PSH-PART FOUR-2021

 


source photo: pinterest.com


Empat

Jalan

“Ini kenapa Alex bentak Zia kemarin.”

Hendra memperlihatkan sebuah gambar di ponselnya. Gambar saya dengan Zia yang sedang tertawa lepas di warung bakso kemarin. Meskipun Hendra salut dengan apa yang saya lakukan pada Alex, tapi ia juga mempertanyakan hubungan saya dengan Zia.

“Gue dan Zia tidak punya hubungan apa-apa, Hend,” ucap gue sambil duduk di beranda kamar Hendra yang dipenuhi taman hias dan dua bangku kecil.

“Untuk sekarang.”

“Hah?”

“Ya untuk sekarang lo dan Zia tidak punya hubungan apa-apa. Tapi nanti? Siapa yang tahu. Laut, gue rasa lo udah punya ruang di hati Zia. Dan tugas lo sekarang adalah menempati ruang itu dan menjaganya.”

“Hend, lo kan tahu gue gimana. Zia tidak mungkin punya perasaan lebih.”

“Laut, siapa sih yang bisa tahu kapan cinta itu datang dan pergi kalo bukan diri sendiri?”

“Dan lo ngira kalo Zia punya perasaan sama gue? Apa buktinya?”

“Buktinya adalah pelukan dia ke lo kemarin. Tawa dia dalam foto itu. Bahkan, dia udah berani ngeluarin air matanya di depan lo.”

Saya mengambil segelas kopi hangat di atas meja, meneguknya sedikit lalu menaruhnya kembali. “Hend, kata lo tidak ada yang tahu kapan cinta itu datang dan pergi kecuali diri sendiri, dan sekarang… cinta itu belum datang di diri gue.”

Hendra menghela napas berat. Meski saya paham kalo ia kesal dengan saya yang tidak juga peka terhadap perasaan sendiri, tidak mengerti apa yang tumbuh dalam diri, dan tidak juga sadar bahwa ada  ruang yang perlu ditempati.

Zia, apa yang Hendra sebut cinta sudah datang dan mengetuk pintu hatimu? Atau selama ini kita hanya terperangkap dalam sebuah ragu? Saling mendekap dalam diam hingga kita saling tahu bahwa kita jatuh dalam lobang perasaan yang dalam.

Lalu perlahan kita sadar bahwa tujuan kita adalah dua jalan yang berbeda. Perasaan yang kita anggap ada, nyatanya hanyalah ilusi semata. Nyaman yang kita anggap tercipta, nyatanya hanyalah fatamorgana. Rumah yang kita anggap ramah, nyatanya sudah lama berubah.

“Jadi apa yang lo mau lakuin seminggu ini?” Hendra bertanya setelah mendengar kabar bahwa saya diskors karena telah membuat wajah Alex babak belur.

“Gue mau lanjut nulis, Hend. Kasihan naskah gue nganggur.”

“Bagus, deh. Lo bisa pakai laptop gue kalo lo perlu.”

“Gratis?”

“Ya bayarnya pakai doa aja. Semoga jodoh gue cepet ketemu.”

Perihal skors, Bapak mendapatkan kabar itu dari kepala sekolah langsung. Bapak pun tahu kronologi lengkapnya. Hari itu, setelah mengantar Zia pulang ke rumah, tidak lama setelah ia menghabiskan satu mangkuk besar es krim, saya memilih pulang ke rumah. Bapak sempat heran kenapa saya sudah pulang padahal jarum pendek masih berada di angka sembilang pagi. Tapi, bapak tidak bertanya dan hanya memilih diam. Mungkin Bapak sudah dapat menebak apa yang terjadi setelah ia melihat seragam saya berantakan meski tidak ada noda darah, melainkan hanya basah oleh keringat.

Sorenya, saat saya sedang duduk membaca buku Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar di ruang tamu, Bapak menghampiri saya sambil membawa sajadah, bersiap untuk sembahyang di mushola.

