak atau
daki, sih?” Hendra mendekat, menarik kursi komputernya dan duduk. Wajahnya
terpasang serius, “Lo tahu Alex ngincer Zia udah lama, dan tadi malam lo baru
aja makan malam berdua sama Zia. Terus paginya, lo bikin sekolah heboh dengan
puisi lo, sebabnya karena apa? Ya karena Alex cemburu sama lo!”
“Cemburu?”
“Alex ngira puisi lo buat Zia!”
Alex cemburu? Untuk apa? Lagi pula
satu sekolah pun tahu Alex adalah cowok tinggi, pintar, dan populer. Saya tidak
akan berpikir bahwa saya bisa bersaing dengan Alex.
“Atau jangan-jangan…” Hendra melirik
tajam saya, melahirkan rasa curiga pada saya, “atau jangan-jangan puisi lo
memang buat Zia?”
Saya mengelak dengan mengatakan tidak. Puisi
di atas memang tercipta begitu saja saat saya hendak tidur. Pikiran dan hati
saya berkecamuk tidak tentu arah malam tadi, itu lah mengapa saya memilih
menuangkannya dalam bentuk puisi. Dunia ini sudah penuh oleh warna gelap yang
muncul dari rasa sakit hati atau emosi yang tidak terungkap, saya tidak mau
jadi bagian dari warna itu, jadi saya
memilih warna sendiri dengan tulisan tidak kenal mati ini. Hal yang paling saya
pertanyakan saat itu adalah tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini.
Semua berjalan sesuai kadar dan radarnya masing-masing. Begitu pun kenyamanan.
Di satu sisi, saya percaya akan hal itu, tapi di sisi yang lain, saya
bersikeras bahwa puisi itu lahir dengan sendirinya.
“Apa yang lo lakuin pas Zia nangis?”
Saat Zia menangis, saya tidak tahu
harus apa selain merangkulnya. Saya tidak ingin memperparah suasana hatinya
dengan kata-kata saya. Terkadang air mata tidak perlu diusap pakai kata-kata,
cukup dengan telinga dan pelukan hangat dari semesta.
Saya akan merasa bersalah bila puisi
saya-lah penyebab air mata Zia menangis, maka dari itu, saya berkata padanya,
“Zia, gue minta maaf kalo puisi gue malah nyakitin lo, tapi jujur, gue nggak
bermaksud apa-apa.”
“Gak apa-apa, Laut,” Zia melepaskan
pelukannya dan menguatkan suaranya.
“Gak ada yang gak apa-apa kalo
perempuan sudah berbicara lewat air mata.”
“Maaf, Laut, aku pergi dulu,”
ucapnya dengan terisak lalu pergi.
Bagi saya, saat itu Zia lebih lembut
daripada kapas, tapi kapas pun hancur bila terkena air. Saya tidak berusaha
membuatnya lebih tenang, tapi untuk pertama kalinya saya merasakan ketulusan
dari sebuah air mata.
“Dia pergi gitu aja?”
Saya mengangguk atas pertanyaan
Hendra. Saya tidak mengerti kenapa semua terlihat rumit di mata saya. Bukan
gelisah yang menghuni pikiran saya, tapi kebingungan. Percayalah, semakin kamu
lama hidup di dunia, maka semakin kamu tidak merasa betah di dalamnya. Kamu
berkali-kali meminta pulang, tapi Tuhan belum mengizinkanmu untuk pulang.
Seperti ada waktu yang masih perlu dihabiskan, tapi kamu sendiri bingung untuk
apa menghabiskan waktu dengan cerita hidup yang tidak diharapkan. Lalu kamu
berharap dapat menghentikan waktu, sekedar untuk rehat. Pun waktu tidak berada
di pihakmu, ia berjalan tanpa kehabisan bensin, apalagi sekedar melirikmu.
Kepala saya tiba-tiba didatangi oleh
senyum dan suara lembut Zia. Semua terekam jelas di sana. Tidak, saat itu saya
merasa Zia seperti datang ke satu ruang penting dalam hidup saya, lalu mendobrak
pintunya, mengobrak-abrik isinya dan pergi untuk sementara, seakan saya
mengizinkannya kembali untuk kedua kalinya. Bodohnya, saya tidak bisa atau
tidak mampu melarangnya.
