PSH-Part Twelve-2021




Source photo: pinterest.com


Dua Belas

Terlepas


Keindahan Jalan Malioboro tidak pernah surut ditelan waktu. Hiruk-pikuk keramaiannya menenangkan setiap jiwa. Ditemani cahaya bulan, ratusan bintang bergantungan di langit, menciptakan lukisan paling indah. Tuhan selalu punya cara untuk memperlihatkan kuasa-Nya. Karena keindahan adalah diri-Nya dan Ia adalah keindahan. 

Saya dan Hendra melangkah menuju sebuah warung sate ayam. Di sana sudah ada Mas Bima, Nadhifa dan seseorang lagi yang tidak saya kenal. Saya dan Hendra menyapa mereka. 

“Jadi kamu yang namanya Laut?” Pria yang saya tidak kenal itu bertanya. 

Saya mengangguk. 

“Saya Kara, Ibrahim Kara, kamu bisa panggil saya Kara atau Ibra. Asal jangan Ibrahimovic aja. Hahaha.”

Dari perawakannya, sepertinya Kara berusia satu tahun atau dua tahun di atas saya. Dengan kulit sawo mateng, rambutnya yang cukup panjang sebahu, kumis dan bhewok tipis, serta kacama kotaknya, membuatnya terlihat keren. Dari jabatan tangan tadi pun, saya bisa merasakan bahwa ia adalah pria yang percaya diri.

“Iya, Mas.”

“Memangnya ketahuan ya kalo saya setua itu sampai dipanggil ‘mas’? Tapi, nggak apa-apa. Memang kenyataannya saya lebih tua dari kamu dan Nadhifa.”

“Laut,” Mas Bima bersuara, “Mas Kara ini ketua dewan redaksi di kantor kita. Itu loh, yang waktu itu saya ceritakan.”

Pikiran saya membawa saya kembali beberapa minggu lalu, saat Mas Bima mengatakan bahwa pimpinan kantor ini sedang pulang kampung. Ternyata Mas Kara orangnya. 

“Jadi gimana, Laut? Masih kuat berhadapan dengan perempuan di sebelah saya ini?” Mas Kara bertanya sembari menyenggol bahu Nadhifa yang sedari tadi sibuk memainkan ponsel. 

Saya hanya bisa menyengir. Mas Kara yang melihat Nadhifa tenggelam dalam percakapan ponselnya, tiba-tiba meletakkan tangannya di atas kepala Nadhifa dan mengarahkannya ke wajahnya lalu berkata, “Nadh, Mas sudah sering bilang ke kamu, kalo—-“

“Kalo lagi ngumpul, jangan main ponsel,” sambung Nadhifa, “ya tapi ini penting, Mas.”

“Mas yakin Radi juga butuh istirahat, Nad. Sudah-sudah,” balas Mas Kara.

Ternyata Nadhifa sedang saling berkabar dengan Radi. Sial! Kenapa ada sesuatu yang memantik api dalam dada saya? 

“Laut, saya sudah baca naskah kumpulan cerpen kamu. Saya sangat suka dan penerbit siap menerbitkannya dengan beberapa catatan. Saya sudah kasih tahu beberapa catatan itu ke Nadhifa, nanti dia yang bakal jelasin. Tapi sekarang, karena ini pertama kalinya saya ketemu kamu, saya ingin kita lebih mengenal dulu. Jadi, malam ini kalian saya traktir.”

“Seriusan, Mas?!” Mas Bima bertanya kegirangan.

“Iya, Mas Bim. Sekalian nanti Mas Bima bungkus buat Mba Adel.” 

“Walah! Rejeki lagi ini Gusti!”

Mas Kara pun menanyakan pesanan saya, Hendra dan Mas Bima. Selain sate ayam tentunya. Setelah bertanya, Mas Kara bangkit dan pergi menuju penjual. Saya menoleh ke arah Nadhifa yang tengah mengetuk-ngetukkan jarinya ke ponsel dan bertanya, “Kamu nggak pesen, Nad?”

“Tenang aja, Mas Kara sudah ngerti ko maunya saya,” jawab Nadhifa sambil tersenyum.

Memangnya sedekat apa Mas Kara dan Nadhifa? Tanya saya dalam hati.

Makan malam ini berlangsung seru lantaran Mas Bima menceritakan bagaimana mula awal ia bisa bekerja di penerbit satu media. Pun Mas Kara yang ikut bercerita susahnya membangun kerja sama dalam kantor. Terlebih lagi memiliki editor yang super kritis. Bukannya marah, Nadhifa malah terlihat bahagia ketika Mas Kara memutar waktu. 

“Sudah jam sepuluh, saya harus pulang, nih,” seru Mas Bima.

“Ya sudah, yuk pulang,” balas Mas Kara sebelum berkata, “Nad, kamu pulang bareng saya, ya.”

“Saya bisa pulang sendiri, Mas,” balas Nadhifa.

“Kali ini saya yang antar kamu pulang. Saya kangen banget sama kamu.”

“Tapi, Mas, saya—-“

“Sssttttt, nggak usah banyak alasan. Ya sudah, Mas Bim, Laut, Hendra, saya pulang duluan, ya,” seru Mas Kara sembari pergi. Tidak hanya di situ, ia juga menggandeng tangan Nadhifa dengan erat. 

Hendra dan Mas Bima menyahut. Sedangkan saya hanya bisa memandang itu semua dengan ketidaktahuan. Hendra menepuk pundak saya, menarik saya dari lautan lamunan, “Ayo cabut.”

Setibanya di kostan baru saya yang terdiri dari satu ruangan tempat saya tidur, menulis, dan melakukan lainnya dan satu kamar mandi kecil, Hendra berkata, “Lo yakin mau tinggal di tempat kaya gini, nyet?”

“Yakin.”

“Ya terserah lo deh. Meskipun udah bersahabat lama sama lo, kadang gue nggak ngerti aja sama pola pikir lo.”

“Gue kan tinggal sendiri, Hend. Kostan dengan ukuran gini mah cukup.”

“Kalo itu gue ngerti. Yang nggak gue ngerti adalah hubungan lo sama Nadhifa.”

“Maksud lo?” 

Hendra keluar dari kostan, duduk di teras rumah. Sambil merokok ia berkata, “Gue itu paham lo luar dalem. Termasuk perasaan lo. Lo mau tahu sesuatu?”

Saya bersandar di bingkai pintu, menyimak. “Apa?”

“Lo ada perasaan lebih sama Nadhifa.” 

“Halah! Gila lo! Nggak ada, gue cuma—-“

“Lo mau sampai kapan bohongin diri lo sendiri?” potong Hendra, “gue tahu ada Afina di ruang hati lo, tapi lo juga nggak bisa buka pintu itu buat orang lain. Lo memang membiarkan Afina menetap di hati lo, tapi sekarang lo malah ragu sama diri lo sendiri, apakah Afina adalah orang yang pantas menetap atau bukan.”

“Gue cuma perlu yakinin diri gue aja, Hend.”

“Yakinin apa? Yakinin diri lo kalo lo ada rasa sama Nadhifa? Ayolah, nyet, lo dan Afina udah sejauh ini bertahan. Kalo lo ngerasa Afina udah nggak bisa untuk menetap di hati lo, gue mohon sama lo untuk mempersilakan dia pergi. Membohongi seseorang hanya agar ia menetap itu cuma nyiptain luka, Laut.”