Saya menangkap nada keraguan di suaranya. Saya menatap kedua matanya dengan berat.

“Kamu ada masalah di sekolah?” tanyanya lembut.

“Bukan urusan bapak,” saya menjawab melas.

“Siang tadi kepala sekolahmu menghubungi Bapak dan bercerita semuanya,” katanya. Ucapannya membuat saya tidak fokus membaca buku. Kini pikiran saya digerogoti oleh kemungkinan reaksi bapak selanjutnya. Tidak disangka, reaksinya sangat berbeda dengan apa yang saya pikirkan. Ia menyambung, “Bapak tidak marah sama kamu. Bapak juga tidak kecewa sama kamu. Tapi, Bapak bangga sama kamu, karena kamu berani melindungi perempuan, persis seperti apa yang Ibumu nasihatkan. Lebih dari itu, kamu berani bertanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan. Ibumu pasti bangga.”

Setelah mengatakan itu, Bapak meninggalkan saya. Ini adalah pertama kalinya Bapak seolah berubah menjadi Ibu dalam dunia nyata. Karena saat Ibu masih hidup dulu, Bapak akan selalu marah pada saya bila tahu saya berkelahi, bahkan sampai membuat anak orang lain luka berat. Dulu, Bapak selalu bilang, tidak semua masalah perlu diselesaikan dengan yang namanya marah. Tapi sekarang, Bapak bahkan berkata bangga pada saya.

Tidak lama kemudian, saya mendengar ponsel Hendra berdering. Hendra tengah pergi ke gerbang rumah, mengambil pesanan gofoodnya. Saya membiarkan ponsel itu berdering hingga mati dengan sendiri. Beberapa detik kemudian, ponsel itu berdering lagi. Saya masih dengan sikap yang sama. Tapi untuk ketiga kalinya ponsel itu berdering dan saya mengambilnya.

“Hend, ada panggilan dari---“

Zia.

Saya tidak salah lihat. Nama Zia memang benar-benar terpampang di layar. Belum saya angkat, Hendra sudah datang dan menaruh makanannya di atas meja. Pandangannya teralihkan ke ponselnya yang berdering.

Ia segera mengambil ponselnya, melihat nama si pemanggil dan mengusap tombol hijau. Mereka pun berbincang lepas di panggilan itu. Bahkan Hendra tertawa sendiri. Sial, sebenarnya apa yang mereka bicarakan.

“Ya udah, Zia. Jaga kesehatan, ya,” ucap Hendra lembut dan manis sebelum mematikan panggilan.

Ia meletakkan ponselnya dan mendapati saya tengah menatapnya. “Kenapa lo ngelihatin gue?”

“Sejak kapan lo manis gitu di telfon?” tanya saya mengejek.

“Lahhh, ya suka-suka gue dong, mau gue marah kek, nangis kek, bengek kek atau sawan sekalian. Sirik aja, lo,” balasnya tidak kalah mengejek.

Saat hendak menyuap pizza ke dalam mulutnya, ia menghentikan tangannya dan melirik gue dengan lirikan tajam. “Anjing!” teriaknya keras, “Gue baru sadar. Lo cemburu ya?!”

Pertanyaannya seakan peluru yang menyongsong dada saya. “Apaan sih pertanyaan lo. Sakit dasar. Gue tidak cemburu.”

“Ya kalo cemburu juga tidak apa-apa, Laut. Biar lo sadar betapa berharganya memiliki.”

Dalam novel Dilan, ayah Pidi Baiq mengatakan kalo cemburu hanya dilakukan oleh orang yang sedang tidak percaya diri, dan di sini saya menambahkan bahwa cemburu boleh dilakukan oleh dua orang yang punya hubungan. Bila tidak ada, lantas dengan alasan apa cemburu itu dilakukan. Itulah saya. Saya tidak punya alasan apa pun untuk cemburu bila melihat Zia menjalin hubungan dengan orang lain. Toh, bila dia bahagia bersama orang lain, itu ‘kan pilihannya. Saya tidak ada hak untuk melarang apa-apa, seharusnya saya mencamkan itu di otak saya.

