PSH-PART FIVE-2021.

 


source photo: pinterest.com


Lima

Jembatan


“Selamanya cerita kita tidak akan pernah bisa dimulai, Laut.”

Zia berdiri di hadapan saya dengan wajah menunduk. Hamparan laut mengelilingi kami berdua. Saya menunduk, mendapati kami tengah berdiri di atas sebuah perahu yang menetap di atas gelombang air. Cerahnya langit hari ini berkontradiksi dengan apa yang ada di depan mata saya saat ini. Saya berharap semuanya baik-baik adanya, namun sepertinya tidak bagi Zia. Seolah setelah ini salah satu dari kami akan loncat dan membiarkan tubuh ini tenggelam hingga dalam.

Saya menatap Zia, berharap tidak ada teka-teki yang hanya mengacaukan pikiran kami.

“Zia, kenapa kita ada---“

“Laut!” ia menaikkan suaranya. Saya tidak mengerti apa yang terjadi hingga saya mampu melihat air mata membasahi pipinya. Ingin saya mengusap air matanya, tapi tangan saya seolah tidak terkunci. “Aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi.”

“Zia, lo tidak perlu pergi ke mana-mana.”

“Tidak, Laut. Aku harus pergi. Aku tidak bisa tinggal di tempat yang kamu sebut rumah.”

Saat itu, semesta seolah berubah menjadi monster mengerikan di hadapan saya. Kedua matanya melebar menatap saya. Beberapa detik kemudian semesta itu bersuara, “Biarkan dia pergi, Laut. Tidak ada yang benar-benar tinggal di waktu yang telah tertinggal. Apa yang kamu sebut rumah, tidak lain adalah apa yang ia sebut tempat singgah. Ada banyak cara untuk meminta seseorang berhenti dan menjadikanmu tujuan, tapi sayangnya, kamu bukanlah apa yang ia sebut tujuan. Bila kamu menahan dia untuk ada, selamanya yang kamu dapat hanyalah luka. Tidak pernah ada kata mulai di antara kalian berdua, karena yang ada hanya kata selesai. Jangan memak---“

“Diam! Gue minta lo diam!” teriak saya pada semesta. “Sedari dulu lo selalu ikut campur dalam setiap cerita. Seharusnya orang-orang membuka mata. Lo tidak selalu membawa bahagia, lo pun dapat membawa luka! Semesta seperti lo tidak akan mengerti! Gue benci sama lo!”

Semesta itu tertawa. Saya tidak paham di mana bagian lucu dari kata-kata saya.

“Kamu berkata ini hanya karena kamu sedang kecewa, Laut. Kamu tidak benar-benar membenci saya. Saya yang mempertemukanmu dengannya, saya yang membawanya padamu, saya yang memasukkannya dalam ceritamu.”

“Lalu apa?”

“Lalu kamu lupa bahwa saya juga punya hak untuk mengambilnya darimu.”

“Tidak! Gue tidak akan membiarkan dia pergi!”

“Terlambat, Laut.”

Saya menoleh ke depan dan menyadari kini Zia telah tiada. Tiba-tiba langit berubah gelap. Matahari berganti bulan. Saya menyapu pandangan, berharap mendapatkan Zia. Tapi sayang, laut lebih patuh pada semesta. Air bergerak tinggi. Menggoncangkan perahu hingga memaksa saya duduk dan berpegangan. Beberapa detik kemudian, laut melempar saya ke tepi pantai.

Merasa tidak terima, saya mengejarnya, mencoba menenggelamkan diri saya. Lagi-lagi semesta bekerja, semakin saya mengejarnya, laut itu semakin menjauh. Saya membungkuk kesal sebelum mendengar semesta berkata, “Seharusnya kamu sudah tahu bahwa datang selalu berjodoh dengan pergi, Laut.”

Bersamaan dengan itu, tanah yang saya injak terbuka lebar, seakan ada gempa bumi, tanah itu menelan saya. Saya berteriak meski teriakan saya tidak mengeluarkan suara. Setelah menelan saya, tanah itu kembali tertutup. Saya berusaha kabur, tapi kedua tanah di kiri kanan saya menekan saya, meretakkan tulang-tulang saya sampai akhirnya saya tidak bisa bernafas dan semua berubah gelap.

Saat itu juga saya tahu bahwa saya bermimpi. Dengan cara yang menyeramkan, jagat raya seakan memberi pesan. Saya tidak tahu apa isi pesan itu, tapi yang saya tahu, pesan itu adalah apa yang saya tidak ingin baca.

Benak saya memutar nama seseorang. Saya buru-buru mengambil ponsel di atas meja dan mencari namanya, memanggilnya tapi tidak ada jawaban. Beberapa kali melakukan mencoba, hasilnya pun sama.

***

Saat di sekolah, sebelum masuk kelas, saya menyempatkan pergi ke kelas Zia dan bertanya pada salah satu temannya, apakah Zia ada di dalam atau tidak. Ia masuk dan kembali dengan mengatakan Zia tidak ada di sana. Tasnya juga tidak ada. Saya pergi ke ruang OSIS, mengira Zia tengah membimbing anggota OSIS di sana, tapi mereka menjawab bahwa Zia tidak masuk hari ini.