Ada rasa setuju yang tebersit dalam kepala saya ketika mendengar ucapan Hendra. Saya tidak bisa terus-terusan membuka pintu ruang hati saya seolah ada harapan bahwa Nadhifa akan masuk, sedangkan saya tahu sedang ada Afina di dalamnya. Saya harus membuat keputusan. 

***

Dari kejauhan saya bisa melihat sosok itu. Dengan wajah bulat yang dibalut dengan kerudung putih, pagi saya disambut oleh senyum manis Nadhifa. Senyum manis yang menumbuhkan kegembiraan dalam hati saya sekaligus kerisauan. Tapi ia tidak sendirian. Di sampingnya sudah ada Mas Kara yang ikut tertawa. 

“Hai, Mas. Hai, Nad...”

“Selamat pagi, Laut,” balas Mas Kara masih dengan tertawa lebar sembari sesekali melihat raut wajah Nadhifa. 

“Mas Kara ada urusan di Fakultas Sastra?”

Mas Kara langsung menggeleng. “Saya cuma mau ketemu beberapa dosen aja. Sekalian tadi jemput Nadhifa dulu.”

Saya menganggukkan kepala. Ternyata mereka berdua memang sedekat itu. 

“Laut, kamu sudah sarapan?” tanya Mas Kara.

“Belum, Mas.”

“Nah! Pas banget, saya dan Nadhifa juga belum sempat sarapan. Gimana kalo kita sarapan bareng? Kamu suka bubur nggak?”

“Suka.”

“Ya sudah, kalo gitu ada tukang bubur yang dijamin enak banget. Ditambah murah. Kalo gitu, mari beran—-“

Tiba-tiba ponsel Mas Kara berbunyi. Ia merogohnya dari kantong dan menjauh beberapa langkah dari saya dan Nadhifa, meminta izin untuk mengangkat panggilan itu. Sekembalinya, Mas Kara memasang wajah layu, ia meminta maaf karena tidak bisa menemani saya dan Nadhifa sarapan pagi ini. Dosen yang hendak ia temui ternyata memintanya pergi ke ruangannya sekarang. 

“Laut, saya titip Nadhifa, ya. Jangan sampai dia nggak sarapan,” seru Mas Kara.

“Kita nunggu kamu aja, Mas,” balas Nadhifa.

“Ndak boleh....,” Mas Kara meletakkan telapak tangannya di atas kepala Nadhifa, “kamu harus makan sekarang. Kamu nggak boleh telat makan. Kalo kamu sakit, saya khawatir,” lanjutnya sebelum mengusap pelan kepala Nadhifa.

“Laut, saya pergi dulu, ya.”

Saya mengangguk lalu melihat Mas Kara melangkah pergi. Saya menoleh ke arah Nadhifa, mendapatinya tengah mengetik sesuatu di ponselnya. 

“Nad, jadi sarapannya?” 

Tanpa menengok ke arah saya, Nadhifa mengangguk lalu berjalan menuju kantin. 

***

Sudah hampir sepuluh menit saya dan Nadhifa duduk di kantin, tapi ia belum juga menyentuh bubur ayam yang berada di depannya. Matanya terlalu fokus pada ponsel. Tersirat raut kecemasan di sana. 

“Nad? Sarapan dulu. Mumpung buburnya masih hangat.”

“Iya. Nanti saya makan.”

Saya menatapnya dengan kebingungan. Namun raut wajah cemas Nadhifa pasti ada hubungannya dengan Radi. “Kamu sedang nunggu kabar dari Radi?”

“Dari tadi malam Radi tidak ada kabar.”

“Mungkin dia sedang ada kerjaan, Nad.”

“Ya tapi nggak biasanya dia nggak ngasih kabar. Padahal kemarin lusa ia sudah janji akan membicarakan hal penting dengan saya.”

“Hei,” saya meletakkan tangan saya di atas tangannya, “nanti saya bantu hubungi dia. Sekarang kamu makan dulu, ya.”

Mendadak Nadhifa terpatung. Ia menatap mata saya sebelum pandangannya turun ke tangan saya. Saya sadar ada kesalahan yang saya lakukan. Akhirnya saya bur-buru menarik tangan itu. “Maaf.”

Nadhifa tidak membalas. Ia langsung mencomot satu sendok dan melahap bubur ayamnya. Tidak ada topik pembicaraan yang menemani saya dan Nadhifa. Kami berdua sama-sama tenggelam dalam keheningan. 

“Laut..., seperti kata Mas Kara, kumpulan cerpen kamu akan terbit dengan beberapa catatan. Sebenarnya beberapa catatan itu tidak terlalu rumit. Hanya berhubungan dengan beberapa karakter di beberapa cerita. Jika tidak ada halangan, buku kamu bisa terbit bulan depan.”

“Terima kasih, Nad.”

“Laut, saya ada kelas lima menit lagi, saya duluan, ya. Buburnya nanti saya yang bayar.”

“Nggak usah. Saya udah bayar, ko, Nad.”

“Makasih.” Nadhifa pun pergi membawa tasnya. Pandangan saya melekat pada kepergian Nadhifa. Ingin rasanya untuk mengejarnya, menanyakan sesuatu yang sudah mengganggu tidur saya dua hari belakangan ini. Tapi, kepergian Nadhifa barusan seolah bukan hanya secara fisik, tapi juga hati. Ia seolah membawa semua kemungkinan yang terjadi di antara kami berdua. 

Ingatan saya kembali ke momen-momen yang saya dan Nadhifa ciptakan. Membiarkannya menangis di dada saya, membiarkannya memeluk saya, bahkan momen di mana saya membuatnya marah dan kesal. Anehnya, semua momen itu seolah tergores dalam tubuh saya, meninggalkan jejak yang tidak bisa hilang. 

Setelah meneguk segelas air putih, saya bangkit dan hendak pergi ke perpustakaan. Tapi, ketika saya membalikkan badan, seseorang sudah berdiri di dekat saya sembari tersenyum. Tangannya memegang sebuah kantong plastik berisikan beberapa buku. 

“Hai,” sapanya lembut.

“Afina?”

***

“Kamu sejak kapan tiba di Jogja?”  Saya bertanya sembari menggandeng tangannya. Kami berdua sedang menikmati riuh jalanan Tugu Jogja. Meskipun ada satu pertanyaan lagi yang menggantung di kepala saya; apakah tadi Afina melihat saya memegang tangan Nadhifa?

“Aku baru sampai tadi pagi. Aku dapat kabar dari Bapak katanya Hendra ke Jogja, makanya aku nyusul. Ish! Tuh anak ke Jogja nggak bilang-bilang. Akhirnya aku telfon Hendra dan nanyain keberadaan kamu. Katanya kamu ada di kampus. Ya udah, aku langsung aja ke kampus.”

“Jadi kamu belum istirahat?”

Afina menggelengkan kepala. Saya pun langsung mencubit gemas hidungnya dan berkata, “Kalo nanti kamu sakit karena kecapean gimana? Bukannya mau senang-senang, malah meriang.”

“Iya, sorry.... lagian kalo orang udah kangen gimana?” tanya Nadhifa dengan pandangan manja.

Mulut saya terkunci. Saya tidak tahu harus balas apa. Yang bisa saya lakukan hanya menarik tubuhnya ke dalam pelukan saya. Untuk waktu yang lama, saya membiarkan tubuh ini menyatu dengan tubuh Afina. 

“Laut,” panggilnya masih dengan wajah yang bersandar di dada saya.

“Mmm...”

“Kamu belum mandi, ya?” 