Tidak lama kemudian, ponsel saya berdering. Nomor tidak dikenal terlihat di sana. Saya mengerutkan kening karena tumben sekali ada panggilan dari nomor tidak dikenal. Saya pun tidak menghiraukannya.

“Angkat aja dulu. Siapa tahu bagi-bagi tiket umroh,” ucap Hendra sambil meniup asap rokoknya.

Beberapa detik kemudian, ponsel kembali berdering. “Angkat aja dulu. Siapa tahu malaikat Izrail ngasih kabar udah sampai mana,” sambung Hendra.

Saya masih tidak mengangkatnya. Dan sialnya panggilan itu kembali datang. “Angkat aja dulu. Siapa tahu---“

Ucapan Hendra terhenti saat saya mengangkat panggilan itu.

“Halo, siapa ya? Kalo tidak ada kepentingan atau salah telfon, gue matiin,” ucap saya memberatkan suara.

“Maaf, ya. Aku ganggu ya? Harusnya aku sms dulu,” balas suara di ujung panggilan itu.

“Zia?”

Suara itu mengejutkan saya. Saya melirik ke arah Hendra yang kini tengah tersenyum puas karena berhasil mengerjai saya. Ia menepuk pahanya sendiri tidak kuat menahan tawa. Yang di ujung sana pun ikut tertawa saat mendengar tawa Hendra.

“Aku dapat nomor kamu dari Hendra. Soalnya, kata Hendra kamu ngelihatin dia terus pas telfonan sama aku, emang bener?”

Saya melotot menatap Hendra lalu mengepalkan tangan, isyaratkan pembalasan.

“Ohhh. Tadi itu… gue kira lo sama Hendra…”

“Tidak, Laut. Kami tidak pacaran.”

“Iya, pacaran pun tidak apa-apa, Zia.”

“Kenapa, Laut?”

“Kenapa apanya?”

“Aku seperti mendengar nada cemburu dalam suaramu.”

Saya kaget. Ada apa sih dengan Zia dan Hendra, kenapa mereka berdua menganggap saya cemburu?

“Tidak.”

“Kukira kamu cemburu.”

“Tidak.”

“Iya, Laut. Ya sudah, aku ingin pergi sekarang. Jaga kesehatanmu.”

“Iya.

Panggilan pun ditutup. Saya menoleh ke arah Hendra. Hendra menyengir pendek.

“Kenapa?”

“Kenapa lo kasih nomor gue ke Zia?”

“Ya supaya jalan lo buat dapetin Zia makin terbuka.”

“Gue tidak mau dapetin Zia, Hend.”

“Sudahlah, Laut. Berbohong pada diri sendiri itu tidak baik.”

“Gue tidak bohong.”

“Semakin lo menyangkal perasaan lo, semakin lo ngerasain kalo perasaan itu ada.”

***

Saya masih terfokus menatap layar laptop, memandangi layar tanpa melakukan apa-apa. Pikiran saya seperti gelas kosong. Saya tidak bisa menuangkan apa-apa saat ini. Padahal cerita saya sudah memanggil-manggil nama saya, tapi jari-jari saya tidak juga bergerak. Suara derap langkah seseorang terdengar mendekat.

“Lo ngapain diem doang?”

Saya mendongak dan melihat Hendra tengah membawa beberapa snack. Dengan kaos putih panjang dan celana pendek abu-abu, Hendra mampu menghipnotis para pengunjung perempuang di kafe. Terlebih dengan rambutnya yang baru saja dipotong. Saya melihatnya sesaat sebelum ia melempar snack ke muka saya. “Tidak usah ngelihat gue gitu. Jatuh cinta baru tahu rasa lo!”

Saya mengambil snack itu dan membukanya. “Gue tidak tahu harus nulis apa, Hend. Otak gue buntu.”

