PSH-PART THREE-2021

 


source photo: pinterest.com


Tiga

Cerita


Dulu saya mengira mimpi adalah kebebasan. Terlalu banyak orang yang meletakkan mimpi di atas langit kehidupan. Terlalu banyak orang yang berangan tentang cerita di masa depan. Hingga saya berada di titik di mana saya sadar terlalu sedikit orang yang merubah mimpi jadi kenyataan karena terlalu banyak orang yang terpenjara oleh penilaian akan kegagalan.

“Laut, aku sudah harus pulang,” ucap Zia.

Saya pun berdiri dari kursi dan membayar biaya dua nasi goreng dan teh hangat. Ketika saya hendak berjalan menuju motor, Zia mengatakan dia sudah memesan ojek online. Ingin saya menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tapi niat itu saya urungkan karena toh tidak ada gunanya lagi.

“Kamu gak perlu nganter aku pulang, Laut,” katanya seperti mengetahui apa yang ada di dalam pikiranku. Saya mengganguk sebelum mendengar dia kembali berkata, “Lain kali, aja.”

“Iya, semoga,” balas saya.

Sepuluh menit menunggu kedatangan ojek online, sepuluh menit juga kita berdua hanya diam. Seakan obrolan panjang yang kita sambungkan saat makan malam tadi menguap hilang begitu saja.

Ketika ojek online tiba, saya melihat jok motor ojek itu basah, dan seperti ada sesuatu yang mendorong saya bergerak, saya mengusap jok motor itu dengan jaket milik Hendra. Bukan hanya Zia yang terkejut atau kaget, tukang ojek itu pun sama.

“Mas, kan saya ada lap,” tukang ojek itu berkata dengan polos, membuat Zia yang berdiri di belakang saya tertawa sampai memperlihatkan giginya yang putih. Rasa malu hinggap di diri saya.

“Makasih, bang, buat infonya,” ucap saya sedikit jengkel meski kalo dipikir-pikir lucu juga.

“Lagian, Mas… Mas nih gimana, sih. Masa cewek secantik ini dibiarin pulang pakai ojek online, ya anter dong, Mas. Sebagai pacarnya, Mas tuh harus tanggung jawab atas keselamatannya, terutama keselamatan hatinya. Mau saya tikung?” tukang ojek itu berceloteh tak karuan.

Saya dan Zia sukses dibuatnya salah tingkah.

“Ya udah, Laut. Aku pulang dulu. Salam buat Hendra,” pamit Zia sebelum pergi meninggalkan saya sendirian. 

Terkadang sendirian menjadi waktu paling tidak nyaman. Membuat seseorang merasa disingkirkan. Suara gemuruh keraguan dan kebingungan tentang masa depan kerap kali menghantui pikiran seseorang ketika ia sedang sendirian, apalagi sebelum ia terlelap dalam mimpi. Tapi, sendirian adalah waktu di mana seseorang mampu menjadi diri sendiri, melepas topeng yang sudah berhari-hari menutupi wajahnya. Sendirian pun mengajarkan indahnya kebersamaan, tapi… kebersamaan juga sering kali mengajarkan ketidaknyamanan. Mungkin mati adalah titik temu di antara keduanya.

***

Masih pagi, murid-murid sekolah saya sudah heboh sendiri. Saya tidak tahu tentang apa sampai kemudian Wahyu, teman kelas saya yang berbadan bulat, menarik tangan saya keluar kelas.

Lorong kelas menuju mading sekolah sudah dipenuhi murid-murid kelas dua belas. Sedangkan murid kelas sebelas dan sepuluh hanya menonton di teras kelas. Wahyu dan saya berdiri di barisan belakang murid-murid yang tengah memenuhi mading.

“Gawat ini, Laut.”

“Gawat kenapa?”

“Ko lo bisa nggak tahu?”

“Tahu apa, sih?”

“Puisi lo, Laut, puisi lo.”

“Memangnya kenapa pu---“

Tiba-tiba, gerombolan murid-murid itu terbelah dengan sendirinya. Kini, saya bisa melihat Alex, murid kelas 12 IPA 1, dan teman-temannya berjalan mendekati saya dan Wahyu. Wajahnya merah seperti terbakar. Dengan sekali perintah, Wahyu disuruh pergi. Saya mulai merasakan duduk masalahnya, maka dari itu saya meminta Wahyu mengikuti perintah mereka.

“Lo yang nulis ini, kan?” Alex mengangkat selembar puisi yang sudah diremuk.

Saya menyipitkan mata, berusaha melihat judul puisinya. Ternyata benar, puisi karya saya yang baru saya kirim ke seksi pendidikan malam tadi. Saya sudah tahu duduk masalahnya apa.

“Iya, gue yang----“

Ucapan saya dipotong, karena Alex tanpa basa-basi mendaratkan pukulan kencang di perut saya. Murid-murid sekolah bersuara. Secara otomatis mereka membuat lingkaran yang mengepung saya bersama Alex dan teman-temannya.

Alex kembali mendaratkan pukulan. Yang ini lebih keras daripada sebelumnya. Pipi kiri saya jadi sasarannya. Darah membasahi sudut bibir saya. Asin. Itu yang saya rasakan ketika mau tidak mau darah itu terkena lidah dan masuk ke tenggorokan. Dua dari teman-teman Alex memegangi tangan saya, memberikan Alex ruang untuk menghabisi saya.

Alex tersenyum sekaligus marah. Dua tendangan keras mendarat di kening kiri dan perut saya. Kulit kening saya robek. Perut saya mendadak mual dan ingin muntah.

