Dua Pencerah dari Tong Sampah



Source photo: pinterest.


“Apa yang sedang mereka lakukan?” 

“Kamu tidak tahu mereka sedang apa?!”

“Tidak,”


“Dasar goblok! Sudah berapa lama kamu jadi lalat?”


“Umm.... tiga tahun.”


“Kamu sudah tiga tahun jadi lalat dan tidak pernah melihat pemandangan seperti itu?! Dasar lalat kampung! Seharusnya kamu terbang lebih jauh!”


“Sial! Kamu saja menjadi lalat baru dua tahun!”


“Muda tidak meniscayakan minimnya pengalaman. Meskipun saya lebih muda, saya lebih berani daripada kamu!”


Sebuah perdebatan terjadi antara dua ekor lalat hitam bernama Putih dan White. Lalat berusia tiga tahun itu adalah Putih, sedangkan yang berusia dua tahun bernama White. Keduanya lahir di tong sampang berwarna hitam dekat sebuah kostan perempuan bertingkat dua di daerah Cililitan. 


Seperti kebanyakan lalat, White dan Putih tidak tahu siapa kedua orangtua mereka. Putih yang lahir terlebih dahulu hanya ingat bau busuk yang pertama kali ia cium setelah dilahirkan ke dunia; bau kaleng sarden ikan yang sangat ia benci. Meskipun ia membenci semua bau busuk yang ada di tong sampah, tapi kebenciannya pada kaleng sarden sudah mencapai puncaknya. Setiap kali ia berjalan-jalan sore di perumahan warga, hinggap dari satu jendela ke jendela yang lain, ia selalu melaknat setiap manusia yang hendak memakan sarden. Mulanya ia akan menatap sinis si manusia, lalu menghardiknya ketika ia membuka kaleng sarden dan menuangkan potongan ikan di pemanas. 


“Dasar manusia tolol! Untuk apa ia memakan potongan ikan yang baunya sudah seperti tai!” hardiknya sebelum kembali terbang ke jendela yang lain.


Dan untuk menghilangkan kekesalannya pada bau kaleng sarden atau hal-hal lainnya, ia selalu pergi ke daerah kesayangannya, di mana ia menyebutnya surga yang sederhana. Daerah itu bernama  Al-Hawi, daerah di mana puluhan toko parfum wangi berjejeran membentuk barisan di sepanjang jalan. 


“Tidak ada yang lebih nikmat daripada mencium wangi ini,” ucap Putih sembari tersenyum.  


Berbeda dengan Putih, meskipun White dan Putih lahir di tong sampah yang sama, namun White memiliki kecerdasan di atas rata-rata lalat pada umumnya. Ia kerap membaca buku, mengobservasi sekitar dan berani mencari pengalaman baru. Itu semua terbit karena hal yang pertama kali ia lihat dalam hidupnya adalah sebuah majalah sobek di tong sampah. Awalnya ia tidak tahu apa majalah itu dan kenapa majalah itu bisa ada di tong sampah. White butuh waktu satu minggu agar bisa tahu majalah apa itu. Saat itu, saat ia tengah duduk di atas botol minuman berlogokan banteng, ia melihat seorang kakek tua dengan pakaian compang-camping dan menjinjing karung bekas tengah mengaduk-ngaduk tempat kelahirannya. Kulit kakek itu kusam dengan daki dan keringat yang menyebar di setiap sudut tubuhnya. 


“Apa yang sedang kamu lakukan kakek tua?” desis White sembari memusatkan pandangannya pada si kakek. Awalnya raut wajah kakek itu lesu, seolah tidak ada lagi kehidupan yang ia harapkan atau.... malaikat maut sepertinya sudah memberinya pesan singkat lewat mimpi. Apa pun alasannya, White lebih tertarik pada alasan di balik raut wajahnya yang mendadak berubah tatkala tangan kakek itu menggenggam majalah yang sudah lama menjadi bahan penasaran White. 