Mendadak saya melepaskan pelukan saya lalu mengendus setiap sudut baju saya sendiri. 

“Emangnya bau banget, ya? Ko kamu bisa tahu sih? Sabun mandi aku habis. Aku lupa beli...,” ucapan saya merocos begitu saja.

Tawa Afina meletup. Ia tidak bisa menahan tawanya melihat air muka saya. “Nggak apa-apa, ko. Kamu masih ganteng,” balas Afina.

Saya mengangguk kecil. “Kalo itu sih udah jelas,” tanggap saya tersenyum lebar. 

Karena Afina belum sarapan, saya menemaninya untuk sarapan di Warung Pecel Pincuk Gumilang yang terletak di daerah Sleman. Selain murah, pecel ini memang menggugah selera. 

“Pelan-pelan makannya,” kata saya sembari mengelap bumbu pecel dari sudut bibirnya. Pagi itu saya tahu Afina terlihat lelah sekali. Raut wajahnya tentu tidak bisa berbohong. Saya tidak mengerti kenapa Afina bisa sejauh ini melangkah, menyusul saya ke Jogja. Seolah rasa rindunya memang tidak bisa lagi ditampung. 

Saya tidak menyalahkan tindakannya. Saya hanya bertanya pada diri saya sendiri apakah saya pantas diperlakukan seperti ini? Bagaimana mungkin keraguan saya malah bertambah dengan kedatangan Afina? 

“Gimana kuliah kamu?” tanya saya membuka topik pembicaraan.

Afina mulai menceritakan betapa berat menjalani hidup sebagai mahasiswi kedokteran. “Kadang aku kepikiran mau berhenti aja.”

“Loh? Ko gitu? Kamu udah hebat loh bisa ngelangkah sejauh ini.”

“Aku cuma cape aja ngejalanin hidup yang dipilih oleh orang lain. Rasanya hidup aku udah disetir sama Papah dan Mamah. Semuanya harus maunya mereka. Dengan alasan demi kebaikan aku, mereka nggak pernah ngerti maunya aku apa. Aku udah berusaha buat jatuh cinta sama apa yang aku jalanin sekarang, tapi semakin hari aku jalanin, aku semakin sakit.”

Saya menarik pelan tangannya, mengenggamnya erat dan menciumnya. “Jalanin apa yang menurut kamu baik, Fin. Jangan bahagiain orang lain kalo diri kamu sendiri belum bahagia. Orang lain nggak akan tahu apa yang kamu rasain karena yang tahu seutuhnya ya cuma kamu.”

Mata Afina berbinar mendengar ucapan saya. “Aku mau pindah ke Jogja aja, biar bisa bareng kamu terus....”

Napas saya mendadak tertahan. Afina benar-benar sudah melangkah jauh untuk hubungan ini. Saya tahu perkataan barusan tidak main-main. 

“Ko kamu kaget gitu? Kamu nggak mau aku pindah ke Jogja?”

Saya mencoba menenangkan pikiran dan badan saya. “Nggak, Fin. Bukan gitu. Untuk saat ini aku nggak bisa komentar apa-apa karena aku nggak mau komentar aku malah menjerumuskan kamu. Apa pun keputusan kamu, aku bakal dukung. Tapi, aku mau kamu pikir mateng-mateng sama keputusan kamu.”

“Iya,” Afina tersenyum simpul.

Setelah sarapan, Afina meminta saya untuk menemaninya berjalan-jalan. Saya membiarkan Burok membawa saya dan Afina pergi mengitari Jogja hingga ia berhenti di Alun-alun Kidul. Terletak dekat komplek kraton, Alun-alun Kidul menjadi salah satu tempat wajib para pengunjung. 

Alun-alun Kidul yang merupakan sebuah tanah lapang memang memberikan misteri lewat pohon beringin kembar yang tumbuh di sana. Untuk menjawab misteri itu, para pengunjung biasanya akan melewati dua pohon beringin kembar itu yang disebut sebagai Masangin. 

“Laut, kata orang, siapa yang bisa melewati pohon beringin kembar itu sambil menutup mata, maka permohonannya akan dikabulkan. Aku mau coba,” seru Afina.

Meskipun Masangin terkenal di Jogja, namun beberapa pendahulu sudah menafikan kemistisan pohon beringin kembar ini. 

“Boleh,” jawab saya. Saya pun menutup mata Afina dengan sehelai kain hitam. Kemudian Afina mulai berjalan mengikuti instingnya sendiri. Saya mengikutinya dari belakang, khawatir ia tersandung. 

Siapa sangka, Afina bisa melewati pohon beringin kembar itu dengan sempurna. Saya tersenyum melihat bagaimana keceriaannya saat itu. Ia seolah bisa mengurai kebahagiaan yang ada di dirinya. Tiba-tiba ia berlari ke arah saya dan memeluk saya. 

“Aku nggak nyangka bisa ngelewatin pohon itu. Semoga permohonan aku dikabulin,” seru Afina.

“Memangnya kamu mohon apa?”

“Aku mohon agar bisa bareng-bareng terus sama kamu, lewatin semuanya sama kamu, aku mohon semoga kamu selalu bahagia sama aku. Dan yang terpenting, aku mohon supaya aku bisa menetap di ruang hati kamu selamanya.”

Saya terdiam mendengar ucapannya barusan. Kenapa permohonan Afina seperti itu? Seolah ia merasakan bahwa ruang hati ini sedang digoncang keraguan. Satu kata yang bisa terucap dari mulut saya hanya ‘amin’. Entah kata itu terdengar di telinga Afina sebagai sebuah balasan ketulusan atau formalitas perasaan. Saya menelan ludah. Kenapa setelah mendengar permohonan Afina barusan, saya malah semakin bingung dengan perasaan saya sendiri. 

Setelah mengantar Afina keliling alun-alun, saya mengantarnya ke hotel tempat ia menginap. 

“Kamu nggak mau masuk dulu?” tanya Afina.

“Lain kali, ya. Kamu kan masih lama di Jogja. Lagipula, aku nggak mau ganggu waktu istirahat kamu.”

“Tapi nanti malam kamu jadi kan jemput aku?”

Saya melemparkan senyum tipis dan mengangguk. Sebelum akhirnya mendaratkan kecupan hangat di kening Afina dan angkat kaki. Bahkan saat kecupan hangat itu seharusnya bisa meredam kebingungan, saya masih dilanda keresahan. 

Kehadiran Afina di Jogja semakin membuat saya takut untuk melangkah. Saya membaringkan tubuh di atas kasur. Saya menyadari detak jantung yang terpompa lebih cepat, kepala yang terasa penat dan hati yang semakin sekat. 

Beberapa kali saya sudah mencoba menulis cerpen, mencoba mengalihkan semua pikiran saya lewat tulisan. Tapi beribu-ribu kali saya mencoba, hasilnya tetap gagal. Saya tidak bisa menulis apa-apa. Saya sudah pernah merasakan hal ini sebelumnya, tapi ini berbeda. 

Mata saya terpejam untuk beberapa detik, membiarkan diri saya tenggelam dalam lautan pikiran saya sendiri. Kini saya seolah sedang berjalan menuju tujuan, lalu kelelahan dan memilih untuk beristirahat di pertengahan jalan, tapi saya keliru, karena saya mulai merasa nyaman di tempat istirahat itu. Semakin lama saya merasa nyaman di sana, semakin saya ragu apakah tujuan saya memang pantas disebut sebagai tujuan? 