“Laut, lo pernah bilang sama gue,
kalo air mata adalah tanda kerapuhan sekaligus kekuatan,” ucap Hendra.
“Lalu?”
“Itu yang sedang terjadi pada Zia.
Dia sedang ada rapuh dan tulisan-tulisan lo yang buat dia kuat.”
“Hah? Tulisan gue?”
“Zia pasti udah cerita sama lo
tentang orangtuanya yang ada di Jerman, ‘kan?”
Saya mengangguk.
“Gak semua yang terlihat baik di
luar, benar-benar terlihat baik di dalam. Karena luka yang paling perih adalah
luka pikiran, hati dan mental. Zia butuh bantuan lo, Laut.”
Saya tidak suka merasa terikat
dengan kehidupan orang lain, apalagi menyangkut kehancuran hati seseorang.
Terlebih lagi, perkataan Hendra barusan seakan menekankan adanya tanggung jawab
saya untuk menyembuhkan Zia. Saya pun tidak yakin Zia sedang rapuh. Selama ini
‘kan kami hanya sekedar tahu.
Tiga tahun sekolah di sekolah yang
sama, tidak melazimkan saya harus dekat dengan semua orang, begitu pun
sebaliknya. Termasuk dengan Zia. Saya bahkan tidak mencoblos siapa pun,
termasuk Zia, saat pemilihan ketua OSIS diselenggarakan. Tiga tahun saya
bersekolah, tiga tahun juga perpustakaan adalah rumah kedua saya.
Menghabiskan waktu di perpustakaan
dengan melahap novel-novel hasil negosiasi saya dengan penjaga perpustakaan,
Mas Ismail, penggemar berat sastrawan Taufik Ismail. Ia berkali-kali menodong
saya membaca puisi paling terkenal karya Datuk Panji Alam, sebutan untuk
sastrawan Taufik Ismail, berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Mas Ismail
bahkan saking cintanya pada sastra Indonesia, Mas Ismail menamai anak lelakinya
Ahmad Tohari, yang terinspirasi dari Ahmad Tohari, penulis karya Ronggeng Dukuh
Paruk.
Kecintaan pada dunia sastra adalah
satu hal yang perlu dijaga.
Meskipun saya menghabiskan sebagian
waktu saya di perpustkaan, tapi nama Zia tetap masuk ke telinga saya. Apalagi
saat ia memutuskan untuk kembali menghidupkan mading sekolah yang sudah
terkubur satu tahun lamanya.
Menjadi pengisi tetap mading sekolah
pun bukan karena keinginan saya. Pelaku utamanya adalah Hendra. Iya, dia
mengirimkan cerpen-cerpen saya ke pihak OSIS. Tidak perlu waktu lama,
cerpen-cerpen saya mendadak dipertontonkan di mading. Cerpen saya yang paling
sering dibicarakan murid-murid bahkan para guru berjudul Si Bangsat dan Si
Anjing.
Awalnya saya ingin memarahi Hendra
karena mengambil cerpen saya dan mengirimkannya tanpa izin, tapi saya pikir
tidak ada gunanya, hanya buang-buang tenaga. Terlebih saat itu Hendra malah
mengatakan, “Sudah saatnya tulisanmu dibaca semua orang di dunia.”
Sebelum diangkat di blog, saya
selalu meminta Ibu untuk membacanya dahulu. Maka ia adalah pembaca pertama
dalam setiap tulisan saya. Bapak mungkin terbilang gila dalam membaca, tapi Ibu
bisa dibilang maniak karena ia mampu membaca sepuluh buku dalam satu bulan, dan
hebatnya lagi ia masih bisa menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
Bukan tanpa alasan saya meminta Ibu
menjadi pembaca pertama, itu karena Ibu adalah pembaca yang jujur yang akan
memberi nilai sebuah tulisan dengan kejujuran. Bagi Ibu, setiap tulisan yang
telah selesai ditulis dan disebar ke masyarakat, telah memiliki nyawanya
sendiri. Itu artinya si penulis tidak boleh marah bila tulisannya dinilai
buruk. Tapi, Ibu tidak pernah tidak menghabiskan sebuah tulisan walaupun ia
sudah mengetahui akhir ceritanya atau sudah bisa menilainya.