White memerhatikan setiap gerak-gerik si kakek, dari tatapannya yang menyebar ke semua arah, seoalh memastikan tidak ada orang lain yang melihatnya, dari bagaiamana ia menyimpan majalah itu di balik kaosnya, hingga ke mana kakek itu melanjutkan langkahnya. 


White mendadak berubah menjadi detektif. Ia hinggap dari satu tempat ke tempat lain, memberi jarak antara dirinya dan si kakek agar si kakek tidak menyadari keberadaanya. Beberapa kali White berusaha untuk tidak terlalu berisik ketika terbang, namun lama-lama ia sadar kalau lalat memang diciptakan untuk berisik. Namun, terlepas dari itu, White tetap meminimalisir suaranya. Ia benar-benar menghayati dirinya menjadi penguntit profesional. 


Penguntitannya berhenti ketika ia melihat si kakek memasuki sebuah gang kecil. White menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada lalat lain yang melihatnya. Dengan segenap kekuatan, ia kembali terbang mendekati si kakek. 


Tiba-tiba mata White terbuka lebar saat ia melihat celana kakek itu terbuka hingga ke tanah dan tangan si kakek mencekik bagian bawah perutnya. Lalu perlahan White mendengar suara desahan kenikmatan sekaligus aneh yang pertama kali ia dengar. Majalah yang kakek bawa tadi terbuka di depannya, memperlihatkan gambar seorang perempuang yang hanya terbungkus bra dan celana dalam hitam, rambut panjang yang terurai, kulit putih, wajah cantik dan manis serta bokong yang melekuk sempurna. 


Untuk beberapa detik White mematung di posisinya, seolah ia tidak mampu terbang karena sayapnya mulai runtuh berjatuhan. Samar-samar ia mendengar kakek itu tertawa lalu berkata, “Majalah Playboy memang tidak pernah mengecewakan. Apalagi dengan gambar-gambar seperti ini. Perempuan-perempuan seksi dengan kulit putihnya. Sebentar... apa bahasa Inggrisnya putih? Hmmm.... aha! White! Iya, iya, saya ingat! White, white dan white.”


Semua ucapan itu terekam di otak White. Sejak saat itu ia menamai dirinya White. 


Dengan rasa bangga dan puas, White kembali ke rumahnya dan mendapati Putih tengah bersantai di ujung bungkus permen. White menceritakan semua hal yang terjadi hari ini. 


“Majalah Playboy? Apa itu?” tanya Putih heran karena ia tidak pernah mendengar nama itu.


“Sudahlah! Kamu tidak perlu tahu! Bahaya! Intinya, mulai sekarang kamu harus memanggil saya White.”


“Kenapa harus White?”


“Ya... karena terdengar keren saja.”


“Oh ya, kamu sendiri kan belum ada nama.”


“Sudah.”


“Apa?”


“Putih.”


“Itu kan bahasa Indonesia dari White!”


“Lalu?”


“Terserah! Kenapa kamu memilih nama itu? Agar terlihat keren juga?”


Putih menggelengkan kepala. “Tidak. Hari ini, saya lihat gerombolan lalat di sebuah restoran padang. Sudah satu tahun saya hidup, saya baru sadar kalo semua warna kulit kita sama, sama-sama hitam. Lalu aku teringat warna yang tidak akan menyatu dengan hitam, yaitu warna putih.”


“Kamu tidak ingin menyatu bersama lalat yang lain?”

“Bila Tuhan bertanya pada saya apakah saya ingin bahagia dilahirkan menjadi lalat, maka saya akan menjawab tidak. Terlahir sebagai lalat itu musibah, bukan berkah.”


“Kenapa?”


“Nanti kamu sendiri akan tahu.”


