PSH-PART FOUR-2021
“Ini kenapa Alex bentak Zia kemarin.”
Hendra memperlihatkan sebuah gambar
di ponselnya. Gambar saya dengan Zia yang sedang tertawa lepas di warung bakso
kemarin. Meskipun Hendra salut dengan apa yang saya lakukan pada Alex, tapi ia
juga mempertanyakan hubungan saya dengan Zia.
“Gue dan Zia tidak punya hubungan
apa-apa, Hend,” ucap gue sambil duduk di beranda kamar Hendra yang dipenuhi
taman hias dan dua bangku kecil.
“Untuk sekarang.”
“Hah?”
“Ya untuk sekarang lo dan Zia tidak
punya hubungan apa-apa. Tapi nanti? Siapa yang tahu. Laut, gue rasa lo udah
punya ruang di hati Zia. Dan tugas lo sekarang adalah menempati ruang itu dan
menjaganya.”
“Hend, lo kan tahu gue gimana. Zia
tidak mungkin punya perasaan lebih.”
“Laut, siapa sih yang bisa tahu
kapan cinta itu datang dan pergi kalo bukan diri sendiri?”
“Dan lo ngira kalo Zia punya
perasaan sama gue? Apa buktinya?”
“Buktinya adalah pelukan dia ke lo
kemarin. Tawa dia dalam foto itu. Bahkan, dia udah berani ngeluarin air matanya
di depan lo.”
Saya mengambil segelas kopi hangat
di atas meja, meneguknya sedikit lalu menaruhnya kembali. “Hend, kata lo tidak
ada yang tahu kapan cinta itu datang dan pergi kecuali diri sendiri, dan
sekarang… cinta itu belum datang di diri gue.”
Hendra menghela napas berat. Meski
saya paham kalo ia kesal dengan saya yang tidak juga peka terhadap perasaan
sendiri, tidak mengerti apa yang tumbuh dalam diri, dan tidak juga sadar bahwa
ada ruang yang perlu ditempati.
Zia, apa yang
Hendra sebut cinta sudah datang dan mengetuk pintu hatimu? Atau selama ini kita
hanya terperangkap dalam sebuah ragu? Saling mendekap dalam diam hingga kita
saling tahu bahwa kita jatuh dalam lobang perasaan yang dalam.
Lalu perlahan
kita sadar bahwa tujuan kita adalah dua jalan yang berbeda. Perasaan yang kita
anggap ada, nyatanya hanyalah ilusi semata. Nyaman yang kita anggap tercipta,
nyatanya hanyalah fatamorgana. Rumah yang kita anggap ramah, nyatanya sudah
lama berubah.
“Jadi apa yang lo mau lakuin
seminggu ini?” Hendra bertanya setelah mendengar kabar bahwa saya diskors
karena telah membuat wajah Alex babak belur.
“Gue mau lanjut nulis, Hend. Kasihan
naskah gue nganggur.”
“Bagus, deh. Lo bisa pakai laptop
gue kalo lo perlu.”
“Gratis?”
“Ya bayarnya pakai doa aja. Semoga
jodoh gue cepet ketemu.”
Perihal skors, Bapak mendapatkan
kabar itu dari kepala sekolah langsung. Bapak pun tahu kronologi lengkapnya.
Hari itu, setelah mengantar Zia pulang ke rumah, tidak lama setelah ia
menghabiskan satu mangkuk besar es krim, saya memilih pulang ke rumah. Bapak
sempat heran kenapa saya sudah pulang padahal jarum pendek masih berada di
angka sembilang pagi. Tapi, bapak tidak bertanya dan hanya memilih diam.
Mungkin Bapak sudah dapat menebak apa yang terjadi setelah ia melihat seragam
saya berantakan meski tidak ada noda darah, melainkan hanya basah oleh
keringat.
Sorenya, saat saya sedang duduk
membaca buku Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar di ruang tamu, Bapak
menghampiri saya sambil membawa sajadah, bersiap untuk sembahyang di mushola.
Saya menangkap nada keraguan di
suaranya. Saya menatap kedua matanya dengan berat.