Pelajaran pertama akan dimulai lima menit lagi. Tidak memikirkan resikonya, saya berlari ke lapangan parkir, menyalakan motor dan bergegas menuju rumah paman Zia.

Sesampainya di sana, perempuan tua di rumah Zia mengatakan bahwa Zia tengah pergi ke taman dekat komplek. Saya pun langsung menyusulnya dan benar kata perempuan tua itu, saya melihat Zia tengah duduk dekat kolam ikan.

Saya menghampirinya. Ternyata ia tengah menghubungi seseorang. Ketika ia melihat saya, tidak lama kemudian ia menutup panggilannya dan memasukkan ponselnya ke saku.

“Hai,” sapanya ceria.

Saya hanya tersenyum tipis dan duduk di sampingnya. Mendapati tanggapan yang berbeda, Zia bertanya, “Ada apa? Ko mukanya datar gitu? Lagi ada----“

Pelukan saya menyela ucapannya, membuatnya terdiam. Untuk beberapa menit, ia hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan saya sebelum membalas pelukan saya, mengusap-ngusap punggung saya dan berkata, “Hei, kenapa? Cerita aja.”

Saya memejamkan mata, mengeratkan pelukan.

“Laut, dilihatin ibu-ibu tuh,” ucap Zia menghibur.

“Biarin, gue tidak peduli.”

“Kamu kenapa?”

“Zia, gue boleh minta sesuatu?”

“Apa?”

“Gue minta lo jangan pernah pergi, bisa?”

“Laut, aku---“

“Zia,” sela saya, “gue mohon. Gue mohon kali ini lo janji sama gue untuk tidak pergi.”

“Laut, aku udah pernah bilang---“

Tanpa sengaja, saya mengeluarkan air mata saat itu. Zia menyadari itu. Ia tidak melanjutkan ucapannya, melainkan merubahnya, “Aku janji tidak akan pergi, Laut.”

Semesta, lihat ini! Dia telah berjanji untuk tetap di sini. Selanjutnya, saya akan mengabadikan perjalanan ini. Saya akan membuatnya nyaman agar ia tidak pernah terbesit dalam benaknya untuk meninggalkan saya. Saya tidak akan menciptakan jembatan yang menghubungkan dia dengan saya, karena selamanya kita akan berada di pijakan yang sama. Saya harap seperti itu.

Zia menjauhkan badan setelah melihat saya berhenti menangis. Ia memegang kedua pipi saya dan mengusap air mata saya sambil tersenyum. Saya masih memejamkan mata, tidak berani membukanya. Zia bertanya kenapa saya tidak kunjung membuka mata dan saya menjawab, “Malu sama ibu-ibu itu.”

Sedetik kemudian Zia tertawa lalu mencubit hidung saya. Saya meringis sakit dan membuka mata. “Zia, sakittttt.”

“Lagian, aneh banget tiba-tiba datang terus meluk.” Ia kembali tertawa, memperlihatkan sisi manisnya. Sisi yang tidak pernah gagal menumbuhkan bahagia dalam dada saya. Di antara datang dan pergi, saya harap ia berada di keduanya. Saya tidak terlalu apa yang akan saya tulis dalam bab selanjutnya, tapi saya tahu bahwa bersama Zia, cerita itu tidak akan pernah berakhir kecewa, bertemu luka, dan berubah menjadi kertas penuh kata-kata belaka.

Ditemani hiruk pikuk tawa anak-anak kecil yang tengah bermain, Zia bertanya kenapa saya membolos hari ini. Saya menjawab dengan jujur bahwa saya ingin bertemu dengannya. Ia kembali bertanya apakah hanya itu alasannya dan saya mengangguk.

“Laut, kamu tidak mengkhawatirkan masa depanmu?”

Saat ini saya sedang mengkhawatirkan kamu, Zia.

Saya menggelengkan kepala. Ia bertanya alasannya.

“Masa depan bagi gue adalah rahasia Tuhan. Sekeras apa pun manusia merencanakan masa depan, keputusan akhir ada di tangan Tuhan.”

“Tuhan itu Maha Adil, Laut. Kalo saja Ia melihat kejujuran dan kegigihan hamba-Nya dalam merencanakan masa depan, Ia akan membiarkan hamba itu mewujudkannya. Kecuali bila Ia merasa masa depan itu tidak baik untuk hamba-Nya.”

Apakah Tuhan akan membiarkan saya terus bersamamu, Zia?

“Zia, gue mau na--“

“Aku tahu kamu mau tanya soal foto itu.” Zia menghembuskan nafas seseat sebelum menyambung, “dulu, aku dan Alex sangat dekat. Itu karena orang tua kami adalah kolega bisnis. Hingga satu hari di mana orang tua kami berselesih paham. Dalam perjalanan pulang, orang tua Alex mengalami kecelakaan dan meninggal. Mulai dari situ, Alex sangat membenci orangtuaku, tapi ia melampiaskan kekesalannya padaku. Kukira foto itu diambil saat ia tengah bermain di rumahku. Aku tidak berpikir dia bisa sejahat itu, Laut.”