Dan begitulah tali persahabatan mereka terjalin. White mengikuti ke mana pun Putih terbang. Bagi White, Putih adalah kompasnya untuk terbang, meskipun perbedaan di antara mereka adalah Putih terbang karena tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan dalam hidup ini. Beberapa kali ia sudah menjemput kematiannya sendiri dengan masuk ke dalam kulkas beberapa hari, melewati kobaran api, tiduran di jalan, bahkan berkemah di kuburan. Semua itu ia lakukan agar Tuhan sadar bahwa ia benar-benar sudah rindu akan kematian. Sedangkan White tidak. Ia ingin hidup lebih lama, abadi kalo perlu. Karena baginya, terbang bukan sekedar mencari angin, tapi juga mencari pengetahuan baru.


“Laper, nih,” ucap Putih.


“Loh? Tadi kamu nggak ke warteg dekat atm BNI?” White bertanya balik.


“Tidak. Sudah terlalu banyak yang datang. Lalat-lalat itu tidak kenal sopan santun. Seharusnya mereka berbaris rapih,” hardik Putih.


“Sudahlah. Tidak usah dipusingkan. Bagaimana kalo kamu ikut aku?”


“Ke mana?”


“Ikut saja.”


“Ada makanan?”


“Ada.”


“Bukan sarden, kan?”


“Bukan.”


“Lalu?”


“Udah. Ikut aja. Kamu mau makan, kan?”


Putih mengangguk lalu mengikuti ke mana White terbang. Setelah hampir sepuluh menit mereka terbang, tibalah mereka di sebuah deretan kontrakan kecil yang dilengkapi dengan halaman kecil berisikan pot-pot bunga dan satu bangku kayu. Putih hendak bertanya perihal makanan yang White bilang, tapi pertanyaan itu tidak jadi keluar dari mulutnya ketika White memperlihatkan potongan daging kotak-kotak yang dibumbui sambal yang tersaji di sebuah piring kecil. Tak lupa di sampingnya ada segelas es jeruk. 


“Silakan disantap,” ucap White.


“Kamu gila?! Makanan itu sepertinya belum dibuang. Itu artinya kita belum berhak memakannya,” jelas Putih.


“Memangnya lalat diciptakan hanya untuk makan makanan bekas?! Kita itu sama seperti manusia. Bedanya, mereka punya akal, sedangkan kita tidak. Selain itu, kita juga berhak menerima makanan sehat.”


“Ya..iya sih. Tapi, jika kita memakan daging itu, itu artinya kita mencuri dan mencuri itu haram. Ya... setidaknya itu yang saya dengar dari khotbah sholat Jum’at minggu lalu.”


“Kamu kira membunuh lalat itu tidak haram? Lihat betapa banyak manusia dungu di luar sana yang seenaknya menepuk lalat menggunakan tangan mereka, buku, bahkan raket listrik. Apakah membunuh bagi mereka halal? Tidak! Itu juga haram!”


“Tapi....”


“Sudahlah! Perihal haram dan halal itu urusan lain. Yang penting kita makan.”


Meskipun hati nurani Putih bergejolak, tapi kelaparan telah membungkus otaknya. Selama ini ia tahu bahwa White lebih pintar daripada dirinya. Karena itu, ia percaya pada White, lebih tepatnya, mau tidak mau percaya pada White. Toh, di jaman sekarang kan orang pintar selalu benar. Terlepas dari ilmunya salah atau benar. 


Seperti yang sudah ditebak, adegan selanjutnya adalah adegan di mana White dan Putih berpesta dengan potongan daging itu. Ya... meskipun secuil dari potongan daging itu sudah bisa membuat mereka kenyang. 


Ketika mereka berdua sedang menikmati santapan mereka, telinga mereka menangkap suara langkah kaki yang datang. Dengan perut terisi, White dan Putih mengeluarkan seluruh tenaga mereka untuk terbang dan hinggap di sudut jendela, melihat siapa yang datang. 


Ternyata yang datang adalah seorang perempuan muda berusia dua puluhan. Rambut pendek kemerahan, hidung mancung, mata senja nan tajam, kulit putih, tangan serta kaki yang panjang, dan tinggi badan yang semampai membuat perempuan ini terlihat sempurna. Putih tidak henti-hentinya menatap perempuan itu, menyamakannya dengan aktris perempuan yang ia lihat di televisi. 