“Kamu ada masalah di sekolah?”
tanyanya lembut.
“Bukan urusan bapak,” saya menjawab
melas.
“Siang tadi kepala sekolahmu
menghubungi Bapak dan bercerita semuanya,” katanya. Ucapannya membuat saya
tidak fokus membaca buku. Kini pikiran saya digerogoti oleh kemungkinan reaksi
bapak selanjutnya. Tidak disangka, reaksinya sangat berbeda dengan apa yang
saya pikirkan. Ia menyambung, “Bapak tidak marah sama kamu. Bapak juga tidak
kecewa sama kamu. Tapi, Bapak bangga sama kamu, karena kamu berani melindungi
perempuan, persis seperti apa yang Ibumu nasihatkan. Lebih dari itu, kamu
berani bertanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan. Ibumu pasti bangga.”
Setelah mengatakan itu, Bapak
meninggalkan saya. Ini adalah pertama kalinya Bapak seolah berubah menjadi Ibu
dalam dunia nyata. Karena saat Ibu masih hidup dulu, Bapak akan selalu marah
pada saya bila tahu saya berkelahi, bahkan sampai membuat anak orang lain luka
berat. Dulu, Bapak selalu bilang, tidak semua masalah perlu diselesaikan dengan
yang namanya marah. Tapi sekarang, Bapak bahkan berkata bangga pada saya.
Tidak lama kemudian, saya mendengar
ponsel Hendra berdering. Hendra tengah pergi ke gerbang rumah, mengambil
pesanan gofoodnya. Saya membiarkan ponsel itu berdering hingga mati dengan
sendiri. Beberapa detik kemudian, ponsel itu berdering lagi. Saya masih dengan
sikap yang sama. Tapi untuk ketiga kalinya ponsel itu berdering dan saya
mengambilnya.
“Hend, ada panggilan dari---“
Zia.
Saya tidak salah lihat. Nama Zia
memang benar-benar terpampang di layar. Belum saya angkat, Hendra sudah datang
dan menaruh makanannya di atas meja. Pandangannya teralihkan ke ponselnya yang
berdering.
Ia segera mengambil ponselnya,
melihat nama si pemanggil dan mengusap tombol hijau. Mereka pun berbincang
lepas di panggilan itu. Bahkan Hendra tertawa sendiri. Sial, sebenarnya apa
yang mereka bicarakan.
“Ya udah, Zia. Jaga kesehatan, ya,”
ucap Hendra lembut dan manis sebelum mematikan panggilan.
Ia meletakkan ponselnya dan
mendapati saya tengah menatapnya. “Kenapa lo ngelihatin gue?”
“Sejak kapan lo manis gitu di
telfon?” tanya saya mengejek.
“Lahhh, ya suka-suka gue dong, mau
gue marah kek, nangis kek, bengek kek atau sawan sekalian. Sirik aja, lo,”
balasnya tidak kalah mengejek.
Saat hendak menyuap pizza ke dalam
mulutnya, ia menghentikan tangannya dan melirik gue dengan lirikan tajam.
“Anjing!” teriaknya keras, “Gue baru sadar. Lo cemburu ya?!”
Pertanyaannya seakan peluru yang
menyongsong dada saya. “Apaan sih pertanyaan lo. Sakit dasar. Gue tidak
cemburu.”
“Ya kalo cemburu juga tidak apa-apa,
Laut. Biar lo sadar betapa berharganya memiliki.”
Dalam novel Dilan, ayah Pidi Baiq
mengatakan kalo cemburu hanya dilakukan oleh orang yang sedang tidak percaya
diri, dan di sini saya menambahkan bahwa cemburu boleh dilakukan oleh dua orang
yang punya hubungan. Bila tidak ada, lantas dengan alasan apa cemburu itu
dilakukan. Itulah saya. Saya tidak punya alasan apa pun untuk cemburu bila
melihat Zia menjalin hubungan dengan orang lain. Toh, bila dia bahagia bersama
orang lain, itu ‘kan pilihannya. Saya tidak ada hak untuk melarang apa-apa,
seharusnya saya mencamkan itu di otak saya.