Suaranya terdengar parau. Saya mengambil tangannya dan mengatakan semua akan berlalu. Waktu akan menyembuhkan semuanya. Bersamaan dengan itu, saya seolah tidak mau bertanggung jawab atas apa yang saya ucap barusan. Bila waktu akan menyembuhkan, apakah hubungan saya dengan Bapak akan kembali membaik.

Sial! Apakah sesusah ini berdamai dengan masa lalu? Seolah ada sesuatu yang menghalangi untuk saling memahami. Menciptakan jarak dengan sesuatu yang mudah retak. Membenci apa yang seharusnya dicintai. Dua dimensi dalam satu materi. Semua tersimpan dalam satu ruang penuh emosi.

“Gue akan bantu lo untuk ngelewatin ini semua,” ucap saya tersenyum.

Zia membalas senyuman itu. Benarlah apa kata orang bahwa senyum adalah ibadah, karena bagi saya, senyum Zia lebih dari itu. Senyum Zia adalah candu untuk beribadah. Menenggelamkan siapa pun yang melihatnya, membuyarkan ketenangan yang sulit dirapihkan.

“Oh, ya, kamu belum cerita kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini.”

Saya pun menceritakan mimpi itu. Mimpi yang entah kenapa sangat saya benci. Mimpi yang merusak sebuah harapan. Tidak lagi saya sebut mimpi adalah bunga tidur atau semacamnya bila yang dimaksud mimpi itu adalah kepergian Zia. Maka, percayalah, saya akan menyebutnya racun tidur yang mampu membunuh seseorang.

Dan sekarang, atas janji yang Zia telah lontarkan, maka mimpi buruk itu tidak akan menjadi kenyataan. Iya, tidak akan.

Zia hanya menanggapi cerita itu dengan tawa pelan. Ia menabur pandangannya ke sekitar. Tidak lama kemudian ia berkata, “Andai saja waktu itu tidak ada, Laut. Mungkin semua orang akan bahagia karena tidak ada yang akan berubah dalam hidup mereka.”

“Perubahan ‘kan tidak selalu membawa kesedihan, Zia.”

“Benar. Tapi, di mana ada kebahagiaan, di situ ada porsi untuk kesedihan. Hidup ini harus seimbang.”

Hidup ini harus seimbang. Kalimat itu termaktub jelas dalam pikiran saya. Kita tidak bisa selamanya hidup dalam kebahagiaan. Sepatutnya kita akan lebih menghargai hidup bila merasakan keduanya. Maka, cukup heran bila seseorang menginginkan selalu hidup bahagia, pun dengan seseorang yang merasa hidupnya selalu dibungkus kecewa. Percayalah, semua orang punya makna dari hidupnya masing-masing, dan saat itu saya merasa bahwa Zia adalah bagian dari kehidupan saya.

Selepas pertemuan saya dengan Zia pagi itu. Rasa takut kehilangan dirinya bertambah besar. Mata dan senyumnya seolah mengikuti setiap langkah kaki saya. Dulu, saya percaya cinta tidak bisa datang tiba-tiba. Ia butuh waktu untuk menciptakan dunia barumu.

Dan, saat itu saya merasa menjadi wujud dari seseorang yang menjilat ludahnya sendiri. Bangunan yang sedari dulu sudah saya bangun, dengan mudahnya runtuk karena kedatangan Zia. Satu-satunya hal yang masih menjadi abu-abu adalah status jelas hubungan kami berdua.

Kejelasan sebuah hubungan menjadi satu hal yang penting dalam sebuah hubungan. Meskipun, saya juga melihat ada saja dua orang yang bahagia menjalani sebuah hubungan tanpa kejelasan. Berjalan tanpa tujuan ‘kan juga menyenangkan. Tapi, kita sedang berbicara tentang sebuah hubungan sakral antara dua insan. Kita tidak bisa selamanya berlindung dalam kata ‘kenyamanan’ tanpa sebuah hubungan. Cepat atau lambat kita akan merasa lelah karena memaksa kaki berjalan tanpa kejelasan.

Berangkat dari alasan itu, saya berpikir untuk memperjelas hubungan saya dengan Zia.

Hujan datang bersama angin pelan. Saya harus membiarkan tubuh dan pakaian saya basah ketika sampai di rumah. Di teras rumah, Hendra sedang duduk sembari merokok. Saya memarkirkan motor, menyuruh Hendra masuk ke dalam rumah. Hendra mengikuti sambil menyampaikan bahwa Bapak sedang pergi ke rumah tetangga saat ini.

Setelah mengganti pakaian, saya diserbu berbagai macam pertanyaan dari Hendra perihal apa yang ia dengar dari murid-murid sekolah.

“Jadi lo beneran banting hapenya Alex?”

Saya mengangguk.

“Wah, lo udah gila, Laut. Gue juga udah denger tentang gambar Zia dari beberapa murid. Alex memang udah kelewatan.”

“Gue lagi tidak mau bahas gambar itu, Hend.”

Hendra memahami bahwa gambar itu menyakiti perasaan Zia, dan menjadikan gambar itu sebagai konsumsi publik. Ia pun mengganti topiknya menjadi sebuah pertanyaan, “Gimana hubungan lo dengan Zia?”

“Baik-baik aja,” jawab saya santai.