Sedangkan White menyamakan perempuan itu dengan model perempuan yang ia tempo dulu; tepatnya yang ada di majalah Playboy. 


Mereka berdua tidak mengeluarkan sepatah kata pun karena pandangan mereka tertuju pada si perempuan yang memasuki kamar mandi dan beberapa menit kemudian guyuran air terdengar. Rupanya perempuan itu tengah mandi. 


Dua puluh menit kemudian pintu kamar mandi kembali terbuka. White dan Putih masih berada di tempat yang sama. Entah kenapa ada satu hal dalam diri mereka yang menahan mereka untuk tidak pergi. Rasa kantuk yang sempat singgah karena kekenyagan mendadak hilang begitus aja saat mereka berdua melihat perempuan itu keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang dibungkus dengan handuk merah muda. 


Leher putih serta bulu-bulu tipis di tangan dan kaki perempuan itu menarik perhatian White dan Putih. Dengan rambut yang masih basah, perempuan itu melangkah ke sebuah kamar. White dan Putih hampir saja tidak masuk jika mereka berdua tidak lebih gesit daripada pintu yang kembali ditutup. 


Betapa terkejutnya White dan Putih ketika mereka melihat sudah ada seorang pria berkumis yang kira-kira berusia tiga puluh atau empat puluh tahunan tengah duduk di tepi ranjang. Pria berkumis itu melemparkan senyum dan tatapan menggoda ke arah si perempuan. Perempuan itu tidak membalasnya. Ia malah mengurusi wajahnya di depan cermin. 


White dan Putih masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Hingga mereka melihat pria berkumis itu bangkit berdiri lalu mendekati si perempuan yang sedang memunggunginya. Mula-mula si pria berkumis itu menghirup aroma tubuh perempuan itu, meninggalkan beberapa kecupan manis di punuknya lalu tangannya mulai memeluk perempuan itu dari belakang, meraba perutnya yang masih tertutupi handuk. Perempuan itu hanya bisa diam meski sesekali mengelak pelan. Merasa tidak menerima penolakan, pria berkumis itu menanggalkan handuk dari tubuh si perempuan sehingga matanya bisa dengan jelas melihat lekukan tubuh perempuan itu tanpa satu benang helai pun di sana. 


White dan Putih dengan jelas melihat bagaimana si pria berkumis itu mencengkram payudara si perempuan dengan tangan kanannya, memeluk perutnya dengan tangan kirinya. Si perempuan mengeluarkan sedikit erangan. Dan sedetik kemudian si pria berkumis itu menggotong si perempuan ke ranjang dan membantingnya di sana. Seperti kilat, pria berkumis itu tiba-tiba sudah melepaskan pakaiannya, menampakkan sesuatu di bawah perutnya. 


Kemudian decitan ranjang memasuki telinga White dan Putih, bercampur dengan desahan panjang dari dua manusia itu. Bagi Putih, ini adalah hal yang pertama baginya. Makanya ia bertanya pada White, “Apa yang sedang mereka lakukan?” 


“Kamu tidak tahu mereka sedang apa?!”


“Tidak,”


“Dasar goblok! Sudah berapa lama kamu jadi lalat?”


“Umm.... tiga tahun.”


“Kamu sudah tiga tahun jadi lalat dan tidak pernah melihat pemandangan seperti itu?! Dasar lalat kampung! Seharusnya kamu terbang lebih jauh!”


“Sial! Kamu saja menjadi lalat baru dua tahun!”


“Muda tidak meniscayakan minimnya pengalaman. Meskipun saya lebih muda, saya lebih berani daripada kamu!”


“Memangnya kamu tahu apa yang mereka sedang lakukan?”


“Tahu!”


“Apa?”


“Mereka sedang membuat anak.”


“Membuat anak?!”


