PSH-PART ELEVEN-2021




Sebelas 

Garis


Langkah kaki berlari terdengar di telinga saya, semakin lama semakin dekat, dan ternyata langkah itu berhenti di samping saya. Saya tengah membaca buku sambil sarapan bubur ayam ketika saya menengok dan mendapati Mas Bima datang dengan nafas terengah. 

“Laut.....,” kata Mas Bima, dadanya naik turun tak beraturan.

“Kenapa, Mas? Ko kaya habis jogging gitu?”

“Nadhifa masuk rumah sakit!” Mas Bima menembak tanpa basa-basi. 

“Hah?! Seriusan, Mas?”

Mas Bima mengangguk, lalu menarik tangan saya untuk mengikutinya. Sebenarnya saya ada kelas sepuluh menit lagi, tapi saat ini mengetahui kondisi Nadhifa terasa lebih penting untuk saya, tidak, maksud saya untuk penerbit.

Saya dan Mas Bima langsung bergegas pergi menuju public hospital Dr. Sardjito, rumah sakit dekat UGM. Setelah bertanya nomor ruangan tempat Nadhifa dirawat, saya dan Mas Bima mengambil langkah seribu. Orang-orang yang berada di depan kami memilih untuk minggir dengan sendirinya. 

Ketika kami sudah berhenti di depan pintu kamarnya, Mas Bima mengetuk pintu kamar beberapa kali. Mas Bima sengaja tidak mengetuk bertubi-tubi, khawatir itu menjadi pusat perhatian orang-orang meskipun berlarian di lorong seperti yang barusan kami lakukan juga sudah menjadi pusat perhatian. 

Tidak ada jawaban, Mas Bima berinisiatif membuka pintu kamar. Kami berdua memasang wajah panik. Seorang perawat ternyata baru saja memberikan vitamin pada Nadhifa. Sebelum keluar, suster itu meminta kami agar tidak berisik atau berbuat gaduh.

“Memangnya tampang kita tampang perusuh?” Mas Bima bergumam setelah melihat suster itu pergi.

Mas Bima mencoba untuk fokus dengan tujuan kedatangan. Ia mendekati Nadhifa yang terbaring di ranjang rumah sakit, ia menarik kursi dekat jendela, meletakkannya di sisi ranjang Nadhifa lalu duduk. 

“Aduhh, Mba, ko bisa sampai masuk rumah sakit, sih?” 

Dengan mata sayunya, Nadhifa menjawab, “Kebanyakan gaul sama orang aneh kaya Mas Bima.”

“Idih! Udah dirawat gini masih suka cari ribut aja.”

“Ohhhh... jadi selama ini saya suka cari ribut, Mas?”

Mas Bima menyengir takut. “Nggak ko, Mba. Nggak. Mba udah makan belum? Minum? Atau ada yang mau dibeli?”

Nadhifa tersenyum tipis sebelum menjawab, “Saya mau makan buah pisang, Mas. Bisa tolong beliin di toko buah dekat sini?” 

Dengan gerakan cepat, Mas Bima bangkit dan mengangkat tangannya sebagai tanda hormat. Ia membalikkan badan dan melangkah keluar. Namun, sebelum keluar kamar, Mas Bima menepuk pundak saya dan berkata, “Nitip Mba Nadhifa, Laut. Jagain dulu.”

Saya mengangguk. Mas Bima membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Saya termenung melihat kondisi Nadhifa yang tergeletak lemah di depan saya. Saya hanya membisu sebelum Nadhifa melihat saya dan berkata, “Ko diam aja? Tumben...”

“Saya nggak tahu mau ngomong apa,” jawab saya bingung sambil mengusap tengkuk leher.

Jawaban saya dibalas dengan tawa pelan. “Kamu kalo lagi ngebingungin lucu, ya.”

Ada rasa senang ketika mendengar ucapannya barusan. Dengan rasa gugup, saya mendekatinya dan duduk di kursi yang sempat diduduki Mas Bima. Dari dekat, saya bisa melihat raut wajahnya yang pucat. Sayup matanya pun terlihat jelas. “Nad, lo nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa, Laut. Saya cuma kecapean aja,” jawabnya sambil tersenyum getir. 

Tapi, entah kenapa jawabannya tidak membuat saya tenang. “Seriusan cuma kecapean aja?”

“Iya. Seriusan. Mungkin karena saya terlalu maksain badan saya ini, makanya langsung drop. Tapi untung aja tadi pagi ada tetangga yang lihat saya jatuh. Langsung deh dibawa ke sini. Coba kalo nggak ada yang lihat, waduh bisa ribet urusannya. Saya takut nanti yang bawa saya malah kuntilanak, atau gundoruwo....,” ujarnya bercanda yang diakhiri oleh tawanya sendiri.

Namun tawanya hanya bertahan sekilas karena matanya memandang saya yang tidak sama sekali terhibur oleh candaannya. “Nggak lucu, Nad,” ujar saya. Dari wajahnya, saya seolah mengetahui ada beban berat yang tengah ia pikul. Saya kembali mengingat perkataan Mas Bima perihal keadaan Nadhifa yang diibaratkan sedang berada di tengah hutan. Ingin rasanya saya menarik tangannya, menggenggamnya dan mengatakan bahwa saya akan ada di sini untuknya, tapi saya menahan diri. “Nad, mulai sekarang kamu nggak usah maksa diri kamu lagi. Kalo waktunya istirahat, kamu harus istirahat. Kamu juga butuh olahraga, makan buah.”

Atmosfer di ruangan ini terasa mengimpit. Ia menatap mata saya, pun sebaliknya. Saya kembali merasakan sesuatu yang aneh dalam diri saya, sesuatu yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya bersama orang lain. Saya seolah berada di ambang garis transparan yang tidak boleh dilewati. 

Dua bola mata Nadhifa mulai mengeluarkan butiran bening yang melelehkan pipinya. Saya mendekatkan tangan saya di wajahnya, mengusapnya tanpa berucap apa-apa. Saya hanya ingin beban yang berada di pundak Nadhifa berguguran satu persatu, dibawa hanyut oleh air matanya. 

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya mendadak bangkit dan menjauh ketika melihat Radi datang diikuti Mas Bima dari belakang. Radi langsung duduk di samping Nadhifa, meraih tangannya dan mengusap rambutnya. 

“Nad, kamu kenapa? Kecapean? Udah makan? Sekarang gimana kondisinya? Ada yang masih sakit? Kalo ada, aku panggili—-“ Radi menyerbu Nadhifa dengan puluhan pertayaan lainnya. 

“Radi.... Radi, I’m okay. Aku cuma kecapean aja,” Nadhifa memotong sambil tersenyum tipis ke arah kekasihnya. 

Radi membalas senyumannya, lalu mengecup kening Nadhifa. “Lain kali, kalo ada apa-apa, kabarin aku, ya. Aku khawatir banget pas dapat kabar dari Mas Bima kamu masuk rumah sakit.”

“Iya. Aku minta maaf, ya.” 

Jari-jari Radi masih mengusap kening Nadhifa. Keduanya terlihat sangat romantis seolah Tuhan memang menciptakan mereka sudah berpasangan. Radi untuk Nadhifa dan Nadhifa untuk Radi. Keduanya sudah saling mengisi ruang hati masing-masing. 

Sebaiknya saya pergi dari tempat ini. Saya tidak ingin mengganggu waktu keduanya. Lagipula, dari dulu saya membenci suasana rumah sakit. Mengingatkan saya pada detik-detik saya harus membiarkan Ibu pergi, detik-detik di mana Tuhan mengambilnya dari saya. 

“Maaf, Nadhifa, Radi. Saya pulang duluan, ya. Masih ada kerjaan lain soalnya,” ucap saya dengan senyum datar.

Radi bangkit dan mengangguk. “Terima kasih sudah temenin kekasih saya, ya.” Dalam ucapannya, ia menekankan kata kekasih. Entah untuk menegaskan sebuah kepemilikian atau menyadarkan saya bahwa ada garis yang sudah ditentukan di antara saya dan Nadhifa.

“Santai aja, Rad. Kan Nadhifa teman saya,” balas saya dengan menekankan kata teman.

***

Memandangi langit malam yang cerah saat hidup dipenuhi masalah cukup meringankan kepala saya. Pukul sembilan malam. Mendadak kerinduan pada Bapak menjalar di tubuh saya. Saya menengadah, mencoba melukiskan keindahan angkasa malam di mata. 

Belum satu minggu saya berpisah dari Bapak, tapi rasa rindu ini tidak juga hilang. Ingin sekali rasanya mendengar suara Bapak, atau paling tidak melihat wajahnya. Namun, dengan cepat saya menghilangkan keinginan itu. Saat ini menjauh dari Bapak adalah pilihan yang tepat. Lagipula, saya punya puluhan alasan untuk tidak kembali. Salah satunya adalah karena Bapak yang mempersilakan saya pergi. 

Saya pun tidak merasa kesusahan. Tempat tinggal sudah bisa saya dapatkan. Walaupun begitu, saya tetap harus mencari pekerjaan. Uang dari beasiswa tidak cukup untuk kehidupan saat ini. Meskipun banyak orang bilang bahwa Jogja adalah tempat paling ramah untuk mahasiswa. 

Ponsel saya berbunyi. Afina memang sudah mencoba menghubungi saya daritadi. Setelah menghela napas, saya mengangkatnya, menunggu beberapa detik sebelum panggilan itu tersambung

“Hi, Fin.... maaf banget. Teman aku tadi masuk rumah sakit, jadi aku harus jenguk dia tadi. Iya, makasih udah khawatir... Nggak, ko. Nggak apa-apa, suaranya memang lagi lemes aja. Kamu lagi ngapain?.... Gimana hari ini?.... Hebat! Terus gimana? Pasti mahasiswa yang lain kaget sama nilai kamu?... Iya, kalo aku ada liburan aku pulang.... ya udah, jaga kesehatan, ya....bye..”

Kalau dipikir baik-baik, saya seharusnya sadar bahwa jauh di sana ada seorang perempuan yang selalu sabar menghadapi sikap saya belakangan ini. Seharusnya yang ada di kepala saya adalah Afina, bukan Nadhifa.. 

Saya membungkam mulut, membiarkan kepala saya mencerna semua kondisi saat ini. 

“Saya nggak boleh kaya gini. Saya sudah memberikan hati saya untuk Afina dan tugas saya saat ini adalah menjaganya, bukan mengkhianatinya.”

Semesta, tolong jangan biarkan Nadhifa masuk ke dalam kehidupan saya terlalu jauh. Bukan karena saya membencinya, tapi karena saya takut mencintainya. 

Malam itu, saya biarkan diri saya mengalir dalam mimpi setelah memasang earphone di telinga. Mungkin lantunan lagu bisa membuat saya lebih tenang.

***

Mas Bima mengabarkan saya bahwa Nadhifa sudah bisa pulang ke rumah hari ini. Namun dokter tetap memintanya untuk meminum beberapa vitamin dan rutin memakan buah. Rencananya hari ini Mas Bima dan beberapa karyawan Satu Media ingin menjenguk Nadhifa di rumahnya. Mas Bima menanyakan apakah saya ingin ikut atau tidak. 