“Tidak ada yang baik-baik saja selama hubungan belum menemukan kejelasan.”

“Hah?”

“Yaaaaa, lo dan Zia belum resmi berpacaran ‘kan?”

Diamnya saya sudah menjadi jawaban. Hendra membenarkan posisi duduknya dan meminta saya untuk memutuskan sebuah keputusan perihal hubungan ini. Saya pun mengerti, dan saya harus sabar menanti waktu yang tepat.

“Laut, lo cinta sama Zia?”

“Gue belum bisa jawab, Hend. Tidak mudah menentukan apakah ini cinta atau bukan.”

“Jadi, selama ini lo belum yakin?”

“Hend, cinta itu butuh waktu.”

“Tapi cinta juga butuh keberanian, Laut. Lagian, gue lihat-lihat, Zia juga nyaman ko sama lo.”

“Kenyamanan tidak menjamin perasaan, Hend. Udahlah, gue mau keluar cari makan.”

“Ikuttttt.”

Sate Pak Marjoko menjadi pilihan saya dan Hendra malam itu. Tadinya Hendra berharap agar kami makan di Warung Upnormal, tapi saya menolak dengan alasan sedang tidak mood makan di tempat seperti itu. Lagipula, uang saya pas-pasan, hanya cukup untuk membeli beberapa tusuk sate dan nasi. Untungnya, Pak Marjono sudah mengenal baik keluarga saya, ia pun memberikan nasi secara gratis.

“Minumnya apa?” tanya Pak Marjoko.

“Teh hangat aja, Pak,” jawab saya.

Hendra menyolek tangan saya dan berkata, “Kalo gue pikir-pikir, ya, kenapa semenjak lo deket sama Zia, tuh anak kena masalah terus? Dan lucunya adalah masalahnya pasti bersangkutan dengan gambar. Kaya ada wartawan yang kepo sama hubungan lo berdua.”

“Yaaaa ‘kan setan ada di mana-mana, Hend,” jawab saya sekenanya. Tidak lama kemudian dua teh hangat datang. Kami pun menyantap sate sambil sesekali tertawa mengingat masa-masa saat masih kelas satu SMA. Saat Hendra mengira saya adalah seorang gay. Bukan tanpa alasan ia mengira saya seperti itu, karena saat kelas satu SMA, hampir setengah tahun saya habiskan hanya di perpustakaan tanpa bersosial. Saya bahkan tidak mengenal semua nama di kelas saya saat itu. Stigma bahwa murid pemalas adalah murid yang duduk di barisan belakang dan murid perajin adalah murid yang duduk di barisan belakang hanyalah stigma omong kosong belaka, karena pada nyatanya, saat itu saya memilih duduk di kursi belakang bukan karena malas ditanya atau belajar, tapi karena malas bersosial dengan yang lain, meskipun nilai-nilai saya pun tidak jatuh.

Selama hampir setengah tahun, saya menganggap bahwa tugas saya di sekolah hanyalah menyantap semua informasi di kelas. Setelah itu, saya bergegas pulang ke rumah. Tidak peduli bila ada teman yang mengajak bermain atau kerja kelompok.

Hingga suatu hari, saat saya sedang membaca novel Dunia Shopie, salah satu novel yang membahas filsafat dengan sederhana, seorang murid duduk di samping saya dan berkata dengan lantang, “Buset! Lo baca kamus bahasa Arab?”

Murid itu adalah Hendra. Karena teriakannya barusan, petugas perpustakaan mengusir kami berdua. Semenjak hari itu, kami berdua menjadi akrab. Saat itu juga saya baru tahu bahwa kami adalah teman kelas.

“Laut, beberapa bulan lagi kita bakal lulus, lo udah ngobrol sama Bapak tentang kuliah lo?” tanya Hendra sambil mengunyah sate.

 “Emang lo yakin bakal lulus?”

“Yahhh kampret. Doa aja dulu. Jadi lo udah ngobrol sama Bapak belum?”

Saya menggelengkan kepala dan mengatakan saya akan membahas itu nanti, mungkin hari-hari mendekat kelulusan. Lagipula, saya pun tidak tahu bagaimana harus berbicara dengan Bapak. Kecanggungan masih membungkus kami berdua.

Setelah menyantap sate, Hendra mengeluarkan bungkus rokok, mengambil satu batang rokok dan menyalakannya. Saya berkata padanya saya ingin membeli satu bungkus nasi goreng yang kebetulan tidak jauh dari warung sate. Hendra mengernyit, bingung untuk siapa sebelum akhirnya ia sadar dan tersenyum sendiri. Melihat reaksinya, saya berkata, “Gue bukan anak durhaka, Hend.”

“Ya kali aja lo udah gantiin posisinya malin kundang.”

Nasi goreng tidak pedas adalah kesukaan Bapak sejak dulu. Dulu, hampir setiap malam minggu, Bapak mengajak saya dan Ibu untuk makan nasi goreng di luar. Ibu beberapa kali menolak dengan alasan ia tidak lapar. Tapi, Bapak tahu bahwa tidak lapar hanyalah alibi semata. Dengan beberapa rayuan lucu, Ibu pun mengalah setelah melepas tawa karena melihat usaha suaminya.