Merasa belum puas, Alex hampir saja kembali menonjok wajah saya kalo saja guru olahraga, Pak Aji, tidak berteriak kencang meminta murid-murid bubar. Sebagian besar bersorak mengeluh karena merasa Pak Aji mengganggu tontonan mereka. Alex pergi setelah menimpuk wajah saya dengan remukan kertas puisi tadi.

Pak Aji menghampiri dan membantu saya berjalan menuju UKS, ruang yang biasanya saya jadikan tempat bolos agar bisa menghabiskan buku.

“Tunggu sini, saya panggilkan anak UKS dulu.” Pak Aji berkata demikian setelah melihat sebagian wajah saya membiru. Ia pun pergi keluar UKS.

Sembari menunggu anak UKS, saya memilih untuk berbaring di ranjang UKS meski rasanya wajah saya memberi rasa sakit yang sangat. Tak lupa saya menarik tirai yang mengelilingi ranjang.

Tak lama kemudian, telinga saya mendengar suara langkah yang mendekat. Saya pun bangkit dan duduk di tepi ranjang lalu memejamkan mata. Tirai disingkap.

“Pelan-pelan aja ngobatinnya, lumayan sakit,” ujar saya.

“Kirain jago berantem, taunya cuman jago nulis kata-kata,”

Saya menoleh, sebab suara itu terdengar tidak asing. Ternyata Zia sudah berdiri di dekat saya sambil tersenyum. Seketika, jarum jam terasa berhenti berputar. Seorang murid kelas sebelas tiba-tiba masuk ke UKS. Dia sepertinya anak UKS yang sebenarnya. Ia mengamati saya dan Zia yang terpatung menatapnya. Ia meminta maaf dan berkata bahwa Pak Aji memintanya untuk datang ke UKS, katanya ada yang sakit.

“Dewi, biar aku aja yang ngurus. Kamu balik ke kelas aja. Makasih, ya,” ucap Zia ramah.

Murid kelas sebelas, yang bernama Dewi, itu mengangguk dan langsung berputar badan.

“Maaf, tapi sejak kapan lo jadi anak UKS?”

Zia menoleh ke arah saya.

“Mulai sekarang, kalo kamu ada apa-apa, kamu harus kabarin aku.” Zia menekankan suara di kalimat terakhir. Saya tidak tahu apa tujuan Zia berkata seperti itu. Jelas-jelas kita tidak memiliki hubungan apa pun, kenapa saya harus mengabarinya kalo terjadi sesuatu? Kami jelas-jelas tidak saling memiliki karena tidak ada pernyataan resmi atas kepemilikan hati.

“Hendra ke mana?” tanya Zia sambil menuangkan sedikit alcohol ke atas kapas.

“Lagi ada acara kelu--- arghhhh, sakit,” saya mengeluh karena ini sungguh perih. Terlihat lemah? Terserah. Lagi pula kalian tidak perlu menahan rasa sakit jika rasa sakit itu-lah yang mengajarkan kita kesembuhan. Rasa sakit yang dipendam hanya membuat hati semakin tenggelam. Rasa sakit yang semakin ditahan hanya menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan.

“Tahan, Laut,”

“Bagaimana gue bisa tahan kalo lo ngobatinnya kaya lagi bikin sambel, dibenyek gitu,” ucap saya lepas. Yang nyatanya malah membuat Zia tertawa. Saya heran sekaligus senang. Tidak tahu karena apa, mungkin karena melihat tawanya.

“Maaf, Laut. Aku tidak bisa menahan tawa karena mendengar cerocosanmu yang seperti ibu-ibu,” ujarnya dengan sumringah.

Bila orang-orang mengatakan senyum itu ibadah, saya akan bilang senyum Zia adalah senyum paling indah. Seketika rasa sakit saya pergi begitu saja saat melihatnya tertawa, apalagi sebab tawanya adalah saya. Di saat Zia tertawa, saya berharap saya hanya melukiskan tawa di wajahnya, tidak melukiskan luka, karena saya tidak tahu apakah saya mampu mengobatinya atau tidak.

Setelah tenang, Zia kembali mengobati luka saya. Kini ia bertanya sesuatu, “Laut, apa benar Alex memukulmu karena puisimu?”

“Sepertinya iya.”

“Boleh aku membaca puisimu?”

Meski sempat ragu, saya memberikan kertas puisi yang sudah remuk itu ke Zia. Zia menerimanya lalu membacanya. Tiba-tiba, matanya berkaca-kaca dan akhirnya pecah. Ia menangis sendu. Saya tidah tahu harus apa. Tapi ada sesuatu yang berkecamuk di kepala saya. Tanpa berpikir, saya mengambilnya ke pelukan saya, membiarkannya membasahi dada saya.

Sore harinya, saya pergi ke rumah Hendra. Ternyata Hendra tidak masuk hari ini karena ada adik cowoknya yang berumur enam tahun khitanan dan ia menjadikan itu sebagai kesempatan untuk tidak sekolah.

Hendra kaget melihat wajah saya yang babak-belur meski sudah ada beberapa perban yang menutupi lukanya. Saya pun menceritakan duduk masalahnya, termasuk Zia yang tiba-tiba menangis saat membaca puisi saya. Sambil meminum es kopi yang ia pesan lewat gofood, ia membaca puisi yang tadi Zia kembalikan.

 

Malam itu terlihat terang

Riuh pikuk Ibukota hilang

Cahaya gedung tinggi terbang

Apa kiamat sudah datang?

 

Sebab tidak ada

Akibat lahir nyata

Ketidakmungkinan masuk pikiran

Mungkin menjadi jawaban

 

Malam itu berbeda

Kita dipertemukan tidak sengaja

Malam itu sama

Kita dipertemukan sengaja

 

Kembali!

