PSH-PART TWO-2021

 


Source Photo: Pinterest.com


Dua

Keluarga


Mulai saat ini, saya akan bercerita mengenai jalan hidup saya selama tiga tahun ke depan. Saya tidak akan menulis semuanya secara rinci karena hidup saya tidak semua aspeknya menarik. Tapi, setidaknya bagi saya, semua aspeknya indah. Pun kalo kalian tertarik membacanya, kalian bisa meneruskannya ke lembar selanjutnya. Bila tidak, tidak usah dipaksa, karena saya tahu, sudah terlalu banyak paksaan dalam hidup. Saya tidak ingin buku saya ini malah membuat kalian jengkel pada hidup, saya takut aka nada dosa jariyah nantinya.

Sama seperti novel pada umumnya yang memiliki tokoh utama dan pendamping, dalam cerita saya pun begitu. Dalam cerita ini, akan ada empat tokoh utama; saya, laut, saya tidak perlu memberi tahu nama panjangnya, tidak apa-apa ‘kan?

Ada Nadhifa, Afina, dan satu lagi cowok yang belum bisa saya sebutkan saat ini. Jangan tanya alasannya, akan saya sebutkan di akhir cerita. Tentu saja nama-nama tokoh utama di sini bukan nama asli. Saya terlalu takut bila orang aslinya akan membaca dan memprotes.

Saya tidak berharap cerita ini akan membuat semua orang yang membacanya suka, apalagi menangis terharu-haru, bahkan memeluknya sepanjang waktu. Malah saya berharap cerita ini dibiarkan saja terlantar di lantai atau meja makan, agar tidak ada orang yang ingin merasakan apa yang saya rasakan. Lagipula, semua orang ‘kan punya ceritanya masing-masing, kenapa berharap hidup di cerita orang lain?

Hidup di kehidupan orang lain memang menjadi salah satu hal yang sebagian besar orang inginkan. Siapa yang tidak ingin menjalani hidup seperti artis-artis terkenal yang mendapatkan kepopuleran tinggi? Perhatian dari semua orang, uang yang melimpah, pengakuan dan kenikmatan lainnya. Tapi… seperti kata Harper Lee dalam karyanya, To Kill A Mockingbird, “Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya… hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.”

Menjadi artis papan atas, atlet olahraga yang sudah meraih banyak medali, pengusaha sukses bahkan penulis hebat pun menjadi impian banyak orang, tapi benar kata Harper, kita tidak bisa memahami mereka hingga kita melihat kehidupan dengan kacamata mereka, melihat bagaimana proses mereka sampai berada di titik sekarang. Terkadang kita ingin hidup di cerita orang lain, padahal orang lain ingin hidup di cerita kita. Kita harus sepakat dengan peribahasa bahwa rumput tetangga akan selalu terlihat lebih hijau daripada rumput pekarangan kita sendiri.

Orang lain kerap kali memahami bahwa hasil adalah kenikmatan yang hakiki, sedangkan saya akan mengatakan bahwa proses adalah kenikmatan yang sebenarnya. Dalam proses, kita akan merasakan jatuh, ditolak, dikecewakan, dihina, dipojokkan, tidak dipercaya, dan ditekan, dan justru di sini-lah kenikmatan sesungguhnya, saat di mana kita bisa merasakan roda kehidupan kita bergerak, menginjak kerikil-kerikil tajam di jalan, lumpur hitam, bahkan kehilangan udara, hingga ada waktunya kita sampai di tujuan dengan segala upaya kita.

Meskipun tak jarang dari kita memilih untuk duduk di tepi jalan atau halte, bukan untuk beristirahat, melainkan untuk berpikir kembali apakah kita bisa mencapai tujuan atau tidak. Ya, ragu memang datang di waktu yang tepat.

Beberapa di antara kita ada yang bisa mengalahkannya, tapi ada juga dari kita yang kalah olehnya. Hasilnya adalah kembali ke tempat semula.

Sama halnya dengan orang lain, saya pun merasakan proses hebat ketika saya ingin sekali mewujudkan impian saya menjadi seorang penulis dan melihat dari dekat buku saya berdampingan dengan novel-novel hebat karya Mas Iid, Bung Fiersa Besari, Mba Rintik Sedu, Mba Dee Lestari, bahkan Mas Eka Kurniawan.

Saya mengagumi nama-nama di atas karena mereka pun percaya adanya kekuatan kata atau the power of words. Kata-kata bisa melukaimu, tapi juga bisa menyembuhkanmu. Kata-kata bisa membuatmu mati, tapi juga bisa membuatmu hidup. Kata-kata bisa membuatmu gila, tapi bisa juga membuatmu waras. Kata-kata bisa membuatmu jatuh, tapi kata-kata bisa juga membuatmu cinta.

Baiklah, saya akan memulai ceritanya sekarang.

 

Jakarta, 2018.

 

“Laut, lo jadi ngelanjutin pendidikan lo di Yogya?” Hendra, salah satu sahabat baik saya yang menyukai dunia otomotif bertanya seraya membawakan saya satu mangkok bakso dan menaruhnya di atas meja. Kami berdua sedang ada di kantin. Jam istirahat kami masih tiga puluh menit lagi, tapi karena Pak Sumarno, guru matematika, tidak hadir hari ini, maka kami berdua memutuskan untuk mengisi perut lebih cepat. Menjadi murid kelas dua belas memang cukup menguntungkan.

Saya menarik mangkok bakso itu dan menuangkan sedikit kecap dan sebanyak sambal di atasnya, mengaduknya hingga mengeluarkan aroma kelezatan. Hendra duduk di depan saya.

“Heh, orang lagi nanya, malah diem,” gerutunya.

Sembari mengunyah satu bola bakso di mulut, saya menganggukkan kepala.