Awalnya saya ingin sekali melihat kondisi Nadhifa sekarang, tapi menjaga jarak dengannya untuk saat ini adalah pilihan yang tepat. Maka dari itu, saya meminta maaf pada Mas Bima karena tidak bisa ikut dengan alasan sedang ada tugas. Alasan yang klasik dan tidak jujur.

Mungkin Nadhifa akan membenci saya karena tidak ikut menjenguknya, mungkin juga ia hanya akan bertanya kenapa, dan mungkin juga ia tidak terlalu peduli. Saya tidak perlu memastikan kemungkinan mana yang ada di pikiran Nadhifa, toh saya memang bukan siapa-siapa.

Setelah menghadiri satu mata kuliah, saya merapihkan buku-buku saya dan bergegas pergi ke perpustakaan. Kebiasaan yang tidak pernah berubah. Bagi saya, pergi ke perpustakaan bukan hanya sekedar kunjungan biasa. Lebih dari itu. Perpustakaan adalah dimensi lain yang membuat saya ingin terus berpijak di bumi, tempat yang selalu memberikan saya teka-teki. 

Membaca dan menulis adalah salah satu cara saya menyembuhkan luka. Ketika sedang menulis cerpen, saya melihat Mas Bima datang dan duduk di depan saya. 

“Halo orang sibuk,” sapanya.

“Halo, Mas.”

“Lagi ngapain?” 

“Nulis cerpen baru, Mas.”

“Oalah, bagus... bagus...”

“Oh, ya, Mas, gimana kabar Nadhifa?”

Mas Bima melirik ke sekeliling, untungnya perpustakaan sedang tidak terlalu ramai, jadi ia bisa sedikit mengeraskan suaranya. 

“Membaik alhamdulillah. Kapan kamu ada rencana ke rumahnya?”

“Nggak tau, Mas. Saya masih ada tugas.”

“Tugas dari dosen atau tugas dari dirimu sendiri, Laut?”

Saya gugup mendengar itu. “Maksud, Mas?”

“Barusan saya ketemu Maudy, teman kelasmu. Ia bilang minggu ini tidak ada tugas. Kenapa?”

“Nggak apa-apa, Mas.”

Mas Bima menghela napas, mengangguk lalu tersenyum. “Kalo ada yang salah, ya dibenahi, Laut, jangan ditinggali.”

Saya mengangguk. Mas Bima benar. Saya harus membenahi apa yang salah, bukan menjauhinya. Meskipun terkadang menjauh adalah cara kita memperbaiki keadaan. 

“Mas Bima tahu dari mana?”

“Terlepas dari karena kita sama-sama cowok, mungkin karena saya senang mengamati keadaan. Saya melihat ada yamg berbeda ketika kamu memandang Mba Nadhifa.”

“Nggak mungkin, Mas. Mungkin Mas Bima salah lihat.”

“Ya.... mungkin. Tapi, bangkai yang disembunyikan, lama-kelamaan akan tercium juga, kan? Dan... saya pikir begitu juga perasaan.”

Saya diam kehabisan kata-kata. 

“Sudah. Nanti saja dipikirinnya. Sekarang kamu ikut saya.”

“Ke mana, Mas?”

“Ke kantin. Saya laper.”

Setelah mengemas buku-buku ke dalam tas, saya mengikuti Mas Bima dari belakang. Kami duduk di antara puluhan mahasiswa lainnya.

“Kamu mau pesen apa, Laut?”

“Cappuccino aja, Mas.”

“Kalo gitu, saya es jeruk, ya, Mba,” ucap Mas Bima pada pelayan kantin.

Tak lama kemudian pesanan kami sudah datang. 

“Terima kasih, Mba.” Mas Bima menerima secangkir cappuccino dan segelas es jeruknya.

“Mas,” panggil saya pada Mas Bima.

Mas Bima yang sedang mengaduk rata gula di gelasnya menyahut tanpa menengok. 

“Tolong jangan kasih tahu Nadhifa tentang yang tadi ya, Mas.”

“Laut, kalian berdua itu sudah saya anggap adik sendiri. Saya itu peduli dengan kalian, tapi perihal perasaan, itu bukan ranah saya. Saya doakan yang terbaik untuk kalian.”

“Saya nggak bisa kaya gini, Mas. Ada hati seseorang yang saya harus jaga.”

“Pacarmu di Jakarta?”

Saya mengangguk.

“Laut, jalanin apa yang menurut kamu baik untuk dijalanin. Di perjalanan, kamu akan kelelahan lalu menemukan tempat persinggahan. Kamu boleh singgah untuk sekedar rehat, tapi jangan menetap apalagi memberi harap.” 

“Ko saya malah ngerasa nggak pantes jadi penulis setelah mendengar ucapan Mas Bima.”

Mas Bima tertawa. Lagi-lagi perkataan Mas Bima benar. Sejauh ini, rumah dan tujuan saya adalah Afina. Saya akan banyak menemukan tempat istirahat. Mungkin beberapa tempat istirahat itu memang memberikan kenyamanan, tapi saya harus sadar bahwa tidak ada yang lebih nyaman daripada rumah yang menjaga kepercayaan perihal suatu hubungan.

***

Seseorang memanggil saya ketika saya sedang berjalan di lorong kelas, “Laut!” Saya menengok ke belakang. 

“Hi, Nad,” sapa saya dengan senyum tipis.

“Lagi sibuk?”

“Nggak terlalu.”

“Ohhh.... Kalau nggak sibuk, ko satu minggu ini saya jarang lihat kamu?”

“Saya lagi...”


“Aha! Saya tahu, pasti kamu lagi nulis cerpen baru, ya! Mau lihat dong! Udah lama saya nggak ngoreksi tulisan jelek kamu,” ucapnya diakhiri tawa. 

Saya ikut tertawa meski sebenarnya saya tidak ingin. Dengan sedikit canggung, saya berkata, “Maaf, Nad. Saya ada kerjaan lain. Saya duluan, ya.” Saya pun berjalan meninggalkan Nadhifa tanpa menoleh kembali padanya. Sempat saya dengar ia memanggil nama saya, mencoba menahan langkah saya. Tapi, saya pura-pura tidak mendengar. 

Langkah kaki saya terhenti ketika tanpa sengaja saya menabrak seseorang. Saya menoleh dan melihat Radi di sana. Ia membantu saya berdiri. “Sorry, kamu nggak apa-apa?” 

“Nggak apa-apa, Rad. Maaf, saya sempat bengong tadi.”

“Nggak usah dipikirin. Oh, ya, kamu lihat Nadhifa?”

“Tadi sih saya ketemu di—-“

“Hai,” potong seseorang.

Saya dan Radi sama-sama menoleh ke sumber suara dan melihat Nadhifa tengah tersenyum. Tentu senyuman itu untuk Radi, bukan untuk saya. Pandangan Nadhifa melekat pada mata Radi, lalu dengan manis ia berkata, “Kamu nyariin aku? Kenapa? Kangen?”

Radi memasang wajah sedikit heran melihat tingkah laku kekasihnya. Tapi sedetik kemudian ia memeluk Nadhifa dan berkata, “Bangettttt.” Radi lalu melepas pelukannya dan mencubit manja hidung Nadhifa, “Kamu tumben banget ngomong gini. Pasti ada maunya, kan? Ayo, ngaku.”

Nadhifa membalasnya dengan senyuman yang lebih lebar. “Aku laper.”

“Pas banget! Aku juga baru nemenin Profesor Sukma penelitian. Jadi laper,” balas Radi tidak kalah hangat. “Laut, kamu ikut makan juga, ya. Saya yang traktir.”

Sesaat sebelum saya menjawab, Nadhifa sudah lebih dulu mewakili, “Laut sedang ada kerjaan lain. Iya, kan?” Nadhifa memandang saya, menunggu jawaban yang ia sudah tahu. 

“I..iya, Mas.”

“Tuh, kan. Kita nggak boleh ganggu. Lagian, aku juga lagi pengen quality time sama kamu,” ucap Nadhifa pada Radi. Saya hanya bisa diam bergeming, tidak tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya kegemingan itu pecah dengan kepergian Nadhifa dan Radi.

Saya menerima keadaan ini. Tapi saya bertanya apa maksud dari sikap Nadhifa barusan? Kenapa seolah ia menyadari kebohongan yang saya lakukan? 

***

Mobil avanza putih yang dikendarai oleh Mas Bima menyusuri Jalan Magelang sebelum memasuki lapangan parkir Jogja City XXI. Di samping Mas Bima ada Adelia, seorang perawat puskesmas yang juga adalah tunangan Mas Bima. Sedangkan saya duduk di bangku belakang bersama Nadhifa. 

Malam minggu ini, Mas Bima sengaja mengajak kami berdua untuk menonton film dan makan malam bersama dalam rangka memperkenalkan saya pada Mba Adel - begitu panggilannnya -, sementara Nadhifa sudah kenal Mba Adel lebih lama. 

“Tadi saya beli tiketnya lima. Tapi karena Radi tidak bisa hadir. Ya saya balikin lagi satu tiket,” ujar Mas Bima.

“Memangnya Radi kenapa, Mba?” Mba Adel bertanya pada Nadhifa.

“Lagi ada pertemuan dadakan dengan dosennya. Katanya nggak bisa ditinggal. Dia cuma menitip salam dan maaf ke Mas Bima,” jawab Nadhifa dengan jelas. 

“Yo wess, nggak apa-apa. Kan masih banyak waktu,” Mas Bima membalas.

“Wah! Kayanya seru deh kalo nanti kita bisa jalan ramai-ramai. Aku sama Mas Bima, Mba Nadhifa sama Radi dan Laut sama... siapa tadi namanya?”

“Afina, Mba,” balas saya.

“Nah, sama Afina. Jadinya triple date.”

Saya dan Mas Bima menyahut komentar Mba Adel dengan sedikit canggung. Sedangkan Nadhifa menyambutnya dengan semangat. Saya melirik Nadhifa yang kini tersenyum tipis pada Mba Adel. Saya tidak mengerti, kenapa saya merasa Nadhifa sudah menyadari perubahan yang terjadi.

“Ya sudah, ayo pergi ke tempat bioskop. Nanti kita telat,” ajak Mas Bima yang disambut dengan anggukan oleh kami sebelum langkah kami terhenti oleh suara Mba Adel.

“Aduh! Lupa aku,” Mba Nadhifa menepuk keningnya sebelum mencubit lengan Mas Bima. “Kamu sih! Kebanyakan ngomong jadi lupa mau beli cemilannya,” tambah Mba Adel.

Mas Bima hanya bisa pasrah lengannya dicubit keras oleh tunangannya.

Tiba-tiba Nadhifa angkat suara, “Biarin saya aja yang beli, Mba.” 

“Makasih, ya, Nad,” jawab Mba Adel.

Nadhifa mengangguk. Ketika Nadhifa berjalan pergi menuju mesin popcorn, Mba Adel menepuk pundak saya dan berkata, “Temenin. Masa cewek bawa gituan sendirian.”

Mas Bima dan saya saling melirik hingga akhirnya Mas Bima mengangguk, memberi tanda bahwa sebaikanya saya mengikuti perintah tunangannya. Saya merasa tidak punya pilihan lain selain pergi menyusul Nadhifa.