Tidak lama kemudian, ponsel saya
berdering. Nomor tidak dikenal terlihat di sana. Saya mengerutkan kening karena
tumben sekali ada panggilan dari nomor tidak dikenal. Saya pun tidak
menghiraukannya.
“Angkat aja dulu. Siapa tahu
bagi-bagi tiket umroh,” ucap Hendra sambil meniup asap rokoknya.
Beberapa detik kemudian, ponsel
kembali berdering. “Angkat aja dulu. Siapa tahu malaikat Izrail ngasih kabar
udah sampai mana,” sambung Hendra.
Saya masih tidak mengangkatnya. Dan
sialnya panggilan itu kembali datang. “Angkat aja dulu. Siapa tahu---“
Ucapan Hendra terhenti saat saya
mengangkat panggilan itu.
“Halo, siapa ya? Kalo tidak ada kepentingan
atau salah telfon, gue matiin,” ucap saya memberatkan suara.
“Maaf, ya. Aku ganggu ya? Harusnya
aku sms dulu,” balas suara di ujung panggilan itu.
“Zia?”
Suara itu mengejutkan saya. Saya
melirik ke arah Hendra yang kini tengah tersenyum puas karena berhasil
mengerjai saya. Ia menepuk pahanya sendiri tidak kuat menahan tawa. Yang di
ujung sana pun ikut tertawa saat mendengar tawa Hendra.
“Aku dapat nomor kamu dari Hendra.
Soalnya, kata Hendra kamu ngelihatin dia terus pas telfonan sama aku, emang
bener?”
Saya melotot menatap Hendra lalu
mengepalkan tangan, isyaratkan pembalasan.
“Ohhh. Tadi itu… gue kira lo sama
Hendra…”
“Tidak, Laut. Kami tidak pacaran.”
“Iya, pacaran pun tidak apa-apa, Zia.”
“Kenapa, Laut?”
“Kenapa apanya?”
“Aku seperti mendengar nada cemburu
dalam suaramu.”
Saya kaget. Ada apa sih dengan Zia
dan Hendra, kenapa mereka berdua menganggap saya cemburu?
“Tidak.”
“Kukira kamu cemburu.”
“Tidak.”
“Iya, Laut. Ya sudah, aku ingin pergi
sekarang. Jaga kesehatanmu.”
“Iya.
Panggilan pun ditutup. Saya menoleh ke
arah Hendra. Hendra menyengir pendek.
“Kenapa?”
“Kenapa lo kasih nomor gue ke Zia?”
“Ya supaya jalan lo buat dapetin Zia
makin terbuka.”
“Gue tidak mau dapetin Zia, Hend.”
“Sudahlah, Laut. Berbohong pada diri
sendiri itu tidak baik.”
“Gue tidak bohong.”
“Semakin lo menyangkal perasaan lo,
semakin lo ngerasain kalo perasaan itu ada.”
***
Saya masih terfokus menatap layar
laptop, memandangi layar tanpa melakukan apa-apa. Pikiran saya seperti gelas
kosong. Saya tidak bisa menuangkan apa-apa saat ini. Padahal cerita saya sudah
memanggil-manggil nama saya, tapi jari-jari saya tidak juga bergerak. Suara
derap langkah seseorang terdengar mendekat.
“Lo ngapain diem doang?”
Saya mendongak dan melihat Hendra
tengah membawa beberapa snack. Dengan kaos putih panjang dan celana pendek
abu-abu, Hendra mampu menghipnotis para pengunjung perempuang di kafe. Terlebih
dengan rambutnya yang baru saja dipotong. Saya melihatnya sesaat sebelum ia
melempar snack ke muka saya. “Tidak usah ngelihat gue gitu. Jatuh cinta baru
tahu rasa lo!”
Saya mengambil snack itu dan
membukanya. “Gue tidak tahu harus nulis apa, Hend. Otak gue buntu.”
Hendra menghela napas. “Setahu gue,
semua penulis itu punya inspirasinya sendiri. Dari inspirasi itu, lo bisa
ngulik beribu-ribu kata yang tidak pernah ada dalam sebuah cerita.”