“Laut, setiap tulisan itu bernyawa
dan yang bernyawa itu berharga. Hargai tulisan itu dengan menyelesaikannya.”
Pun tulisan saya tidak luput dari kritikannya.
“Tulisan-tulisan kamu belum punya
nyawa, hanya sebatas kata-kata kosong tidak cukup menggerakkan hati dan pikiran
manusia. Baca dan tulis lebih baik lagi.”
***
Sudah empat hari bersekolah, saya
tidak juga menemukan batang hidungnya. Kemungkinan penyebab tangis Zia adalah
puisi saya semakin besar. Saya bisa dibilang tidak waras bila seperti ini
terus. Iya, duduk di teras depan kelas sepuluh yang berhadapan langsung dengan
ruang OSIS.
“Tumben lo baca buku di sini,
kenapa?” tanya Hendra.
“Tidak ada apa-apa. Mau cari suasana
baru aja.”
“Mau cari suasana baru atau
inspirasi baru?”
“Hah?”
“Hah, heh, hah, heh. Udah deh, lo
mau nunggu sampai luffy mualaf pun tidak akan ngelihat Zia. Dia lagi ada urusan
keluarga di luar kota.”
“Ko lo tahu?”
“Ya kan dia chat gue,”
“Lo ada nomor Zia?”
“Ada. Kan gue---- ohhhh, gue tahu,
nih. Lo mau minta nomor Zia, ya?”
Suara Hendra terlalu keras.
Murid-murid kelas sepuluh yang sedang ramai seperti mengadakan demonstrasi di
kelas mendadak hening. Saya menarik lengan Hendra dan membawanya ke kantin.
Hendra tertawa melihat saya malu.
Dan di sini lah kami, di meja kantin. Hendra memesan satu piring batagor dan es
kopi. Sedangkan saya hanya memesan es teh manis.
“Hend,”
“Hmm,”
“Jadi… Zia cerita apa aja ke lo?”
Sambil menunduk dan mengunyah
batagor, Hendra melirikkan matanya ke arah saya yang langsung saya balas dengan
jitakan di kepala. “Tidak usah ngelirik gitu, gue bisa kena penyakit jantung.”
“Dia tidak cerita apa-apa, Laut,
selain dia titip salam untuk lo.”
Belum terurai satu permasalahan,
masalah lain hinggap di pikiran saya. Kenapa tidak melihat Zia dalam beberapa
hari seperti merasa kehilangan? Padahal saya sudah sadar sejak lama bahwa saya
bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Pun dia bukan siapa-saiap dalam hidup saya.
Harus saya tekankan lagi, kita tidak melebihi garis pertemanan. Tapi… bukankah
kehilangan teman terasa menyakitkan? Halah,
tidak juga, bukankah hidup memang tentang datang dan pergi? Lalu pada
akhirnya kita memang hanya berpijak pada kaki kita sendiri, dan sendirian.
Dilahirkan saling mengenal bukan berarti harus saling bersama sampai datang
ajal. Dipertemukan dalam satu kejadian berarti harus saling bergandengan sampai
cerita ditamatkan. Kita hanya persinggahan untuk hidup orang lain dan tujuan
untuk diri sendiri. Lantas, kenapa harus merasa kehilangan kalau sudah tahu
bahwa kedatangan terikat dengan kepergian?
Setelah mendapatkan alamat rumah Zia
dari Hendra. Saya melaju pergi ke sana selepas sekolah. Hari sudah mulai sore
ketika saya sampai di rentetan perumahan. Hampir semua rumah di sini memiliki
desain yang sama. Meski beberapa dari mereka terlihat lebih mewah karena
renovasi. Cat dinding mereka pun hampir semua sama. Cat putih. Saya melirik
kolom chat Hendra.
Rumahnya dua lantai.
Ada halaman kecil.
Nomor 63. Lo cari aja.
Begitu pesan Hendra.
Seorang perempuan tua menyapa saya
dan bertanya sedang mencari alamat siapa. Saya menggelengkan kepala dan berkata
tidak sedang mencari alamat siapa pun. Tapi perempuan tua dengan pakaian daster
yang tengah menenteng kantong plastik berisikan sayur itu tiba-tiba berkata,
“Temannya Mba Zia, ya?”