“Loh? Bapak lo emangnya setuju?”

Hendra memang sudah mengetahui perihal niat saya melanjutkan kuliah di Yogya. Ia mendukung. Tapi ia tidak setuju jika keinginan saya melanjutkan kuliah di Yogya malah membuat hubungan saya dengan bapak memburuk. Iya, memburuk, karena saat ini hubungan kami sudah buruk.

Hal itu bermula sejak satu tahun lalu. Tepatnya bulan Oktober tahun 2017. Tahun kemarin memang menjadi momok paling menyakitkan dalam hidup saya. Beberapa bulan sebelumnya, Ibu divonis mengidap penyakit kanker otak. Lebihnya lagi, saya tidak menyangka bahwa Ibu telah menyembunyikan penyakit ini dari saya selama tahun terakhir itu. Saya kesal karena Ibu telah membohongi saya perihal penyakitnya. Beberapa kali memang saya memergoki Ibu merasa tidak enak badan, batuk, bahkan hidungnya mengeluarkan darah merah kental. Tapi, tiap kali saya bertanya sebabnya apa, Ibu selalu menjawab dirinya hanya kelelahan.

Tiba-lah bulan Oktober tahun 2017, waktu di mana saya sangat membenci Tuhan. Ibu lahir tanggal 3 Februari 1975 dan meninggal tanggal 16 Oktober 2017. Malamnya, ketika saya baru saja pulang dari mushola setelah sembahyang isha, saya melihat mobil ambulan bertengker di depan gerbang rumah. Beberapa tetangga bergerumbul. Salah satu dari mereka, yang saya panggil Mbok Minah, tiba-tiba memeluk saya dan mengatakan saya harus kuat dan sabar.

Saya tidak mengerti apa yang dikatakan Mbok Minah. Saya pun melangkah cepat dan mendapati dua perawat tengah membopong Ibu masuk ke dalam ambulan, Bapak mengekor dari belakang sambil mengenakan baju koko putih yang sudah ternodai dengan bercak-bercak darah, sarung coklat dan wajah yang pucat dan sekat.

“Pak, Ibu kenapa, Pak?” saya langsung memegang pundak Bapak dan menariknya ke arah saya. Tidak bermaksud kurang aja, hanya ingin tahu apa yang sedang terjadi saat ini.

Bapak tidak menjawab dan malah menyuruh saya untuk masuk ke dalam. Aku mengikutinya. Selama perjalanan, saya dan Bapak hanya diam membisu ribuan kata meskipun saya bertaut dengan tangan Ibu. Seorang perawat tiba-tiba menjulurkan kotak tisu dan berkata, “Jangan putus berdoa, Mas.” Saya berupaya tersenyum, menghargai dukungannya. Tanpa sadar mata saya memerah pedih dan tak lama kemudian air mata itu mengalir jatuh.

Tidak, saya tidak boleh kelihatan lemah di hadapan Ibu. Saya tetap harus terlihat kuat di hadapan mahluk paling saya cintai. Mungkin ini lah saat di mana hubungan batin seorang anak dan Ibu yang sempat berada di satu tubuh naik ke permukaan.

Roda mobil ambulan menerbangkan butiran-butiran kecil saat kami sampai di depan rumah sakit. Dua orang perawat membuka pintu mobil ambulan dengan gerakan cepat, membawa ranjang beroda empat yang tidak saya ketahui namanya apa. Bapak dan saya turun dan berjalan cepat, mengikuti dari belakang para perawat yang membawa Ibu masuk ruang UGD.

Masuknya Ibu ke ruang UGD adalah tanda tak bersuara bagi saya dan bapak untuk menghentikan langkah kami. Pintu ditutup dan hilanglah Ibu dari pandangan. Ia tenggelam ditelan ruang berdinding putih yang dilengkapi alat-alat canggih.

Jarum pendek berada di antara angka antara sembilan dan sepuluh, Ibu sudah berada di ruang itu hampir tiga jam dan sampai sekarang belum ada kabar pasti perihal kesehatan Ibu. Bapak duduk di kursi sembari menyenderkan punggung dan menundukkan kepala. Tidak saya lihat bapak memberhentikan jemarinya memutari biji-biji tasbih dan mulutnya yang bergerak seakan tengah berkomunikasi dengan Tuhan.

Tidak sedikit pun Bapak melirikkan matanya ke arah saya yang tengah mundar-mandir di depan ruang UGD, berharap hal yang buruk tidak terjadi pada Ibu.

Tapi, seperti kata para pendakwah agama, Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, dan bila Ia sudah berkata ini, maka jangan harap kita mendapatkan jawaban itu. Kabar paling buruk memecahkan telinga saya dan merobek dada saya.

Setelah melewati tengah malam, seorang dokter keluar dari ruang tempat Ibu dirawat. Bapak dan saya langsung menghampiri. Ia melepaskan kacamatanya dan menggantungkannya di saku kirinya lalu memijat keningnya. Pandangannya langsung mengarah kepada saya. Saya sudah bisa menebak bahwa hal buruk memang benar-benar terjadi saat ini.

Dokter itu menghela napas dan menggelengkan kepala lambat sampai saya sendiri merasa ia tidak menggelengkan kepalanya. Ia menaruh tangannya di bahu Bapak dan meminta maaf karena tidak bisa menyelamatkan nyawa Ibu.

Ibu sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Tepat di hari ulang tahun saya yang ke enam belas.

Marah. Kecewa. Sedih. Semua melebur menjadi satu. Bapak berusaha merangkul saya. Tapi saya menepis kedua tangannya. Jangan cap saya sebagai anak durhaka, saya hancur saat itu. Tidak pernah saya merasa kehilangan segini besarnya. Kehilangan Ibu meruntuhkan sebagian besar hidup saya, tidak, saya meralatnya, saya benar-benar telah kehilangan hidup. Bukan karena Bapak tidak berarti buat saya, tapi karena Ibu dan Bapak punya porsinya masing-masing dalam hidup saya.