Kata mereka yang ada di rumah.

Pergi!

Kata mereka yang ada di rumah.

 

Dua jalan berbeda tujuan

Satu tujuan berbeda jalan

Malam itu melahirkan cerita

Timbul dari sepasang mata


***


“Laut!” Hendra berteriak. “Kapan lo nulis puisi ini?” tanyanya menyelidik.

“Tadi malam,”

“Setelah kita pulang dari café?”

Kali ini saya menjawab dengana anggukan. Hendra meremuk kertas puisi itu dan menimpuknya ke wajah saya, persis seperti apa yang Alex lakukan. “Lo tahu gak sih Alex itu udah ngincer Zia dari lama?”

Gue mengangguk karena kabar itu memang sudah tersebar di mana-mana. Tapi saya masih bingung alasan di balik pertanyaan Hendra.

“Idihh, lo tuh mikir pakai otak atau daki, sih?” Hendra mendekat, menarik kursi komputernya dan duduk. Wajahnya terpasang serius, “Lo tahu Alex ngincer Zia udah lama, dan tadi malam lo baru aja makan malam berdua sama Zia. Terus paginya, lo bikin sekolah heboh dengan puisi lo, sebabnya karena apa? Ya karena Alex cemburu sama lo!”

“Cemburu?”

“Alex ngira puisi lo buat Zia!”

Alex cemburu? Untuk apa? Lagi pula satu sekolah pun tahu Alex adalah cowok tinggi, pintar, dan populer. Saya tidak akan berpikir bahwa saya bisa bersaing dengan Alex.

“Atau jangan-jangan…” Hendra melirik tajam saya, melahirkan rasa curiga pada saya, “atau jangan-jangan puisi lo memang buat Zia?”

 Saya mengelak dengan mengatakan tidak. Puisi di atas memang tercipta begitu saja saat saya hendak tidur. Pikiran dan hati saya berkecamuk tidak tentu arah malam tadi, itu lah mengapa saya memilih menuangkannya dalam bentuk puisi. Dunia ini sudah penuh oleh warna gelap yang muncul dari rasa sakit hati atau emosi yang tidak terungkap, saya tidak mau jadi bagian dari warna itu,  jadi saya memilih warna sendiri dengan tulisan tidak kenal mati ini. Hal yang paling saya pertanyakan saat itu adalah tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Semua berjalan sesuai kadar dan radarnya masing-masing. Begitu pun kenyamanan. Di satu sisi, saya percaya akan hal itu, tapi di sisi yang lain, saya bersikeras bahwa puisi itu lahir dengan sendirinya.

“Apa yang lo lakuin pas Zia nangis?”

Saat Zia menangis, saya tidak tahu harus apa selain merangkulnya. Saya tidak ingin memperparah suasana hatinya dengan kata-kata saya. Terkadang air mata tidak perlu diusap pakai kata-kata, cukup dengan telinga dan pelukan hangat dari semesta.

Saya akan merasa bersalah bila puisi saya-lah penyebab air mata Zia menangis, maka dari itu, saya berkata padanya, “Zia, gue minta maaf kalo puisi gue malah nyakitin lo, tapi jujur, gue nggak bermaksud apa-apa.”

“Gak apa-apa, Laut,” Zia melepaskan pelukannya dan menguatkan suaranya.

“Gak ada yang gak apa-apa kalo perempuan sudah berbicara lewat air mata.”

“Maaf, Laut, aku pergi dulu,” ucapnya dengan terisak lalu pergi.

Bagi saya, saat itu Zia lebih lembut daripada kapas, tapi kapas pun hancur bila terkena air. Saya tidak berusaha membuatnya lebih tenang, tapi untuk pertama kalinya saya merasakan ketulusan dari sebuah air mata.

“Dia pergi gitu aja?”

Saya mengangguk atas pertanyaan Hendra. Saya tidak mengerti kenapa semua terlihat rumit di mata saya. Bukan gelisah yang menghuni pikiran saya, tapi kebingungan. Percayalah, semakin kamu lama hidup di dunia, maka semakin kamu tidak merasa betah di dalamnya. Kamu berkali-kali meminta pulang, tapi Tuhan belum mengizinkanmu untuk pulang. Seperti ada waktu yang masih perlu dihabiskan, tapi kamu sendiri bingung untuk apa menghabiskan waktu dengan cerita hidup yang tidak diharapkan. Lalu kamu berharap dapat menghentikan waktu, sekedar untuk rehat. Pun waktu tidak berada di pihakmu, ia berjalan tanpa kehabisan bensin, apalagi sekedar melirikmu.

Kepala saya tiba-tiba didatangi oleh senyum dan suara lembut Zia. Semua terekam jelas di sana. Tidak, saat itu saya merasa Zia seperti datang ke satu ruang penting dalam hidup saya, lalu mendobrak pintunya, mengobrak-abrik isinya dan pergi untuk sementara, seakan saya mengizinkannya kembali untuk kedua kalinya. Bodohnya, saya tidak bisa atau tidak mampu melarangnya.

“Laut, lo pernah bilang sama gue, kalo air mata adalah tanda kerapuhan sekaligus kekuatan,” ucap Hendra.

“Lalu?”

“Itu yang sedang terjadi pada Zia. Dia sedang ada rapuh dan tulisan-tulisan lo yang buat dia kuat.”

“Hah? Tulisan gue?”

“Zia pasti udah cerita sama lo tentang orangtuanya yang ada di Jerman, ‘kan?”

Saya mengangguk.

“Gak semua yang terlihat baik di luar, benar-benar terlihat baik di dalam. Karena luka yang paling perih adalah luka pikiran, hati dan mental. Zia butuh bantuan lo, Laut.”