White mengangguk percaya diri, merasa dirinya adalah lalat paling pintar di dunia. “Tunggulah sekitar lima menit atau sepuluh menit, puluhan keringat akan terlihat di tubuh mereka berdua. Sekarang, nikmati saja bagaimana mereka menyerang satu sama lain.”


Seperti ucapan White, tujuh menit kemudian bau keringat tercium. Dua manusia itu pun sudah tergeletak kelelahan di atas ranjang. Putih hanya bisa melihat adegan demi adegan tadi tanpa mengerti apa yang ia rasakan. 


Sepuluh menit kemudian pria berkumis itu bangkit dan kembali mengenakan pakaiannya dan mencium kening si perempuan sebelum ia meletakkan beberapa lembar uang di atas meja kecil dekat alat-alat make-up. Dengan senyum puas, pria berkumis itu pergi meninggalkan rumah ini. 


Sedangkan si perempuan hanya tergeletak di atas ranjang sebelum Putih mendengar isakan tangis yang ditahan. Putih menyenggol ekor White dan bertanya kenapa si perempuan itu malah menangis, bukankah seharusnya ia senang karena telah membuat anak. 


White yang diberi pertanyaan itu mendadak bingung karena ini pertama kalinya ia mendengar pertanyaan itu. Agar tidak terlihat bodoh di mata Putih, White menjawab, “Mungkin itu tangisan bahagia. Terkadang air mata juga bisa menggambarkan kebahagiaan.”


Putih memanggut menerima jawaban White sebelum ia kembali memperhatikan perempuan itu yang kini telah bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Kembali guyuran air terdengar. Beberapa menit kemudian perempuan itu keluar dan menuju kamarnya, mengenakan celana panjang dan kaos putih sebelum ia memakai satu pakaian yang kerap Putih lihat di masjid atau mushola. 


“Kenapa perempuan itu memakai mukena?” kini giliran White yang bertanya.


“Pakaian itu disebut mukena?”


White mengangguk sebelum menjawab sendiri pertanyaannya, “Ohhh itu artinya dia muslimah. Lagipula, memang sepatutnya meminta pada Tuhan agar diberi anak yang sehat walafiat. Sepertinya dia hendak sholat.”


Lagi-lagi White benar. Perempuan itu mengangkat kedua telapak tangan, menyejarkannya dengan telinga sebelum menyebut tuhannya. Maka perempuan itu melakukan ibadah umat Islam. Setelah selesai, perempuan itu tidak langsung berdiri, tapi menangkupkan kedua tangannya seraya hendak berdoa. 


White dan Putih memerhatikannya dengan serius, memasang telinga mereka dengan kencang.


“Ya Tuhan, hamba meminta ampun atas dosa yang hamba lakukan. Sejatinya hamba adalah mahluk paling kotor dan hina di muka bumi ini. Engkau ciptakan hamba sebagai mahluk yang suci, namun hamba biarkan diri hamba kotor. Hamba tahu ada Engkau kecewa pada hamba, tapi hamba pun tahu bahwa Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui apa yang hamba tidak ketahui, Maha Merasakan apa yang hamba rasakan. Maka dari itu, hamba meminta ampun sebesar-besarnya. Ini semua hamba lakukan terpaksa. Hamba hanya tidak tahu lagi harus ke mana. Hamba tahu Engkau membenci orang-orang yang putus asa. Maafkan hambaMu yang tidak tahu malu ini.”


White dan Putih mengernyit mendengar itu semua. Seolah ada penyesalan dalam dari si perempuan. Penyesalan yang membuat White dan Putih terheran-heran. 


Sejak hari itu, rumah perempuan ini menjadi tempat yang tidak pernah White dan Putih lewati. Mereka berdua akan berada di rumah ini dari sore sampai malam hari. Sudah hampir dua minggu mereka melakukan itu dan sebuah pertanyaan muncul di kepala Putih.


“Kenapa perempuan itu membuat anak dengan pria berbeda-beda?” Putih bertanya pada White.