Seolah ada ilham yang dikirim malaikat untuk saya, saya mulai menyadari bahwa saya telah jatuh cinta pada Nadhifa. 

***

Semua orang merasa bahagia atas pilihannya masing-masing, hingga akhirnya mereka terbangun dari kefanaan, lalu sadar bahwa bukan itu yang mereka cari. Orang-orang itu hanya tidak mau tersakiti dan memilih untuk membungkus luka dengan tawa, menutup keraguan dengan ketidakpedulian, menjalani keterpaksaan dengan keikhlasan. 

Jam alarm saya berbunyi tepat ketika matahari mulai tergelincir. Ternyata tidur tidak selalu menenangkan. Buktinya saat ini kepala saya malah terasa sakit. Saya bangkit berdiri lalu masuk kamar mandi untuk membasuh diri. 

Lima belas menit kemudian saya keluar dan mendapati sebuah panggilan dari Hendra. “Iya, Hend.”

“Cepet buka pintunya.”

“Hah?”

“Hah, hoh, hah, hoh. Gue udah di depan kosan lo daritadi. Cepetan buka.”

Saya pun berjalan menuju pintu kosan dan mendapati muka Hendra di dekat jendela. Saya membukakan pintu dan ia melongos masuk begitu saja. 

“Ucapin salam dulu, nyet. Lo kaya setan aja,” ucap saya.

“Ya masa gue ngucapin salam ke setan.”

“Sialan lo!”

Tanpa dosa, Hendra mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya, menegaknya sebelum berkata, “Gue bawa titipan makanan dari Kakek dan Nenek. Mereka titip salam buat lo.”

“Jadi mereka titip salam atau titip makanan?”

“Dua-duanya, setan.”

“Ya udah, mana makanannya?”

“Tuh,” Hendra menunjuk ke arah sebuah kotak berwarna merah. Ternyata ada beberapa lapis kue bolu coklat di dalamnya yang ditaburi keju. Saya pun menyantapnya. Namun, tatapan Hendra yang intens menahan saya untuk melanjutkan makan.

“Kalo ada yang lo mau tanya, tanya aja. Nggak usah ngelihatin gue gitu, nafsu makan gue hilang.”

“Lo udah ketemu Afina?”

“Udah.”

“Lo udah ngobrol sama dia?”

“Udah.”

“Berarti lo udah tahu kalo dia udah dilamar sama sepupunya?”

Saya terdiam.

Afina dilamar sepupunya? Sebentar... sepupunya itu....Naka?! Saya belum mendengar hal itu dari Afina, bahkan saya tidak memahami hal itu dari percakapannya kemarin. 

“Nyet,” Hendra mendekati saya, “jangan bilang kalo dia belum ngasih tahu ini ke lo?!”

Sepertinya diam saya sudah cukup menjadi jawaban. Rasanya aneh. Seolah ada angin mendobrak pintu ruang hati saya, mengobrak-abrik isinya, memberi jalan pada penghuninya untuk keluar. Saya seolah buku yang dirobek, diinjak dan dibuang.

Jarum pendek itu terus berputar hingga mendekati waktu yang telah saya dan Afina sepakati. Saya menatap ponsel, menghitung sudah berapa kali layar ponsel itu menampilkan nama Afina. 

“Mending lo pergi sekarang, Laut. Lo nggak kasihan sama Afina? Dia pasti udah nungguin lo,” ujar Hendra. 

Saya diam. Sekarang terlalu banyak hal yang bertabrakan di kepala saya.  Saya mencoba menenangkan diri. Saya tidak bisa bohong bahwa ada kekecewaan karena Afina tidak memberitahu soal lamaran itu. Hebatnya lagi saya malah tahu dari orang lain. Tapi, saya juga tidak bisa egois seperti ini. Pasti ada alasan di balik lamaran tersebut. 

Membawa segala teka-teki yang berkecamuk di benak, saya bangkit berdiri, mengambil kunci motor dan pergi. 

Afina tengah duduk di teras hotel ketika ia melihat saya telah sampai. Air mukanya yang redup mendadak bercahaya. Saya merogoh ponsel dan melihat jam. Saya telah tiga puluh menit dan Afina masih setia menunggu di sini.  

“Laut?!” Afina berseru kegirangan sampai para karyawan hotel dan pengunjung yang lain menoleh. 

“Hai.”

“Hai, kamu ke mana aja? Aku berkali-kali nelfon kamu. Kamu ada urusan? Kalo kamu ada urusan atau janji lain, kita undur lain kali aja.”

Saya membeku kaku mendengar kekhawatiran Afina. “Nggak ada, ko. Yuk, pergi,” ucap saya sembari menggandeng tangan Afina. 

Deretan lampu malam yang memperindah dan menghangatkan suasana. Tangan Afina yang memeluk saya dari belakang tidak lepas selama perjalanan. Setelah memarkirkan Burok di tempat parkir, saya dan Afina berjalan di kawasan Titik Nol, sebuah persimpangan di tengah kota Jogja dekat keraton Yogjakarta. Gedung-gedung tua yang tertata rapi menciptakan memorinya sendiri. 

“Laut, kita duduk dulu,” kata Afina setelah melihat bangku kosong. 

Saya mengikutinya. 

Suaranya yang sedaritadi keluar tiba-tiba hilang sejenak. Setelah menghela napas, Afina membuka suara, “Ada yang mau kamu tanyain sama aku?”

“Nggak ada,” balas saya. 

“Nggak mungkin. Sepanjang jalan tadi kamu cuma diam, Laut. Aku tahu pasti ada yang salah.”

Lagi-lagi saya diam seribu bahasa. Saya berusaha mengatur kata-kata yang dapat dipahami oleh Afina sebelum bertanya perihal lamarannya. Lidah saya kelu, tidak tahu harus bicara apa.

“Laut, Hendra ngasih tahu kamu soal lamaran itu?”

Saya menoleh ke arahnya, mendapati matanya yang mulai memerah. Tatapan kami bertemu dan terikat. Ia mengambil tangan saya, mencengkramnya. “Laut, sumpah aku nggak bermaksud bohong sama kamu. Aku cuma belum nemu waktu yang tepat untuk bilang ini semua. Saat itu orangtua aku nanyain hubungan aku sama kamu. Mereka hanya meminta penjelasan dari hubungan kita. Aku nggak tahu harus bilang apa selain aku cinta sama kamu dan begitu sebaliknya. Tapi mereka nggak percaya. Satu minggu kemudian, Naka dan keluarganya udah dateng ke rumah aku. Laut, aku mohon percaya sama aku.”

Air mata Afina mulai meleleh, mengaliri pipinya. 

“Kamu yakin sama hubungan kita, Fin?”

“Aku yakin, Laut. Aku cuma butuh penjelasan yang jelas.”

“Kalo kamu yakin sama hubungan kita, aku minta sama kamu untuk nggak ketemu aku dulu. Aku butuh waktu buat ngerapihin ini semua.”

“Laut, nggak gitu caranya. Aku nggak bermaksud buat kamu kepikiran atau apa. Aku udah jauh-jauh ke sini. Itu bukti aku yakin sama kamu, Laut.”

“Fin, mungkin kamu udah yakin sama aku, tapi akunya belum yakin sama diri aku sendiri.”

“Kamu nggak bisa kaya gini ke aku! Kita bangun hubungan ini sama-sama, jalaninnya pun sama-sama. Aku mau kita pertahanin hubungan ini sama-sama!” seru Afina.