Ternyata yang ingin membeli popcorn tidak hanya Nadhifa. Ia harus berdiri ikut berbaris dengan pengunjung yang lain. Ia sempat terkejut ketika melihat saya sudah berdiri di sampingnya.

Belum sempat ia bertanya, saya sudah berkata, “Mba Adel nyuruh saya nemenin kamu.”

“Nggak usah, Laut. Saya bisa sendiri, ko.”

Saya mengangguk. 

“Ko masih di sini?” Kening Nadhifa berkerut melihat saya masih berdiri di sampingnya.

“Kali ini saya nemenin kamu bukan karena disuruh Mba Adel, tapi atas kemauan saya sendiri.”

Saya tidak tahu apa yang ada di dalam hati Nadhifa setelah mendengar ucapan saya barusan. Tapi, yang saya yakin adalah saya melihat ada senyuman kecil di wajahnya saat ini. Senyuman yang belakangan ini saya rindukan.

Hampir sepuluh menit kami berdiri mengantri. Tangan Nadhifa mulai menjuntai ke bawah, dan sesekali ia menggerakkan kakinya. Saya melihat ke sekeliling sebelum akhirnya saya menggandeng tangan Nadhifa dan membawanya ke satu bangku kosong. “Kamu duduk di sini aja. Biar saya yang ngantri.”

***

Kami berempat menuruni anak tangga, bergabung dengan orang-orang yang baru saja menonton film The Woman In The Window, sebuah film mystery yang diangkat dari novel dengan judul sama karya A.J Finn. 

“Alur ceritanya cukup menarik,” komentar Mas Bima.

“Kalo menurut aku kurang greget. Tapi Mba Amy Adams aktingnya bagus banget,” timpal Mba Adel.

“Kalo menurut penulis dan editor gimana?” Mas Bima melemparkan pertanyaan pada saya dan Nadhifa yang berjalan di belakang mereka. 

Saya dan Nadhifa terdiam sejenak. Saya sendiri bingung harus menjawab apa karena selama di dalam bioskop tadi, saya tidak terlalu memperhatikan filmnya. Entah kenapa air muka Nadhifa yang terlihat datar lebih menarik perhatian saya. 

“Kamu nggak usah nanya ke Laut,” balas Mba Adel, “orang daritadi kerjaannya cuma mandangin Mba Nadhifa.”

Letupan dalam kepala saya meledak. Ludah yang membasahi tenggorokan saya terasa pahit. Wajah saya mendadak dingin, namun saya berusaha tampil tenang. Nadhifa menoleh melihat saya, seolah memastikan apakah yang diucapkan Mba Adel benar atau salah.

Untung saja kondisi itu bisa diselamatkan karena Mba Adel tiba-tiba menoleh ke arah toko pakaian dan menarik tangan Mas Bima untuk ikut dengannya. Tinggalah saya dan Nadhifa berdua. 

Saya membuang pandangan ke sembarang arah sebelum suara Nadhifa menarik saya ke arahnya. “Laut,”

“Iya?”

“Filmnya kurang bagus, ya. Saya kira tokoh utama itu jujur dalam ucapannya, ternyata dia berbohong. Kamu setuju, kan?”

Saya mengiyakan tanpa menjawab apa-apa. Saya lihat Nadhifa menarik napas panjang sebelum berkata, “Ternyata benar kata Mba Adel, kamu tidak menonton filmnya. Kalau kamu menonton filmnya, seharusnya kamu tahu bahwa tokoh utamanya tidak berbohong.”

Kata-kata Nadhifa seolah menyulap saya menjadi patung. Saya terjebak. Kini suasana berganti menjadi ketegangan yang sunyi. “Sekarang saya mau minta sama kamu untuk jujur. Beneran selama di bioskop kamu ngelihatin saya?”

Sebersit perasaan gugup menyusupi hati saya. Saya merasa kaki saya tidak bertulang karena sulit sekali rasanya pergi dari tempat ini.  Keheningan mengikat kami berdua. Terlalu lama menjawab, Nadhifa kembali bertanya, “Kenapa? Ada yang ingin kamu bilang sama saya?”

Lidah saya terasa kelu. Saya berusaha menenangkan pikiran sebelum berkata, “Saya cuma mikirin sesuatu.”

“Apa?’

“Saya yakin Radi beruntung banget dapatin perempuan setulus kamu. Sejak tadi, saya tahu kalo kamu kecewa karena Radi tidak bisa hadir. Mungkin, kalo perempuan lain ada di posisi kamu, mood mereka udah buruk dan bisa aja langsung pulang. Tapi kamu nggak. Kamu beda. Dari raut wajah kamu, saya tahu kamu mencoba memahami Radi. Dan buat saya, kamu hebat.”

Mendengar itu, Nadhifa termangu menatap mata saya. Entah apakah dia bisa tahu bahwa ada sebagian perkataan saya yang tidak tulus saya ucapkan, atau dia merasa tersanjung dengan itu semua. 

Senyum mengembang di wajah Nadhifa. Dan dari senyum itu, saya menyimpulkan bahwa Nadhifa pun bahagia bisa menjalani hubungan ini dengan Radi. Terlebih saat dia mengatakan, “Kamu benar. Saya memang kecewa karena dia tidak bisa ikut. Tapi, saya juga bangga dengannya. Karena saya tahu, ia melakukan ini semua demi masa depannya, masa depan kami. Saya hanya perlu memahaminya lebih lama.”

Ada sesuatu yang menampar pikiran saya, menyadarkan saya bahwa selamanya Nadhifa akan tetap berjalan di samping Radi. Begitupun sebaliknya. Sekarang saya harus melihat realita; saya telah bersama Afina dan Nadhifa telah bersama Radi.

Namun, ada sesuatu di balik ucapan Nadhifa yang belum bisa saya pahami. Terlebih dari perkataan terakhirnya yang mengadung pengorbanan. Saya tidak bisa merasakan kehangatan di ucapannya itu. Mata saya tak lepas mengamati raut wajah Nadhifa. Ada gelombang yang sulit ia pahami. Sesuatu yang seolah terpaksa dijalani. 

Dari jauh terdengar suara Mas Bima dan Mba Adel. Mba Adel kembali dengan senyuman dan tangan yang menjinjing barang belanjaan. Mas Bima berjalan di belakangnya dengan raut wajah melas.

Kening Mba Adel berkerut setelah ia melihat saya dan Nadhifa diam tanpa suara. “Kalian kenapa? Ada masalah?” Mba Adel menembak dengan pertanyaan. 

Saya dan Nadhifa kompak menggelengkan kepala. Untuk mengalihkan pembicaraan, saya membalas dengan bertanya, “Mas Bima kenapa, Mba? Ko mukanya mendadak melas gitu?”

“Ohhh, biasalah. Habis sedekah.”

“Sedekah?”

“Iya. Dia habis belanjain saya baju baru.”

Senyum getir tampil di wajah saya dan Nadhifa. Pantas saja wajah Mas Bima memelas, ternyata ia habis diperas, batin saya berkata.

Langit mulai remang, kemerahan mulai datang. Mba Adel dan Mas Bima mengajak saya dan Nadhifa makan malam di salah satu restoran kesukaannya. Tapi, Nadhifa menolak dengan alasan ia sudah terlalu lelah. Mendengar alasannya itu, Mba Adel kembali beraksi dengan menyuruh saya menemani Nadhifa pulang ke rumah. 

“Saya bisa pulang sendiri, ko, Mba. Saya naik ojek online aja,” ucap Nadhifa.

“Ish! Nggak baik perempuan pulang sendirian maghrib begini. Bahaya.”

“Tapi, saya udah bia—-“

“Laut, kamu temenin Mba Nadhifa, ya,” potong Mba Adel yang langsung menatap saya.

“Saya laper, Mba.” Saya mencoba untuk mengalahkan permintaan Mba Adel. Sedangkan Mas Bima hanya bisa diam tanpa suara. Saya mulai bisa memprediksi bahwa Mas Bima akan menjadi suami yang takut istri. 

“Kalo itu gampang. Mas Bima bungkus dan anterin ke rumah kamu,” balas Mba Adel tak mau kalah.

Merasa tidak ingin berdebat panjang karena tahu pasti akan kalah, saya mengangguk dengan cepat. Saya menoleh ke Nadhifa yang ternyata juga sedang memandang saya. Akhirnya, saya dan Nadhifa angkat kaki dari tempat itu.

Sebuah rumah sederhana tanpa halaman dengan pohon kecil menyambut mata saya. Nadhifa membuka pagar lalu mempersilakan saya masuk. Saya mengangguk, berjalan masuk dan duduk di sebuah kursi plastik di teras rumah. Nadhifa masuk dan tak lama kemudian kembali membawa segelas air putih. 

“Maaf, ya, cuma ada air putih,” ucapnya sambil menjulurkan gelas tadi. Saya menerimanya tanpa bicara apa-apa.

Saya menyeruput gelas air putih itu sebelum kembali mengedarkan pandangan ke semua arah. 

“Jogja itu seperti surga, Laut. Dan yang menjadikan Jogja seperti surga adalah keserhanaannya.”

“Kamu tinggal sendiri?”

Nadhifa mengangguk. “Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun lalu.”

Mendengar itu, saya merasa bersalah telah bertanya. Dengan gestur agak kaku, tangan saya hendak menarik tangannya, menguatkannya, tapi keinginan itu saya tahan. Akhirnya saya hanya meminta maaf atas pertanyaan tadi. 

“Bukan salah kamu. Memang sudah waktunya. Laut, seberapa keras kamu menahan seseorang untuk tinggal, jika Tuhan menginginkan dia pergi, ya dia akan tetap pergi.”

Saya menelan ludah. Baru kali ini saya mendengar seorang perempuan seusia saya mengatakan ucapan yang bijak seperti itu. Pertemuan dengan Nadhifa memang bukan sekedar pertemuan biasa. Ada banyak hal yang menarik dari hidupnya. 

“Apa kamu udah bisa ikhlas?”

Nadhifa mengangguk.

“Caranya?”

“Ikhlas itu datang dari hati. Kamu harus yakin dulu sama diri kamu kalo kamu bisa ikhlas.”

Tanpa terasa, senyum saya mengembang ketika mendengar ucapan Nadhifa barusan. Saya menatap matanya yang memancarkan ketulusan. Benar kata Nadhifa, saya harus yakin sama diri sendiri. Mungkin selama ini saya belum bisa ikhlas dengan kepergian Ibu karena saya nggak yakin dengan diri saya sendiri. 

“Kamu kenapa?”

“Hah? Kenapa apanya?”

“Kenapa ngelihatin saya gitu?”

“Nggak kenapa-kenapa. Cuman heran aja,”

“Heran sama?”

“Heran aja kamu bisa juga ngeluarin kata-kata kaya quotes gitu. Saya jadi minder.”

“Harusnya memang begitu.”

“Ko gitu?”

“Ya kan udah saya bilang sama kamu kalo tulisan kamu tuh jelek dan nggak punya nyawa.”

“Iya, iya, Nad. Jahat banget sih diingetin terus.”

Sedetik kemudian tawa merdunya terdengar. Entahlah, tawanya terasa sejuk di telinga saya. 