Saya tidak suka merasa terikat dengan kehidupan orang lain, apalagi menyangkut kehancuran hati seseorang. Terlebih lagi, perkataan Hendra barusan seakan menekankan adanya tanggung jawab saya untuk menyembuhkan Zia. Saya pun tidak yakin Zia sedang rapuh. Selama ini ‘kan kami hanya sekedar tahu.

Tiga tahun sekolah di sekolah yang sama, tidak melazimkan saya harus dekat dengan semua orang, begitu pun sebaliknya. Termasuk dengan Zia. Saya bahkan tidak mencoblos siapa pun, termasuk Zia, saat pemilihan ketua OSIS diselenggarakan. Tiga tahun saya bersekolah, tiga tahun juga perpustakaan adalah rumah kedua saya.

Menghabiskan waktu di perpustakaan dengan melahap novel-novel hasil negosiasi saya dengan penjaga perpustakaan, Mas Ismail, penggemar berat sastrawan Taufik Ismail. Ia berkali-kali menodong saya membaca puisi paling terkenal karya Datuk Panji Alam, sebutan untuk sastrawan Taufik Ismail, berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Mas Ismail bahkan saking cintanya pada sastra Indonesia, Mas Ismail menamai anak lelakinya Ahmad Tohari, yang terinspirasi dari Ahmad Tohari, penulis karya Ronggeng Dukuh Paruk.

Kecintaan pada dunia sastra adalah satu hal yang perlu dijaga.

Meskipun saya menghabiskan sebagian waktu saya di perpustkaan, tapi nama Zia tetap masuk ke telinga saya. Apalagi saat ia memutuskan untuk kembali menghidupkan mading sekolah yang sudah terkubur satu tahun lamanya.

Menjadi pengisi tetap mading sekolah pun bukan karena keinginan saya. Pelaku utamanya adalah Hendra. Iya, dia mengirimkan cerpen-cerpen saya ke pihak OSIS. Tidak perlu waktu lama, cerpen-cerpen saya mendadak dipertontonkan di mading. Cerpen saya yang paling sering dibicarakan murid-murid bahkan para guru berjudul Si Bangsat dan Si Anjing.

Awalnya saya ingin memarahi Hendra karena mengambil cerpen saya dan mengirimkannya tanpa izin, tapi saya pikir tidak ada gunanya, hanya buang-buang tenaga. Terlebih saat itu Hendra malah mengatakan, “Sudah saatnya tulisanmu dibaca semua orang di dunia.”

Sebelum diangkat di blog, saya selalu meminta Ibu untuk membacanya dahulu. Maka ia adalah pembaca pertama dalam setiap tulisan saya. Bapak mungkin terbilang gila dalam membaca, tapi Ibu bisa dibilang maniak karena ia mampu membaca sepuluh buku dalam satu bulan, dan hebatnya lagi ia masih bisa menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.

Bukan tanpa alasan saya meminta Ibu menjadi pembaca pertama, itu karena Ibu adalah pembaca yang jujur yang akan memberi nilai sebuah tulisan dengan kejujuran. Bagi Ibu, setiap tulisan yang telah selesai ditulis dan disebar ke masyarakat, telah memiliki nyawanya sendiri. Itu artinya si penulis tidak boleh marah bila tulisannya dinilai buruk. Tapi, Ibu tidak pernah tidak menghabiskan sebuah tulisan walaupun ia sudah mengetahui akhir ceritanya atau sudah bisa menilainya.

“Laut, setiap tulisan itu bernyawa dan yang bernyawa itu berharga. Hargai tulisan itu dengan menyelesaikannya.”

 Pun tulisan saya tidak luput dari kritikannya.

“Tulisan-tulisan kamu belum punya nyawa, hanya sebatas kata-kata kosong tidak cukup menggerakkan hati dan pikiran manusia. Baca dan tulis lebih baik lagi.”

***

Sudah empat hari bersekolah, saya tidak juga menemukan batang hidungnya. Kemungkinan penyebab tangis Zia adalah puisi saya semakin besar. Saya bisa dibilang tidak waras bila seperti ini terus. Iya, duduk di teras depan kelas sepuluh yang berhadapan langsung dengan ruang OSIS.

“Tumben lo baca buku di sini, kenapa?” tanya Hendra.

“Tidak ada apa-apa. Mau cari suasana baru aja.”

“Mau cari suasana baru atau inspirasi baru?”

“Hah?”

“Hah, heh, hah, heh. Udah deh, lo mau nunggu sampai luffy mualaf pun tidak akan ngelihat Zia. Dia lagi ada urusan keluarga di luar kota.”

“Ko lo tahu?”

“Ya kan dia chat gue,”

“Lo ada nomor Zia?”

“Ada. Kan gue---- ohhhh, gue tahu, nih. Lo mau minta nomor Zia, ya?”

Suara Hendra terlalu keras. Murid-murid kelas sepuluh yang sedang ramai seperti mengadakan demonstrasi di kelas mendadak hening. Saya menarik lengan Hendra dan membawanya ke kantin.

Hendra tertawa melihat saya malu. Dan di sini lah kami, di meja kantin. Hendra memesan satu piring batagor dan es kopi. Sedangkan saya hanya memesan es teh manis.

“Hend,”

“Hmm,”

“Jadi… Zia cerita apa aja ke lo?”

Sambil menunduk dan mengunyah batagor, Hendra melirikkan matanya ke arah saya yang langsung saya balas dengan jitakan di kepala. “Tidak usah ngelirik gitu, gue bisa kena penyakit jantung.”

“Dia tidak cerita apa-apa, Laut, selain dia titip salam untuk lo.”