“Duitnya kenapa tidak disimpan aja, sih, Mas. Kan masih ada makanan di rumah,” ucap Ibu.

“Tidak apa, membahagiakan istri dan anak ‘kan ibadah. Lagipula, anggap saja ini adalah meeting keluarga.”

“Hah? Mi kiting?” kening Ibu mengerit mendengar Bapak mengucapkan kata asing.

Meeting, Bu. Bukan mi kiting,” saya meralat ucapan Ibu sebelum menyambung, “sebut aja diskusi, Bu.”

“Ohhh, lagian Bapak sok-sokan pakai kata-kata aneh.”

Saat itu, saya tidak bisa menilai betapa berharganya kehangatan yang kami ciptakan. Senyum dan tawa yang terukir di wajah Ibu saat mendengar celotehan Bapak mengenai teman-teman kerjanya. Ibu tidak kalah heboh, ia pun menceritakan betapa lelahnya menjadi anggota pengajian daerah kita. Mendengar suara tawa Ibu dan melihat cara Bapak bercerita apa saja agar kami tertawa, membuat saya tidak habis pikir, kenapa Tuhan dengan mudahnya merenggut itu semua dari saya. Seolah saya Tuhan memberi saya sebuah buku dongeng. Bagian awalnya memberikan kebahagiaan dan keceriaan, tapi sesampainya di bagian tengah, dongeng itu berubah menjadi cerita menyeramkan dan menakutkan, seakan cerita ini mampu mengalahkan novel-novel Stephen King, Bram Stoker, Anne Rice atau James Patterson sekaligus.

Merasa semua mendadak berubah, saya memilih untuk menutup buku yang diberikan Tuhan itu, meskipun saya sadar bahwa hidup saya akan tetap berlanjut, baik saya mengingkari alur ceritanya atau tidak.

Lalu sebuah pertanyaan muncul di kepala, “Kamu ‘kan belum sampai di bagian terakhirnya, Laut, bagaimana jika kamu akan berakhir bahagia di bagian terakhirnya?”

Pertanyaan itu mengandung pengandaian, dan pengandaian berarti kemungkinan dan kemungkinan berarti tidak kepastian. Itu artinya, tidak ada yang bisa memastikan bagian terakhir buku itu akan berisi kebahagiaan. Daripada bergelumut dalam segala kemungkinan, saya memilih untuk tutup mata dari buku itu.

Bapak tengah duduk di depan televisi saat saya masuk ke dalam rumah. Dunia perpolitikan adalah topik yang paling disenangi Bapak. Dulu, ia sempat bertanya pada saya, “Kamu tahu apa yang paling lebih seram daripada neraka, Laut?”

Saya menggelengkan kepala.

“Dunia politik, Laut. Orang-orang yang gila kuasa mungkin menganggap dunia politik adalah surga, tapi dunia politik sejatinya adalah tempat yang lebih menyeramkan daripada neraka, karena di sana, setan-setan berdasi tengah berdiskusi, memikirkan cara untuk mengambil uang rakyat tanpa permisi.”

“Lalu, kenapa Bapak suka sekali menonton acara politik?”

“Acara seperti ini seolah mengingatkan kita bahwa di luar sana masih ada yang gila kekuasaan. Apa pun mereka akan lakukan demi kenyamanan sebuah jabatan, bahkan jika mereka harus membawa nama Tuhan.”

“Apa yang salah dengan membawa nama Tuhan?”

“Tuhan tidak mengajarkan mahluk-Nya untuk berbohong, Laut. Apalagi demi kenikmatan dunia yang tidak nyata.”

Tatapan matanya berapi setiap berbicara tentang dunia politik dan keagamaan. Dan kini, semua itu seolah padam dengan sendirinya. Terlebih saat Tuhan memanggil Ibu untuk pulang ke rumah sesungguhnya. Semenjak itu, Bapak hanya menikmati dunia politik sebagai bahan informasi belaka, bahkan beberapa kali saya melihat ia mematikan televisi sebelum acaranya selesai.

Apa mungkin Bapak mulai merasa kecewa dengan keputusan Tuhan? pikir saya.

Kenapa? Toh manusia ‘kan punya hak untuk kecewa. Termasuk pada Tuhannya. Perkara apakah itu pantas atau tidak, itu urusan lain. Perkara apakah itu adalah hal yang keliru karena sebenarnya Tuhan tidak memberi ujian pada hamba-Nya kecuali ada maslahat dari ujian tersbut, itu urusan lain. Pun bila Bapak mulai merasa kecewa dengan keputusan Tuhan, saya sudah lebih dahulu kecewa dengan-Nya dan sampai sekarang, saya tidak mengerti kenapa Ia merenggut Ibu dari saya.

Kata orang, kematian adalah rahasia Tuhan. Bila sudah datang ajalnya, maka manusia tidak bisa mengundur waktunya. Tapi, Tuhan pun tahu bahwa kematian mampu meninggalkan kesedihan dan butuh waktu untuk menyembuhkan kesedihan itu. Lantas bagaimana bila obat kesedihan itu adalah kembalinya Ibu di dunia ini. Saya tahu itu mustahil, tapi apa salahnya meminta pada Tuhan satu hal yang mustahil? Toh, tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Segala sesuatu mungkin bagi-Nya. Bukankah mudah bagi-Nya menciptakan dan menafikan sesuatu?