“Oh, ya. Kamu belum makan, ya? Ya udah, yuk, sekarang makan.”

Saya mengangguk. 

***

“Nad, saya mau tanya sesuatu boleh?”

“Tanya aja. Nggak perlu izin,” jawab Nadhifa setelah memesankan dua mie rebus pakai telor dan dua gelas es teh manis.

“Emangnya kamu mesti banget ya kerja sambil kuliah? Nggak kesusahan bagi waktunya?”

“Mau jawaban jujur atau bohong?”

“Dua-duanya.”

“Kalo jawaban yang bohong, saya kerja sekaligus kuliah karena saya cinta Sastra dan saya suka nyari kesalahan orang lain. Kayanya kalo yang kedua nggak perlu saya jelasin lagi deh, toh kamu kan ngerasain, hahaha.”

“Kalo kamu cinta sama Sastra, kenapa nggak nulis juga?”

“Bagi saya, menulis itu butuh tanggung jawab yang besar. Meskipun nanti buku yang telah ditulis adalah hak milik pembeli, tapi bagi saya penulis juga punya hak untuk memberi santapan baca yang enak. Kalo si penulis malah bikin sakit perut pembaca karena tulisannya yang jelek, gimana? Saya bilang jelek, ya, bukan aneh.”

“Memangnya kalo aneh kenapa?”

“Ya... kalo aneh, itu justru yang banyak dicari orang. Kamu sudah baca tetralogi pulau buru karya Eyang Pra?”

“Kalo buku-buku itu sih nggak usah ditanya. Itu mah buku wajib, Nad.”

“Bagaimana menurut kamu tentang buku-buku itu?”

“Ummmmm.... menarik.”

“Kata menarik aja nggak cukup buat gambarin kehebatan tetralogi pulau buru. Kalo saya boleh bilang, saya akan bilang tetralogi pulau buru adalah buku-buku aneh. Aneh karena nyatanya buku itu bisa merobohkan dinding kebodohan di masyarakat kita. Aneh karena nyatanya buku itu bisa menggerakkan roda pola pikir masyarakat kita. Aneh karena nyatanya buku itu tidak hanya bernyawa, Laut, tapi juga memberi nyawa.”

“Lalu, kamu nggak berani untuk ngambil tanggung jawab penulis?”

“Bukannya nggak berani, tapi belum. Saya masih senang menyalahkan tulisan orang lain.”

“Nad, sorry ya, tapi kamu nggak takut dibenci sama para penulis karena udah ngedit atau nyalahin tulisan mereka?”

“Memangnya kamu benci saya, Laut?”

Deg!

“Loh?! Ya nggak, maksud saya nggak gitu. Saya cuma—-“

“Hahahaha. Iya, saya mengerti maksud kamu. Saya bercanda,” potongnya sebelum melanjutkan, “Laut, saya lebih baik dibenci penulis daripada dibenci pembaca. Dalam arti, ketika saya meloloskan tulisan yang buruk, itu artinya saya telah membunuh pikiran banyak orang, karena saya tahu bahwa tulisan ini akan menjadi konsumsi publik. Dan seharusnya, sebagai penulis, orang itu mempunyai iktikad yang baik perihal tujuan menulisnya, apakah ia mau membodohi masyarakat atau memintari mereka.”

Saya tersenyum mendengar jawabannya. “Saya nggak nyangka kamu punya pola pikir hebat kaya gini.”

“Memangnya selama ini kamu nyangka saya seperti apa?”

Saya menggelengkan kepala, tidak ingin menjawab. Dan beberapa detik kemudian suara tawanya terdengar. “Saya tahu, seringkali mulut saya mengkritik begitu saja. Saya minta maaf, ya.”

Mata saya melebar mendengar permintaan maafnya. “Kamu nggak perlu minta maaf, Nad. Kan kamu cuma ngelakuin tugas kamu aja. Lagipula, saya juga tahu ko kamu nggak ada niatan nyakitin orang lain.”

“Kecuali kamu.”

“Hah?”

“Ya kalo kritikan untuk kamu saya serius. Lagian, ko bisa-bisa Pak Rama meloloskan penulis seperti kamu.”

“Yahhh, Nad. Jahat banget,” ucap saya lesu.

“Bercanda, Laut,” balasnya dengan senyuman tipis sebelum berkata, “Sayapercayakamubakaljadipenulisyanghebat.”

“Kenapa, Nad?”

“Kenapa apa?”

“Barusan kamu ngomong sesuatu?”

“Nggak.”

“Seriusan?”

“Iya! Udah deh, ayo makan baksonya,” ajaknya yang kebetulan memang pesanan kami sudah datang.

Saat ia menuangkan beberapa sendok sambal ke baksonya, saya hanya diam tidak melakukan apa-apa sampai ia menyadari itu dan memasang wajah galaknya. “Loh, ya ayo makan, ko diem aja.”

“Nad, makasih ya udah percaya sama saya. Saya mau kamu terus bimbing saya.”

Sejenak saya melihat Nadhifa termangu mendengar ucapan saya barusan. “Kenapa?”

Nadhifa menggelengkan kepala dengan cepat, seolah ia tidak ingin menanggapi lebih lanjut ucapan saya. Belum lima menit kami makan, seseorang datang dan menyapa kami berdua. 

“Kenapa telat?”

“Hah? Kan cuma lima menit, Nad.”

“Radi... sekali telat ya tetap telat.”

“Iya deh. Maaf, maaf.”

Radi pun duduk di samping Nadhifa setelah menyapa saya. Saya tidak mengira akan kedatangan Radi. Saya pikir saya akan makan berdua bersama Nadhifa. Halah! Bodoh kamu Laut! Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?! Memangnya kenapa kalo kamu makan berdua dengan Nadhifa? Bukankah itu hal yang wajar?

“Heh! Kebiasaan deh kalo makan bakso sambalnya nggak ngira-ngira,” ucap Radi pada Nadhifa sembari mencubit hidungnya pelan. 

“Ih! Mana nikmat kalo makan bakso tanpa sambal?”

“Kalo nanti sakit perut, baru deh ngadu ke aku.”

“Memangnya kamu keberatan kalo aku ngadu ke kamu?”

Kini tangan Radi berada di atas kepala Nadhifa dan mengacak-ngacaknya, “Ya nggak lah! Kan kamu pacar aku, Nad. Aku nggak keberatan, khawatir iya.”

“Aduh Radi... kerudung aku jadi berantakan nih. Udah deh, mending kamu pesen makan gih!”

Radi tertawa melihat tingkah laku pacarnya. Saya bisa menangkap lembaran kebahagiaan yang terbentang di antara mereka berdua. Saya yakin mereka berdua sangat bahagia bisa memiliki satu sama lain. Di depan Radi, Nadhifa seolah bisa melepaskan kepenatannya dari dunia, bisa bercerita banyak hal, dan yang terpenting bisa menjadi dirinya sendiri. Bagi Nadhifa, Radi adalah tempat ternyamannya untuk pulang dan mengisi ruang. 

“Laut, saya lupa ngasih tahu kamu kalo Radi akan join makan bareng kita, nggak apa-apa, kan?”

“Nggak apa-apa, Nad. Ko mesti nanya saya? Hahaha.”

Nadhifa menganggukkan kepala. “Gimana hubungan kamu sama pacar kamu?”

“Baik.”

“Kalo dari novel-novel yang saya baca, menjalani hubungan jarak jauh itu sulit. Apa benar?”

“Entahlah, saya hanya menjalani apa yang sepatutnya dijalani.”

“Kamu percaya hubungan seperti ini akan bertahan?”

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tugas saya saat ini hanya mempertahankan apa yang semestinya dipertahankan.”

“Kata orang, modal penting menjalani hubungan jarak jauh adalah saling percaya. Apa kalian saling percaya?”

“Sama seperti ikhlas, percaya itu urusan hati dan hati saya memilih untuk percaya.”

“Bagaimana dengan dia? Apa dia juga percaya kamu?”

Saya tidak tahu alasan di balik pertanyaan-pertanyaan ini. Tapi yang saya tahu ada sedikit keraguan untuk menjawab pertanyaan terakhir. Melihat dari bagaimana hubungan saya dan Afina berjalan sejauh ini, saya yakin dia juga percaya sama saya. Namun keyakinan akan sesuatu tidak merubah kenyataan. 

“Hahaha, saya bercanda, Laut.”

“Ada apa nih? Ko ketawa nggak ngajak-ngajak?” Radi bertanya sembari duduk dan meletakkan satu mangkok baksonya. 

“Kepo banget, weeee!” balas Nadhifa menjulurkan lidah. 

“Dih! Ngeselin!” Lagi-lagi Radi melakukan tindakan lucu yang membuat Nadhifa tertawa. 

“Aku cuma nanya sama Laut, gimana hubungan dia sama pacarnya,” jelas Nadhifa.

“Loh? Laut! Kamu udah punya pacar?” Radi bertanya.

Saya mengangguk. “Sudah. Tapi dia ada di Jakarta.”

“Oalah! LDR toh! Kalo saya sih nggak kuat buat LDR.”

“Kenapa? Bukannya waktu itu kamu yang suka pergi lama-lama?” Nadhifa bertanya dengan raut wajah kesalnya.

“Ya aku nggak kuat jauh-jauh dari kamu. Kalo jauh-jauh tuh rasanya sakiiiiiiit banget.” 

“Halah! Bohong dasar!” Nadhifa merajuk kesal sebelum beberapa detik selanjutnya tertawa lepas karena tingkah laku Radi.

Begitulah selanjutnya. Radi menceritakan betapa beratnya menjadi mahasiswa akhir semester sekaligus mahasiswa yang dipercaya dosen untuk mengurus beberapa proyek. Apalagi ia juga sedang mencoba untuk membantu bisnis keluarganya. Dari ceritanya, saya yakin Radi adalah manusia dengan sejuta mimpi dan semangat. Serta rencana hidup yang sudah tersusun rapih dan jelas. Seolah ia sudah berjalan di jalan yang benar untuk sampai pada tujuannya. Terlepas dari itu semua, ia sangat bersyukur karena ia tidak melalui ini semua sendirian. Ada Nadhifa yang melangkah di sampingnya, tidak di depan dan tidak pula di belakang. Radi tidak pernah ingin Nadhifa berada di depan atau di belakangnya, karena ia ingin Nadhifa turut membantunya menentukan langkah selanjutnya dan tidak juga hanya mengekor dirinya tanpa penjelasan. Semua langkah yang Radi ambil pun adalah bagian dari diskusinya bersama Nadhifa. 

Nadhifa benar-benar hidup ketika bersama Radi. Ia benar-benar merasa menjadi manusia karena Radi memperlakukannya sebagai manusia. 

“Oh ya, gimana kuliah kamu, Laut? Saya dengar dari Nadhifa kamu itu seorang penulis? Wah! Kalo iya, berarti kamu sudah tepat untuk ngambil jurusan Sastra!”

“Sejauh ini lancar. Mata kuliahnya pun nggak terlalu sulit.”

“Emang beda sih kalo penulis. Laut, saya minta tolong sama kamu boleh?”

“Kamu mau ngapain?” Nadhifa bertanya penasaran sekaligus heran. Dari ekspresi Nadhifa, saya menebak bahwa Radi bukan tipikal orang yang gampang meminta tolong. 