Belum terurai satu permasalahan, masalah lain hinggap di pikiran saya. Kenapa tidak melihat Zia dalam beberapa hari seperti merasa kehilangan? Padahal saya sudah sadar sejak lama bahwa saya bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Pun dia bukan siapa-saiap dalam hidup saya. Harus saya tekankan lagi, kita tidak melebihi garis pertemanan. Tapi… bukankah kehilangan teman terasa menyakitkan? Halah,  tidak juga, bukankah hidup memang tentang datang dan pergi? Lalu pada akhirnya kita memang hanya berpijak pada kaki kita sendiri, dan sendirian. Dilahirkan saling mengenal bukan berarti harus saling bersama sampai datang ajal. Dipertemukan dalam satu kejadian berarti harus saling bergandengan sampai cerita ditamatkan. Kita hanya persinggahan untuk hidup orang lain dan tujuan untuk diri sendiri. Lantas, kenapa harus merasa kehilangan kalau sudah tahu bahwa kedatangan terikat dengan kepergian?

Setelah mendapatkan alamat rumah Zia dari Hendra. Saya melaju pergi ke sana selepas sekolah. Hari sudah mulai sore ketika saya sampai di rentetan perumahan. Hampir semua rumah di sini memiliki desain yang sama. Meski beberapa dari mereka terlihat lebih mewah karena renovasi. Cat dinding mereka pun hampir semua sama. Cat putih. Saya melirik kolom chat Hendra.

Rumahnya dua lantai.

Ada halaman kecil.

Nomor 63. Lo cari aja.

Begitu pesan Hendra.

Seorang perempuan tua menyapa saya dan bertanya sedang mencari alamat siapa. Saya menggelengkan kepala dan berkata tidak sedang mencari alamat siapa pun. Tapi perempuan tua dengan pakaian daster yang tengah menenteng kantong plastik berisikan sayur itu tiba-tiba berkata, “Temannya Mba Zia, ya?”

Saya bertanya kenapa ia bisa tahu. Perempuan itu pun menunjuk badge sekolah saya dan Zia. Saya lupa kalo saya sedang memakai seragam sekolah. Ketika saya hendak pamit atau lebih tepatnya kabur, perempuan tua itu malah mencabut kunci motor saya dan membawanya pergi. Saya melongo bingung sebelum mengejarnya. Sialnya, ternyata saya sudah berada di depan rumah paman dan bibi Zia daritadi.

Perempuan tua itu masuk rumah. Tentunya dengan kunci motor saya. Sedangkan saya harus berdiam diri di depan gerbang sambil menggacak-ngacak rambut. Tidak lama kemudian, Zia keluar rumah mengenakan sweater abu-abu dan celana pendek putih. Saat melihatnya, saya merasakan ada sesuatu di dalam dada saya yang berdetak kencang. Rasa kehilangan yang sempat hingga kini telah terbang.

“Hai,” sapanya lembut dari dalam gerbang.

“Hi.”

“Ko bisa ada di sini?”

“Gue tadi lagi jalan… tapi nyasar, maksudnya… gue tadi lagi nyasar…”

Tiba-tiba Zia tertawa mendengar ucapan saya yang tidak beraturan. Bodoh. Kenapa masih saja gugup.

Ia keluar gerbang dan menghampiri saya. Jujur, Zia lebih cantik tanpa riasan apa pun di wajahnya. Keindahan ternyata tidak selalu tentang lukisan. Seharusnya semua penulis di dunia tahu bahwa semua lukisan mereka tidak akan bermakna bila dibandingkan dengan Zia. Kenapa saya mulai berani memujinya? Pasti ada yang tidak beres.

 “Sebentar, kata Hendra, lo lagi ada acara keluarga di luar kota.”

“Aku emang ada acara keluarga tapi bukan di luar kota.”

Hendra sialan!

“Kamu ada perlu sama aku?”

“Hah? Gimana?”

Zia tidak kembali bertanya. Ia malah mengambil tangan saya dan berkata, “Ayo ikut.” Zia mengajak saya ke dalam rumah. Saat masuk ke rumahnya, saya disambut dengan lukisan-lukisan abstrak yang tergantung mengelilingi ruang tamu. Pun ada ukiran batu yang memperindah ruang tamu itu. Tapi yang menarik perhatian saya adalah karikatur Hitleryang sedang tersenyu lebar.

“Itu pemberian dari ayahku,” ucapnya setelah memandang ke mana mata saya sedang memandang.

Di ruang keluarga, saya bertemu dengan paman dan bibi Zia. Keduanya terlihat sibuk. Hal itu dilihat dari keduanya yang memangku laptop dan dikelilingi map-map yang sering dibawa para karyawan kantoran. Setelah memberi salam, saya mengekori Zia menuju kamarnya.  

Ketika sudah berada di depan pintu kamar Zia, saya ragu untuk masuk, itu karena saya merasa tidak enak berduaan di kamar bersama Zia. Tapi Zia bilang kamarnya dipasang cctv. Lebih dari itu, dia berkata bahwa dia yakin sama tidak memiliki niat buruk.

Kamarnya tidak seperti kamar perempuan pada umumnya. Dinding kamarnya dicat warna abu-abu. Kamarnya bisa dibilang cukup minimalis. Rentetan novel-novel Pramoedya Ananta Toer berbaris di rak mejanya.

“Lo penggemar berat eyang Pram?” tanya gue.

“Tulisan-tulisan eyang Pram bukan hanya bernyawa,” ia menarik kursi kecil dan meminta saya duduk lalu menyambung, “Eyang Pram mampu menulis tulisan yang hidup dan menghidupkan. Menurutku, Indonesia beruntung punya penulis sehebat Eyang.”