Dokter berkaca mata itu pamit undur diri. Tak lupa ia memberi dukungan moral pada Bapak. Bapak mengangguk berterima kasih. Saya merasa sendi-sendi tulang saya tidak lagi kuat menahan badan ini. Saya bersender di dinding seraya pelan-pelan terjatuh dan duduk di lantai, menangkup wajah dengan kedua telapak tangan saya, membiarkan butiran air mata ini lepas dan membasahi pipi sebelum jatuh.

Seketika semuanya gelap. Kedua mata ini memerah panas. Waktu menarik saya, mempersatukan kepingan-kepingan kenangan yang Ibu ciptakan. Teringat oleh saya, bagaimana Ibu menyuapkan bubur dengan telor ceplok di atasnya. Itu adalah salah satu makanan kesukaan saya dan Ibu adalah pemasak terbaik yang pernah saya temui. Bagi saya, Ibu adalah manusia serba bisa. Saya setuju bila seorang ibu mampu menggantikan posisi seorang ayam dalam rumah, tapi tidak sebaliknya. Atau saya setuju bila seorang ibu mampu mengurus sembilan anaknya, tapi sembilan anak belum tentu mampu mengurus seorang ibu.

Bu, kenapa Ibu pergi secepat ini? Tanya saya dalam batin.

Lagi-lagi Bapak menghampiri saya. Ia mengelus rambut saya dan berkata, “Kita harus ikhlas, Laut.”

Saat itu, saya tidak mengangkat kepala dan memeluk Bapak. Saya malah berdiri dan berteriak padanya, “Apa Bapak tahu tentang penyakit Ibu?”

“Laut, kamu tenang dulu. Bapak bisa---“

“Gimana Laut mau tenang, Pak?!” saya menyela sebelum melanjutkan, “selama ini Bapak udah bohong sama Laut, Pak! Bapak sendiri yang ngajarin Laut untuk tidak bohong, tapi Bapak malah jadi pembohong!”

Teriakan saya memikat perhatian para perawat dan pengunjung. Beberapa dari perawat hendak menghampiri, seakan hendak menenangkan saya. Masih berjarak lima meter, saya sudah membentak mereka dan menyuruh mereka menjauh. Bapak mengangguk pada mereka, memberi isyarat untuk mengikuti mau saya.

“Pak, tidak ada yang lebih hancur kecuali dikecewakan. Dan Bapak,” saya menggantungkan ucapan karena tidak kuasa untuk berbicara lebih jauh, tapi rasa kecewa dan sedih saya mendorong saya untuk berbicara, “udah berhasil buat Laut kecewa.”

Saya mengambil langkah seribu. Saya pikir Bapak akan menahan atau paling tidak memanggil saya untuk kembali. Kenyataannya tidak, Bapak membiarkan saya pergi. Bapak dan Ibu memang selalu paham kebiasaan saya; menyendiri bila masalah menghampiri.

Semenjak itu, hubungan saya dan Bapak buruk. Saya tetap merasa kecewa dengan Bapak dan menyalahkan Bapak atas kepergian Ibu.

Sudah setahun kepergian Ibu, tapi luka dari kepergian itu masih membiru. Saya pun masih merasa Ibu hadir di rumah kami; saat saya sedang membaca novel sendirian di kamar, atau saat saya memilih untuk makan di kamar karena tidak ingin makan satu meja bersama Bapak. Kehadiran Ibu seakan nyata meski saya tahu ia telah tiada. Tapi, orang-orang baik tidak benar-benar pergi, bukan? Ia hidup dalam lindungan Tuhan.

Persetan dengan Tuhan. Saya pun menyalahkan-Nya atas kepergian Ibu. Bila Ia tidak berkehendak, Ibu tidak mungkin beranjak pergi. Bila Ia tidak menyetujui, Ibu pasti masih ada di dunia ini. Bila Ia tidak memanggil Ibu lebih cepat, ia pasti masih bisa saya peluk erat. Saya tahu Tuhan suka bercanda, tapi saya kali ini Ia tidak lucu.

Saat itu saya berpikir untuk apa beribadah pada-Nya bila Ia mengambil seseorang yang paling berharga dalam hidup saya?

Saya sering mendengar ceramah dari pada pendakwah yang mengatakan Tuhan tidak akan memberikan seorang hamba ujian melebihi batas kemampuannya, tapi seharusnya Ia pun mengetahui bahwa saya tidak bisa melewati kehidupan ini tanpa Ibu.

Tepukan Hendra menyeret saya kembali ke dunia nyata. “Coba lo omongin baik-baik sama Bapak lo. Laut, yang lo punya sekarang ya cuman Bapak lo. Gue sebagai sahabat lo cuman bisa mengingatkan, bukan mencampuri urusan,” Hendra mengingatkan.

“Laut,” panggil seorang perempuan dari arah kiri.

Saya dan Hendra menoleh. Zia, perempuan kelas 12 IPA 1, berdiri sambil membawa satu kantong plastik putih. Perempuan berdarah Arab dengan tinggi 165 cm itu melemparkan sebilah senyum pada saya. Saya membalasnya dengan canggung. Memiliki hidung mancung, bulu mata lentik dan bibir tebal menjadikan Zia primadona di sekolah saya.

“Iya,” saya menjawab seraya bangkit dari kursi.