Hendra menghela napas. “Setahu gue, semua penulis itu punya inspirasinya sendiri. Dari inspirasi itu, lo bisa ngulik beribu-ribu kata yang tidak pernah ada dalam sebuah cerita.”

“Sayangnya gue tidak punya inspirasi saat ini.”

Pintu kafe terbuka, saya menoleh melihat seseorang datang mendekat.

“Hai,” sapanya manis.

Mata saya masih terpaku melihat Zia datang. Entah saya yang gila atau dunia memang dipenuhi orang gila, Zia sangat cantik malam itu. Mengenakan celana levis panjang dan kaos panjang hitam yang ditimpal dengan kaos pendek putih membuatnya semakin cantik. Rasanya otak saya benar-benar menemukan jalan buntu. Saya seolah terjebak dalam sebuah dimensi lain.

“Zia, tumben lo telat,” kata Hendra sedikit jengkel.

“Sorry, Hend. Motor gue mendadak mati tadi. Jadi gue harus pesen ojek online dulu. Ditambah macet pula,” ceritanya. Ketika ia hendak duduk di samping Hendra, tiba-tiba Hendra mengisi kursi itu dengan snack-snacknya. Zia memang terdengar lebih lepas ketika berbicara dengan Hendra. Buktinya ia menggunakan gue-lo. Mungkin itu caranya berkomunikasi, menyesuaikan dengan siapa ia berbicara.

“Lo bisa duduk di sana.” Hendra menunjuk ke kursi di samping saya. Saya mengkakukan wajah. Zia mengangguk dan duduk di samping saya.

“Nahhh, pas banget nih,” ucap Hendra yang sukses membuat saya dan Zia menatapnya bersamaan. “Zia, daripada lo pulang naik ojek online nanti. Laut bisa nganterin lo. Hitung-hitung pemanasan, biar nanti pas lo berdua pacaran tidak kaku.”

“Hend,” saya melotot ke Hendra. Berharap ia tidak mengucapkan kata-kata aneh lagi.

Saat itu Zia tidak menanggapi kecuali dengan senyuman tipisnya.

“Oh ya, Zia. Laut ini lagi mau lanjut nulis naskahnya, tapi katanya dia tidak dapat inspirasi, gue bisa minta tolong sama lo sesuatu?”

Zia mengangguk pelan sembari berkata, “Selama gue bisa bantu, gue bantu.”

“Lo mau tidak jadi inspirasinya Laut?”

Deg. Selesai sudah. Ucapan Hendra kali ini sukses membuat sebagian tubuh saya lumpuh. Zia menoleh dan menatap saya. Dengan sedikit malu saya membalas tatapannya. Sedikit demi sedikit kami merasakan ikatan tidak kasat mata. Sedikit riasan di kelopak mata dan pipinya tidak meruntuhkan kecantikannya.

“Kamu mau aku jadi inspirasi kamu?”

***

Langit sudah gelap. Angin malam menerbangkan hawa dingin. Suasana perumahan rumah paman Zia pun sudah sepi. Saya merogoh ponsel di saku dan jam di sana sudah menunjuk pukul 22.30. Mobil di garasi rumah paman Zia masih kosong, menandakan paman Zia dan bibinya belum pulang.

“Mereka itu suka lembur, Laut.” Zia seolah mampu membaca pertanyaan di benak saya. “Tidak jarang juga mereka malah bermalam di apartemen dekat kantor mereka.”

Saya menganguk-ngagguk. Saya masih duduk di jok motor saat Zia mengikat rambutnya, menampak bulu-bulu tipis di area lehernya. Saya sedikit tercekat.

“Laut,” panggilnya.

“Iya.”

“Kamu belum jawab pertanyaan saya tadi.”

“Kamu mau aku jadi inspirasi kamu?” kalimat itu kembali datang. Dan benar, saat itu saya tidak menjawab dan malah mengangkat tangan untuk memesan segelas susu coklat, padahal susu coklat yang setengah jam lalu saya pesan saya belum habis.

“Gue tidak tahu, Zia,” balas gue menunduk.