“Betul,” tanggap saya.

“Indonesia juga beruntung punya calon penulis hebat seperti kamu, Laut.”

Pandangan kami beradu. Sulit rasanya menjelaskan bagaimana kini saya tengah merasakan kenyamanan yang tidak bisa saya dapat selain bersama Zia. Tapi kenapa? Saya ‘kan baru mengenal Zia beberapa hari yang lalu. Kenapa kenyamanan itu sudah muncul begitu saja? Apa kenyamanan juga tidak mengenal waktu seperti rindu?

“Zia, kenapa lo yakin gue bisa jadi penulis hebat nantinya?”

Zia duduk di tepi ranjang lalu berkata, “Kadang seseorang itu cuman butuh kepercayaan orang lain buat yakinin dirinya sendiri. Dan… aku percaya sama kamu, Laut. Kamu udah punya jalannya sendiri untuk jadi penulis. Kini giliran tugas kamu untuk berjalan di atasnya.”

Zia, saya tidak tahu apa yang membuat kamu percaya sama saya, tapi… terima kasih. Terima kasih untuk kepercayaan itu.

“Zia,”

“Iya?”

“Gue….”

Ucapan saya terhenti saat mendengar badan pintu diketuk. Saya dan Zia menoleh lalu mendapati perempuan tua yang mengambil kunci motor saya tersenyum lalu berkata pada Zia bahwa paman dan bibinya akan pergi ke kantor dan kemungkinan besar akan pulang tengah malam. Zia mengangguk. Perempuan tua itu pun kembali pergi.

“Oh ya, kamu mau ngomong apa tadi?”

Tidak, Laut. Belum saatnya untuk mengatakan hal itu. Zia akan menganggapmu konyol.

“Ohhhh, gak jadi. Gue minta tolong ambilin kunci motor gue bisa? Tadi diambil sama nenek itu.”

Zia mengangguk dan mengajak saya keluar kamar menemui perempuan tua tadi. Di dapur, perempuan tua itu tengah menggoreng ayam. Zia mendekatinya dan meminta kunci motor saya, tapi permintaan aneh terlontar dari mulut perempuan tua itu.

“Mbok mau kasih kunci motornya, tapi dengan satu syarat,” ucapnya sambil tersenyum lebar.

Saya dan Zia sama-sama menyimak.

“Masnya harus ngajak Mba Zia makan malam di luar hari ini,” sambungnya.

“Mbok, ko gitu? Gak usah aneh-aneh deh. Lagian Lautnya juga udah mau pulang. Udah sore. Aku juga kan mau makan bareng Mbok di---“

Saya menghentikan ucapan Zia dengan mengambil tangannya. “Iya, Mbok. Saya akan ajak Zia makan malam.”


***


“Kalo kamu ada kerjaan lain, kamu tidak perlu ngikutin maunya si Mbok,” ucap Zia di samping motor saya. Saya menoleh dan bilang padanya bahwa saya memang ingin mengajaknya makan.

Ketika tadi Zia sedang berganti pakaian dan saya menunggu di halaman, sebenarnya saya sendiri heran kenapa saya berani mengajaknya makan malam. Akan jadi masalah baru bila salah satu murid sekolah melihat dan melaporkannya pada Alex. Tapi ada satu tempat di dalam diri saya yang senang, seakan siap menyambut pendatang.  Lo tuh harus berani deketin cewek, Laut. Jangan cuman berani nulis kata-kata doang, begitu kata Hendra saat ia melihat saya tidak pernah mendekati cewek atau didekati.

“Lo cantik malam ini.”

Bodoh, lagi-lagi tanpa berpikir saya mengucapkan kalimat yang aneh. Saya pikir Zia akan menampar saya atau apa karena mengucapkan hal itu. Ya kalimat itu memang terdengar asing bila keluar dari mulut saya, tapi Zia malah tersenyum dan berterima kasih. Saya bertanya, kenapa berterima kasih, ‘kan sudah banyak memujinya seperti itu. Ia pun menjawab bahwa ada perbedaan antar sebuah pujian yang lahir dari ketulusan dan pujian yang lahir dari kebohongan.

Sejak saat itu, muncul kekaguman saya pada diri Zia. Tidak hanya dikenal tegas saat menjadi ketua OSIS, tapi ia juga pribadi yang cukup dewasa. Ada unsur-unsur pemikirannya yang tidak bisa saya pahami.

“Lo mau makan apa?”

“Martabak,”

“Loh? Kenapa?”                                                                   

“Tidak apa-apa, hanya sedang tidak ingin makanan yang berat.”

Saya pun mengiyakan. Lalu kami pergi ke tukang martabak di daerah pinggir kota. Setelah memesan martabak keju susu, ia bertanya kita akan makan di mana. Saya menggenggam tangannya dan menariknya mengikuti saya. Kami tiba di tukang bakso.

“Laut, kamu mau ngapain?”

“Tenang aja.”

Saya memintanya untuk menunggu barang lima menit. Setelah mengobrol basa-basi dengan tukang bakso, saya kembali pada Zia dan mengajaknya duduk di kursi makan tempat tukang bakso berjualan.

“Kamu pesan bakso?” tanyanya.

Saya menggelengkan kepala.

“Terus?”

“Gue bilang sama tukang baksonya kalo kita mau numpang duduk buat makan.”

“Memangnya boleh?”

Saya mengangguk. Belum lima menit, tukang bakso itu datang membawakan dua es jeruk. Zia tampak lebih kebingungan. “Gue bayar pakai doa,” ucap saya.