Dan, sekarang, saya hanya berkata bahwa kesedihan yang masih membasahi dada saya belum benar-benar reda, apalagi kering. Tidak. Kesedihan itu akan tetap menghantui pikiran saya selama Ibu tidak kembali ke dunia ini. Terlihat egois? Biarkan! Dunia ini ‘kan hanya dipenuhi orang-orang yang egois, yang mengutamakan kepentingan mereka daripada orang lain.

Tanpa mengucapkan satu kata pun, saya hanya meletakkan satu bungkus nasi goreng itu di meja di dekat Bapak. Pandangan Bapak teralihkan ke sana dan bertanya, “Untuk Bapak?”

“Iya.”

“Terima kasih.”

Saya tidak membalasnya dan memilih untuk masuk ke kamar. Tapi suara Bapak menghentikannya. “Laut, bisa Bapak bicara sebentar?”

Saya menelan ludah. Membalikkan badan dan pura-pura memasang wajah lelah lalu menjawab dengan nada datar, “Tentang?”

“Sepertinya kamu kelelahan. Maaf. Tapi Bapak hanya ingin bertanya, apakah kamu sudah tahu ingin kuliah di mana?”

Seharusnya ini menjadi waktu tepat untuk membicarakan masa depan saya dengan Bapak. Tapi ucapan Bapak selanjutnya mengurungkan niat saya untuk berbicara jujur. “Bapak punya usul agar kamu kuliah di----“

“Itu bukan urusan Bapak,” sela saya dengan nada cukup tinggi meski saya sendiri saat itu tidak sadar kenapa saya bisa meninggikan suara.

Mendapat jawaban seperti itu, Bapak menganggukkan kepala dan tersenyum. Aneh, kenapa Bapak malah tersenyum. Seharusnya Bapak marah karena anak tunggalnya meninggikan suaranya.

“Maaf. Bapak kira ini waktu yang tepat untuk berbicara tentang masa depanmu. Baiklah,” Bapak menggenggam bahu kursi sebelum bangkit, mengambil nasi gorengnya dan menyambung, “Bapak harap kamu punya keputusan yang tepat. Terima kasih untuk nasi gorengnya.”

Bapak meninggalkan ruang tamu menuju ke luar rumah. Tentu saya bisa menangkap nada kekecewaan di ucapan Bapak. Tapi sialnya kaki saya seolah terpaku di lantai. Saya tidak bisa mengejar Bapak, menarik tangannya, dan mengatakan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan masa depan saya. Bahkan mulut saya seolah dijahit dan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, termasuk kata maaf.

Bapak ke luar mengenakan sarung dan kaos partai merah bergambar banteng di tengahnya. Selama lima menit saya hanya bisa diam di tempat, seolah kutukan malin kundang nyata adanya. Apakah sekarang saya telah menjadi malin kundang? Pikir saya.

Beberapa saat kemudian, saya berjalan menuju ruang tamu dan mengitip ke luar lewat tirai jendela. Betapa tersentuh dada saya saat melihat Bapak tengah duduk bersama seorang pemulung. Lebih dari itu, saya mendapati pemulung itu sedang menyantap nasi goreng yang saya belikan untuk Bapak. Sedangkan Bapak hanya duduk sembari sesekali berbincang dengan pemulung itu.

Saya tidak mengerti apa yang Bapak pikirkan. Apakah ini suatu bentuk kekecewaan Bapak terhadap saya karena ucapan saya tadi, atau ini suatu bentuk pembelaan Bapak di hadapan Tuhan atas ucapan saya tadi?

Tentu lah sudah saya akan dicap sebagai anak durhaka bila terus menerus memperlakukan Bapak seperti orang asing. Saya kembali ke kamar dengan tubuh lemas, serta pikiran dan hati yang tidak jelas. Manusia macam apa saya ini?

Tidak! Kalian ‘kan sudah membaca sebab kenapa kecewa ini tumbuh? Sebab kenapa saya bisa semarah ini dengan Bapak dan barangkali beberapa kalian pun merasakannya. Jadi jangan hanya menyalahkan saya karena saya memperlakukan Bapak seperti sekarang ini. Kalian pun harus memahami perasaan dan posisi saya. Bagi saya, kecewa adalah satu hal yang manusiawi, dan kepada siapa kita kecewa pun itu terserah. Dan saat ini, saya masih kecewa pada Bapak dan Tuhan.

Saya membanting tubuh saya di ranjang, memejamkan mata sambil bergumam, “Bu, kalau saja Ibu masih hidup lalu Ibu melihat hubungan Laut dengan Bapak sekarang, apakah Ibu akan marah? Atau Ibu akan berada di salah satu dari kami?” tanpa sadar air mata saya mengalir saat itu karena tiba-tiba sosok Ibu hadir dalam gelap. Saya pun menyambung, “Laut tidak tahu harus apa, Bu. Laut bingung.”