Belum sempat saya bertanya, Zia memberikan kantong plastik itu dan berkata, “Semoga kamu suka. Siapa tahu bisa jadi referensi ide-ide kamu.” Bahkan belum sempat saya berterima kasih, Zia sudah pergi dengan langkah cepat dan wajah malu-malunya. Saya akui ia memang cantik bila sedang salah tingkah seperti itu.

Hendra melirik ke dalam kantong plastik itu dan berkata, “Cielah, penulis mading kita ini dapat hadiah dari penggemar beratnya.” Sontak ejekan Hendra barusan mengundang tawa dari teman-teman lain. Saya menggelengkan kepala melihat tingkah Hendra dan kembali duduk.

Di dalam kantong plastik itu ada tetralogi pulau buru karya Eyang Pramoedya Ananta Toer, lalu ada novel Cantik Itu Luka karya Mas Eka Kurniawan, ada novel Aroma Karsa karya Mba Dee Lestari dan yang terakhir ada series novel Geez and Ann karya Rintik Sedu. Saya sudah membaca novel Cantik Itu Luka, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa sebelum Zia memberikannya novel-novel ini pada saya. Bukan karena gila sastra atau terlalu berlebihan dalam mengungkapkan kecintaan pada buku, tapi karena menurut saya, karya-karya Mas Eka Kurniawan patut dibaca, apalagi karya-karya Eyang Pram yang mampu menggerakkan akal pikiran si pembaca.

Bila kalian pecinta sastra, kalian tidak akan asing dengan kalimat ajaib yang Eyang Pram tulis, “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”

Tanpa saya sadari, kedua sudut bibir saya naik sendiri ketika saya ingat bagaimana raut wajah Zia saat ia memberikan novel-novel ini pada saya.

“Heh, kenapa senyum-senyum?” tanya Hendra dengan lirikan menggoda.

Saya menggeleng dan tidak menghiraukannya lalu memilih pergi, sebelum akhrinya Hendra mengikuti dan merangkulkan tangannya di leher saya dan berkata, “Senyum tercipta, cinta pun tiba.”

***

Setibanya di halaman rumah, saya langsung masuk meski tahu Bapak tengah menyesap secangkir teh hangat di depan rumah sembari membaca koran. Bapak memang tidak pernah luput dari membaca. Mungkin ketertarikannya dalam membaca turun kepada saya.

Bapak tidak menegur atau memanggil, ia hanya diam meskipun saya yakin ia melihat saya masuk rumah.

Setelah mengganti pakaian, saya menyusun rapih novel-novel yang diberikan Zia di rak khusus novel. Ada keinginan untuk melanjutkan tetralogi pulau buru atau mencicipi racikan kata Mba Dee Lestari, tapi rasa penasaran saya terhadap novel berjudul Geez and Ann juga tak kalah hebat.

Dilihat dari sampul novelnya, saya berpendapat bahwa novel ini adalah novel romantis dengan akhir cerita yang bahagia. Saya merapihkan bantal sebelum bersiap meluncur dalam kata-kata si penulis.

Di kamar berukuran 4x3 meter bercatkan warna monokrom, saya membaca lembar pertama novel Geez and Ann. Novelnya tidak terlalu tebal dan tipis, saya pikir novel ini cocok jadi bacaan ringan. Ceritanya diawali dengan kisah seorang gadis SMP yang sedang menonton konser bersama para sahabatnya di acara pensi sekolahnya. Berbeda dengan para sahabatnya yang bergabung dengan orang-orang di garda depan, ia memilih untuk berdiri di barisan paling belakang seakan tidak terlalu tertarik dengan acara begituan. Hingga tiba seorang cowok mengajaknya mengobrol. Saya pikir itu pertemuan pertama mereka. Cerita berlanjut hingga…. Jelas saya tidak bisa menceritakan cerita lengkapnya di sini, khawatir sang penulis marah, lalu datang ke rumah dan meminta pertanggungjawaban.

Novel Geez and Ann pertama selesai saya lahap dalam kurun waktu satu jam setengah. Ceritanya menarik dengan bahasa kata yang sederhana. Cukup membuat saya kaget. Tapi ada hal lain yang membuat saya kaget. Di lembar terakhir novel itu, saya menemukan selembar surat.

Dear Laut.

Aku gak pintar menulis kata-kata. Tapi aku pintar dalam mencintai dan memahami kata-kata. Pertama kali membaca puisi-puisi atau cerpenmu di mading sekolah, kutahu yang menulis memiliki cita rasa yang dalam tentang tulisan. Aku selalu ingat ada satu kalimat dalam cerpen pertamamu yang membuatku terpikat. Kamu bilang,”Saya pikir cinta dalam diam adalah cinta yang paling indah, hingga saya tahu diam-diam cinta tidak membuatmu mendapatkan cinta, karena cinta butuh suara, dan suara bukan diam.”

Sejak membaca itu, aku tahu dan percaya bahwa kamu akan menjadi penulis hebat. Kamu tidak perlu membandingkan dirimu dengan penulis hebat seperti Chairil Anwar, Boy Candra, JK Rowling, Stephen King atau Rintik Sedu, karena setiap penulis berjalan di jalannya sendiri, termasuk kamu.

Bila kamu membaca suratku ini, kamu pasti telah selesai membaca novel Geez and Ann. Kamu pun telah mengetahui karakter Geez dan Ann itu sendiri. Geez yang datang sebagai dewa bagi Ann selalu saja membuat kejutan di setiap tindakan dan ucapannya. Ann jatuh cinta pada setiap yang ada di diri Geez. Tapi… kejutan tidak akan selamanya membahagiakan, Laut. Janji yang tidak bisa ditepati Geez pun juga kejutan buat Ann, hanya saja rasanya tidak menyenangkan.