Saat mengangkat kepala, mendadak mata saya membelalak lebar. Zia sudah berdiri di depan saya lebih dekat daripada sebelumnya. Susah payah saya menelan saliva, menatap Zia. Sesaat saya lupa caranya bernapas. Saya mengalihkan pandangan ke arah lain dan saat itu juga Zia mengambil langkah mundur.

“Laut, kalo kamu merasa tidak nyaman dekat aku, tidak apa-apa. Sebaiknya kita menjauh.” Zia mengucap dengan suara lemahnya.

Ketika Zia sudah berniat untuk pergi masuk ke dalam rumah, mendadak ada sesuatu yang mendorong saya untuk berlari mengejarnya. “Tunggu,” ucap saya.

Zia berhenti melangkah, berbalik dan menatap kaget wajah saya. Saya berdiri di belakangnya, mengusap halus pipi kanannya, menariknya dan mencium bibir cewek itu. Untuk beberapa detik Zia terdiam sebelum ia melingkarkan tangannya di leher saya, berjinjit dan membalas ciuman saya.

Itu adalah ciuman pertama saya. Seketika semesta seakan jadi penonton untuk salah satu perbuatan paling sacral dalam hidup saya. Tidak pernah terpikir oleh saya akan mencium bibir seorang perempuan sebelum ikatan pernikahan datang.

Sang waktu seolah berhenti, memberikan panggung pada saya dan Zia untuk menikmati satu sama lain. Kami berdua saling menutup mata, membiarkan bibir menjalankan tugasnya. Saya melepas ciuman itu untuk menatap mata Zia. Ia tersenyum dan kembali menarik bibir saya ke dalam bibirnya.

Tubuh saya mulai lemas. Saya pun menjauhkan bibir saya. Meskipun ini ciuman pertama saya, saya merasa saya tidak terlalu buruk. Jemari kanan saya menyentuh bibir Zia. Kami berdua saling melempar senyum.

“Zia, gue tidak mau kehilangan lo.”

Senyum Zia tiba-tiba luntur. Dia terlihat kaku saat ini. Tanpa menanggapi ucapan saya, dia berbalik, tidak berani menatap wajah saya. Tanpa mengucapkan apa pun, ia mengambil langkah cepat masuk ke dalam rumah. Saya berdiri dengan wajah bingung, entah karena saya mengucapkan ini terlalu cepat atau kata-kata saya memang tidak tepat.

***

Ini hari pertama saya masuk sekolah setelah seminggu harus menjalankan hukuman skors. Sejak ciuman malam itu, saya seolah mendapatkan inspirasi baru. Iya, Zia adalah inspirasinya. Seperti kerasukan, saya menulis nashkah dari pukul sebelas malam hingga lima pagi. Setelah itu beristirahat dan melanjutkan naskah hingga sore. Pun Hendra yang tadinya mengajak saya keluar hanya bisa menelan penolakan saya dan akhirnya teras rumah jadi sarangnya. Saya yang sibuk dengan laptop dan naskah saya, sedangkan Hendra sibuk dengan ponselnya.

Sampai saat ini, Hendra belum tahu perihal ciuman itu. Saya pikir itu hal yang pribadi.

Tadinya saya hendak menuju perpustakaan jika saja saya tidak melihat Zia tengah mendorong dada Alex yang berusaha mendekatinya di kantin. Beberapa teman Alex pun mengepungnya. Beberapa kali Alex menyentuh dagu Zia yang dibalas dengan wajah amarah. Murid-murid hanya bisa diam.

“Ayolah, Zia. Gue cuman mau bikin lo seneng aja,” ucap Alex.

“Gue sibuk, Lex.” Zia mengelak berusaha lari dari kepungan Alex dan teman-temannya.

Tiba-tiba Alex berbisik sesuatu pada Zia yang entah kenapa mampu membuat Zia diam seketika. Mata Zia melirik Alex dengan lirikan benci. Alex tersenyum jahat, seakan bisikannya barusan adalah cara jitu.

