LDR
source photo: pinterest. com
HUBUNGAN JARAK JAUH
Hari demi hari, obrolan kita semakin tidak mengenal waktu. Bulan dan matahari kerap kali jadi saksi atas dua insan yang tidak henti-hentinya menatap layar ponsel pribadi. Sapaan hangatmu di pagi hari berubah menjadi semangat untuk menghadapi hari. Pun dengan panggilanmu di malam hari, seolah mengantar saya pada mimpi indah yang tidak pernah berhenti. Meskipun saya tahu, bahwa mimpi terindah adalah mengisi hari bersamamu.
Dua minggu sudah kita membangun kerangka cerita, tiba hari di mana kita memutuskan untuk saling mengisi ruang perasaan sebagai tanda kepemilikan. Ini adalah awal cerita kita. Langkah pertama untuk ribuan langkah selanjutnya.
Untuk sebagian besar manusia, pertanyaan seperti sudah makan atau sedangn apa mungkin terdengar klasik. Tapi bagi saya, pertanyaan itu akan terdengar menarik bila pertanyaan itu terlontar dari mulutmu. Itu karena saya tahu bahwa kamu peduli dengan saya. Terlebih saat kamu bertanya perihal bagaimana hari-hari saya. Seolah kamu hadir di sisi saya dan memberi saya ruang untuk bercerita sebebasnya. Saat itu, kamu menyimak tanpa sekali pun memutus ucapan saya, membiarkan mulut saya mengutarakan semua keluh kesah.
Ingin sekali saya berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimu pada saya, tempat di mana saya bisa mencurahkan semuanya tanpa perlu dihakimi. Bersamamu, saya merasakan aman dan nyaman. Saya tidak lagi takut bermimpi, karena saya tahu kamu akan tetap ada dan percaya pada saya di saat semua orang menertawakan dan menganggap saya gila.
Bersamamu, saya berani melangkah. Bersamamu, saya berani tertawa. Bersamamu, saya berani jujur. Dan bersamamu, saya berani menjadi manusia seutuhnya.
Hingga tiba hari yang tidak pernah saya inginkan. Pagi itu, kamu tidak menyapa saya dengan sapaan hangat seperti biasanya. Kamu malah menghancurkan saya dengan keinginanmu untuk melanjutkan pendidikan di negeri yang berbeda.
Saya sadar bahwa saya tidak bisa menahanmu untuk tidak pergi. Karena menuntut ilmu adalah hakmu. Kamu berhak menjadi orang pintar. Tapi saya sadar bahwa saya tidak bisa menahan kecewa karena kehilangan. Saya berhak bahagia, tapi.. bagaimana saya bisa bahagia jika sumber kebahagiaan saya tidak lagi berada di tempat yang sama?
Sebagian besar manusia sudah membuktikan bahwa hubungan jarak jauh adalah awal dari perpisahan, lantas, untuk apa kita masih berjalan di jalan yang sama bila kita sama-sama tahu bahwa tujuan kita berbeda?
Untuk apa kita masih mempertahankan hubungan yang jelas-jelas hanya akan menyakitkan?
Untuk apa kita masih percaya adanya harapan jika kita sama-sama tahu tidak ada lagi kemungkinan?
Saat itu, kamu menarik saya ke dalam pelukmu. Sembari mengusap rambut saya, kamu berkata bahwa semua akan baik-baik saja dan kamu akan berjanji akan tetap ada untuk saya.
Saya tidak membalas kecuali dengan air mata. Seharusnya kamu paham bahwa air mata adalah jawaban dari rasa sakit yang saat itu saya terima. Pun seharusnya kamu tahu bahwa tidak semuanya akan baik-baik saja. Tidak semua semua hal bisa diterima begitu saja. Tidak semua hal harus dibiarkan mengalir tanpa arah.
Malam sebelum kepergianmu, kamu menghubungi saya lewat pesan atau panggilan. Saya tidak menjawab karena saya takut kamu akan mendengar suara tangisan perihal takut kehilangan. Malam itu tidak ada yang menemani saya kecuali harapan bahwa ikatan hubungan ini masih bisa kita pertahankan. Meskipun ada kemungkinan ikatan itu terpaksa dilepaskan.
Satu minggu setelah kepergianmu, kamu masih memberi kabar. Saya pun mulai terbiasa dengan hubungan jarak jauh ini.
Semua tidak berubah hingga tiba hari di mana semesta seakan menghancurkan cerita yang sudah kita buat. Tidak ada lagi pesan dan panggilan darimu. Tidak ada lagi perhatian klasik yang kamu berikan. Kamu seolah pergi ditelan bumi. Saya mencoba menghubungimu, berpikir bahwa saya lah yang salah. Saya mencari tahu keberadaanmu, berpikir bahwa hubungan ini tidak pantas selesai begitu saja.
Ternyata hubungan jarak jauh ini tidak hanya menjauhkan keberadaan, tapi juga perasaan.
Untukmu yang jauh di sana, yang tidak tahu di mana keberadaannya.
Terima kasih sudah datang, mengetuk ruang, mengisinya dengan hal-hal baru yang menciptakan nyaman, lalu pergi seolah semua tidak pernah terjadi.
Andai saja saya tidak menyimpulkan sendiri perilaku dan perhatianmu, mungkin rasa sakit ini tidak akan pernah menghampiri. Andai saja waktu bisa diputar, saya berharap kita tidak saling dipertemukan hanya untuk memberi nyaman.
Andai saja Tuhan tidak menciptakan yang namanya ruang perasaan, mungkin saya tidak akan membiarkanmu menempatinya. Dan, jejak rekam perihal kenangan bahagia yang kamu ciptakan, tidak akan jadi barang yang sampai saat ini saya simpan. Andai saja janjimu sesuai dengan perbuatanmu, mungkin harapan tidak akan pernah melahirkan penyesalan. Andai saja saya tahu bahwa hubungan jarak jauh in hanya awal dari sebuah akhir cerita, mungkin saya tidak ingin pernah memulainya.
Komentar
Posting Komentar