“Maaf, Fin. Aku bener-bener butuh sendiri.” Akhirnya saya meninggalkan Afina sendirian di sana. Di dalam suasana indahnya Jogja, kita berdua adalah dua manusia yang tengah dibalut oleh emosi. Cerita yang saya tulis bersama Afina kini bertemu kebimbangan. Bila Afina melihat adanya kemungkinan untuk melanjutkan hubungan ini, saya malah melihat adanya perpisahan. 

Dalam langkah kaki saya yang sudah menjauh, saya masih bisa mendengar tangis Afina. Sesak rasanya melihat seseorang menangisi kepergian kita. Tapi, terkadang pergi adalah cara untuk menyembuhkan apa yang terjadi. Percayalah, di balik keputusan saya untuk pergi, ingin rasanya memeluk Afina, membuatnya tidak merasa sendirian. 

Sesampai di lapangan parkir, saya mengambil ponsel saya dan mengirim pesan pada seseorang. 

***

Saya memutuskan untuk menghabiskan malam ini dengan mendengarkan lagu-lagu Boundary Run. Beberapa anak kos lain mengajak saya untuk berkumpul di depan kosan yang kebetulan sedang ada nasi goreng. Saya menolak dengan alasan sedang tidak enak badan. 

Tidak lama kemudian Hendra datang dengan mobilnya. Ia melepaskan jaket hitam jeansnya, menggantungnya di paku dekat cermin saya, lalu kembali untuk duduk di samping saya. 

“Nih, ada sate ayam dari Afina. Tadi, pas lo nyuruh gue untuk nemenin dia dan anter dia pulang, dia minta gue untuk nemenin dia dulu beli sate ayam. Katanya buat lo. Khawatir lo nggak makan.”

Saya tidak berkomentar. Saya sudah terlalu lelah memikirkan ini semua. 

Hendra bangkit dan masuk ke dalam kamar sebelum kembali membawa satu piring berisikan nasi. Ia memilih membuka bungkus sate ayam lalu menaruh beberapa tusuk di atas nasinya. “Emang paling enak kalo lagi galau makan,” sindirnya.

Melihat tidak ada reaksi dari saya, Hendra menegak segelas air sebelum berkata, “Wajar kalo Afina minta penjelasan dari hubungan ini, Laut. Perempuan nggak butuh apa-apa selain kejelasan. Mereka juga mahluk hidup, punya perasaan. Mereka nggak bisa jalanin hubungan yang nggak jelas mau dibawa kemana. Meskipun lo dan dia punya status, tapi status itu cuma formalitas. Yang perempuan mau itu totalitas.”

“Tapi hal itu yang gue belum bisa kasih ke Afina, Hend.”

Hendra mengela napas. “Kalo lo belum bisa kasih kepastian ke Afina, setidaknya lo ajak dia untuk cari kepastian sama-sama. Jangan posisikan Afina di belakang atau di depan lo. Posisikan dia di samping lo.”

“Apa yang dia harapin dari gue sih, Hend? Gua nih cuma mahasiswa Sastra yang terlalu lama bermimpi menjadi penulis. Bahkan kalo pun gue jadi penulis, gue yakin Afina nggak akan bisa bahagia sama gue. Dia lebih punya masa depan bareng Naka, Hend.”

“Itu kan keyakinan lo doang. Keyakinan lo kalo Afina nggak bisa bahagia sama lo nggak akan ngubah kenyataan kalo dia bahagia sama lo.”

“Gue butuh waktu, Hend.”

“Damn it! Lo butuh waktu untuk apa? Untuk yakinin kalo lo punya kepastian buat Afina atau yakinin kalo udah ada orang lain di hati lo?!” seru Hendra kesal, “Lo nggak bisa hidup di antara kebimbangan kaya gini, Laut. Kalo lo mau mempersilakan Afina pergi, ya biarkan dia pergi dengan alasan yang jelas. Lo nggak mau dia tersakiti? Tai! Dengan sikap lo yang sekarang aja udah bikin dia sakit.”

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut saya. Seolah bendaraha diksi saya telah bertaburan tidak berarti. 

“Laut, jujur sama gue, apa ini ada hubungannya dengan Nadhifa?” tanya Hendra dengan lantang. 

Lagi, saya tidak bisa menjawab. Dalam benak saya, saya berusaha keras merangkai berbagai dalil yang bisa saya berikan. Namun, semua itu sia-sia. Semua itu seolah air yang berusaha saya genggam. 

Hendra menghela napas, menunduk. “Sorry, nyet. Gue nggak bermaksud campur urusan lo. Tapi, lo kan tau, gue ini sahabat lo. Gue mau lo berani buat jujur sama hidup lo. Termasuk perasaan lo. Masalah dalam hidup ini memang kaya tai, dan udah tugas kita buat bersihinnya. Sebentar... kayanya analogi gue nggak masuk deh, ah tapi bodo amat, intinya gue mau lo susun semua yang udah berantakan, termasuk hubungan lo sama Bapak.”

Hendra pun menepuk pundak gue dan pamit pergi. Saya termenung di teras rumah. Saya mengerti apa yang dimaksud Hendra. Hanya saja, saya tidak tahu harus memulai dari mana. Bagi saya, semua ini membingungkan.

***

Seharusnya perpustakaan bisa menjadi tempat ternyaman saya, menenangkan saya dari segala ombak riuh kehidupan, membiarkan saya terbang bersama ribuan kata dan harum aroma buku. Tapi kali ini berbeda, semuanya terasa hambar tanpa rasa. 

“Laut,” panggil seseorang dengan pelan.

Saya menengok dan melihat Mas Bima menyengir. 

“Saya ada kabar baik buat ka—-“

Belum selesai ucapan Mas Bima, saya meninggalkannya begitu saja. Saya tidak ingin berbicara dengan siapa-siapa saat ini. Dan di sini lah saya sekarang, duduk di pinggir lapangan kosong yang hanya dinaungi oleh sebuah pohon. Perasaan bersalah pada Afina belum juga hilang. 

Sudah ada dua kelas yang saya lewati hari ini. Entahlah, saya benar-benar penat. Ingin rasanya pergi ke Laut Merah dan menenggelamkan diri di sana, membiarkan tubuh ini jadi santapan ikan-ikan. Atau, pergi ke bulan hingga nafas hilang secara perlahan.

Mungkin kasur bisa menjadi tempat paling tepat ketika hati dan kepala sedang berdebat. Ketika sedang memasukkan headset ke dalam tas, seseorang sudah berdiri di samping saya. 

“Selamat pagi penulis yang hilang.”

Saya melihat Nadhifa melontarkan senyuman tipis. Karena saya tidak ingin tenggelam dalam basa-basi, saya berjalan pergi. Nadhifa mengikuti saya dari belakang sebelum saya menghentikan langkah dan membalikkan badan.

“Nad, maaf, tapi saya lagi pengen sendiri dulu.”

Nadhifa mengangguk. 

Saya pun kembali melangkah sebelum untuk kedua kalinya langkah saya terhenti karena menyadari Nadhifa masih mengikuti.

“Nad, mau kamu apa sih?! Omongan saya kurang jelas? Saya lagi nggak mau diganggu!”

Nadhifa terlihat kaget dengan bentakan saya barusan. Saya mendekati Nadhifa dan berkata, “Maaf, Nad. Saya nggak bermaksud bentak kamu.”

“Iya, saya tahu. Saya cuma denger kabar dari Mas Bima katanya akhir-akhir ini kamu jadi sering bengong. Terus, sudah beberapa kali juga kamu tidak hadir kelas. Kamu ada sedang ada masalah?”