Saya bertanya kenapa ia bisa tahu.
Perempuan itu pun menunjuk badge sekolah saya dan Zia. Saya lupa kalo saya
sedang memakai seragam sekolah. Ketika saya hendak pamit atau lebih tepatnya
kabur, perempuan tua itu malah mencabut kunci motor saya dan membawanya pergi.
Saya melongo bingung sebelum mengejarnya. Sialnya, ternyata saya sudah berada
di depan rumah paman dan bibi Zia daritadi.
Perempuan tua itu masuk rumah.
Tentunya dengan kunci motor saya. Sedangkan saya harus berdiam diri di depan
gerbang sambil menggacak-ngacak rambut. Tidak lama kemudian, Zia keluar rumah
mengenakan sweater abu-abu dan celana pendek putih. Saat melihatnya, saya
merasakan ada sesuatu di dalam dada saya yang berdetak kencang. Rasa kehilangan
yang sempat hingga kini telah terbang.
“Hai,” sapanya lembut dari dalam
gerbang.
“Hi.”
“Ko bisa ada di sini?”
“Gue tadi lagi jalan… tapi nyasar,
maksudnya… gue tadi lagi nyasar…”
Tiba-tiba Zia tertawa mendengar
ucapan saya yang tidak beraturan. Bodoh. Kenapa masih saja gugup.
Ia keluar gerbang dan menghampiri
saya. Jujur, Zia lebih cantik tanpa riasan apa pun di wajahnya. Keindahan
ternyata tidak selalu tentang lukisan. Seharusnya semua penulis di dunia tahu
bahwa semua lukisan mereka tidak akan bermakna bila dibandingkan dengan Zia.
Kenapa saya mulai berani memujinya? Pasti ada yang tidak beres.
“Sebentar, kata Hendra, lo lagi ada acara
keluarga di luar kota.”
“Aku emang ada acara keluarga tapi
bukan di luar kota.”
Hendra sialan!
“Kamu ada perlu sama aku?”
“Hah? Gimana?”
Zia tidak kembali bertanya. Ia malah
mengambil tangan saya dan berkata, “Ayo ikut.” Zia mengajak saya ke dalam
rumah. Saat masuk ke rumahnya, saya disambut dengan lukisan-lukisan abstrak
yang tergantung mengelilingi ruang tamu. Pun ada ukiran batu yang memperindah
ruang tamu itu. Tapi yang menarik perhatian saya adalah karikatur Hitleryang
sedang tersenyu lebar.
“Itu pemberian dari ayahku,” ucapnya
setelah memandang ke mana mata saya sedang memandang.
Di ruang keluarga, saya bertemu
dengan paman dan bibi Zia. Keduanya terlihat sibuk. Hal itu dilihat dari
keduanya yang memangku laptop dan dikelilingi map-map yang sering dibawa para
karyawan kantoran. Setelah memberi salam, saya mengekori Zia menuju kamarnya.
Ketika sudah berada di depan pintu
kamar Zia, saya ragu untuk masuk, itu karena saya merasa tidak enak berduaan di
kamar bersama Zia. Tapi Zia bilang kamarnya dipasang cctv. Lebih dari itu, dia
berkata bahwa dia yakin sama tidak memiliki niat buruk.
Kamarnya tidak seperti kamar
perempuan pada umumnya. Dinding kamarnya dicat warna abu-abu. Kamarnya bisa
dibilang cukup minimalis. Rentetan novel-novel Pramoedya Ananta Toer berbaris
di rak mejanya.
“Lo penggemar berat eyang Pram?”
tanya gue.
“Tulisan-tulisan eyang Pram bukan
hanya bernyawa,” ia menarik kursi kecil dan meminta saya duduk lalu menyambung,
“Eyang Pram mampu menulis tulisan yang hidup dan menghidupkan. Menurutku,
Indonesia beruntung punya penulis sehebat Eyang.”
“Betul,” tanggap saya.
“Indonesia juga beruntung punya
calon penulis hebat seperti kamu, Laut.”
Pandangan kami beradu. Sulit rasanya
menjelaskan bagaimana kini saya tengah merasakan kenyamanan yang tidak bisa
saya dapat selain bersama Zia. Tapi kenapa? Saya ‘kan baru mengenal Zia
beberapa hari yang lalu. Kenapa kenyamanan itu sudah muncul begitu saja? Apa
kenyamanan juga tidak mengenal waktu seperti rindu?