Lama White menjawab sebelum pikirannya memberinya satu kesimpulan. Dengan yakin ia menjawab, “Perempuan ini seorang pelacur.”


“Apa itu pelacur?”


“Perempuan yang melakukan hubungan badan dengan imbalan uang dan lainnya. Tapi...”


“Tapi kenapa?”


“Apa kamu yakin perempuan ini benar-benar menjual tubuhnya, Putih?”


“Entahlah, saya merasa ada yang aneh dengan sikapnya. Kenapa setiap kali selesai melakukan hubungan badan, perempuan itu akan beribadah, memanggil nama Tuhan dengan deciran air mata? Saya merasakan kontradiksi antara apa yang ia perbuat dan apa yang ia rasakan.”


“Memangnya apa yang ia rasakan?”


“Kehinaan dan keterasingan. Ia merasa dirinya tidak lagi pantas disebut manusia.”


“Maksud kamu?”


“Dalam lubuk hati paling dalam, si perempuan ingin kembali pada jalan yang benar. Ia tidak ingin mendapatkan uang dengan cara seperti ini. Ia ingin Tuhan menyelamatkannya.”


White mengangguk-ngagguk sebelum ie menepuk wajah Putih dengan sayapnya dan berkata semangat, “Kamu mau membantu si perempuan itu?”


“Memang bisa?”


“Selalu ada jalan untuk yang punya niat dan tekad.”


“Baik. Apa caranya?”


White membisikkan sesuatu ke telinga Putih. 


Maka begitulah selanjutnya. Setiap kali perempuan itu berhubungan badan dengan pelanggannya, White dan Putih akan terbang di sekitar telinga si pelanggan, mengganggunya dengan suara dengungan yang tidak nyaman. Beberapa kali White dan Putih hampir meregang nyawa karena si pelanggan memilih untuk mencabut ‘burung’nya dari ‘sarang’ lalu berusaha membunuh White dan Putih. Usaha White dan Putih tidak sia-sia. Para pelanggan tidak mencapai kenikmatan karena merasa terganggu oleh White dan Putih. Mereka berdua berhasil menghancurkan suasana dan pada akhirnya para pelanggan itu akan keluar dengan raut wajah kesal. 


Tidak butuh waktu lama untuk tersebarnya berita bahwa rumah perempuan itu kotor karena ada dua lalat yang tidak henti-hentinya angkat kaki. Hari demi hari perempuan itu tidak juga mendapatkan pelanggan. Puncaknya adalah ketika perempuan itu merasa bahwa dua lalat ini adalah petunjuk dari Tuhan agar ia kembali ke jalan-Nya. Dan benar saja, sudah lebih dari dua bulan tidak melayani pelanggan - karena memang tidak ada pelanggan yang datang -, perempuan itu mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah restoran di Pusat Grosic Cililitan.


Di atas sebuah atap warung padang, Putih tersenyum bahagia setiap kali ia melihat bagaimana raut wajah si perempuan setiap kali ia keluar dari rumahnya. Raut wajah yang melukiskan kebahagiaan dan kehidupan. 


“White, terima kasih,” ucap Putih tersenyum haru.


“Untuk?”


“Karena telah mengajarkan kebaikan. Untuk pertama kalinya saya bangga menjadi lalat. Dan untuk pertama kalinya saya juga ingin hidup lebih lama lagi. Karena saya yakin akan ada banyak kebaikan yang bisa saya berikan.”


“Putih, Tuhan akan memberkahi setiap mahluk-Nya yang melakukan kebaikan. Terlepas apakah mahluk-Nya adalah seekor lalat atau bukan.”


Putih mengangguk paham. Dan sedetik kemudian White angkat kaki dari tempat itu.


“Kamu mau ke mana?” Putih bertanya.


“Cari makan. Kamu mau ikut?”


“Nyuri lagi?”


“Hahaha, tidak! Kali ini saya mau cari makanan yang halal.”


“Di mana?”


“Di tong sampah.”


Komentar

Postingan Populer