Untuk saat ini, saya tidak bisa menceritakan masalah saya pada Nadhifa. Saya harus menunggu waktu yang tepat.  Saya menggeleng-gelengkan kepala, “Nggak ada. Saya baik-baik saja.”

Satu detik kemudian semuanya semakin berantakan. Nadhifa meletakkan tangannya di atas rambut saya dan mulai mengusapnya. “Nggak ada yang baik-baik saja ketika seseorang memilih untuk hilang.” 

Nadhifa menarik tangan saya, mengajak saya untuk duduk di sebuah kursi. Lama kami berdua diam. “Saya tadi ke kosan kamu, saya kira kamu ada di sana. Tapi, saya malah ketemu teman kamu yang waktu itu, namanya.... Hendra. Yap! Terus, saya tahu dari Hendra katanya pacar kamu ada di Jogja. Wah... asik nih, bisa kangen-kangenan. Lucu ya, dulu, kamu yang pacaran jarak jauh, sekarang giliran saya.”

“Pacar saya dilamar orang lain.”

Senyum yang tadi terlukis di wajah Nadhifa mendadak hilang.

“Pacar saya meminta penjelasan soal hubungan saya dan dia ke depannya. Selama ini, saya kira hubungan kami akan berjalan baik. Saya kira jarak bukan masalah untuk kami. Tapi, ternyata waktu juga berperan di dalamnya. Pada akhirnya, waktulah yang mengakhiri semuanya.”

“Laut, saya nggak terlalu mau ikut campur urusan kamu, tapi... kalo boleh tahu, apa alasannya kamu nggak bisa kasih penjelasan?”

“Karena masa depan saya nggak jelas, Nad. Saya nggak bisa ngasih masa depan yang cerah buat pacar saya.”

“Nggak jelas gimana? Laut, kamu itu calon penulis hebat! Kamu tahu? Buku kamu sudah dipesan banyak orang, bahkan sebelum pihak penerbit menyebarkannya di toko buku.”

“Nad, apa sih yang kamu harapin dari menjadi penulis? Kamu kan tahu berapa hasil yang diterima oleh penulis. Apa kamu merasa cukup untuk hidup? Enggak, Nad. Saya hanya berusaha realistis.”

“Apa yang menurut kamu realistis, kadang nggak sesuai dengan apa yang terjadi di kehidupan nyata.” 

“Nad... kamu sendiri yang bilang kalo tulisan saya nggak bernyawa. Kamu sendiri yang bertanya kenapa Om Rama meloloskan tulisan-tulisan saya.”

“Laut, kamu tahu maksud saya nggak seperti itu,” Nadhifa mulai menaikkan nada suaranya.

“Apapun maksud kamu, sekarang saya percaya menjadi penulis bukan jalan saya.”

Nadhifa menggelengkan kepala, “Saya nggak ngerti apa yang ada di pikiran kamu, bagaimana cara kamu berpikir dan apa hasil dari pikiran kamu. Yang saya ngerti, kamu terlalu ragu sama diri kamu sendiri dan bagi saya, kamu pengecut.”

Seketika Nadhifa bangkit, menyandang tasnya dan pergi. Langkahnya membawanya hilang ditelan kejauhan. 

Saya hanya bisa duduk dan membiarkan Nadhifa pergi dengan sejuta kekesalannya pada saya. Dari sekian kata yang tersimpan di otak saya, ucapan Nadhifa adalah suatu kebenaran. Saya memang pengecut yang tidak berani melangkah lebih jauh, yang tidak berani mewujudkan mimpi saya. Saya memang pengecut yang terlalu takut melewati rintangan. 

Tapi semua ini nggak akan serumit ini kalau kamu tidak masuk ke kehidupan saya, Nad. Saya membiarkan Afina pergi bukan hanya karena saya tidak bisa memberinya penjelasan, tapi juga karena saya telah melakukan kesalahan; saya telah jatuh cinta padamu, Nad.

“Jadi ini alasannya?”

Saya menghentikan lamunan saya ketika saya mendengar suara seseorang. Saya menoleh dan menyadari apa yang saya lihat. 

“Afina?”

Afina yang berdiri tidak jauh dari saya hanya bisa tersenyum tipis meskipun matanya sudah memerah. Saya tahu senyuman itu adalah senyum palsu yang ia pakai untuk menutupi kesedihannya. 

Saya tidak kuasa berdiri. “Maaf, Fin. Aku masih butuh waktu.”

“Sampai kapan?! Sampai kapan kamu butuh waktu?!” seru Afina, “Laut! Kamu mau ngelihat aku nunggu kaya orang bego?!” Afina melangkah lebih dekat meski ia tidak ikut duduk. “Jadi alasan sebenarnya kamu nggak bisa ngasih penjelasan adalah karena ketakutan kamu? Kamu takut sama masa depan kamu? Laut, jawab!”

Saya memilih diam meski setiap kata yang terucap dari mulut Afina terekam dalam otak secara sempurna.

“Kamu pikir aku peduli dengan itu?! Nggak, Laut! Aku nggak peduli. Karena apa? Karena ketika aku cinta sama kamu, itu artinya aku mau jalanin hidup aku sama kamu, aku mau berjuang bareng-bareng sama kamu, aku mau ada di samping kamu, saat kamu ketawa, kecewa, bahkan saat kamu kehilangan harapan. Laut! Aku mau jalanin itu semua bareng kamu!”

Kedatangan Afina benar-benar terasa seperti ribuan panah yang menancap tubuh saya. 

“Aku nggak pernah minta kamu menjadi penanggungjawab kebahagiaan dan masa depan aku. Itu bukan tugas kamu! Aku cuma minta kamu ada terus sama aku, gandeng aku saat aku ingin berjalan, peluk aku saat aku merasa sendirian. Hanya itu, Laut. Apa kamu nggak bisa lakuin itu buat aku?”

Afina tidak sanggup menahan aliran air matannya. Saya pun tidak bisa menahannya untuk tidak menangis. Saya mencengkram lutut saya sendiri, melawan keinginan saya untuk memeluk Afina dan menenangkanya. 

Saya tahu Afina tengah memandangi saya dengan perasaan hancur. 

“Laut,” suara Afina benar-benar bergetar, “aku mau kamu jujur sama aku. Apa ini semua ada hubungannya dengan perempuan tadi?”

Saya menelan ludah. Sejenak saya seolah ditampar oleh semesta. Seakan semesta tengah menyudutkan saya, memaksa saya untuk mengungkapkan semuanya. Saya berusaha mengatur napas sebelum saya bangkit berdiri.

“Laut, aku mohon jangan tinggalin aku lagi.”

Mendengar Afina bermohon seperti itu membuat dada saya sesak. Saya mendekatinya, mengecup keningnya dan dengan sekali tarikan napas saya berkata, “Selamat tinggal, Fin.”

***

Sudah enam jam saya duduk di teras kosan. Sepertinya tempat ini akan menjadi singgahsana saya ketika merasa buntu. Adegan demi adegan saat saya bertemu Nadhifa dan Afina kembali terulang terus menerus. Beberapa teman kelas saya sudah mengirim pesan, menanyakan alasan ketidakhadiran saya di kelas hari ini. Sejak pertemuan saya dengan Afina dan Nadhifa, saya merasa saya telah jatuh ke sumur kehampaan lebih dalam. Bukan hanya itu, saya juga merasa ditinggalkan meski sebenarnya sayalah yang meninggalkan. 