“Sayangnya gue tidak punya inspirasi
saat ini.”
Pintu kafe terbuka, saya menoleh
melihat seseorang datang mendekat.
“Hai,” sapanya manis.
Mata saya masih terpaku melihat Zia
datang. Entah saya yang gila atau dunia memang dipenuhi orang gila, Zia sangat
cantik malam itu. Mengenakan celana levis panjang dan kaos panjang hitam yang
ditimpal dengan kaos pendek putih membuatnya semakin cantik. Rasanya otak saya
benar-benar menemukan jalan buntu. Saya seolah terjebak dalam sebuah dimensi
lain.
“Zia, tumben lo telat,” kata Hendra
sedikit jengkel.
“Sorry, Hend. Motor gue mendadak
mati tadi. Jadi gue harus pesen ojek online dulu. Ditambah macet pula,”
ceritanya. Ketika ia hendak duduk di samping Hendra, tiba-tiba Hendra mengisi
kursi itu dengan snack-snacknya. Zia memang terdengar lebih lepas ketika
berbicara dengan Hendra. Buktinya ia menggunakan gue-lo. Mungkin itu caranya
berkomunikasi, menyesuaikan dengan siapa ia berbicara.
“Lo bisa duduk di sana.” Hendra
menunjuk ke kursi di samping saya. Saya mengkakukan wajah. Zia mengangguk dan
duduk di samping saya.
“Nahhh, pas banget nih,” ucap Hendra
yang sukses membuat saya dan Zia menatapnya bersamaan. “Zia, daripada lo pulang
naik ojek online nanti. Laut bisa nganterin lo. Hitung-hitung pemanasan, biar
nanti pas lo berdua pacaran tidak kaku.”
“Hend,” saya melotot ke Hendra.
Berharap ia tidak mengucapkan kata-kata aneh lagi.
Saat itu Zia tidak menanggapi
kecuali dengan senyuman tipisnya.
“Oh ya, Zia. Laut ini lagi mau
lanjut nulis naskahnya, tapi katanya dia tidak dapat inspirasi, gue bisa minta
tolong sama lo sesuatu?”
Zia mengangguk pelan sembari
berkata, “Selama gue bisa bantu, gue bantu.”
“Lo mau tidak jadi inspirasinya
Laut?”
Deg. Selesai sudah. Ucapan Hendra
kali ini sukses membuat sebagian tubuh saya lumpuh. Zia menoleh dan menatap
saya. Dengan sedikit malu saya membalas tatapannya. Sedikit demi sedikit kami
merasakan ikatan tidak kasat mata. Sedikit riasan di kelopak mata dan pipinya
tidak meruntuhkan kecantikannya.
“Kamu mau aku jadi inspirasi kamu?”
***
Langit sudah gelap. Angin malam
menerbangkan hawa dingin. Suasana perumahan rumah paman Zia pun sudah sepi.
Saya merogoh ponsel di saku dan jam di sana sudah menunjuk pukul 22.30. Mobil
di garasi rumah paman Zia masih kosong, menandakan paman Zia dan bibinya belum
pulang.
“Mereka itu suka lembur, Laut.” Zia
seolah mampu membaca pertanyaan di benak saya. “Tidak jarang juga mereka malah
bermalam di apartemen dekat kantor mereka.”
Saya menganguk-ngagguk. Saya masih
duduk di jok motor saat Zia mengikat rambutnya, menampak bulu-bulu tipis di
area lehernya. Saya sedikit tercekat.
“Laut,” panggilnya.
“Iya.”
“Kamu belum jawab pertanyaan saya
tadi.”
“Kamu mau aku
jadi inspirasi kamu?” kalimat itu
kembali datang. Dan benar, saat itu saya tidak menjawab dan malah mengangkat
tangan untuk memesan segelas susu coklat, padahal susu coklat yang setengah jam
lalu saya pesan saya belum habis.
“Gue tidak tahu, Zia,” balas gue
menunduk.