“Kalo saya bisa bantu, saya bantu.”

“Tolong jagain Nadhifa, ya. Saya tahu banyak mahasiswi yang nggak suka sama dia. Saya nggak mau dia dibully atau dikucilkan.”

“Apaan sih! Aku bisa jaga diri aku sendiri, ko! Lagian, kan kamu tahu para mahasiswi yang ngucilin aku itu ya para penggemar kamu!”

“Ya terus aku mesti gimana, Nad? Kamu sih!”

“Ko aku?”

“Punya pacar seganteng dan sepintar aku! Jadi ribet kan! Hahahaha.” Radi tertawa puas melihat Nadhifa jutek. 

“Au ah!” Nadhifa langsung memasang wajah kesal. “Lagian, tumben-tumbenan kamu minta tolong kaya gini, kenapa? Kamu ada proyek baru?”

Mendadak suasana berubah menjadi serius ketika Radi memasang mimik wajah yang tajamnya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada Nadhifa. Melihat itu, saya bangkit dan berkata pada mereka, “Kalo kalian mau ngobrolin hal serius, saya nunggu di luar aja.”

“Nggak usah, Laut. Kamu duduk aja,” Radi menahan. 

Saya pun kembali duduk. Radi menghela napas tipis sebelum mengambil tangan Nadhifa, menggenggamnya, mengusap-ngusap punggung telapak tangannya. Nadhifa masih menunggu apa yang Radi ingin bicarakan. Sedetik kemudian Radi berkata, “Nad, aku tahu ini mendadak. Seharusnya aku udah bicarain ini jauh-jauh hari sama kamu. Tapi aku bingung ngomongnya gimana. Kamu tahu kan aku punya target-target yang nggak bisa aku tinggalin. Ini semua demi masa depan aku. Nad... dua bulan yang lalu, Profesor Hamka mengajak aku untuk gabung di tim penelitiannya.”

Nadhifa mendengar itu semua dengan cermat dan tenang, seolah ia tahu Radi belum mengeluarkan puncak pembicaraannya. 

“Profesor Hamka mau aku ikut beliau ke Jerman selama satu tahun.”

Inilah yang Nadhifa tunggu. Pandangannya tertuju pada Radi yang memilih untuk menunduk setelah mengucapkan kalimat terakhir. 

“Kenapa kamu baru bilang sekarang?” Nadhifa bertanya dengan nada yang mulai bergetar.

“Nad, aku nggak mau ganggu kesibukan kamu. Aku juga bingung harus bilang ke kamu kapan dan gimana.”

“Alasan klasik. Dan kamu pikir sekarang waktu yang tepat? Kamu pikir ini cara yang tepat?”

“Nad, aku nggak bisa tolak tawaran Profesor Hamka. Beliau itu orang penting dalam pendidikan aku.”

“Kamu pikir hubungan ini nggak penting? Barusan kamu bilang kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku dan sekarang?”

“Nad, ayo dong, jangan kaya anak kecil gini.”

“Anak kecil gimana?!”

Suara lantang Nadhifa menarik perhatian pengunjung yang lain. Sebagian merasa terganggu dan sebagian lagi penasaran dengan apa yang terjadi.

“Ya kamu tenang dulu. Aku mau jelasin semuanya.”

“Terserah!” Nadhifa bangkit tanpa pamit. Saya lihat matanya sudah berkaca-kaca. Radi mencoba menggapai tangannya, namun Nadhifa dengan cepat menepisnya dan pergi. 

Saya tidak menyangka makan malam ini akan berubah menjadi seperti ini; berantakan. Tidak seperti kebanyak pemeran pria yang saya baca di novel, Radi tidak mengejar Nadhifa. Saya pun hanya bisa duduk di tempat, bingung harus apa. Tiba-tiba Radi memanggil saya dan berkata, “Laut, saya minta maaf udah bikin mood makan kamu berantakan.”

“Tidak masalah.”

“Dan... saya serius dengan permintaan saya. Saya tahu saya salah karena baru memberitahu Nadhifa sekarang. Tapi, proyek ini benar-benar penting buat saya. Saya minta tolong sama kamu untuk jaga Nadhifa selama saya pergi. Kamu bisa?”

“Sa—saya....”

“Saya mohon sama kamu, Laut. Sejak pertama ketemu sama kamu, saya tahu kamu orang yang bisa saya percaya. Jadi, sekali lagi saya mohon.”

“Saya usahain.”

“Terima kasih.”

Malam ini ditutup dengan masalah yang terjadi antara Nadhifa dan Radi. Terlebih lagi, permintaan dari Radi yang membuat isi kepala saya berantakan. Hubungan saya dengan Nadhifa memang sedang membaik, namun itu bukan berarti saya bisa berada di sampingnya setiap saat. Dengan karakter Nadhifa yang kritis, wajar saja banyak mahasiswi yang menyudutkannya. Bukan hanya karena para mahasiswi itu menyukai Radi. Yah... tapi apa boleh buat, saya sudah bilang pada Radi akan mengusahakan. 

Radi akan pergi ke Jerman entah kapan. Saya sudah memberikan nomor saya padanya. Katanya ia akan mengabari saya perihal waktu keberangkatannya. Dan Nadhifa... wajar saja ia marah seperti itu. Rumah tempatnya berbagi dan menjadi diri sendiri sebentar lagi akan pergi. Meskipun mereka bisa berkomunikasi jarak jauh, namun itu sangat berbeda dengan kehadiran fisik. 

Drettttttt!

Ponsel saya bergetar. Ada panggilan videocall dari Afina. 

“Ya, Fin?........Udah, ko, barusan aku udah makan bakso. Kamu udah makan?...... Akhir-akhir ini tugas aku semakin banyak..... nggak, ko, kamu nggak perlu kirim aku vitamin. Nenek Darmono sudah kasih aku banyak vitamin. Kamu sendiri gimana kuliah?.......”

Kadang, saya sering lupa bahwa dalam hidup saya juga ada Afina, perempuan yang sedang saya perjuangkan. Saat awal keberangkatan saya ke Jogja, Afina pun tidak henti-hentinya memberi pesan atau melakukan panggilan, dan saya mewajari itu semua. Namun, akhir-akhir ini Afina sepertinya lebih mengerti dengan kondisi saya. Mendengarnya bercerita banyak hal, melihat wajahnya meskipun lewat videocall, setidaknya sudah mengusir sedikit kerinduan saya. Tapi, entah kenapa saat ini semuanya terasa bercampur. Saat saya sedang berbicara dengan Afina, seharusnya hanya ada Afina di kepala saya, tapi, kenapa sekarang ada Nadhifa di sana?

Setelah bercerita panjang lebar, Afina berkata ia mulai mengantuk. Saya memintanya untuk tidur. Ia mengangguk namun dengan syarat saya akan menemaninya. Dengan kata lain, saya tidak boleh mematikan panggilan videocall ini. 

“Laut,”

“Iya,”

“Aku kangen sama kamu.”

“Iya, Fin. Aku juga.”

“Kamu belum ada rencana pulang?”

“Belum.”

“Minggu lalu aku iseng main ke rumah kamu. Aku juga ketemu Bapak.”

Bapak. Entah bagaimana kabarnya. Semenjak menginjakkan kaki di tanah Jogja, belum sekali pun saya menghubunginya. Saya merasa hal itu tidak perlu. Toh, Bapak juga kan yang mempersilakan saya pergi. 

“Kamu tenang aja. Bapak sehat, ko.”

Mendengar itu, ada rasa lega yang keluar dari diri saya. 

“Kamu nggak usah khawatir. Aku dan Hendra pasti jagain Bapak di sini.”

“Iya. Makasih, ya.”

“Laut,”

“Mmmmm...”

“Aku sayang kamu.”

Mendengar Afina mengucapkan itu, saya merasa aneh. Saya tahu bahwa Afina sayang sama saya, tapi entah kenapa kali ini berbeda. Ada satu hal yang membuat saya ragu untuk mengucapkan perkataan yang sama. Sedetik kemudian, suara tangis mulai terdengar dari ujung sana. Afina menenggelamkan wajahnya di bantal. Ia tidak ingin saya melihatnya menangis. 

Ludah yang membasahi tenggorokan saya terasa pahit. Saya terus menatap layar ponsel, mendengar isak tangis Afina yang tertahan. “Fin, aku tahu ko kamu sayang sama aku. Aku percaya itu. Dan aku minta maaf kalo udah bikin kamu harus jalanin hubungan jarak jauh kaya gini. Ini semua karena ego aku, Fin. Maaf.”

Afina menggelengkan kepala sebelum membalas tatapan saya. Matanya sudah memerah. “Aku nggak pernah nyesel jalanin hubungan ini sama kamu, Laut. Aku cuma nggak tahu apakah aku kuat atau nggak. Aku butuh kamu, Laut.”

“Fin... aku juga butuh kamu. Kalo kamu butuh waktu untuk sendiri, silakan.”

“Aku bingung, Laut. Aku bingung.”

“Kayanya kamu kecapean. Ya udah, sekarang kamu istirahat dulu, ya. Nggak usah mikirin hal yang nggak perlu dipikirin.”

“Laut... maaf.”

“Nggak apa-apa. Sekarang kamu tidur, ya. Kita rapihin satu per satu.”

Afina mengangguk sebelum mengakhiri videocallnya. Saya membaringkan badan saya di atas kasur, membiarkan semua tulang dan otot kencang saya renggang secara perlahan. Sembari memijit kening, saya berkata, “Kenapa hidup serumit ini?”

***

“Laut!” 

Saya yang sedang berjalan menuju perpustakaan menoleh ke belakang saat seseorang memanggil nama saya. Rupanya Mas Bima. 

“Kenapa, Mas? Ko kaya habis jogging gitu?”

“Lagi bingung saya nih!”

“Bingung kenapa?”

“Nyi Roro Kidul kita hilang.”

“Nyi Roro Kidul? Siapa, Mas? Saya nggak ngerti.”

“Mba Nadhifa, Laut!”

“Hah?! Hilang gimana?”

“Sudah seharian saya cari di kampus tidak ada. Saya cari di kantor juga tidak ada. Sedangkan para pemilik toko buku dan para penulis tuh sudah chat-chat saya, nanyain gimana kondisi bukunya.”

“Mas Bima sudah ke rumahnya?” 

“Sudah, tapi tetep nggak ada. Nomornya juga nggak bisa dihubungin.”

“Ya sudah, nanti saya bantu cari, Mas.”

Sepertinya keinginan untuk meriset bahan tulisan di perpustakaan harus saya singkirkan dulu. Saya melirik jam tangan. Sudah jam tiga sore. Lima belas menit lagi saya ada kelas terakhir. Saya menyapu pandangan ke setiap sudut dan ketika menemukan yang saya cari, saya langsung bergegas pergi. 

“Yan! Riyan!” 

Seorang cowok dengan kacamata, kaos oblong abu-abu dan celana hitamnya menoleh ketika saya memanggil namanya. 

“Oi! Kenapa teriak-teriak gitu?”

“Saya titip absen ya buat kelas terakhir. Saya ada urusan mendadak.” 