Dari dalam kosan saya, Hendra keluar membawa segelas teh hangat. Ia meletakkan di atas meja di samping saya. “Minum dulu. Biar pikiran lo lebih tenang,” ucapnya.

“Gue adalah orang paling goblok di dunia, Hend. Gue udah ngelepas orang yang tulus mencintai gue.”

Hendra menghela napas. “Lo itu hebat, Laut. Akhirnya lo udah bisa jujur sama perasaan lo sendiri, sama diri lo sendiri. Melepas bukan berarti meninggalkan, tapi mengikhlaskan apa yang terbaik buat diri lo dan orang lain.”

“Tapi apa kejujuran itu harus menyakiti perasaan orang lain, Hend?”

“Akan ada cinta setelah luka. Akan ada yang sembuh setelah rapuh. Akan ada kebahagiaan setelah kekecewaan. Dan itu semua diawali dengan kejujuran.”

Saya sama sekali tidak terganggu dengan perkataan Hendra barusan. Saya percaya itu semua. Hendra seolah berusaha melepas beban berat yang tergantung di kepala dan dada saya. Namun, itu semua belum cukup dan saya yakin Hendra tahu itu. Saya percaya sembuh dan cinta akan tiba pada waktunya, tapi proses untuk sembuh dan mendapatkan cinta terasa menyakitkan, terserah waktu yang dibutuhkan berapa lama. 

“Oh ya, lo tahu ‘kan Afina balik ke Jakarta malam ini?” 

Saya mengangguk karena sekitar dua jam lalu Afina mengirim pesan perihal kepulangannya itu. Saya membacanya, tapi tidak membalasnya. Bukan karena apa, tapi saya terlalu takut kembali menumbuhkan harapan di hati Afina dengan kedatangan saya. 

“Ya udah, semua kembali ke lonya, Laut. Kalo emang menurut lo ini yang terbaik, do it.”

***

Tidak terasa bulan telah bergantung di atas langit, menampakkan dirinya seolah ialah penguasa langit di malam hari. Malam kali ini tidak ada bintang yang menemaninya. Bila diperhatikan, cahaya bulan malam ini terlihat redup. Apakah bulan sedang merasa sedih karena kesendiriannya? Atau karena ia terlalu takut untuk menerangi bumi karena sadar bahwa selama ini ia tidak pernah memancarkan cahaya. Kenapa bulan itu mirip dengan saya?

Saya dan Hendra sedang ada di bawah naungan bale dekat kosan. Biasanya tempat ini dijadikan anak-anak kos untuk berkumpul sembari menyantap nasi goreng langganan kami. Di samping saya sudah ada Hendra yang tengah sibuk dengan laptopnya, lebih tepatnya sibuk dengan kerjaan. Karena ia bekerja di kantor ayahnya, ia dibebaskan untuk kerja di mana pun. Yang terpenting bagi ayahnya adalah profesionalitas pekerjaan. 

Tiba-tiba sebuah ide telintas di benak saya. 

“Hend,”

“Umm...”

“Gue kerja di kantor bokap lo aja, ya.”

Hendra otomatis menoleh ke arah saya, memasang raut wajah kaget. “Maksud lo apa nih? Lo kan tahu kantor bokap gue bergerak di bidang apa. Nggak mungkin sejalan dengan passion lo. Jangan ngadi-ngadi, deh,” ucap Hendra sebelum meminum segelas air putih di sebelahnya.

“Gue mau berhenti kuliah.”

Burrrr! Detik itu juga Hendra memuncratkan air yang berada di mulutnya. Bukan ke arah saya, tapi ke arah penjual nasi goreng di sebelah saya.

“Aduh! Maaf Pak Ayub. Saya nggak sengaja,” ucap Hendra rendah. 

“Mas Hendra nih! Yang bikin kaget siapa, yang disembur siapa,” Pak Ayub berdumel sambil mengusap wajahnya. 

“Laut, lo jangan gila. Lo mau keluar gitu aja setelah apa yang lo usahain selama ini?”

“Gue nggak gila, Hend. Gue cuma berusaha sadar. Gue sadar kalo jalan gue bukan menjadi penulis. Oke, katakanlah jalan gue memang menjadi penulis, tapi itu bukan jalan kehidupan, itu cuma jalan khayalan yang selamanya cuma bikin gue bahagia, tapi nggak bikin gue hidup. Untuk bisa hidup, gue nggak peduli lagi dengan passion. Gue cuma mau buktiin ke orang-orang kalo gue bisa hidup lewat jalan lain.”

Sejenak Hendra tertegun mendengar kata-kata saya barusan. “Sekali lagi gue bilang sama lo kalo gue cuma bisa dukung apa yang lo pilih. Tapi kalo niat lo cuma buat buktiin ke orang-orang kalo lo bisa hidup selain dengan menulis, di mata gue lo terlalu rendah, Laut. Karena ketika lo udah bisa buktiin ke orang-orang itu, lo nggak pernah ngerasa bahagia. Mungkin iya, tapi sementara.”

Saya memang tidak pernah saya bila menceritakan kesulitan saya dengan Hendra. Meskipun tanggapannya beberapakali menggampar diri saya, saya harus terima karena apa yang dikatakan Hendra memang masuk akal. 

“Ya udah,” Hendra menepuk pundak saya, “Nggak usah dipikirin semuanya hari ini. Nanti gue coba tanya ke bokap. Tapi bukannya lo bisa kerja sambil kuliah? Jadi lo nggak mesti keluar dari kampus, kan?”

“Gue takut nggak bisa bagi waktu, Hend. Jadi gue prioritas apa yang gue butuh dulu.”

“Terus tawaran jadi wartawan atau penulis berita dari kakek gue gimana? Lo udah terima?”

Saya menggelengkan kepala. “Mereka narik tawaran mereka.”

“Ko bisa?! Karena?”

“Mereka menilai tulisan gue masih di bawah standar mereka.”

“Si anjing! Emangnya orang-orang kaya gitu ngerti masalah gituan?! Pakai segala bilang tulisan lo di bawah standar.”

“Udahlah, Hend. Mereka juga kan orang-orang berpengalaman. Pasti mereka lebih paham. Lagipula, berkata mereka gue jadi sadar kalo gue memang nggak berbakat jadi penulis.”

“Nggak usah ngerendahin diri lo terus. Nggak semua perkataan orang lain itu mesti kita dengar dan simpan. Sering banget omongan orang lain itu cuma bongkahan tai kucing yang ada di pinggir jalan atau semak-semak, menarik perhatian sih iya, tapi bau juga iya.”

Saya dan Pak Ayub serentak menoleh ke arah Hendra karena analoginya barusan. 

“Ya kan cuma perumpamaan. Nggak usah dipusingin juga. Ya udah, malam ini gue traktir lo makan nasi gorengnya Pak Ayub. Pak! Dua, ya. Jangan pakai nasi.”

Kembali saya dan Pak Ayub menoleh ke arah Hendra. 

“Bercanda. Astagfirullah. Tegang banget kaya kon—-“

Kali ini bukan saya dan Pak Ayub yang menoleh ke Hendra, tapi beberapa ibu dan anak kecil mereka yang tengah jalan di depan kami. 

“Kon.....spirasi apa yang lagi menarik ya,” sambung Hendra.

