Harapan
source photo: pinterest.com
Akhir-akhir ini, entah kerasukan hantu mana, saya seolah kecanduan membaca buku. Di bulan Februari kemarin, saya sukses melahap lima novel dengan genre misteri dan horror.
Bagi saya, menghabiskan lima novel dalam satu bulan merupakan pencapaian yang membanggakan dan menyenangkan tentunya. Karena saya berhasil mendobrak kebiasaan baru saya dan menekan sifat malas dalam membaca buku.
Perihal kegiatan membaca buku, teman-teman bisa mendengar seminar atau kegiatan pembedahan sebuah buku di berbagai tempat, seperti toko buku atau podcast-podcast yang bertemakan pendidikan. Rasanya, sudah banyak sekali orang-orang yang membahas kenapa minat membaca orang Indonesia sangat rendah. Ya... meskipun kesimpulan ini pun dilandasi oleh survey yang berbeda-beda. Terlepas dari itu semua, saya masih sangat berterima kasih pada penulis-penulis hebat di Indonesia yang tidak henti-hentinya berpikir bagaimana caranya menyusun kata-kata yang mampu menjadi sarana atau jembatan untuk sebuah gagasan.
Pun dengan para pembaca di Indonesia yang membiarkan antusias besar pada perbukuan Indonesia. Contoh saja novel-novel Mba Dee Lestari yang laris manis di pasar. Juga novel-novel Mas Eka Kurniawan atau Kak Ntsana. Pun dengan buku-buku motivasi seperti buku-buku Abu Aly, Najwa Shihab dan yang lainnya.
Buku merupakan salah satu wasilah manusia untuk membuka cakrawala dunia, makanya, tidak salah jika buku diibaratkan sebagai jendela dunia. Karena ketika seseorang membaca buku, berarti ia membuka jendela akalnya dan melihat pengetahuan baru di luar sana.
Salah satu pengetahuan baru yang bisa didapatkan adalah adanya sebuah harapan.
Minggu ini saya sedang dibuat tidak sadar oleh buku Man’s Search For Meaning. Sebuah karya fenomenal dari penulis bernama Viktor E. Frankl. Bila di antara kalian adalah pecinta buku psikologi, atau mahasiswa psikologi, tentu kalian tidak akan asing dengan buku ini.
Iya, buku ini telah diterbitkan dalam 49 bahasa dan 190 edisi. Dan telah terjual lebih dari 16 juta buku di seluruh dunia.
Secara garis besar, buku ini menceritakan bagaimana penulis bisa bertahan hidup di empat kamp Nazi yang berbeda, antara tahun 1942 dan 1945. Teori penulis yang dikenal sebagai logoterapi, menjelaskan bahwa dorongan utama kita dalam hidup bukanlah kesenangan, tetapi penemuan dan pencarian dari apa yang secara pribadi kita temukan bermakna.
Pada dasarnya, jika sebuah buku menberikan satu gagasan yang mampu mengubah hidup seseorang, maka bisa dikatakan bahwa buku itu layak dibaca ulang dan harus mendapat tempat istimewa di rak buku. Dan menurut saya, buku ini layak ditaruh di meja belajar atau tempat-tempat yang sekiranya tidak luput dari mata kita.
Di buku ini, penulis ingin memberitahu kita bahwa selalu ada harapan dalam setiap penderitaan. Dan siapa pun yang memiliki sebuah harapan di masa depan, maka ia akan tahu caranya bertahan dalam penderitaan.
Ada sebuah ungkapan menarik yang penulis nukil dari seseorang. Ungkapan itu berbunyi, “Dia yang punya alasan MENGAPA harus hidup akan mampu menanggung segala bentuk BAGAIMANA caranya hidup.”
Ketika saya membaca ungkapan itu, saya seakan ditampar oleh seseorang yang ingin menyadarkan saya bahwa selama saya punya alasan kenapa saya diciptakan, alasan kenapa saya masih bisa berjalan sejauh ini, alasan kenapa saya masih kuat menatap ke depan, maka saya akan selalu tahu caranya hidup.
Kita seringkali melihat di dunia nyata atau di media sosial, orang-orang seolah tersesat dalam hutan lebat lalu bingung bagaimana caranya selamat dari hewan-hewan buas yang siap memakan mereka. Ya, hewan-hewan buas itu adalah kiasan dari orang-orang yang siap menghakimi, memotong gaji, menyuruh cepat-cepat menikah, melakukan rasisme, menjilat kekuasaan, dan lain-lainnya.
Setelah ditekan oleh kehidupan, mereka mulai kehilangan harapan untuk hidup. Seakan Tuhan menciptakan mereka hanya untuk merasakan penderitaan.
Harapan yang tadinya tumbuh dengan mudah layu oleh berbagai tekanan. Dan ketika layu, sulit untuk menumbuhkannya kembali.
Lalu mereka seolah berjalan tanpa tunjuan dan tanpa kompas kehidupan. Sebagian besar manusia pernah mengalami fase ini; fase kehilangan harapan dan tujuan. Bingung harus melakukan apa, untuk apa dan untuk siapa.
Di saat saat seperti ini, beberapa di antara kita ingin menangis namun stigma yang mengakatakan menangis adalah tanda kelemahan. Padahal, di buku ini, Viktor mengakatakan bahwa kita tidak perlu malu untuk menangis, karena air mata merupakan saksi dari keberanian manusia yang paling besar, yaitu keberanian untuk menderita.
Kehidupan memang tidak melulu tentang kebahagiaan, ia juga berkaitan dengan kesedihan. Tapi kesedihan tidak bersifat abadi, ia akan berakhir bila kita masih percaya bahwa di ujung sana ada cahaya bernama harapan. Yang perlu kita lakukan sekarang hanyalah berjalan dengan keikhlasan dan perjuangan, hingga kita sampai di sebuah tujuan. Dan selama perjalanan, percayalah ada sebuah harapan di antara ribuan penderitaan.
all photos from pinterest.com
Komentar
Posting Komentar