Tanpa menunggu balasan Riyan, saya langsung cabut ke lapangan parkir. Rumah Nadhifa adalah tujuan saya. Sesampainya di rumah Nadhifa, saya mengetuk pintunya beberapa kali. Motornya terparkir di depan rumah, bukankah itu artinya Nadhifa ada di dalam? 

“Nad, ini saya, Laut.”

“Nad, saya mau ngomong sesuatu sama kamu.”

Tidak ada sahutan. Di saat seperti ini, mengintip bukan cara yang benar. Sudah hampir satu jam saya berada di teras rumah, namun saya tidak juga mendapatkan tanda-tanda kehidupan. Karena badan saya terasa pegal, saya memutuskan untuk menyelonjorkan kaki di kursi yang lain. Sial! Kenapa angin sore ini membuat saya mengantuk. 

Bunyi decitan pintu menyadarkan saya dari alam mimpi. Saya menggelengkan kepala, berusaha menarik kembali ruh saya, mengucek mata sebelum mata saya dengan jelas melihat Nadhifa baru saja masuk ke dalam rumah.  

Ketika bangkit dari kursi, Nadhifa sudah menutup kembali pintu rumah.

“Nad, saya perlu ngomong sama kamu.”

“Ayo dong, Nad. Udah mau maghrib, nih!”

Kemudian suara azan terdengar dari toa masjid dekat sini. 

“Tuh kan, Nad. Udah adzan maghrib. Udah waktunya saya makan. Masa kamu tega sama saya. Saya udah nungguin kamu hampir empat jam. Saya dehidrasi nih! Saya butuh minum dan makan. Kamu mau saya mati kelaparan? Terus polisi ngegrebek rumah kamu karena para warga nemuin mayat cowok ganteng tergeletak di sini? Kamu nggak mau kan hidup kamu susah gara-gara saya? Nad, saya juga nggak tahan nih, saya mau kenc—-“

Ucapan saya terpotong saat melihat pintu terbuka dan memperlihatkan Nadhifa yang tengah menggenggam pisau. Ia berdiri sambil menatap tajam ke arah saya. 

“Astagfirullah! Nad, kamu kemasukan?” saya mengambil langkah mundur. 

“Kamu mau masuk atau nggak?”

“Ya mau... tapi, harus banget kamu bawa pisau gitu?”

“Cepetan!” 

Saya mengangguk dan masuk ke dalam rumah sembari berzikir dalam hati, meminta ampun atas dosa-dosa yang saya lakukan bila sekiranya hari ini adalah hari terakhir saya hidup. 

“Kamar mandinya di sana,” Nadhifa menunjuk ke sebuah ruangan sebelah dapur. 

Setelah dari kamar mandi, saya menghampiri Nadhifa yang tengah memasak di dapur. Dengan penuh ragu, saya berkata, “Kamu masak apa, Nad?”

“Sop daging manusia.”

“Ya Allah, Nad. Serem banget jawabannya.”

“Kenapa? Kamu mau saya masak juga?”

Saya menggelengkan kepala. “Saya bantu, ya.”

“Emangnya bisa?”

“Kita coba.”

Jarum pendek sudah menunjukkan hampir angka delapan malam ketika saya dan Nadhifa telah selesai memasak. Saya kira masakan ini untuk dimakan olehnya, tapi ia malah menaruhnya di sebuah rantang dan membungkusnya. Ia meminta saya untuk menunggu di luar sementara ia akan berganti pakaian. 

Lima belas menit kemudian Nadhifa keluar dengan kaos hitam, celana jogger hitam dan cardigan abu-abunya serta hijab hitamnya. Tangannya menjinjing bungkusan rantang yang telah ia siapkan tadi. 

“Ayo ikut saya,” ajaknya.

Tanpa berani bertanya, saya mengikutinya setelah ia memberikan kunci motornya pada saya lalu duduk di belakang. Saya mengendarai ke mana Nadhifa memberi arah. Hingga roda kami berhenti di depan sebuah yayasan bernama Tali Abadi. Nadhifa turun dan melangkah memasuki yayasan itu. Saya mengekor dari belakang, masih tidak tahu apa yang Nadhifa maksud. 

“Halo, Bu Ati,” sapa Nadhifa.

“Hai, Ka Nadhifa. Ya Allah, udah satu minggu ini nggak ngelihat.”

“Iya, Bu. Ada urusan. Maaf, ya.”

“Lohhh, ko minta maaf. Ya nggak apa-apa. Ibu paham, ko. Ya sudah, mau langsung aja?” 

Nadhifa mengangguk sebelum langkahnya terhenti karena melihat langkah Bu Ati terhenti. Nadhifa menoleh ke arah Bu Ati yang sedang memerhatikan saya, mengamati saya dari atas hingga ke bawah.

“Masnya siapa toh?” tanya Bu Ati.

“Ini teman saya, Bu,” Nadhifa menjawab.

“Oalah! Kirain pacar barunya Ka Nadhifa. Soalnya yang ini lebih ganteng dari yang kemarin.”

Sudah jelas maksud dari ‘yang kemarin’ adalah Radi. Ternyata Radi juga pernah menemani Nadhifa ke tempat ini. Ya jelaslah! Namanya juga pacar! Dasar bodoh kamu, Laut!

Nadhifa tidak menanggapi hal itu dan malah berkata, “Bu Ati, pergi sekarang bisa?”

Bu Ati mengangguk. “Iya, Ka.” 

Mereka berdua berjalan di depan saya. Bu Ati memeluk lengan Nadhifa sembari bercerita perihal seseorang yang saya tidak tahu. Tak lama kemudian kita sudah berada di depan pintu sebuah kamar. Bu Ati membuka pintu itu secara perlahan, sebelum akhirnya saya bisa melihat jelas seorang perempuan tua dengan rambut putih yang berantakan tengah duduk di sebuah kursi menghadap taman kecil. 

Bu Ati dan saya berdiri di ambang pintu, sedangkan Nadhifa berjalan mendekati perempuan tua itu. Saya melihat tangan Nadhifa bergetar sebelum ia menyentuh punggung tangan perempuan tua itu dan menciumnya. Dan telinga saya tentu tidak salah dengar ketika Nadhifa berkata, “Bu, Nadhifa bawakan sop daging ayam kesukaan Ibu. Semoga Ibu suka, ya. Kata Bu Ati, Ibu belum makan dari pagi. Sekarang kita makan ya, Bu.”

Nadhifa mengambil piring di atas meja, menuangkan nasi di atasnya dan membuka rantang yang tadi ia bawa. Dengan penuh kasih sayang, Nadhifa menyuapi Ibunya. Mulut ibunya terbuka dan menerima setiap suapan yang Nadhifa berikan. 

Sembari menyuapi, Nadhifa bercerita banyak hal tentang kesehariannya. Mulai dari kuliah, kerjaan kantor dan bersih-bersih rumah. Ada satu hal yang tidak diceritakan Nadhifa pada ibunya; asmaranya dengan Alex. 

Saya tertegun melihat bagaimana Nadhifa memperlakukan Ibunya dengan lembut, meski saya heran kenapa Ibunya tidak juga mengucapkan barang satu kata pun. Sampai makanannya habis, ibunya tidak kunjung memberi reaksi apa-apa. Beberapa kali saya lihat Nadhifa menyeka air matanya yang sudah berada di sudut matanya. Ia berusaha terlihat kuat di hadapan Ibunya. 

“Ya sudah, Bu. Nadhifa pamit dulu, ya. Ibu jaga kesehatan. Jangan telat makan dan jangan lupa istirahat,” ucap Nadhifa sebelum mencium kening Ibunya. Lagi-lagi Ibunya hanya bisa diam seribu bahasa. 

Nadhifa melangkah pergi keluar kamar seraya menutup mulut dan hidungnya. Bu Ati memberi isyarat pada saya untuk menemani Nadhifa, sementara ia akan mengurus Ibu Nadhifa. Saya mengangguk dan mengikuti langkah Nadhifa. Ternyata ia sudah berdiri di samping motornya. 

“Nad,”

“Saya mau pulang, Laut.”

“Iya.”

Di sepanjang jalan, Nadhifa memilih untuk diam, seolah ia tenggelam dalam lamunan yang dihadirkan semesta. Meski langit malam ini terlihat cerah, namun pandangan Nadhifa malah sebaliknya. Kosong. 

Tanpa seizinnya, saya melipirkan motor di pinggir jalan, dekat para pedagang kaki lima membariskan gerobak-gerobaknya. 

“Kenapa malah ke sini?!” Nadhifa bertanya dengan nada jengkel.

“Kita makan dulu.”

“Saya nggak mau makan.”

“Ya kalo gitu kamu harus temenin saya makan.”

“Kenapa harus?”

“Karena saya yang minta.”

“Memangnya kamu siapa berhak meminta saya nemenin kamu makan?”

“Ya... saya sih bukan siapa-siapa. Tapi yang pasti, saya lebih ganteng daripada yang kemarin. Itu kata Bu Ati loh! Bukan kata saya.”

“Cih! Dasar kepedean! Ya sudah, saya temenin kamu makan. Tapi setelah itu kita langsung pulang!”

Saya mengangguk. Kini saya dan Nadhifa duduk di sebuah bangku kayu yang mengarah ke sebuah lapangan luas. Puluhan anak-anak kecil sedang bermain lari-larian ditemani orang tua mereka yang tengah menyantap kuliner. Di tangan kiri saya sudah ada satu piring nasi goreng porsi banyak. Saya memakannya sedikit demi sedikit. 

“Kamu tuh makannya emang lemot gitu, ya?” Nadhifa bertanya dengan nada sinis.

“Ya kan makan juga butuh waktu, Nad. Nggak baik kalo cepet-cepet, nanti keselek.”

“Tapi nggak mesti lambat gitu juga, kan. Kalo gitu terus, kapan kita—-“

Suara perut Nadhifa memotong ucapannya sendiri. Saya tidak kuasa menahan tawa mendengar suara itu. Wajah Nadhifa mendadak merah. Ia memalingkan wajah ke arah lain. Saya pun meletakkan piring nasi goreng itu di sampingnya lalu pergi sebentar dan kembali duduk.

“Ayo makan,” ucap saya sambil memberikan satu sendok baru pada Nadhifa. 

“Saya nggak laper.”

“Nggak usah gengsi bisa, nggak? Kalo laper tuh jujur aja. Buruan makan. Kalo kamu nggak makan, saya bakal lebih lambat ngabisin nasi gorengnya.”

Nadhifa memalingkan wajahnya ke arah saya dengan dua sudut alis yang bertemu. 

“Mukanya bisa santai aja, nggak? Jangan kesel gitu sama saya, bahaya.”

“Bahaya kenapa?”

“Bahaya nanti kangen.”

“Idih! Sekali lagi kamu ngomong gitu, saya tonjok.”

“Iya-iya, bercanda. Ya udah, nih, makan.”

“Ini satu piring berdua?”

“Iya, Nad. Saya nggak ada duit lagi buat beli satu porsi lagi. Lagian, saya sengaja beli porsi yang banyak.”

“Sengaja?”

Saya mengangguk. “Saya tahu kamu pasti laper, makanya saya beli porsi yang banyak.”

“Biar bisa makan berdua bareng saya?”

“Biar lebih hemat aja.”