“Zia, kenapa lo yakin gue bisa jadi
penulis hebat nantinya?”
Zia duduk di tepi ranjang lalu
berkata, “Kadang seseorang itu cuman butuh kepercayaan orang lain buat yakinin
dirinya sendiri. Dan… aku percaya sama kamu, Laut. Kamu udah punya jalannya
sendiri untuk jadi penulis. Kini giliran tugas kamu untuk berjalan di atasnya.”
Zia, saya tidak
tahu apa yang membuat kamu percaya sama saya, tapi… terima kasih. Terima kasih
untuk kepercayaan itu.
“Zia,”
“Iya?”
“Gue….”
Ucapan saya terhenti saat mendengar
badan pintu diketuk. Saya dan Zia menoleh lalu mendapati perempuan tua yang
mengambil kunci motor saya tersenyum lalu berkata pada Zia bahwa paman dan
bibinya akan pergi ke kantor dan kemungkinan besar akan pulang tengah malam.
Zia mengangguk. Perempuan tua itu pun kembali pergi.
“Oh ya, kamu mau ngomong apa tadi?”
Tidak, Laut.
Belum saatnya untuk mengatakan hal itu. Zia akan menganggapmu konyol.
“Ohhhh, gak jadi. Gue minta tolong
ambilin kunci motor gue bisa? Tadi diambil sama nenek itu.”
Zia mengangguk dan mengajak saya
keluar kamar menemui perempuan tua tadi. Di dapur, perempuan tua itu tengah
menggoreng ayam. Zia mendekatinya dan meminta kunci motor saya, tapi permintaan
aneh terlontar dari mulut perempuan tua itu.
“Mbok mau kasih kunci motornya, tapi
dengan satu syarat,” ucapnya sambil tersenyum lebar.
Saya dan Zia sama-sama menyimak.
“Masnya harus ngajak Mba Zia makan
malam di luar hari ini,” sambungnya.
“Mbok, ko gitu? Gak usah aneh-aneh
deh. Lagian Lautnya juga udah mau pulang. Udah sore. Aku juga kan mau makan
bareng Mbok di---“
Saya menghentikan ucapan Zia dengan
mengambil tangannya. “Iya, Mbok. Saya akan ajak Zia makan malam.”
***
“Kalo kamu ada kerjaan lain, kamu
tidak perlu ngikutin maunya si Mbok,” ucap Zia di samping motor saya. Saya
menoleh dan bilang padanya bahwa saya memang ingin mengajaknya makan.
Ketika tadi Zia sedang berganti
pakaian dan saya menunggu di halaman, sebenarnya saya sendiri heran kenapa saya
berani mengajaknya makan malam. Akan jadi masalah baru bila salah satu murid
sekolah melihat dan melaporkannya pada Alex. Tapi ada satu tempat di dalam diri
saya yang senang, seakan siap menyambut pendatang. Lo tuh harus berani deketin cewek, Laut.
Jangan cuman berani nulis kata-kata doang, begitu kata Hendra saat ia
melihat saya tidak pernah mendekati cewek atau didekati.
“Lo cantik malam ini.”
Bodoh, lagi-lagi tanpa berpikir saya
mengucapkan kalimat yang aneh. Saya pikir Zia akan menampar saya atau apa
karena mengucapkan hal itu. Ya kalimat itu memang terdengar asing bila keluar
dari mulut saya, tapi Zia malah tersenyum dan berterima kasih. Saya bertanya,
kenapa berterima kasih, ‘kan sudah banyak memujinya seperti itu. Ia pun
menjawab bahwa ada perbedaan antar sebuah pujian yang lahir dari ketulusan dan
pujian yang lahir dari kebohongan.
Sejak saat itu, muncul kekaguman
saya pada diri Zia. Tidak hanya dikenal tegas saat menjadi ketua OSIS, tapi ia
juga pribadi yang cukup dewasa. Ada unsur-unsur pemikirannya yang tidak bisa
saya pahami.
“Lo mau makan apa?”
“Martabak,”
“Loh?
Kenapa?”