Mungkin Geez adalah satu dari karakter novel favoritku, tapi aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayang fiksi. Terlalu menyeramkan. Aku tidak sanggup. Aku ingin tinggal di dunia nyata. Aku memberikanmu novel-novel ini bukan hanya sekedar untuk referensi. Aku ingin kamu mengingat si pemberi sebagai mana si pemberi akan mengingat yang diberi.

Laut, ada banyak hal yang gak mungkin di dunia ini, tapi kita tahu, ketidakmungkinan adalah satu hal yang mungkin. Termasuk berjalan bersama orang yang kita sayang.

Laut, selamat ulang tahun.

Zia.

Tidak ada yang bisa saya katakan tentang seutas surat ini. Dari sekian banyak hal yang saya dapatkan, salah satu hal yang paling mengganjal hati saya adalah kejujuran. Zia menulis ini dengan jujur.

Saya dan Zia memang sama-sama kelas 12, meski Zia IPA dan saya IPS. Saya pun tidak terlalu mengenal. Saya hanya mengetahui namanya karena dia adalah mantan ketua OSIS sekaligus primadona sekolah. Terlalu banyak laki-laki yang mendambakannya, berusaha membuatnya jatuh cinta. Zia adalah gambaran seorang perempuan yang pintar dalam pelajaran dan pergaulan. Saya tidak pernah mendengarnya terkena masalah. Tapi… apa maksud dari surat ini? Apakah surat ini hanya sebatas jembatan pengenalan? Atau sebatas dukungan teman?

Pintu kamar saya diketuk dari luar. Tidak perlu ditanya lagi, saya pun tahu yang mengetuk adalah Bapak. Sebagai orang tua, saya pikir Bapak punya hak untuk masuk tanpa perlu saya beri izin masuk, tapi seperti yang saya bilang sebelumnya; hubungan kami buruk.

Saya memegang gagang pintu dan membuka sedikit, kira-kira hanya sejengkal. Bapak berdiri di luar mengenakan kemeja hitam dan celana bahan hitam serta kopiah. Di tangannya sudah ada Al-Quran dan tasbih.

“Bapak mau ziarah makam Ibumu, kamu mau bareng?” tanya Bapak dengan suara parau. Pandangannya pun sayu. Hanya beberapa detik ia memandang wajah saya sebelum memandang sudut lain. Bapak yang sudah menginjak usia enam puluh tahunan terlihat cukup kurus setahun belakangan ini. Keriput di wajahnya pun bertambah. Puluhan bahkan ratusan uban memahkotai kepalanya.

Saya tidak menjawab untuk beberapa saat. Bapak yang mendapati saya hanya diam langsung berkata, “Ya sudah. Bapak ziarah sendirian aja. Kamu jangan lupa ziarah.”  Ia angkat kaki. Pandangan saya mengekor hingga ia melewati gerbang rumah lalu hilang ditelan kejauhan.

Pemakaman Ibu tidak terlalu jauh dari rumah saya. Hanya membutuhkan lima belas menit untuk sampai. Bapak bisa saja membawa motor saya. Tapi, entah kenapa, selama ini Bapak tidak pernah meminjam motor itu, padahal kita hanya mempunyai satu motor.

Motor ini salah satu peninggalan Ibu. Surat kepemilikan dan surat-surat lainnya pun atas nama Ibu. Meski secara formalitas Bapak tidak punya hak untuk menggunakannya, tapi saya yakin ada campur tangan Bapak dalam melunasi motor ini.

Perihal berziarah ke makam Ibu, saya dan Bapak memang tidak pernah ziarah bersama. Itu dimulai tepat semenjak Ibu dikebumikan dan ditimbun tanah coklat. Kalian mungkin sudah bisa menebak apa sebabnya. Iya, saya selalu menolak ajakan Bapak untuk ziarah bersama, walaupun Bapak tidak pernah absen untuk mengajak saya, padahal saya percaya bahwa Bapak pun sudah tahu jawabannya.

Hari sudah menjelang sore. Jam lima dan Bapak belum juga pulang. Ini sudah dua jam lebih. Saya yang hendak mandi, mendadak menghentikan langkah kaki karena mendengar suara gemuruh petir di luar. Gumpalan awan abu-abu kehitaman menutupi langit hingga tak lama kemudian butiran air jatuh mengenai atap-atap rumah, pepohonan dan membasahi jalanan.

Bapak, ingat saya dalam hati.

Saya ingat betul kalo Bapak tidak membawa payung hari ini. Hujan hari ini akan besar dan tahan lama. Tanpa pikir panjang, saya melempar handuk saya ke ranjang dan mengambil payung yang digantung di samping lemari piring serta kunci motor dan pergi menuju pemakaman.

Hujan mulai deras ketika saya sampai di sana. Untungnya, pemakaman umum tempat Ibu dimakamkan tidak terlalu luas. Jadi saya bisa langsung menuju makam Ibu. Mata saya melebar sempurna, lidah saya kaku dan kaki saya terpaku saat mendapati Bapak tengah duduk di samping makam Ibu sambil mengusap-ngusap batu nisan Ibu. Mulutnya terus bergerak, melantunkan surat Yasin sebagai hadiah untuk Ibu. Konon doa-doa dari keluarga, kerabat dan orang-orang yang baik-lah yang akan memudahkan perjalanan orang yang sudah meninggal.

Isakan tangis Bapak terdengar jelas. Saya hanya bisa melihatnya dari balik pohon rambutan. Meski hujan semakin deras, tapi saya bisa mendengar Bapak mengucapkan sesuatu setelah menyelesaikan bacaan surah Yasin, “Aulia, maafin saya. Maafin saya karena tidak bisa jadi suami yang baik buat kamu. Maafin saya karena tidak bisa berjuang buat kesehatan kamu. Maafin saya karena saya terlalu lemah. Maafin saya karena tidak bisa jadi bapak yang hebat buat Laut. Maafin saya, Aulia… maaf.”