Saat mengangkat kepala, mendadak
mata saya membelalak lebar. Zia sudah berdiri di depan saya lebih dekat
daripada sebelumnya. Susah payah saya menelan saliva, menatap Zia. Sesaat saya
lupa caranya bernapas. Saya mengalihkan pandangan ke arah lain dan saat itu
juga Zia mengambil langkah mundur.
“Laut, kalo kamu merasa tidak nyaman
dekat aku, tidak apa-apa. Sebaiknya kita menjauh.” Zia mengucap dengan suara
lemahnya.
Ketika Zia sudah berniat untuk pergi
masuk ke dalam rumah, mendadak ada sesuatu yang mendorong saya untuk berlari
mengejarnya. “Tunggu,” ucap saya.
Zia berhenti melangkah, berbalik dan
menatap kaget wajah saya. Saya berdiri di belakangnya, mengusap halus pipi
kanannya, menariknya dan mencium bibir cewek itu. Untuk beberapa detik Zia
terdiam sebelum ia melingkarkan tangannya di leher saya, berjinjit dan membalas
ciuman saya.
Itu adalah ciuman pertama saya.
Seketika semesta seakan jadi penonton untuk salah satu perbuatan paling sacral dalam
hidup saya. Tidak pernah terpikir oleh saya akan mencium bibir seorang
perempuan sebelum ikatan pernikahan datang.
Sang waktu seolah berhenti,
memberikan panggung pada saya dan Zia untuk menikmati satu sama lain. Kami berdua
saling menutup mata, membiarkan bibir menjalankan tugasnya. Saya melepas ciuman
itu untuk menatap mata Zia. Ia tersenyum dan kembali menarik bibir saya ke
dalam bibirnya.
Tubuh saya mulai lemas. Saya pun
menjauhkan bibir saya. Meskipun ini ciuman pertama saya, saya merasa saya tidak
terlalu buruk. Jemari kanan saya menyentuh bibir Zia. Kami berdua saling
melempar senyum.
“Zia, gue tidak mau kehilangan lo.”
Senyum Zia tiba-tiba luntur. Dia
terlihat kaku saat ini. Tanpa menanggapi ucapan saya, dia berbalik, tidak
berani menatap wajah saya. Tanpa mengucapkan apa pun, ia mengambil langkah
cepat masuk ke dalam rumah. Saya berdiri dengan wajah bingung, entah karena
saya mengucapkan ini terlalu cepat atau kata-kata saya memang tidak tepat.
***
Ini hari pertama saya masuk sekolah
setelah seminggu harus menjalankan hukuman skors. Sejak ciuman malam itu, saya
seolah mendapatkan inspirasi baru. Iya, Zia adalah inspirasinya. Seperti
kerasukan, saya menulis nashkah dari pukul sebelas malam hingga lima pagi.
Setelah itu beristirahat dan melanjutkan naskah hingga sore. Pun Hendra yang
tadinya mengajak saya keluar hanya bisa menelan penolakan saya dan akhirnya
teras rumah jadi sarangnya. Saya yang sibuk dengan laptop dan naskah saya,
sedangkan Hendra sibuk dengan ponselnya.
Sampai saat ini, Hendra belum tahu
perihal ciuman itu. Saya pikir itu hal yang pribadi.
Tadinya saya hendak menuju
perpustakaan jika saja saya tidak melihat Zia tengah mendorong dada Alex yang
berusaha mendekatinya di kantin. Beberapa teman Alex pun mengepungnya. Beberapa
kali Alex menyentuh dagu Zia yang dibalas dengan wajah amarah. Murid-murid
hanya bisa diam.
“Ayolah, Zia. Gue cuman mau bikin lo
seneng aja,” ucap Alex.
“Gue sibuk, Lex.” Zia mengelak berusaha
lari dari kepungan Alex dan teman-temannya.
Tiba-tiba Alex berbisik sesuatu pada
Zia yang entah kenapa mampu membuat Zia diam seketika. Mata Zia melirik Alex
dengan lirikan benci. Alex tersenyum jahat, seakan bisikannya barusan adalah
cara jitu.
Alex mengeluarkan ponselnya dan
memperlihatkan sesuatu pada Zia.