“Tidak apa-apa, hanya sedang tidak
ingin makanan yang berat.”
Saya pun mengiyakan. Lalu kami pergi
ke tukang martabak di daerah pinggir kota. Setelah memesan martabak keju susu,
ia bertanya kita akan makan di mana. Saya menggenggam tangannya dan menariknya
mengikuti saya. Kami tiba di tukang bakso.
“Laut, kamu mau ngapain?”
“Tenang aja.”
Saya memintanya untuk menunggu
barang lima menit. Setelah mengobrol basa-basi dengan tukang bakso, saya
kembali pada Zia dan mengajaknya duduk di kursi makan tempat tukang bakso
berjualan.
“Kamu pesan bakso?” tanyanya.
Saya menggelengkan kepala.
“Terus?”
“Gue bilang sama tukang baksonya
kalo kita mau numpang duduk buat makan.”
“Memangnya boleh?”
Saya mengangguk. Belum lima menit,
tukang bakso itu datang membawakan dua es jeruk. Zia tampak lebih kebingungan.
“Gue bayar pakai doa,” ucap saya.
Zia tertawa. “Ya ‘kan semua orang
butuh doa, Zia,” tambah saya.
Malam itu kami bahagia. Dalam tawa
kami saling memberi cerita. Selalu ada yang berbeda untuk setiap pertemuan yang
berharga. Saya cuma bisa tersenyum setiap kali melihat dia memakan dengan lahap
martabak keju susunya.
“Kenapa harus martabak keju susu?”
tanya saya yang sempat heran karena saat membeli martabak, Zia kekeh ingin keju
susu.
“Yaaa… karena cinta aja.”
“Itu aja?”
“Kadang cinta tidak butuh alasan.
Lagian, tidak semua alasan ‘kan masuk akal,” jawabnya sembari mengelap bekas
keju yang menempel di bibir merahnya lalu menyambung, “contohnya kaya gini,
ketika kamu cinta sama seseorang, kamu hanya butuh membiarkan rasa cinta itu
ada di hati kamu. Meskipun kepala kamu ngasih sejuta alasan buat lepasin cinta
itu. Cinta itu sederhana, Laut.”
“Kalo cinta itu sederhana, kenapa
banyak orang yang cintanya tidak terbalaskan?”
“Aku bilang cinta itu sederhana,
bukan mudah. Itu dua hal yang berbeda.”
Meskipun saya sudah membaca puluhan
novel romantis, saya tidak menemukan kalimat barusan di setiap lembarnya. Zia
benar. Sederhana dan mudah adalah dua hal yang berbeda. Tuhan menciptakan
setiap mahluknya dengan cinta, memberinya sebuah perasaan bernama cinta, dan
membiarkannya menjelajah dunia dengan cinta. Dan kini, saya mengakuinya.
“Zia, gue mau nanya sesuatu,”
Tawa Zia perlahan memudar. Berganti
dengan tatapan hangat ke mata saya. Sebenarnya saya tidak ingin menanyakan hal
ini. Tapi perkataan Hendra membuat saya penasaran.
“Kenapa lo nangis pas baca puisi gue
tempo hari?”
Untuk beberapa detik Zia diam. Saya
menangkap keraguan dalam matanya. Seakan ada sesuatu yang belum bisa ia
ceritakan. Saya jadi merasa bersalah karena sudah membuatnya merasa tidak
nyaman. Dasar Laut, bisakah kamu tidak merusak suasana hati orang lain?
“Kalo lo tidak bisa cerita, tidak
apa-apa. Gue cuman ngerasa bersalah aja kalo ternyata puisi gue malah bikin
lo---“
“Aku tidak tahu harus ceritanya dari
mana, Laut,” selanya, “tapi yang aku tahu, aku bahagia sekaligus sedih saat
baca puisi kamu waktu itu. Ada bagian dari diri aku yang ngerasa nyaman saat
baca kata-kata kamu. Dunia yang sempat aku biarkan tergeletak seakan kembali
dengan warna yang berbeda.”
“Terima kasih, Zia.”
***
“YA NAMANYA LO MURAHAN!”