Zia tertawa. “Ya ‘kan semua orang butuh doa, Zia,” tambah saya.

Malam itu kami bahagia. Dalam tawa kami saling memberi cerita. Selalu ada yang berbeda untuk setiap pertemuan yang berharga. Saya cuma bisa tersenyum setiap kali melihat dia memakan dengan lahap martabak keju susunya.

“Kenapa harus martabak keju susu?” tanya saya yang sempat heran karena saat membeli martabak, Zia kekeh ingin keju susu.

“Yaaa… karena cinta aja.”

“Itu aja?”

“Kadang cinta tidak butuh alasan. Lagian, tidak semua alasan ‘kan masuk akal,” jawabnya sembari mengelap bekas keju yang menempel di bibir merahnya lalu menyambung, “contohnya kaya gini, ketika kamu cinta sama seseorang, kamu hanya butuh membiarkan rasa cinta itu ada di hati kamu. Meskipun kepala kamu ngasih sejuta alasan buat lepasin cinta itu. Cinta itu sederhana, Laut.”

“Kalo cinta itu sederhana, kenapa banyak orang yang cintanya tidak terbalaskan?”

“Aku bilang cinta itu sederhana, bukan mudah. Itu dua hal yang berbeda.”

Meskipun saya sudah membaca puluhan novel romantis, saya tidak menemukan kalimat barusan di setiap lembarnya. Zia benar. Sederhana dan mudah adalah dua hal yang berbeda. Tuhan menciptakan setiap mahluknya dengan cinta, memberinya sebuah perasaan bernama cinta, dan membiarkannya menjelajah dunia dengan cinta. Dan kini, saya mengakuinya.

“Zia, gue mau nanya sesuatu,”

Tawa Zia perlahan memudar. Berganti dengan tatapan hangat ke mata saya. Sebenarnya saya tidak ingin menanyakan hal ini. Tapi perkataan Hendra membuat saya penasaran.

“Kenapa lo nangis pas baca puisi gue tempo hari?”

Untuk beberapa detik Zia diam. Saya menangkap keraguan dalam matanya. Seakan ada sesuatu yang belum bisa ia ceritakan. Saya jadi merasa bersalah karena sudah membuatnya merasa tidak nyaman. Dasar Laut, bisakah kamu tidak merusak suasana hati orang lain?

“Kalo lo tidak bisa cerita, tidak apa-apa. Gue cuman ngerasa bersalah aja kalo ternyata puisi gue malah bikin lo---“

“Aku tidak tahu harus ceritanya dari mana, Laut,” selanya, “tapi yang aku tahu, aku bahagia sekaligus sedih saat baca puisi kamu waktu itu. Ada bagian dari diri aku yang ngerasa nyaman saat baca kata-kata kamu. Dunia yang sempat aku biarkan tergeletak seakan kembali dengan warna yang berbeda.”

“Terima kasih, Zia.”

***

“YA NAMANYA LO MURAHAN!”

Teras depan ruang OSIS terlihat ramai. Hendra dan saya baru saja memarkirkan motor pagi itu. Kami berdua tidak tahu apa yang terjadi. Hendra memilih mendekat untuk mencari tahu, sedangkan saya memilih untuk pergi ke kelas. Tapi, belum saja berjalan satu langkah, Hendra sudah menarik kerah saya untuk mengikutinya.

“Hend, lo ngapain sih?” gue bertanya dengan nada jengkel sambil merapihkan seragam sekolah.

“Lo lihat tuh.” Hendra menunjuk ke arah tempat di mana suara ramai itu berasal. Ternyata Alex kembali berulah. Kali ini korbannya…sebentar, kenapa dia membentak Zia di depan murid-murid?

Dengan satu tangan yang masuk ke saku kiri, Alex memaki Zia sambil menunjukkan sesuatu di laya ponselnya. Zia hanya diam meski saya melihat jari-jarinya tergenggam sambil meremas celana seragamnya, ia seperti sedang menahan diri agar tidak terlihat gemetar di hadapan banyak orang.

“Lo mau alasan apa? Ohhh jangan-jangan, karena orangtua lo ada di Jerman, jadi lo tidak punya biaya buat sekolah dan akhirnya malah open BO?” Alex menyengir jahat setelah berkata demikian. Pandangannya menghina Zia, seakan menelanjanginya di depan umum.

“Kalo lo butuh uang, lo bilang sama gue. Tapi… gue juga mau dapat goyangan,” tambah Alex.

Seketika Zia melayangkan tamparan ke pipi Alex, tapi sayang, Alex mampu menahannya dan kini ia malah mencengkram pergelangan Zia sampai Zia meringis kesakitan.

“Kalo mau main tamparan, sini gue kasih tamparan di bagian pant---“

“Woi, anjing!” Saya mendaratkan bogem mentah ke rahang Alex. Ia terpukul ke belakang. Emosi saya meledak saat itu. Saya menjambak rambut Alex dengan tangan kiri dan memukul wajahnya berkali-kali. Para murid tiba-tiba mengambil langkah mundur ketika melihat saya menghabisi Alex. Alex sudah jatuh tergeletak di lantai dengan wajah penuh darah. Pandangannya pun saya yakin sudah mulai tidak jelas. Tapi kemarahan membungkus pikiran saya. Saya menginjak-nginjak perutnya sampai seseorang memeluk saya dari belakang.

Ia adalah Zia.

“Sudah, Laut. Cukup,” ucapnya dengan nada ketakutan dan kecemasan.

Saat itu saya terpatung karena merasakan wajah Zia menempel di punggung saya. Dekapannya pun cukup erat. Saya melepaskan pelukannya, memutar badan dan menggenggam tangannya lalu mengajaknya pergi.

