Teman Tanpa Perasaan
source photo: pinterest.com
Bukan karena saya tidak sayang atau peduli padamu. Tapi, karena saya tahu bahwa melibatkan perasaan dalam lingkaran pertemanan hanya mengakibatkan kekecewaan.
Tentu kecewa itu tidak datang kepadamu, tapi ia datang kepada saya. Sedari dulu saya tahu bahwa saya tidak boleh membiarkan perasaan ini tumbuh apalagi mekar. Sedari dulu saya tahu bahwa saya tidak boleh membiarkan perasaan ini nampak di permukaan, karena saya terlalu takut.
Saya takut semua akan berubah.
Saya takut hari-hari yang kita jalani biasanya akan berbeda. Saya takut perhatian saya kamu tangkap sebagai suatu perjuangan yang akhirnya malah tidak kamu gubriskan. Saya takut kita mulai menanam jarak. Saya takut kita mulai melangkah beda arah. Saya takut pesan atau panggilan saya tidak lagi kamu hiraukan. Saya takut kamu berhenti bercerita tentang hari-harimu pada saya. Saya takut senyum hangat itu tidak lagi bisa direkam oleh mata. Saya takut tawa keras itu tidak lagi didengar oleh telinga. Saya takut kita berdua mulai berubah menjadi dua orang asing beda dunia. Saya terlalu takut untuk itu semua.
Tapi... Kamu pun tahu, bahwa tidak semua perasaan bisa dengan mudah dihilangkan seolah ia datang tanpa memberi bekas apa-apa. Kamu juga tahu bahwa perasaan adalah apa yang Tuhan berikan pada hamba-Nya. Kamu juga tahu bahwa perasaan muncul dari rasa nyaman. Kamu juga tahu bahwa kita telah saling memberi rasa nyaman. Lalu, kenapa rasa takut itu tetap ada? Kenapa rasa takut kalo suatu hari nanti tidak adalah jawabannya? Kenapa rasa takut kehilanganmu sebesar ini?
Berkali-kali saya bercermin dan berkata bahwa saya harus membunuh perasaan ini. Semua ini salah dan tidak boleh dibiarkan hidup. Berkali-kali saya mengatakan bahwa perasaan ini hanyalah angin semata. Berkali-kali saya mengatakan bahwa akan ada orang lain yang mengisi ruang perasaan ini dan orang lain itu pasti bukan dirimu. Berkali-kali saya mengatakan kita hanya sebatas teman, tidak kurang dan tidak boleh lebih.
Namun, siapa yang menyangka bahwa perasaan sayang itu semakin lama semakin membesar bersamaan dengan kenangan bahagia yang kamu lukiskan.
Hingga tiba hari di mana saya tidak lagi kuat menahan perasaan ini. Berdua denganmu di toko es krim kesukaanmu, saya mengutarakan perasaan yang dibalut dengan kejujuran dan ketulusan. Saya mengatakan bahwa saya tulus mencintaimu dan ingin menjalani hubungan yang lebih dari persahabatan.
Sesaat raut wajahmu berubah kaget. Mungkin karena tidak pernah tebersit dalam benakmu bahwa sahabatmu akan melabuhkan cintanya padamu. Saya meyakinkan dirimu bahwa saya berjanji akan selalu ada untukmu.
Dengan senyum manis, kamu bangkit dari kursi lalu menggelengkan kepala sembari minta maaf. Sedetik kemudian kata tidak terlontar dari mulutmu. Iya, jawaban dari ini semua adalah penolakan. Dan penolakan melazimkan kekecewaan.
Belum sempat saya bertanya tentang alasan di balik penolakan, kamu sudah angkat kaki dari tempat itu. Dan itu adalah terakhir kalinya saya melihatmu, baik sebagai teman, sahabat atau tujuan.
Untukmu saya berpesan;
"Andai saja sedari dulu kamu tahu perasaan saya tanpa perlu saya beritahu secara tersirat atau tersurat, mungkin saya tidak perlu merasakan sakit karena mendengar jawaban yang tidak sesuai harapan. Seharusnya saya sudah tahu, bahwa mengutarakan perasaan tidak meniscayakan kepemilikan. Seharusnya saya tahu ada kehilangan yang datang setelah kejujuran."
Komentar
Posting Komentar