Teras depan ruang OSIS terlihat
ramai. Hendra dan saya baru saja memarkirkan motor pagi itu. Kami berdua tidak
tahu apa yang terjadi. Hendra memilih mendekat untuk mencari tahu, sedangkan
saya memilih untuk pergi ke kelas. Tapi, belum saja berjalan satu langkah, Hendra
sudah menarik kerah saya untuk mengikutinya.
“Hend, lo ngapain sih?” gue bertanya
dengan nada jengkel sambil merapihkan seragam sekolah.
“Lo lihat tuh.” Hendra menunjuk ke
arah tempat di mana suara ramai itu berasal. Ternyata Alex kembali berulah. Kali
ini korbannya…sebentar, kenapa dia membentak Zia di depan murid-murid?
Dengan satu tangan yang masuk ke
saku kiri, Alex memaki Zia sambil menunjukkan sesuatu di laya ponselnya. Zia
hanya diam meski saya melihat jari-jarinya tergenggam sambil meremas celana
seragamnya, ia seperti sedang menahan diri agar tidak terlihat gemetar di
hadapan banyak orang.
“Lo mau alasan apa? Ohhh
jangan-jangan, karena orangtua lo ada di Jerman, jadi lo tidak punya biaya buat
sekolah dan akhirnya malah open BO?” Alex menyengir jahat setelah berkata
demikian. Pandangannya menghina Zia, seakan menelanjanginya di depan umum.
“Kalo lo butuh uang, lo bilang sama
gue. Tapi… gue juga mau dapat goyangan,” tambah Alex.
Seketika Zia melayangkan tamparan ke
pipi Alex, tapi sayang, Alex mampu menahannya dan kini ia malah mencengkram
pergelangan Zia sampai Zia meringis kesakitan.
“Kalo mau main tamparan, sini gue
kasih tamparan di bagian pant---“
“Woi, anjing!” Saya mendaratkan bogem
mentah ke rahang Alex. Ia terpukul ke belakang. Emosi saya meledak saat itu.
Saya menjambak rambut Alex dengan tangan kiri dan memukul wajahnya
berkali-kali. Para murid tiba-tiba mengambil langkah mundur ketika melihat saya
menghabisi Alex. Alex sudah jatuh tergeletak di lantai dengan wajah penuh
darah. Pandangannya pun saya yakin sudah mulai tidak jelas. Tapi kemarahan
membungkus pikiran saya. Saya menginjak-nginjak perutnya sampai seseorang
memeluk saya dari belakang.
Ia adalah Zia.
“Sudah, Laut. Cukup,” ucapnya dengan
nada ketakutan dan kecemasan.
Saat itu saya terpatung karena
merasakan wajah Zia menempel di punggung saya. Dekapannya pun cukup erat. Saya
melepaskan pelukannya, memutar badan dan menggenggam tangannya lalu mengajaknya
pergi.
Di tepi taman, saya memintanya untuk
duduk. Ia mengikutinya. Saya bilang padanya saya ingin pergi sebentar dan
memintanya untuk tidak ke mana-mana. Lima menit kemudian, saya kembali
membawakan es krim vanilla untuknya.
Sambil sesegukan, ia bertanya kenapa
saya malah membawakan es krim untuknya, saya pun berkata padanya bahwa dalam
novel Geez and Ann, Geez bilang akan menghapus seluruh toko es krim bila melihat
Ann tersakiti, makanya saya buru-buru memesan es krim untuknya, khawatir
seluruh toko es krim akan ditutup oleh Geez nanti. Lagi pula, hari masih pagi,
belum ada tukang martabak keju susu yang berjualan.
Tiba-tiba ia tersenyum meski matanya
masih merah. Saya menghela napas pelan, lalu duduk di sampingnya dan berkata, “Lo
boleh ko nangis di depan gue. Nangis aja. Tidak perlu ditahan. Jangan penjarain
air mata lo. Menangis tidak akan membuat lo terlihat buruk di mata dunia.”
Sedetik kemudian sudut mata Zia
mengeluarkan air mata. Tanpa sengaja ia menjatuhkan es krim yang baru saja gue bawa. Ia menungkup wajahnya. Perlahan saya mulai mendekatinya, lalu
merangkulnya, membawa wajahnya ke dekapan saya. Tangan kanan saya naik lalu
mengusap rambut atasnya. Hanya itu saja. Saya tidak akan berkomentar apa-apa
karena yang saya tahu, air mata tidak selalu bisa disembuhkan dengan kata-kata.