Alex mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan sesuatu pada Zia.

“Hapus, Lex!”

“Buat apa?”

“Gue bilang hapus, ya hapus!” teriak Zia. Saya tidak pernah melihat Zia semarah itu sebelumnya. Ia berusaha mengambil ponsel di tangan Alex. Alex meninggikan ponselnya, memaksa Zia untuk berjinjit hingga tiba-tiba Alex mengambil kesempatan itu untuk mencium pipi Zia.

Zia seketika lemas. Dirinya merasa tertampat oleh perlakuan Alex. Kini tidak ada lagi niat saya untuk pergi ke perpustakaan, saya beralih mendekati Alex dan teman-temannya. Alex menoleh ke belakang saat menyadari ponselnya telah saya rebut. Saya menyalakan layarnya dan untung saja ponselnya tidak terkunci. Jadi saya bisa melihat jelas sebuah gambar yang memperlihatkan tubuh Zia yang tidak mengenakan apa pun dari arah belakang.

Emosi saya memuncak. Sesaat saya melihat Zia menatap saya dengan mata memerah. Pandangan kami saling bertemu.

“Balikin hape gue,” ucap Alex setengah membentak seraya menarik kerah seragam saya. Pandangan saya masih menyangkut di mata Zia, menangkap sesuatu di sana. Bukannya mengembalikan ponsel Alex, karena itu tidak mungkin saya lakukan, saya malah mendorong tubuh Alex menjauh dan…

Brakkk! Saya membanting ponsel Alex ke lantai, menghancurkannya dengan sekali bantingan. Entah berapa harga ponsel dengan logo apel di belakangnya itu, saya tidak peduli. Karena yang saya pedulikan sekarang adalah Zia. Saya langsung mengambil tangan Zia dan mengajaknya pergi. Tiba-tiba Alex mencengkram bahu saya, “Tunggu lo, nyet!”

Saya melepas genggaman saya dari Zia, memutar badan dan mendaratkan hantaman keras di kening Alex. Murid-murid hanya bisa melongo menutup mulut melihat keributan di kantin yang saya lakukan. Belum satu hari saya kembali bersekolah, saya sudah tahu perbuatan saya ini akan kembali menimbulkan masalah.

Tidak peduli dengan tatapan para murid, saya mengaja Zia untuk angkat kaki. Saya berjalan di depan, sedangkan Zia di belakang. Saya hanya ingin mengajak pergi Zia dari suasana ramai itu.

Merasa cukup jauh, saya menghentikan langkah tepat di depan warung kopi. Saya mempersilakan Zia duduk. Matanya masih memerah meski kini ia terlihat lebih lelah. Bagaimana tidak, saya mengajaknya berlari tanpa tujuan dari tadi.

“Laut, kamu mau beliin saya kopi?”

Saya menggeleng. “Gue tahu lo tidak suka kopi.”

“Tahu dari mana?”

“Tidak penting gue tahu dari mana. Karena yang penting sekarang itu  lo, Zia.”

Zia menggeleng malu. “Ya sudah, terus ngapain kamu ngajak aku ke warung kopi?”

Saya tersenyum lalu memanggil penjual kopi yang tengah menyeduh kopi hitam. Ia mengangguk, mengambil ponselnya dan berbicara dengan seseorang. Tidak lama kemudian, penjual es krim keliling berhenti di depan  Zia tersenyum lebar dengan wajah heran. Wajahnya menoleh ke arah saya sebentar.

“Jangan heran gitu,” ucap saya.

Penjual es krim itu menghampiri sambil membawa satu mangkok es krim vanilla dan memberikannya pada Zia. “Makasih ya, Mas,” ucap Zia. Sebelum pergi, penjual es krim itu menoleh ke arah saya dan berkata, “Mas Laut, jangan lupa, ya.”

Saya mengangguk seraya menyuruhnya cepat pergi meskipun beberapa detik kemudian Zia menangkap maksud penjual es krim tersebut. “Kamu ngutang, ya?” ucapnya diikuti tawa.