“Memangnya kalo porsi yang banyak lebih murah? Gimana caranya? Dasar aneh!”

“Udah sih, Nad. Iyain aja. Perasaan saya dimarahin mulu,” jawab saya dengan wajah memelas.

Sedetik kemudian tawa Nadhifa terdengar. Meskipun pelan, saya masih bisa mendengarnya. Saya tersenyum sambil memandangnya. 

“Kenapa kamu senyum gitu?”

“Seneng aja ngelihat kamu ketawa gitu.”

“Ibu saya mengalami gangguan jiwa semenjak Ayah saya meninggal. Ibu merasa kalo dia adalah penyebab Ayah sakit jantung, penyakit yang merenggut nyawa Ayah. Semenjak Ayah meninggal, Ibu tidak pernah berbicara dengan siapa pun. Seolah Tuhan mengambil suaranya dari muka bumi. Awalnya saya kira Ibu butuh waktu menenangkan diri, tapi ternyata saya salah. Ibu benar-benar merasa raganya telah mati. Saya berusaha merawat Ibu sendirian, tapi saya memutuskan untuk membawa Ibu ke yayasan tadi karena suatu hari saya melihat Ibu memukul-mukul kepalanya sendiri. Saat itu saya nggak tahu harus apa, saya hanya ngerasa saya cuma manusia bodoh yang tidak bisa apa-apa. Saya juga nggak rela Ayah meninggal, tapi saya juga tahu hidup nggak berhenti sampai situ. Sekarang yang saya punya cuma Ibu, tapi melihat kondisi Ibu saat ini... saya malah merasa sendirian. Saya—-“ 

Mendengar itu semua, saya langsung menarik Nadhifa ke dalam pelukan saya, mengusap-ngusap rambutnya sembari berkata, “Keluarin, Nad. Keluarin semuanya. Saya mau kamu lepasin semua rasa sakit, capek dan kecewa kamu. Kamu nggak perlu takut sendirian.”

Saya pun mulai merasakan kaos depan saya basah karena air mata Nadhifa. Saya memeluknya erat, berusaha memberinya wadah untuk menuangkan segala resah. Nadhifa, kamu berhak marah dan kecewa pada semesta. Kamu berhak untuk memberitahu pada semesta betapa sakitnya kehidupan yang kamu jalani sekarang. Rasa sakit yang kamu rasakan sekarang adalah tanda bahwa kamu adalah manusia yang masih memiliki perasaan. Kerapkali hidup tidak berjalan seperti yang kita harapkan, terlalu banyak rintangan yang membuat kita ragu untuk melangkah ke depan, terlalu banyak keingingan orang lain yang memaksa kita hidup di jalan yang mereka inginkan, dan terlalu banyak ekspektasi orang lain yang ditaruh di pundak kita. Tapi mereka semua tidak tahu, bahkan tidak pernah akan tahu, bagaimana rasanya menjadi kita. Mereka tidak akan pernah tahu apa yang benar-benar kita butuhkan. 

Setelah merasa tenang, Nadhifa pun meminta pulang. Di perjalanan, Nadhifa berkata, “Laut, saya izin meluk kamu boleh?” 

Tanpa memberikan ucapan apa-apa, saya mengambil tangannya dan melingkarinya di tubuh saya. 

“Terima kasih,” tambahnya sembari menyandarkan wajahnya di punggung saya. 

Saya tidak tahu apa yang saya rasakan saat ini. Tapi, ada sesuatu dalam diri saya yang mendorong saya untuk memberikan kenyamanan pada Nadhifa, termasuk membiarkannya memeluk saya. 

Sesampainya di rumah Nadhifa, ia langsung pamit untuk masuk ke dalam. Ia sudah lelah dan butuh istirahat. Saya mengangguk dan berkata padanya bahwa saya juga ingin pulang. Sebelum Nadhifa masuk ke dalam, saya mengambil tangannya dan berkata, “Istirahat yang nyenyak, ya.”

Nadhifa mengangguk dan membalas, “Terima kasih buat hari ini.”

Ketika hendak melaju pulang, ponsel saya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

+62821568****: Selamat malam, Laut. Ini saya, Radi. Kamu ada kegiatan besok? Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan kamu. 

Radi? Mungkin ia ingin memberitahu jadwal keberangkatannya ke Jerman. Tapi, kalo iya, kenapa ia tidak langsung memberitahunya. Seolah ada hal lebih serius yang ingin dibicarkan.

Tiba-tiba pesan baru muncul. 

+62821568****: Jangan kasih tahu siapa-siapa, ya. Saya hanya ingin ketemu kamu.

***

“Iya, saya udah sampai, Rad.”

Saya menutup panggilan ketika sampai di sebuah restoran berinterior kehijauan. Sepertinya pemilik restoran ini adalah pecinta tanaman. Itu terlihat dari puluhan tanaman cantik yang menghiasai setiap sudut restoran ini. Rencananya pun berhasil. Kini ada puluhan pengunjung yang memenuhi restoran ini. 

Saya mendorong pintu restoran, melangkah masuk dan melihat ke sekeliling. Di sudut kanan, Radi melambaikan tangan. Saya mendekatinya dan duduk di depannya. 

“Sorry, Rad. Barusan kena macet.”

“Nggak apa-apa. Santai aja. Kamu mau mesen apa?”

“Lemon tea aja.”

Radi mengangkat tangan dan beberapa detik kemudian seorang pelayan restoran datang. “Saya mau pesen lemon tea satu. Dan makannya.... Laut, kamu mau makan?”

“Minum aja.”

“Ok. Ya sudah, Mba. Saya pesen lemon teanya aja satu.”

“Baik.”

Di depan Radi sudah ada segelas es kopi. Ia meneguk sedikit sebelum berkata, “Baik, daripada buang-buang waktu, saya langsung ke pointnya aja. Laut, saya akan berangkat ke Jerman lusa. Saya tahu Nadhifa masih marah sama saya. Dan saya juga tahu kalo kemarin kamu menemani dia bertemu Ibunya.”

“Rad, saya nggak bermaksud buat—-“

“Tenang aja,” sergahnya, “saya tahu niat baik kamu, Laut. Saya juga nggak ada pikiran aneh-aneh tentang kamu. Saya tahu kamu dan Nadhifa hanya sebatas teman kampus dan kantor.”

“Makasih, Rad.”

“Maka dari itu, saya benar-benar mau minta tolong sama kamu untuk jagain Nadhifa selama saya berada di Jerman. Saya tahu kamu sudah punya pacar, tapi saya juga yakin kalo pacar kamu akan mengerti soal ini. Kalo Nadhifa sudah membiarkanmu untuk bertemu Ibunya, itu artinya ia sudah mengizinkanmu masuk ke dunianya. Laut, tidak semua orang bisa memahami Nadhifa.

“Saya ingat sekali ketika pertama kali saya melihat dia di kampus. Saat itu sedang ada diskusi tentang masalah besar karena salah satu mahasiswi baru mengalami pelecehan seksual saat menjalani ospek. Diskusi itu dihadiri hampir sebagian besar mahasiswa dari berbagai kampus. Hampir semua panitia ospek tidak mengaku dan malah mengucilkan korban, tapi, tiba-tiba ada satu mahasiswi yang mengangkat tangan dan berteriak meminta keadilan. Kalau tidak, ia akan mengangkat kasus ini ke kepolisian. Semua mata tertuju pada mahasiswi ini. Dengan segala macam usahanya, akhirnya dua minggu kemudian ada salah satu panitia ospek yang mengaku bahwa ia telah melakukan pelecehan seksual.

“Sejak saat itu, mahasiswi tadi dikenal sekaligus dibenci sebagian besar anak kampus karena jiwa kritis yang menjadi-jadi. Mahasiswi itu mengkritik setiap aturan kampus yang menurutnya tidak masuk akal. Yap! Mahasiswi itu bernama Nadhifa.

“Saya tahu jiwa kritisnya ia peroleh dari buku-buku yang ia baca. Hahaha, tapi lucunya, itu juga yang buat saya jatuh cinta sama dia. Dia memiliki keunikan yang tidak dimiliki perempuan lain. Saya sangat-sangat beruntung punya dia, kamu tahu itu kan, Laut?”

“I—iya.”

Dari semua ucapannya, saya merasa kalo Radi seakan memberi peringatan pada saya agar tetap menjaga jarak dengan Nadhifa. Ya, di satu sisi, ia memang meminta saya untuk menjaga Nadhifa, tapi di sisi lain, ia juga meminta saya untuk sadar posisi saya. 

“Saya tahu,” ia melanjutkan, “saya telah membuatnya kecewa dan marah. Tapi seharusnya dia memahami saya bahwa proyek ini sangat penting buat saya. Semua saya lakukan demi masa depan dia juga, Laut. Saya berusaha mati-matian menyelesaikan mata kuliah lebih cepat dan tepat agar saya bisa membuktikan pada dia bahwa saya serius dengannya. Ya... kadang saya tidak mengerti dengan caranya berpikir.

“Meskipun ia telah mengizinkan saya memasuki dunianya, tapi saya juga kerapkali merasa dunianya terlalu abstrak. Bagaimana menurutmu, Laut? Kamu setuju dengan pendapat saya?”

“Saya belum terlalu mengenal Nadhifa, Rad.”

“Hahaha, iya-iya.”

Tidak lama kemudian pesanan saya datang. Percakapan kami perihal Nadhifa berhenti sampai situ. Topik selanjutnya adalah persiapan Radi menuju Jerman. Mendengar negara itu disebut, mengingatkan saya pada seseorang yang telah lama hilang. 

“Baik,” Radi melirik jam tangan kulitnya, “saya harus pergi sekarang.”

Sebelum pergi, Radi menepuk pundak saya dan berterima kasih atas persetujuan saya untuk menjaga Nadhifa. Tadinya saya hendak bertanya apakah ia sudah memberitahu Nadhifa perihal keberangkatannya atau belum, tapi saya merasa itu tidak perlu ditanyakan. Toh, Radi adalah pacar Nadhifa, sudah semestinya ia memberitahu Nadhifa secara langsung. 

***

“Kamu yakin dengan keputusan kamu?” 

“Iya, Kek.”

“Memangnya harus sampai pindah ke kosan gitu?” Kini giliran Nenek Darmono yang angkat suara perihal keputusan saya untuk tinggal di kostan. 

“Tugas-tugas saya semakin banyak, Nek. Akhir-akhir ini saya juga sering pulang kemalaman. Saya takut menggangu tidur Kakek dan Nenek. Saya juga merasa tidak enak selalu merepotkan Kakek dan Nenek.”

“Kamu sama sekali nggak ngerepotin, Laut,” balas Nenek.

“Makasih, Nek. Tapi keputusan saya sudah bulat.”

“Coba kamu pikir-pikir dulu. Ada yang lagi kamu butuhin? Kamu bilang aja sama Nenek. Nanti Nenek bantu.”

“Tidak, Nek. Nenek dan Kakek sudah sangat banyak membantu saya. Saya cuma ngerasa butuh hidup mandiri.”

“Ya sudah,” Kakek menjawab, “kalo ini memang sudah menjadi keputusan kamu. Kakek dan Nenek hanya bisa mendukung. Kamu sudah dapat kostannya?”