Ketika kamu terluka, biarkan air mata itu keluar. Rasa sakit sering kali lebih
mampu mengenalkanmu pada arti hidup sebenarnya. Setelah air mata itu berhenti,
kamu kerap kali lebih bisa memahami diri sendiri.
“Perih, Laut. Rasanya perih,”
lirihnya.
Tidak apa-apa, Zia. Menangislah.
Dunia memang tidak akan bisa berlaku adil untuk semua orang, termasuk kita.
Selalu saja ada luka di setiap perjalanan yang tidak bisa kita sangka. Tidak
apa-apa, Zia. Menangis itu manusiawi. Memaksakan diri kuat di setiap saat-lah
yang tidak manusiawi.
Merasa dirinya sudah tidak menangis
lagi, saya memegang kedua pundaknya dengan maksud ingin melepas pelukannya,
khawatir dia malah tidak nyaman. Apalagi orang-orang yang lalu-lalang melihat
kita dengan pandangan yang seolah berkata, “Dua anak remaja sedang dimabuk
cinta.”
Tiba-tiba Zia berkata, “Untuk saat
ini, Laut, boleh aku minta kamu untuk biarin saya meluk kamu?”
“Iya, Zia.”
Saya membiarkan Zia menuang semua
perasaannya saat ini. Membiarkannya untuk melepas apa yang terasa pantas
dilepas. Karena yang memahami diri Zia adalah dirinya sendiri. Anehnya, dada
ini malah membiarkan Zia bersandar padanya.
“Laut,”
“Iya.”
“Kenapa detak jantungmu terdengar
tidak normal?”
Ketika mendengar pertanyaan itu, saya
buru-buru menjauhkan Zia dari dada saya. Ludah berat tersangkut di tenggorokan
saya. Ia memandang saya dengan mata lembapnya. Dengan terbata-bata saya
mengatakan saya belum sarapan, mungkin jantung saya meminta jatah. Dia memasang
wajah heran dan bertanya apa relasi antara sarapan dan detak jantung yang
terpompa dengan cepat.
“Hanya Tuhan yang tahu relasi
keduanya,” ucap saya mengeles meski jawabannya terdengar bodoh.
Zia mengangguk dan melirik ke bawah.
“Laut, maaf ya, es krimnya malah jatuh.”
Saya bangkit dan menjulurkan tangan,
mengajaknya untuk pergi membeli es krim lagi. Awalnya ia menolak, tapi saya
memaksanya dengan berkata bahwa hari ini ia harus mengikut semua perkataan
saya. Betapa bahagianya saya saat melihat senyumnya telah kembali. Mungkin
selama ini saya terlalu takut mengakui ini, tapi saat ini saya akan mengatakan
bahwa senyum itu adalah senyum yang saya rindukan belakangan ini.
Kata orang, cerita cinta adalah
cerita yang paling punya kuasa atas manusia. Banyak hal lahir dari cerita cinta
dua insan; ditinggalkan saat diri sedang sayang-sayangnya. Meninggalkan saat
diri merasa ada yang lebih baik darinya. Penyesalan yang menghampiri saat
akhirnya tahu yang dilepas adalah yang terbaik. Berjuang untuk menhapus
kenangan yang telah tertuang. Dipaksa berpisah meski sama-sama masih saling
mencintai. Mendengar orang yang dicintai malah bercerita tentang orang lain.
Menetap di tempat yang sama saat tahu dirinya telah pindah ke tempat yang
berbeda. Bertemu di waktu yang tidak pernah ditunggu. Membohongi diri sendiri
hanya agar melihatnya tidak tersakiti.
Itu semua ada dalam cerita cinta.
"Dua kata dalam satu kalimat. Tersambung dengan cara yang memikat.
Bertemu lagi denganmu, tokoh
utama dalam cerita yang tidak pernah bertemu kata buntu.
Kita pernah
sama-sama berjuang untuk apa yang orang bilang cinta.
Kita pernah sama-sama
bertahan saat orang lain memilih melepaskan.
Kita pernah
sama-sama terluka dalam sebuah cerita.
Dan kini..
Kita sama-sama
tahu arti kata pergi yang tidak kembali."
Komentar
Posting Komentar