Saya menggaruk-garuk kepala. “Iya, hehehe. Duitnya habis buat bensin tadi,” balas saya.

Untuk sejenak kami saling tersenyum. Suasana berubah menjadi hangat. “Dimakan dulu es krimnya, nanti cair.”

Dia mengangguk, memakan es krim itu dengan lahap sebelum saya menahan tangannya dan memberinya selembar tisu. Ia menerimanya dengan berkata, “Aku makannya berantakan, ya?”

Saya mengganguk.

“Kirain kamu bakal ngusap sudut bibir aku, Laut.”

Saya tersenyum dan meletakkan tangan saya di atas tangannya lalu menjawab, “Lebih dari itu, Zia. Gue akan ngusap air mata lo. Karena mulai sekarang, gue tidak mau ada satu orang pun yang nyakitin lo, apalagi sampai bikin lo nangis.”

Sejenak ia menatap mata saya. Tuhan, bolehkah saya memintanya untuk tetap seperti ini selamanya? Memintanya untuk menatap saya dengan pandangan bahagia. Saya tidak ingin ada satu pun mahluk-Mu yang membuat mata indah itu mengeluarkan air mata.

“Kamu tidak bisa mengatur orang lain, Laut.”

“Lo berhak bahagia, Zia.”

“Orang lain juga berhak menyakiti aku, Laut.”

“Gue janji tidak akan menyakiti lo.”

“Tidak perlu ada kata janji untuk bisa membahagiakan orang lain, Laut. Kata janji itu melahirkan harapan dan tidak semua harapan jadi kenyataan.”

“Maaf, Zia. Gue hanya tidak ingin----“

“Laut, tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi nanti. Mungkin saat ini kita merasa nyaman satu sama lain, kita merasa tidak perlu takut untuk berjalan bersama. Tapi yang namanya jalan tidak selalu memberikan kenyamanan. Kita harus sudah siap untuk segala resikonya.”

Saya tidak bisa lagi menjawab apa-apa. Semua perkataan Zia benar. Tidak ada yang tahu kedepannya seperti apa. Saya diam, pun dengan Zia. Saya tidak tahu apa maksud dari ucapan Zia saat itu. Semua berubah tidak beraturan. Berantakan dan runtuh. Butuh waktu buat saya untuk mencerna perkataan Zia barusan.

Beberapa detik kemudian Zia mengubah topic obrolan, menanyakan kondisi naskah saya. Secara acak memang, tapi saya tahu bahwa ada sesuatu yang tidak ingin ia sampaikan. Akhirnya saya mengesampingkan ucapan Zia tadi dan menanggapi pertanyaannya dengan menjawab bahwa saya sudah berhasil melanjutkan naskah itu. Ia tersenyum bahagia sambil memberantaki rambut atas saya. Dalam gemuruh tawanya saya berkata dalam hati, “Terima kasih sudah menjadi inspirasi saya, Zia.”

Saat itu, meskipun kami duduk berdekatan, tapi saya merasa Zia tidak ada di sana. Kursi di samping saya kosong. Sulit menggambarkan sesuatu yang tidak ada. Seolah ada awal yang tidak ingin dimulai, dan ada akhir yang tidak ingin disebut selesai.


Apakah ada yang lebih bahagia daripada saat-saat di mana kita berbagi cerita?

Apakah ada yang lebih nyaman daripada saat-saat di mana waktu kembali seraya membawa kesempatan?

Zia, saat itu, saya merasa saya punya satu alasan untuk bertahan di samping kamu. Saya pun punya satu juta alasan untuk mempertahankanmu. Semesta seharusnya sadar bahwa ia tidak bisa semena-mena mengacaukan semuanya.

Ada jutaan permintaan di dunia ini yang bisa dikabulkan oleh Tuhan, tapi yang harus kamu tahu, setiap malam permintaan saya selalu sama; meminta kesempatan untuk mengulang semuanya.

 

 


Komentar

Postingan Populer