Sayangnya, saat itu saya tidak bisa melihat Ibu sepenuhnya karena yang saya lihat hanyalah sosoknya yang tengah memunggungi saya. Sejenak saya berharap Ibu membalikkan badannya, dan ketika punggung itu bergerak, rasa senang menyelimuti saya karena sebentar lagi kerinduan untuk melihat wajah Ibu akan tersirami. Tapi, semua itu pupus ketika Ibu bergerak menjauh dari saya. Ia melangkah ke depan sebelum akhirnya ditelan oleh kegelapan.

Kenapa, Bu? Apa Ibu sudah lupa dengan Laut? Dalam gelap itu saya berteriak.

Pandangan saya tetap mengikuti Ibu hingga akhirnya saya tidak bisa melihat apa-apa lagi lalu… hilang.

***

Hari ini sekolah mengadakan lomba pertandingan futsal antar kelas. Entah dalam rangka apa. Mungkin hanya sebagai alasan agar para guru bisa beristirahat. Secara kebetulan atau memang sudah diatur, kelas saya akan melawan kelas Alex. Saya dan Hendra hanya menonton di pinggir lapangan, tidak tertarik ikut, terlebih karena memang tidak dipilih untuk bergabung.

“Saat-saat kaya gini nih, pasti banyak cewek-cewek kesurupan,” ujar Hendra sembari menoleh kanan dan kiri.

“Hah? Kesurupan gimana?”

“Lihat aja… noh lihat noh.” Hendra menunjuk ke arah beberapa murid perempuan kelas sepuluh dan sebelas yang tengah berbondong-bondong menuju lapangan seraya berteriak histeris memanggil nama Alex, Nathan, Rey, dan cowok-cowok famous lainnya.

“Kadang gue suka sedih lihat cewek kaya gitu.”

“Kenapa?”

“Mereka tidak sadar aja kalo ada cowok yang lebih bisa bahagiain mereka,” Hendra mengucap dengan wajah pura-pura dingin.

“Banyak-banyak istigfar lo,” balas saya.

Tidak lama kemudian pertandingan dimulai. Gemuruh para pendukung dadakan terbang ke udara. Mulai dari para cowok yang memang mengerti futsal hingga para cewek yang datang hanya untuk melihat cowok-cowok tampan mengeluarkan keringat. Pertandingan berjalan cukup menarik dan asik. Kedua kubu saling jual-beli serangan. Tidak jarang pertandingan dibumbui dengan komporan para pendukung kedua kubu. Alhasil, ada emosi beberapa pemain yang terpancing. Tapi, semua tetap dalam kendali guru olahraga yang mendadak jadi wasit bermodalkan peluit.

Sebenarnya saya tidak ingin menyaksikan pertandingan ini, tapi saat saya sedang membaca buku Madilog karya Tan Malaka di perpustakaan, Hendra tiba-tiba datang dan menarik lengan saya untuk ikut ke lapangan. “Lama-lama gue kawinin lo sama buku,” ujarnya kesal.

Perihal buku Madilog itu. Kita tahu bahwa saat rezim otoriter Orde Baru, buku Madilog ini digolongkan sebagai salah satu bukukiri atau dengan maksud buku terlarang. Alasan di balik itu adalah karena buku ini mengganggu kekuasaan. Pemerintah saat itu menghukumi bahwa siapa pun yang membaca buku itu akan ditangkap dan dipenjara, bahkan bisa hilang tanpa jejak mata.

Salah satu kutipan paling menarik dalam buku itu adalah “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”

Kutipan itu yang membakar semangat saya untuk menjadi penulis sekaligus memiliki toko buku sendiri karena pada dasarnya toko buku lebih berharga daripada toko emas. Sudah sepatutnya manusia yang memiliki satu buku lebih bahagia daripada manusia yang memiliki satu batang emas.

Di lapangan, saya cukup menikmati pertandingan, hingga mata saya menangkap hal lain. Itu adalah Zia. Saya melihatnya tengan berjalan di lorong sekolah bersama satu murid yang mengenakan seragam OSIS.

Saya bergegas menuju Zia. “Zia,” panggil saya.

Zia dan murid berseragam OSIS itu menengok. Saya mendekati mereka, lalu tersenyum di depan Zia. “Hai,” balasnya.

“Lagi sibuk?”

“Iya, nih. Ada urusan OSIS sama Dinda,” ia melirik ke arah murid di sebelahnya yang saat ini tengah senyum-senyum sendiri menatap saya. Saya tidak terlalu kenal Dinda. Yang saya tahu Dinda adalah ketua OSIS tahun ini.

“Kenapa? Ada yang mau dibicarain?” tanya Zia.

“Gue----“

“Laut, aku tidak punya waktu banyak. Kita bicarain nanti aja, ya.” Zia pun pergi. Dinda mengikuti setelah melambaikan tangan pada saya.

Sulit sekali untuk jujur tentang perasaan ini. Beberapa detik kemudian, sebuah pesan singkat masuk.

ZIA: Kita ketemu di gerbang sekolah pas pulang. See uuuu.

Saya tidak bisa menahan senyum bahagia mendapatkan pesan tersebut. Saya tidak membalasnya dan kembali memasukkan ponsel ke saku. Masih ada dua jam lagi sebelum bel terakhir sekolah dibunyikan. Bisakah saya minta pada Tuhan untuk mempercepat kehidupan? Rasanya saya tidak bisa menahan keingingan untuk melihat wajah Zia.