Dentuman keras terdengar dari langit. Mata saya mendadak panas. Sedetik kemudian air mata saya jatuh setelah mendengar permintaa maaf Bapak. Saya pun mendekati Bapak dan memayunginya. Sadar hujan tidak lagi mengenai tubuhnya, Bapak menoleh ke arah saya.

“Laut,”

“Hujan. Bapak bisa sa… maksud saya, Bapak bisa lanjut doanya di rumah aja,” saya meralat ucapan, tidak ingin Bapak mendengar kekhawatiran saya bila ia terkena demam.

Kami pun pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Bapak buru-buru mengambilkan saya handuk dan menyuruh saya membasuh kepala. Saya menjawab dengan mengatakan saya ingin main ponsel terlebih dahulu, ada ururan darurat. Bapak pun mengangguk dan masuk ke kamar mandi. Sebenarnya saya tidak ada urusan darurat, saya hanya ingin Bapak duluan yang membasuh kepala, imun tubuh seusia Bapak ‘kan semakin menurun.

Melihat Bapak sudah mandi, giliran saya yang membasuh kepala karena sedari tadi saya sudah menahan dingin yang sangat.

Setelah mandi dan berganti pakaian, saya melihat secangkir teh hangat di atas meja belajar saya. Sudah pasti yang membuatnya adalah Bapak. Di sampingnya ada secarik kertas kecil bertuliskan, Selamat ulang tahun. Semoga gusti Allah mempermudah segala urusanmu.

Terima kasih, Pak, ucap saya dalam batin.

***

Hujan deras hari ini sudah reda tepat saat suara azdan maghrib berkumandang. Bapak pun pergi ke mushola dekat rumah, sedangkan saya memilih bersembahyang di kamar.

Saat tengah mendengarkan lagu Hujan Di Balik Jendela karya Senandung dan membaca buku Chairil Anwar berjudul Aku Ini Binatang Jalang, ponsel saya bergetar. Terdapat nama Hendra di layarnya.

“Iya, Hend.”

“Laut, gue udah di depan rumah lo,” ucap Hendra yang membuat saya terkejut.

“Ngapain?”

“Udahhhh lo nggak usah banyak nanya, ikut gue cepetan.”

Panggilan diputus. Saya keluar dari rumah dan benar saja mendapati Hendra tengah duduk di teras rumah bersama Bapak. Satu batang rokok menempel di sudut bibirnya. “Laut!” panggilnya sebelum menangkupkan kedua tangannya, menjaga agar api dari koreknya membakar ujung rokoknya.

Hendra memasang wajah sedikit kesal karena saya belum berganti pakaian yang lebih layak. “Lo yakin cuman mau pakai kaos oblong hitam dan celana pendek?” tanya Hendra.

Saat saya hendak mengganti pakaian, tiba-tiba Hendra menarik lengan saya dan berkata, “Udah, gak usah ganti pakaian, lama lagi nunggunya.”

“Pak, pamit, ya,” ucap Hendra pada Bapak. Saya mengambil helm yang digantung di spion motornya. Setelah lima menit memakai helm, saya baru sadar bahwa Hendra tidak juga menyalakan motornya. Ketika saya melihat wajahnya, ia melirik ke arah Bapak seakan berkata keras, “Pamit dulu, panjul!”

Saya memahami maksud Hendra dan dengan canggung melangkah mendekati Bapak lalu berkata, “Saya pamit, Pak.”

Meski hanya kalimat sederhana, Bapak menampakkan raut wajah bahagia, seakan ia sudah lama menunggu moment ini datang. Sulit juga mengungkapkan kompleksitas hubungan saya dan Bapak.

Hendra mengajak saya ke sebuah café langganannya. Kursi-kursi kecil berwarna-warni serta meja-meja bundar dari kayu memenuhi café ini. Mural-mural pahlawan kemerdekaan terpampang di dinding café. Hendra melemparkan coach jacketnya pada saya sambil berkata, “Badan lo yang bagus itu aurat buat cewek-cewek.”

Saya hanya tertawa kecil mendengar ucapannya barusan. Sialnya, ucapannya seakan menjadi peringatan karena ternyata beberapa pasang mata memang tertuju pada saya. Hendra masuk duluan. Sedangkan saya mengenakan jaket terlebih dahulu. Beberapa detik kemudian saya menyusul.

Dada saya terasa tersentak saat mendapati Hendra tengah berbincang dengan perempuan yang memakai sweater hitam dan celana jeans abu-abu. Perempuan itu tersenyum saat melihat saya. Saya membalas senyumnya.

“Ya udah, Zia. Gue tinggal dulu, ya,” ucap Hendra, pamit dan berjalan menuju kasir. Sesaat saya heran kenapa Zia bisa ada di café ini, tapi saya juga sadar kalo café ini adalah tempat umum yang artinya semua orang bisa datang. Saya mematung tidak tahu harus apa. Begitu pula Zia. Ia hanya bisa memainkan jemarinya.

Semesta, apa yang sedang kamu rencanakan?

Tiba-tiba Hendra menghampiri saya dan meminta tolong untuk membelikan beberapa komik one piece di toko buku daerah Jakarta Timur. Sebelum saya menolak, Hendra bilang ini keadaan genting karena kalo adiknya tahu ia belum membeli komik pesanannya, ia bisa habis dicerahami ibunya. Hendra juga beralasan ia mendadak sakit perut. Saat saya ingin bilang bahwa saya tidak tahu toko bukunya, Hendra malah menjawab, “Tenang aja, Zia juga langganan toko buku itu, ko.”