“Hapus, Lex!”
“Buat apa?”
“Gue bilang hapus, ya hapus!” teriak
Zia. Saya tidak pernah melihat Zia semarah itu sebelumnya. Ia berusaha mengambil
ponsel di tangan Alex. Alex meninggikan ponselnya, memaksa Zia untuk berjinjit
hingga tiba-tiba Alex mengambil kesempatan itu untuk mencium pipi Zia.
Zia seketika lemas. Dirinya merasa
tertampat oleh perlakuan Alex. Kini tidak ada lagi niat saya untuk pergi ke
perpustakaan, saya beralih mendekati Alex dan teman-temannya. Alex menoleh ke
belakang saat menyadari ponselnya telah saya rebut. Saya menyalakan layarnya
dan untung saja ponselnya tidak terkunci. Jadi saya bisa melihat jelas sebuah
gambar yang memperlihatkan tubuh Zia yang tidak mengenakan apa pun dari arah
belakang.
Emosi saya memuncak. Sesaat saya
melihat Zia menatap saya dengan mata memerah. Pandangan kami saling bertemu.
“Balikin hape gue,” ucap Alex
setengah membentak seraya menarik kerah seragam saya. Pandangan saya masih
menyangkut di mata Zia, menangkap sesuatu di sana. Bukannya mengembalikan
ponsel Alex, karena itu tidak mungkin saya lakukan, saya malah mendorong tubuh
Alex menjauh dan…
Brakkk! Saya membanting ponsel Alex ke lantai, menghancurkannya dengan
sekali bantingan. Entah berapa harga ponsel dengan logo apel di belakangnya
itu, saya tidak peduli. Karena yang saya pedulikan sekarang adalah Zia. Saya
langsung mengambil tangan Zia dan mengajaknya pergi. Tiba-tiba Alex mencengkram
bahu saya, “Tunggu lo, nyet!”
Saya melepas genggaman saya dari
Zia, memutar badan dan mendaratkan hantaman keras di kening Alex. Murid-murid
hanya bisa melongo menutup mulut melihat keributan di kantin yang saya lakukan.
Belum satu hari saya kembali bersekolah, saya sudah tahu perbuatan saya ini akan
kembali menimbulkan masalah.
Tidak peduli dengan tatapan para
murid, saya mengaja Zia untuk angkat kaki. Saya berjalan di depan, sedangkan
Zia di belakang. Saya hanya ingin mengajak pergi Zia dari suasana ramai itu.
Merasa cukup jauh, saya menghentikan
langkah tepat di depan warung kopi. Saya mempersilakan Zia duduk. Matanya masih
memerah meski kini ia terlihat lebih lelah. Bagaimana tidak, saya mengajaknya berlari
tanpa tujuan dari tadi.
“Laut, kamu mau beliin saya kopi?”
Saya menggeleng. “Gue tahu lo tidak
suka kopi.”
“Tahu dari mana?”
“Tidak penting gue tahu dari mana.
Karena yang penting sekarang itu lo,
Zia.”
Zia menggeleng malu. “Ya sudah,
terus ngapain kamu ngajak aku ke warung kopi?”
Saya tersenyum lalu memanggil
penjual kopi yang tengah menyeduh kopi hitam. Ia mengangguk, mengambil ponselnya
dan berbicara dengan seseorang. Tidak lama kemudian, penjual es krim keliling
berhenti di depan Zia tersenyum lebar
dengan wajah heran. Wajahnya menoleh ke arah saya sebentar.
“Jangan heran gitu,” ucap saya.
Penjual es krim itu menghampiri
sambil membawa satu mangkok es krim vanilla dan memberikannya pada Zia. “Makasih
ya, Mas,” ucap Zia. Sebelum pergi, penjual es krim itu menoleh ke arah saya dan
berkata, “Mas Laut, jangan lupa, ya.”
Saya mengangguk seraya menyuruhnya
cepat pergi meskipun beberapa detik kemudian Zia menangkap maksud penjual es
krim tersebut. “Kamu ngutang, ya?” ucapnya diikuti tawa.