“Kak Laut,” panggil seseorang dari arah belakang.

Saya membalikkan badan dan mendapati Alia, murid kelas sebelas, yang sering kali saya temui di perpustakaan, tengah berdiri dengan memegang sebuah novel. Ia menghampiri saya dan tiba-tiba memberikan sebuah novel berjudul Pulang karya Leila S.Chudori. Saya menerimanya dengan wajah heran.

“Ini…buat gue?”

Perempuan dengan rambut pendek sedikit kecoklatan serta mata bulat itu mengangguk lalu tersenyum. “Kemarin aku ke Gramedia. Terus tiba-tiba aku ingat Kakak, ya jadi deh aku beliin novel ini buat Kakak.”

“Tapi lo tidak perlu repot-repot buat---“

“Kak,” ia menyela sambil mengambil tangan saya, “aku tidak merasa direpotkan, ko, beneran. Novelnya dibaca, ya,” lanjutnya. Kemudian ia pergi dengan langkah cepat seakan malu sendiri melihat dirinya.

Sambil melihat ia pergi, saya menggelengkan kepala sendiri karena heran. Teringat belum sarapan, saya memilih untuk pergi ke kantin.

***

Bel terakhir sekolah sudah terdengar. Para murid dengan cepat membereskan buku-buku dan pergi meninggalkan kelas. Mengingat ada janji bertemu Zia, saya pun bergegas menuju gerbang sekolah. Salah satu teman Zia mengatakan Zia pergi sebentar ke ruang OSIS. Sembari menunggu Zia, saya memesan satu mangkok batagor.

Tidak lama kemudian Zia datang. “Hmmm enak, ya.”

Saya sedikit terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Dan lebih lagi dengannya yang langsung duduk di samping saya dan mengeluarkan satu botol air mineral. “Aduh, sorry, ya. Minum dulu,” ucapnya seraya memberikan minum pada saya. Kini saya terlihat seperti seorang bayi di hadapan semua orang. Ia dengan pelan dan hangat memegangi botol minum itu dan membiarkan saya meneguknya.

“Udah?”

Saya mengangguk. Belum sampai situ, ia pun menempelkan ibu jarinya di sudut bibir saya dan mengusapnya seraya berkata, “Makannya pelan-pelan.”

Hubungan kita harus mulai diresmikan, Zia, bukan makannya pelan-pelan, ucap saya dalam hati dengan bercanda.

“So… ada yang mau diomongin?” tanyanya seraya merubah posisi dan menghadap saya.

Saya menghela napas pendek. Mencoba mengatur kata-kata yang tepat untuk mengutarakan perasaan. Sudah terlalu banyak momen bahagia selama saya mengenal Zia dan saya tidak ingin momen itu tidak termaktub dalam sebuah hubungan yang serius. Semenjak ia mengutarakan perasaannya di surat itu, yang seolah ia juga percaya saya mampu menjadi penulis hebat, kebingungan melanda pikiran saya. Kekhawatiran akan kehilangan dia semenjak mimpi itu datang, seolah menekankan saya untuk mengamankan perasaannya. Saya tidak lagi ingin berdiri di sisi yang bersebrangan dengannya. Saya harus melewati jembatan yang memisahkan kami berdua dan caranya adalah meresmikan hubungan.

Lagipula, melihat dari apa yang sudah Zia perbuat selama ini, saya cukup yakin Zia memiliki perasaan yang sama.

“Gue mau---“

“Tunggu,” Zia menyela setelah ia melihat novel yang tidak asing di samping kursi saya. Novel yang tadi Alia berikan. Ia mengambilnya dan mengatakan, “Kamu beli novel baru?” suaranya cukup antusias.

“Alia tadi ngasih novel itu ke gue.”

“Alia? Murid kelas sebelas yang genius itu?”

Saya mengangguk.

“Ko bisa?”

Saya mengidikkan bahu. “Tiba-tiba aja dia kasih itu ke gue.”

“Laut,” ia mulai memelankan suaranya lalu berbisik, “Alia itu suka sama kamu.”

Deg. Saya terkejut mendengar itu. Bukan apa yang diucapkan Zia, tapi bagaimana Zia mengucapakannya. Terdegar jelas dan lepas. Saya memandangnya datar. Senyum yang tadinya terlukis di wajahnya mulai memudar. Kami saling memandang. Entah apa lagi yang bisa saya lakukan saat itu kecuali membiarkan isi kepala saya bergelut dengan segala kemungkinan. Di antara banyaknya kemungkinan itu, ada satu kemungkinan yang saya harap tidak pernah terwujud menjadi kenyataan. Karena bila kemungkinan itu terwujud, maka jembatan di antara kami tidak pernah bisa dilewatkan, bahkan tidak pernah diciptakan.

 

“Hati tidak memilih. Tapi, dipilih. Hati tidak mencari. Tapi, dicari. Hati tidak mempertemukan. Tapi, ditemukan. Hati tidak mengikat. Tapi, diikat. Hati tidak melepaskan. Tapi dilepaskan. Dan, hati tidak menjaga. Tapi, dijaga.”

Komentar

Postingan Populer