Sebentar, Zia langganan toko buku itu? Itu artinya saya harus ke sana bareng…. Sempruna sudah rencana Hendra. Sedetik kemudian Hendra sudah lenyap pergi ke toilet. Kembali suasana terasa canggung meskipun lagu Ragu milik Rizky Febian diputar.

Saya dan Zia saling lempar pandangan. Beberapa kali saya menggaruk tengkuk kepala meski tidak gatal. Bingung harus apa. Saya memberanikan diri untuk mendekati Zia dan berkata padanya tentang permintaan Hendra.

“Tapi kalo lo ada tugas atau kerjaan, gue bisa pergi sendiri,” ucap saya kikuk.

Zia menggelengkan kepala dan bilang bahwa tugasnya baru saja selesai. Ia pun setuju untuk menemani saya pergi ke toko buku langganannya. Ia bangkit dari duduknya, membungkuk untuk merapihkan laptop dan bukunya yang berserakan di atas meja. Lalu keindahan tercipta dalam keramaian. Saat ia merapihkan rambut hitamnya yang sempat tergurai dan menyangkutkan sebagian rambutnya di telinga kanannya. Saya merasa terhipnotis.

“Berangkat sekarang?” tanyanya.

Saya mengangguk dan mempersilakannya jalan duluan dan secara otomatis membukakan pintu café untuknya. Kenapa saya seperti actor film romantis? Halah, sudahlah, tidak penting. Zia tersenyum sipu lalu berjalan menuju tempat parkir.

Setibanya di samping motor Hendra, saya memberikannya helm. Jangan berharap saya akan memakaikan helm untuknya. Saya bukan siapa-siapanya. Setelah kami berdua memakai helm, kami berangkat menuju toko buku.

Waktu setelah hujan reda dan saat jalanan sedang basah adalah waktu yang cukup indah buat saya. Entah kenapa, udara dan suasananya memiliki keunikan tersendiri dalam menciptakan kenangan. Saya menarik gas pada kecepatan 60km perjam. Bukan karena tidak berani membawa motor dengan kecepatan kencang, tapi karena saya tahu saya sedang menggonceng perempuan. Tidak bermaksud mengatakan perempuan itu lemah atau penakut, hanya saja saya yang khawatir bila terjadi apa-apa. Intinya saya peduli dengannya. Maksud saya peduli sesama teman.

Selama perjalanan, kami tidak mengobrol sama sekali. Zia pun menjaga jarak dengan punggung saya. Sekali lagi, jangan berharap saya akan mengerem mendadak agar mendapat pelukan secara mendadak. Ya alasannya sudah jelas. Saya bukan siapa-siapanya.

Ramai orang-orang memenuhi pinggiran jalan dekat toko buku yang ingin kami datangi. Saya memarkirkan motor di sebuah mini market, lebih aman karena ada satpam yang menjaganya. Zia melepaskan helm dan menggantungkannya di spion motor Hendra. Saya pun begitu. Kemudian kami berjalan menuju toko buku.

Tidak seperti toko buku pada umumnya, toko buku bernama Surga Buku itu tidak memiliki rak buku sama sekali. Semua buku, baik yang dijual atau dipinjam, dibiarkan menggunung tersusun rapih di lantai. Si pemilik toko bernama Pak Joko, seorang pria berusia 60 tahunan, yang memiliki bhewok putih dan berambut panjang. Kulitnya hitam kecoklatan. Ia memakai kacamata. Badannya kecil. Tingginya kira-kira 150 cm.

Pak Joko menyambut kedatangan Zia dengan senyum lebar. Seperti bertemu seseorang yang dirindukan untuk jangka waktu yang lama. Tidak-tidak, rindu kan tidak mengenal waktu. Saya hapus kalimat itu. Saya ralat menjadi; seperti bertemu seseorang yang dirindukan.

Zia juga tersenyum manis dan memeluk Pak Joko. Mereka berbasa-basi sebelum Zia mengenalkan diri saya pada Pak Joko.

“Namamu Laut?” tanya Pak Joko seakan tidak percaya. Saya mengganguk meski heran kenapa raut wajah Pak Joko begitu kaget.

Tidak lama kemudian, Pak Joko pamit pergi ada urusan. Ia bilang tidak akan lama dan meminta saya dan Zia untuk menunggunya pulang. Ia juga berkata saya dan Zia bisa bertanya pada karyawannya yang bernama Bayu, seorang pemuda berusia 20 tahun. Saya dan Zia mengangguk berterima kasih.

Zia sepertinya mengetahui bahwa ada pertanyaan di benak saya perihal kenapa Pak Joko kaget mendengar nama saya. Lantas, ia pun berkata lembut, “Kamu pernah mendengar penulis bernama Leila S. Chudori? Penulis buku Laut Bercerita.”

Untuk manusia yang senang membaca, saya merasa bodoh karena tidak mengetahui penulis bernama Leila S. Chudori karena Zia berkata bahwa Mba Leila adalah salah satu penulis paling berbakat yang dimiliki Indonesia. Salah satu novel paling legendanya berjudul Laut Bercerita yang mengisahkan para mahasiswa dan aktivis yang hilang dan yang kembali pada masa orde baru 1998. Nah, toko utamanya bernama Biru Laut.

Zia tidak menceritakan lengkapnya, ia malah mengambil novel Laut Bercerita dari tumpukan novel Indonesia dan memberikannya pada saya. “Zia, novel yang hari ini lo kasih saja belum selesai gue baca,” ucap gue. Ia malah menjawab, “Tidak apa-apa. Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan kamu sebagai penulis.”

Zia, kenapa seakan kamu sangat percaya pada mimpi saya di saat saya sendiri tidak percaya mimpi saya? Saya bertanya dalam hati.