Saya mengangguk. “Ada kostan putra dekat kampus, Kek.”

“Baik. Kalo gitu, Kakek mau kasih tahu dua hal sama kamu. Pertama, kamu boleh bawa Burok ikut sama kamu, anggap aja Kakek nitipin Burok sama kamu. Kedua, Kakek ada kerjaan buat kamu. Kebetulan Kakek punya teman bisnis yang sedang membutuhkan wartawan untuk medianya. Kakek tahu kamu sudah menjadi penulis tetap di medianya Rama, tapi Kakek rasa kerja sebagai wartawan bisa menambah uang saku kamu. Gimana? Kamu mau?”

Tanpa pikir panjang lagi, saya mengangguk menyetujui tawaran Kakek. Pemasukan saya sebagai penulis memang sangat sedikit. Tak heran saya menemukan banyak keluhan para penulis yang lelah karena buku-bukunya tersebar bajakan di publik. Sebagai penulis, saya tahu perjuangan menulis sebuah buku; melawan writing block, memetakan garis besar sebuah cerita, memeras otak agar mengeluarkan ide-ide segar, pagi dan malam menatap layar laptop, dan itu semua dilakukan hanya untuk menghasilkan sedikit persen dari penjualan buku. Maka dari itu, pekerjaan penulis seringkali menjadi perdebatan, apakah seseorang bisa hidup dari tulisan atau tidak. 

“Nanti Kakek kasih nomor teman kakek ke kamu, ya. Sekarang kita sarapan dulu,” ucap Kakek Darmono.

Setelah sarapan, mandi dan mengemas buku-buku ke dalam tas, saya pamit pergi ke kampus. 

***

“Nad, kamu ngapain di sini?” 

Saya bertanya setelah melihat Nadhifa duduk di bangku yang dinaungi pohon besar. Sebelum bertanya, saya melihat Nadhifa termangu kebingungan. Saya pun duduk di sampingnya. 

“Nad,” panggil saya.

Sedetik kemudian ia menoleh seakan baru menyadari keberadaan saya. 

“Eh, Laut. Udah dari tadi di sini? Saya nggak sadar.”

“Nad,” saya mengambil tangannya, “cerita sama saya. Ada apa?”

Sedetik kemudian mata Nadhifa mulai memerah, ia menangkup wajahnya, menahan air matanya membasahi pipinya meski usahanya sia-sia. Saya mendekat dan meletakkan wajahnya di bahu saya sambil mengusap-ngusap punggungnya. 

“Hari ini Radi berangkat,” ucapnya, “saya nggak tahu apakah saya siap jalanin hubungan ini atau nggak. Saya nggak tahu, Laut.”

Benar juga. Sudah dua hari setelah pertemuan terakhir saya dengan Radi. Itu artinya hari ini adalah hari keberangkatannya ke Jerman. 

“Lakukan apa yang menurut kamu baik, Nad.”

Nadhifa melirik jam tangannya. “Satu jam lagi Radi pesawat Radi berangkat. Dari tadi pagi, dia sudah chat dan telepon saya, tapi saya nggak jawab. Saya nggak tahu harus gimana.”

“Nad, kamu tahu kan Radi itu sayang banget sama kamu? Dia lakuin ini demi kamu, Nad.” 

Entah alasan apa saya mengatakan itu, tapi rasanya ada yang memukul dada saya setelah kata-kata itu keluar. 

Mendadak Nadhifa bangkit dari kursinya. Ia menarik tangan saya dan berkata, “Laut, kamu harus temani saya pergi ke bandara. Saya harus ketemu Radi.”

Ketika saya dan Nadhifa hendak pergi, langkah saya terhenti saat saya melihat seseorang sudah berdiri tidak jauh dari saya dan Nadhifa. 

“Hendra?”

***

Bandara Udara Internasional Yogyakarta yang dibangun di kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta menghadirkan kemegahan. Dengan arsitektur yang modern, bandara ini cukup memanjakan mata. 

Saya tahu ada banyak pertanyaan yang hadir di benak Hendra perihal apa yang ia lihat tadi. Tapi, saya memaksanya untuk menahan pertanyaan-pertanyaan itu dan mengantar saya dan Nadhifa ke bandara. 

Seolah ada signal yang terjalin di antara Nadhifa dan Radi, keduanya tidak sulit untuk saling menemukan. Nadhifa memeluk erat Radi, begitu pun sebaliknya. Lima meter dari mereka, saya dan Hendra berdiri. 

“Gue harap lo bisa jelasin ke gue apa yang terjadi,” ucap Hendra.

“Gue akan jelasin semuanya, Hend.”

“Termasuk hubungan lo sama tuh cewek?”

Saya mengangguk. 

Setelah kepergian Radi, saya dan Hendra kembali mengantar Nadhifa ke kampus. Setibanya di kampus, Nadhifa berterima kasih atas tumpangannya dan berkata bahwa ia ada janji bertemu dosen sebentar lagi. Ia pun pergi meninggalkan saya dan Hendra.

“Lo mau gue jelasin dari mana?” Saya bertanya pada Hendra yang semenjak tadi memasang wajah datar. 

“Gue haus. Kita ngobrol di kantin aja,” jawabnya.

Kehadiran Hendra di kantin kampus ternyata memikat perhatian para mahasiswi. Jelas saja, sudah beberapa bulan tidak bertemu dengannya, Hendra berubah menjadi cowok rapih dengan potongan rambut cepak, kumis dan bhewok tipisnya. 

“Sejak kapan lo pelihara bhewok?”

“Sejak stress gara-gara kerjaan.”

“Lo jadi kerja di kantor bokap?”

“Ya lo pikir bokap bakal ngebiarin gue nggak kuliah dan nganggur? Udah deh, sekarang lo yang cerita sama gue.”

“Dari?”

“Dari alasan kenapa lo milih tinggal di kostan? Sebelum ke kampus, gue ke rumah Kakek dulu, dengan harapan gue bisa kasih lo kejutan, eh tainya lo malah pindah. Kenapa?”

“Gue udah jelasin alasannya ke Kakek dan Nenek, Hend. Gue nggak bisa terus-terusan ngerepotin mereka.”

“Emangnya mereka ngerasa direpotin?”

“Ya...nggak juga, tapi, gue yang ngerasa gitu.” 

“Ohhh... ini cuma spekulasi lo doang?”

“Terlepas dari itu, gue juga mau berjuang sendirian. Gue mau hidup mandiri, tinggal sendiri, cari uang sendiri, bayar uang kostan sendiri.”

“Terus, hubungan lo sama si... siapa namanya? Nadhifa! Nah! Hubungan lo sama dia apa?” Hendra memicingkan mata dan mendekat lalu berbisik pelan, “Lo nggak selingkuh, kan, nyet?”

“Kampret! Nggak, Hend!”

“Ya terus? Gue perhatiin lo sama dia deket banget, sampai....” Hendra memeluk dirinya sendiri sebagai sindirian atas apa yang saya dan Nadhifa lakukan tadi. 

“Nadhifa itu editor di penerbitnya Om Rama.”

“Editor?! Semuda itu?!”

Saya mengangguk. “Selain jadi editor, dia juga jadi salah satu dewan redaksi.”

“Dan yang tadi ketemu di bandara, itu....”

“Iya, dia pacarnya Nadhifa. Radi namanya.”

“Jadi lo beneran nggak ada apa-apa sama Nadhifa?”

“Gue sama dia cuma temen.”

Hendra mengeluarkan satu bungkus rokok, menarik satu batang darinya, dan mulai merokok. “Sebenarnya gue nggak terlalu percaya sama lo. Tapi, hidup lo ya lo yang jalanin. Lo tahu apa konsekuensinya,” ucap Hendra.

Sejauh ini, saya bisa meyakinkan diri saya bahwa garis kehidupan antara saya dan Nadhifa hanyalah sebatas pertemanan. Saya tidak tahu ke depannya akan bagaimana, tapi, saya harus sadar bahwa ruang hati saya telah diisi oleh Afina. Meskipun saya tidak bisa mengelak bahwa saya mulai merasa nyaman berada di samping Nadhifa.

“Setelah ini lo ada kelas?” Hendra bertanya.

“Nggak ada. Hari ini gue ke kampus cuma mau minjem buku dari perpus.”

“Ya udah, setelah ini lo anterin gue ke kostan lo. Gue mau lihat kandang kambing kaya gimana.”

“Yehhh! Ngelunjak lo!” Saya melempar kulit kacang ke arah Hendra. 

Meskipun saya dan Hendra kini berjauhan, persahabatan kami tetap berjalan baik. Kami memang jarang berkomunikasi karena kesibukan masing-masing. Itu juga alasannya kenapa saya tidak memberitahunya perihal keputusan saya untuk ngekost, perihal Nadhifa, dan lainnya. Pun sama dengan Hendra, ia belum memberitahu saya tentang keputusannya untuk kerja di kantor Ayahnya. 

Bagi kami berdua, persahabatan tidak perlu ditunjukkan dengan seberapa sering memberi kabar, hangout, atau lainnya. Justru, karena terlalu jarang berbagi cerita, kami berdua punya segudang berita untuk diceritakan.

Ketika saya sedang meneguk segelas air putih, Hendra menyodorkan satu kotak kecil berisikan tasbih kayu. “Dari Bapak. Sebelum gue ke Jogja, gue mampir ke rumah lo dan Bapak nitip ini buat lo. Dia nggak mau lo lupa sama Tuhan,” cerita Hendra.

“Gue belum siap buat ngobrol sama Bapak, Hend.”

“Iya, gue tahu. Bapak pun nggak bicara banyak tentang lo. Tapi dia selalu doain yang terbaik buat lo.”

“Bapak sehat, Hend?”

“Sehat. Ya... meskipun akhir-akhir ini badannya makin kelihatan kurus. Gue udah nawarin dia untuk ke dokter, tapi jawaban Bapak selalu sama. Dia bilang dia baik-baik aja.”

“Afina?”

“Dia nggak tahu kalo gue ke Jogja. Gue dapat kabar dari temen gue yang satu kampus dengan dia, katanya fakultas kedokteran UI lagi ada banyak ujian dan tugas. Jadi, gue pikir Afina pun begitu.”

Setelah mematikan rokoknya, Hendra berdiri, “Ayo ke kandang lo. Gue udah risih dilihatin banyak cewek gini.”

Saya pun memasukkan kotak berisikan tasbih kayu itu ke dalam tas, bangkit dan berjalan pergi. Tiba-tiba ponsel yang berada di saku saya bergetar. Ada pesan dari Mas Bima.

Mas Bima: Laut, malam ini kamu bisa ketemu saya dan Mba Nadhifa di jalan Malioboro? Ada seseorang yang ingin bertemu sama kamu. Katanya dia salah satu penggemar tulisan kamu.

Saya: Jam berapa, Mas?

Mas Bima: Jam delapan.

Saya: InshaAllah, Mas.

Hendra yang menyadari langkah saya terhenti kembali menoleh. “Kenapa, nyet?”

“Hend, nanti malam lo ikut gue, ya. Gue ada janji sama orang kantor.”

“Terus gue jadi kambing conge?”

“Tenang aja! Tempatnya dijamin asik!”


Komentar

Postingan Populer