Di tepi taman, saya memintanya untuk duduk. Ia mengikutinya. Saya bilang padanya saya ingin pergi sebentar dan memintanya untuk tidak ke mana-mana. Lima menit kemudian, saya kembali membawakan es krim vanilla untuknya.

Sambil sesegukan, ia bertanya kenapa saya malah membawakan es krim untuknya, saya pun berkata padanya bahwa dalam novel Geez and Ann, Geez bilang akan menghapus seluruh toko es krim bila melihat Ann tersakiti, makanya saya buru-buru memesan es krim untuknya, khawatir seluruh toko es krim akan ditutup oleh Geez nanti. Lagi pula, hari masih pagi, belum ada tukang martabak keju susu yang berjualan.

Tiba-tiba ia tersenyum meski matanya masih merah. Saya menghela napas pelan, lalu duduk di sampingnya dan berkata, “Lo boleh ko nangis di depan gue. Nangis aja. Tidak perlu ditahan. Jangan penjarain air mata lo. Menangis tidak akan membuat lo terlihat buruk di mata dunia.”

Sedetik kemudian sudut mata Zia mengeluarkan air mata. Tanpa sengaja ia menjatuhkan es krim yang baru saja gue bawa. Ia menungkup wajahnya. Perlahan saya mulai mendekatinya, lalu merangkulnya, membawa wajahnya ke dekapan saya. Tangan kanan saya naik lalu mengusap rambut atasnya. Hanya itu saja. Saya tidak akan berkomentar apa-apa karena yang saya tahu, air mata tidak selalu bisa disembuhkan dengan kata-kata. Ketika kamu terluka, biarkan air mata itu keluar. Rasa sakit sering kali lebih mampu mengenalkanmu pada arti hidup sebenarnya. Setelah air mata itu berhenti, kamu kerap kali lebih bisa memahami diri sendiri.

“Perih, Laut. Rasanya perih,” lirihnya.

Tidak apa-apa, Zia. Menangislah. Dunia memang tidak akan bisa berlaku adil untuk semua orang, termasuk kita. Selalu saja ada luka di setiap perjalanan yang tidak bisa kita sangka. Tidak apa-apa, Zia. Menangis itu manusiawi. Memaksakan diri kuat di setiap saat-lah yang tidak manusiawi.

Merasa dirinya sudah tidak menangis lagi, saya memegang kedua pundaknya dengan maksud ingin melepas pelukannya, khawatir dia malah tidak nyaman. Apalagi orang-orang yang lalu-lalang melihat kita dengan pandangan yang seolah berkata, “Dua anak remaja sedang dimabuk cinta.”

Tiba-tiba Zia berkata, “Untuk saat ini, Laut, boleh aku minta kamu untuk biarin saya meluk kamu?”

“Iya, Zia.”

Saya membiarkan Zia menuang semua perasaannya saat ini. Membiarkannya untuk melepas apa yang terasa pantas dilepas. Karena yang memahami diri Zia adalah dirinya sendiri. Anehnya, dada ini malah membiarkan Zia bersandar padanya.

“Laut,”

“Iya.”

“Kenapa detak jantungmu terdengar tidak normal?”

Ketika mendengar pertanyaan itu, saya buru-buru menjauhkan Zia dari dada saya. Ludah berat tersangkut di tenggorokan saya. Ia memandang saya dengan mata lembapnya. Dengan terbata-bata saya mengatakan saya belum sarapan, mungkin jantung saya meminta jatah. Dia memasang wajah heran dan bertanya apa relasi antara sarapan dan detak jantung yang terpompa dengan cepat.

“Hanya Tuhan yang tahu relasi keduanya,” ucap saya mengeles meski jawabannya terdengar bodoh.

Zia mengangguk dan melirik ke bawah. “Laut, maaf ya, es krimnya malah jatuh.”

Saya bangkit dan menjulurkan tangan, mengajaknya untuk pergi membeli es krim lagi. Awalnya ia menolak, tapi saya memaksanya dengan berkata bahwa hari ini ia harus mengikut semua perkataan saya. Betapa bahagianya saya saat melihat senyumnya telah kembali. Mungkin selama ini saya terlalu takut mengakui ini, tapi saat ini saya akan mengatakan bahwa senyum itu adalah senyum yang saya rindukan belakangan ini.

Kata orang, cerita cinta adalah cerita yang paling punya kuasa atas manusia. Banyak hal lahir dari cerita cinta dua insan; ditinggalkan saat diri sedang sayang-sayangnya. Meninggalkan saat diri merasa ada yang lebih baik darinya. Penyesalan yang menghampiri saat akhirnya tahu yang dilepas adalah yang terbaik. Berjuang untuk menhapus kenangan yang telah tertuang. Dipaksa berpisah meski sama-sama masih saling mencintai. Mendengar orang yang dicintai malah bercerita tentang orang lain. Menetap di tempat yang sama saat tahu dirinya telah pindah ke tempat yang berbeda. Bertemu di waktu yang tidak pernah ditunggu. Membohongi diri sendiri hanya agar melihatnya tidak tersakiti.

Itu semua ada dalam cerita cinta.

"Dua kata dalam satu kalimat. Tersambung dengan cara yang memikat. 

Bertemu lagi denganmu, tokoh utama dalam cerita yang tidak pernah bertemu kata buntu.

Kita pernah sama-sama berjuang untuk apa yang orang bilang cinta.

Kita pernah sama-sama bertahan saat orang lain memilih melepaskan.

Kita pernah sama-sama terluka dalam sebuah cerita.

Dan kini..

Kita sama-sama tahu arti kata pergi yang tidak kembali."


Komentar

Postingan Populer