Setelah mendapatkan komik one piece pesanan Hendra, Mas Bayu menyampaikan ada pesan dari Pak Joko untuk Zia. Dalam pesan itu, Pak Joko meminta maaf karena tidak bisa kembali ke toko buku. Ia memiliki janji dengan orang lain. Zia memahami itu dan berterima kasih pada Mas Bayu. Saya dan Zia pun pamit undur diri.

Ketika hendak kembali ke café, saya secara spontan bertanya pada Zia apakah ia sudah makan malam atau belum. Pertanyaan saya malah dijawab dengan ucapan, “Kamu ngajak aku makan bareng?” pertanyaan itu keluar dengan suara lembut dan tatapan hangatnya.

Saya membasahi tenggorokan. Merasa salah tingkah, saya bingung harus apa. Sedetik kemudian, Zia malah tertawa. Percaya sama saya, saya baru pertama kali dengan suara tawa semanis tawa Zia.

“Ya anu.. . kalo lo… apa namanya, kalo lo….”

“Iya, aku mau.”

Entah apa sebabnya, dada saya terasa lega saat itu. Ini pertama kalinya saya mengajak makan malam seorang perempuan dan anehnya, perempuan itu adalah Zia, primadona sekolah. Kami pun berangkat menuju tukang nasi goreng gerobak yang mangkal di dekat taman. Saya pesan dua nasi goreng; satu pedas untuk saya dan satu tidak pedas untuk Zia. Tidak lupa dua teh hangat pakai gula.

“Laut,” Zia tiba-tiba memanggil saya ketika kami baru saja duduk di kursi plastik. Saya menoleh lalu mendengar Zia berkata, “Makasih ya udah ngajak aku ke tempat kaya gini.”

“Gue kira lo---“

“Apa?” Ia mendadak melotot sebelum sedetik kemudian tertawa karena melihat raut kaget di wajah saya. “Laut, tidak ada yang benar-benar mengenal diri kita selain diri kita sendiri. Mengambil kesimpulan tentang pribadi orang lain hanya membuat kita tidak mengenal orang itu. Aku gak sebaik atau seburuk yang kamu kira, ko,” lanjutnya.

Saya malu seperti maling yang tertangkap basah. Benar kata Zia, mengira-ngira hanya membuatmu terlihat bodoh. Kita harus mengenal seseorang dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain.

“Maaf,” ucap saya pelan.

Meski pelan, Zia tetap saja mendengar. Senyum bulan sabit terukir di wajahnya. “Iya, nggak apa-apa.”

Ditemani dua piring nasi goreng yang menguapkan uap hangat, saya mulai berani menanggapi obrolan Zia yang ternyata cukup pintar dalam membuka topik obrolan. Saya tidak terlalu banyak bercerita perihal keluarga, terutama tentang Ibu. Sedangkan Zia bercerita tentang orangtuanya yang ada di Jerman. Kini ia tinggal bersama paman dan bibinya. Ia tidak punya sodara alias anak tunggal, sama seperti saya. Yang buat saya terkejut adalah ketika Zia memberi tahu bahwa Pak Joko adalah ayah dari ibunya alias kakenya sendiri. Pantas saja pelukan mereka sangat erat tadi.

Selama bercerita, saya tidak melepaskan pandangan saya dari matanya. Memperhatikan betul bagaimana ekspresi gemasnya saat menceritakan hal lucu semasa kecilnya atau ekspresi kesalnya saat ia menceritakan lelahnya mengurus OSIS atau ekspresi herannya saat ia menceritakan sulitnya dianggap primadona sekolah.

“Sungguh, Laut, aku tidak ingin dicap sebagai primadona sekolah. Label itu hanya membuatku tidak bebas melakukan apa saja. Aku tidak ingin dikenal karena aku cantik, orang yang berada atau lainnya. Aku ingin dikenal karena prestasi dan nilaiku.”

Tiba-tiba dia berhenti berbicara saat menyadari saya hanya diam menatapnya.

“Maaf, aku terlalu banyak bicara,” ia berkata lalu menunduk dan kembali menyantap nasi gorengnya. Kini giliran saya yang tertawa dengan tingkah lucunya dan berkata bahwa dia bisa berbicara apa saja dan melakukan apa saja. “Zia, lo cukup jadi diri lo sendiri untuk buktiin kalo lo itu ada dan bisa.”

Ia mengangkat kepalanya, melihat saya dan berterima kasih atas ucapan saya barusan. Tidak lama kemudian, suasana canggung kembali menyelimuti. Saat saya berkata padanya bahwa saya sudah membaca surat yang ia tulis dan saya berterima kasih untuk rasa percaya yang ia taruh dalam mimpi saya menjadi seorang penulis.

Sebagai penyingkap selimut kecanggungan, saya bertanya mimpi apa yang ingin ia capai suatu saat nanti. Dengan semangat ia menjawab bahwa menjadi psikolog adalah mimpinya, meski ia belum memutuskan akan menjadi psikolog di bidang apa.

Saya menanggapinya dengan berkata, “Semoga lo bisa jadi psikolog yang berguna buat diri lo sendiri dan orang lain. Oh ya, satu lagi, semoga lo bisa menjalani kehidupan ini bersama orang yang lo sayang.”

 

“Saya pernah jatuh ketika menaruh harap pada seseorang yang tidak pernah menganggap saya ada secara utuh.

Saya pernah kecewa ketika menaruh rasa pada seseorang yang tidak pernah mengerti arti juang yang sesungguhnya.

Saya pernah tersakiti ketika menaruh perhatian pada seseorang yang tidak pernah paham arti memiliki.

Tapi…

Saya pernah bahagia ketika menaruh cinta pada seseorang yang membuat dunia saya berwarna.”




Bersambung...

Komentar

Postingan Populer