Kumpulan awan malam bergerak pelan seolah mereka tengah menari untuk para penghuni bumi, seolah mereka sedang berkata bahwa mereka menarik tidak hanya di siang hari saja, tapi juga malam hari. Tapi, menurut saya apa yang mereka lakukan sia-sia karena seharusnya mereka tahu bahwa manusia hanya tertarik pada apa yang mereka pikir menarik, bukan pada apa yang sejatinya menarik.

Ketika tengah menyantap nasi goreng, ponsel saya bergetar menampilkan sebuah pesan dari Afina. 

Afina: Sepertinya kamu tidak benar-benar pergi untuk nemuin aku, bahkan di saat-saat terakhir aku di Jogja. Dan aku rasa, sikap kamu ini sudah bisa jadi jawaban pasti perihal hubungan kita. Laut, terima kasih untuk semua cerita yang kamu kasih ke aku, terima kasih untuk semua tawa dan luka yang kamu ciptain, terima kasih karena udah ngajarin aku tentang konsekuensi dari cinta. Aku kira cinta hanya melahirkan kebahagiaan karena saat itu Tuhan kirim kamu buat aku. Tapi aku nggak sadar kalo luka juga bagian dari cinta. Aku nggak pernah nyesel kenal kamu. Aku nggak pernah nyesel udah letakin kamu di hati aku. Aku nggak pernah nyesel udah jatuh cinta sama kamu. Sekali lagi, terima kasih, Laut.

Hendra tidak berkomentar setelah membaca pesan itu. Saya pun merasa sudah lelah dengan kehendak hati ini. Saya tidak tahu lagi apa yang ia inginkan. Bodohnya, kenapa di saat-saat seperti ini wajah Nadhifa yang tergambar di benak saya. Setengah mati saya berusaha menahan untuk mengusirnya, tapi semakin ditahan, wajah Nadhifa semakin bertahan seolah ia tidak mengenal ketiadaan. 

Malam itu ditutup dengan jutaan pertanyaan yang menumpuk di benak saya. Semua pertanyaan itu lahir dari satu pertanyaan; apakah saya telah benar mengambil keputusan? 

Sebelum memejamkan mata, sebuah pesan kembali muncul. Kali ini dari Mas Bima yang mengirim sebuah foto yang memperlihatkan.... 

Hendra terbangun karena terkejut mendegar gerak-gerik saya berisik. Tanpa perlu berkata-kata, saya langsung mengambil jaket hitam saya, topi hitam dan kunci motor sampai tanpa sadar ponsel saya tertinggal di kosan. 

Mungkin Hendra akan memahami alasan saya terburu-buru seperti itu karena mungkin saja ia melihat ponsel saya dan melihat sebuah foto yang memperlihatkan Radi sedang berciuman dengan seorang perempuan yang saya kenal. Yang tidak lain adalah Zia.

***

Entah Jalan Malioboro terlalu sempurna untuk menampung jutaan perasaan manusia, atau hati saya yang membawa saya ke sana. Karena di sana saya menemukan Nadhifa tengah duduk sendirian dengan posisi menunduk. Saya hampir tidak melihat orang lain selain Nadhifa di sana. 

“Nad,” panggil saya setelah kini jarak antara saya dan dia hanya satu meter. 

Mendengar suara saya, ia langsung menoleh dan mengusap air matanya, menengadah agar butiran air matanya berhenti mengalir.  Beberapa detik kemudia ia kembali menoleh dan tersenyum lebar. “Hai, manusia super nyebelin sekaligus pengecut.”

Lama saya menatap Nadhifa. Ada sesuatu yang tersentil di dalam hati saya melihat bagaiamana ia berusaha tersenyum di saat semuanya sedang tidak baik-baik saja. 

“Kenapa? Kenapa? Mau ngajakin saya ribut lagi?” Ia bertanya diakhiri tawa pelan.

Saya duduk di sebelahnya, memandangnya lama tanpa berucap apa-apa. Sebagian diri saya remuk ketika melihat mata Nadhifa telah memerah karena air mata yang memaksa untuk keluar, lebih tepatnya lagi air mata itu keluar untuk Radi. 

“Nad,” saya mengambil tangan Nadhifa, “kamu nggak harus pura-pura kuat kaya gini. Kamu tahu itu, kan?”

Nadhifa menundukkan kepalanya, “Saya nggak ngerti maksud kamu apa.”

“Nad, lihat mata saya.”

Dengan pelan Nadhifa mengangkat kembali kepalanya, berusaha menatap mata saya meski saya tahu kini pandangannya buram karena tertutup air mata. 

“Saya tahu kamu sedang hancur sekarang. Saya tahu kamu sedang terluka. Saya juga tahu kamu sedang marah, kesal bahkan kecewa. Tapi saya mau kamu tahu satu hal, Nad. Kamu nggak sendirian. Ada anak-anak kantor, ada Mas Bima, Mba Adel, Mas Kara, bahkan ada Ibu yang selalu ada buat kamu.”

Ingin rasanya menyebut nama saya, mengatakan padanya bahwa saya akan selalu ada di sampingnya, tapi tenggorokan saya seakan tercekat tulang. Nadhifa benar perihal saya terlalu pengecut, bahkan untuk mengutarakan perasaan. 

Nad, untuk beberapa alasan yang tidak masuk akal, saya seolah tahu bahwa kita melangkah di jalan yang berbeda. Itulah alasan kenapa saya ragu apakah kamu ada perasaan yang sama seperti apa yang saya rasakan. Bagi saya, mencintai adalah hak setiap manusia. Saya mencintaimu tanpa pernah berharap kamu mencintai saya juga. Kamu bebas memilih pada siapa kamu mencintai karena itu hakmu. 

Meski di dalam lubuk hati saya, saya berharap orang itu adalah saya.

Saya menarik Nadhifa ke dalam pelukan saya. “It’s okay, Nad. Kamu boleh nangis sekarang.”

Detik kemudian air mata Nadhifa mengalir tanpa henti, air mata ketulusan dari seseorang yang dikhianati. 

Satu tangan saya mengusap kepalanya. Saya berusaha memberikan kenyamanan untuknya. Saya berusaha memahami kepedihan yang ia rasakan saat ini. Mungkinkah luka ini yang dirasakan oleh Afina? 

Nad, apa saya salah karena telah mencintaimu? Apa saya telah meninggalkan orang yang mencintai saya dengan tulus? Apa saya salah karena dalam dekapan ini, saya berharap kamu mendengar isi hati saya?

Kurang dari dua puluh empat jam, sudah ada dua hubungan yang kandas, sudah ada dua hati yang tersakiti dan sudah ada dua ikatan yang terlepas. Semesta, apakah ini bagian dari rencanamu?

Setelah merasa membaik, Nadhifa bangkit berdiri dan berkata ingin pulang. Saya menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi ia menolak. 

“Saya nggak bisa ninggalin kamu sendirian kaya gini, Nad.”

“Saya yang akan nemenin Nadhifa, Laut.”

Suara seseorang menarik perhatian saya. Mas Kara sudah berdiri tidak jauh dari tempat saya dan Nadhifa berdiri. Ia bergerak mendekat, menggenggam tangan Nadhifa dan membawanya pergi. 

Saya mengamati itu semua dengan seksama. Entah kenapa hati saya terasa perih. Sesaat saya terasa terlempar ke suatu tempat yang gelap dan kosong. Di sana, semuanya terlihat abstrak, saya tidak bisa membedakan antara realita dan dongeng. Saya tidak paham semua ini dan yang paling saya tidak paham adalah kenapa saya tidak suka melihat Nadhifa bersama Mas Kara?




Komentar

Postingan Populer