Saya menggaruk-garuk kepala. “Iya,
hehehe. Duitnya habis buat bensin tadi,” balas saya.
Untuk sejenak kami saling tersenyum.
Suasana berubah menjadi hangat. “Dimakan dulu es krimnya, nanti cair.”
Dia mengangguk, memakan es krim itu
dengan lahap sebelum saya menahan tangannya dan memberinya selembar tisu. Ia
menerimanya dengan berkata, “Aku makannya berantakan, ya?”
Saya mengganguk.
“Kirain kamu bakal ngusap sudut
bibir aku, Laut.”
Saya tersenyum dan meletakkan tangan
saya di atas tangannya lalu menjawab, “Lebih dari itu, Zia. Gue akan ngusap air
mata lo. Karena mulai sekarang, gue tidak mau ada satu orang pun yang nyakitin
lo, apalagi sampai bikin lo nangis.”
Sejenak ia menatap mata saya. Tuhan,
bolehkah saya memintanya untuk tetap seperti ini selamanya? Memintanya untuk
menatap saya dengan pandangan bahagia. Saya tidak ingin ada satu pun mahluk-Mu
yang membuat mata indah itu mengeluarkan air mata.
“Kamu tidak bisa mengatur orang
lain, Laut.”
“Lo berhak bahagia, Zia.”
“Orang lain juga berhak menyakiti
aku, Laut.”
“Gue janji tidak akan menyakiti lo.”
“Tidak perlu ada kata janji untuk
bisa membahagiakan orang lain, Laut. Kata janji itu melahirkan harapan dan
tidak semua harapan jadi kenyataan.”
“Maaf, Zia. Gue hanya tidak
ingin----“
“Laut, tidak ada yang bisa menebak
apa yang akan terjadi nanti. Mungkin saat ini kita merasa nyaman satu sama
lain, kita merasa tidak perlu takut untuk berjalan bersama. Tapi yang namanya
jalan tidak selalu memberikan kenyamanan. Kita harus sudah siap untuk segala
resikonya.”
Saya tidak bisa lagi menjawab
apa-apa. Semua perkataan Zia benar. Tidak ada yang tahu kedepannya seperti apa.
Saya diam, pun dengan Zia. Saya tidak tahu apa maksud dari ucapan Zia saat itu.
Semua berubah tidak beraturan. Berantakan dan runtuh. Butuh waktu buat saya
untuk mencerna perkataan Zia barusan.
Beberapa detik kemudian Zia mengubah
topic obrolan, menanyakan kondisi naskah saya. Secara acak memang, tapi saya
tahu bahwa ada sesuatu yang tidak ingin ia sampaikan. Akhirnya saya
mengesampingkan ucapan Zia tadi dan menanggapi pertanyaannya dengan menjawab
bahwa saya sudah berhasil melanjutkan naskah itu. Ia tersenyum bahagia sambil
memberantaki rambut atas saya. Dalam gemuruh tawanya saya berkata dalam hati, “Terima
kasih sudah menjadi inspirasi saya, Zia.”
Saat itu, meskipun kami duduk
berdekatan, tapi saya merasa Zia tidak ada di sana. Kursi di samping saya
kosong. Sulit menggambarkan sesuatu yang tidak ada. Seolah ada awal yang tidak
ingin dimulai, dan ada akhir yang tidak ingin disebut selesai.
Apakah ada yang
lebih bahagia daripada saat-saat di mana kita berbagi cerita?
Apakah ada yang
lebih nyaman daripada saat-saat di mana waktu kembali seraya membawa
kesempatan?
Zia, saat itu,
saya merasa saya punya satu alasan untuk bertahan di samping kamu. Saya pun
punya satu juta alasan untuk mempertahankanmu. Semesta seharusnya sadar bahwa
ia tidak bisa semena-mena mengacaukan semuanya.
Ada jutaan
permintaan di dunia ini yang bisa dikabulkan oleh Tuhan, tapi yang harus kamu
tahu, setiap malam permintaan saya selalu sama; meminta kesempatan untuk
mengulang semuanya.
Komentar
Posting Komentar