PSH-Part One-2021
Yogyakarta,
2021.
“Kamu tahu apa yang lebih sulit
daripada jatuh cinta, Nadhifa?”
Perempuan di depan saya menggeleng.
“Rela jatuh demi cinta.”
“Kamu tahu apa yang lebih mudah
daripada pulang?”
Perempuan itu kembali menggeleng.
“Hilang.”
Belum sempat saya mengeluarkan
pertanyaan baru, perempuan berwajah bulat, pipi gembul, alis tebal, dan bulu
mata lentik itu bertanya, “Kamu tahu apa yang kamu butuhkan setelah hilang?”
Kini giliran saya yang menggelengkan
kepala.
“Pulang, Laut. Pulang jadi hal yang
paling kita butuhkan setelah hilang.”
Kalimat itu seakan berubah menjadi
batu dan masuk ke dalam tenggorokan, mencekat saya untuk bersuara. Di dekat
desiran ombak, saya menatap wajahnya yang terpapar sinar senja. Mega merah
memperindah wajahnya. Terlebih dua buah tahi lalat di bagian atas kanan
hidungnya. Entah kenapa ia sangat manis saat diam maupun tersenyum. Mengenakan
jilbab hijau muda dan sweater abu abu serta selendang kain batik, bermerek sejauh mata memandang, kesukannya,
membuatnya terlihat istimewa di mata saya. Semesta harus bersabar karena ternyata
ada yang lebih indah darinya; bola mata perempuan di depan saya.
“Untuk apa pulang kalo diri malah
merasa tidak tenang?” saya menjawab seraya menoleh ke arah matahari yang mulai
tenggelam.
“Untuk apa hilang kalo selama ini
kamu merasa tidak senang?” balasnya menjawab. Sedari dulu, Nadhifa memang orang
yang paling keras kepala menyuruh saya pulang. Meskipun tidak secara
terang-terangan ia mengatakannya, tetapi ucapannya menjurus ke sana.
“Laut, ada banyak hal yang selama
ini kamu salah artikan dalam hidup,”
Saya terdiam mendengar ucapannya.
Saya ingin sekali menatap matanya dan memintanya untuk menetap. Dulu ia adalah
manusia yang paling sering saya cari. Bercerita banyak hal dengannya seperti
waktu yang tidak ingin saya lewati. Duduk manis berdua dengannya cukup untuk
membuat saya merasa saya tidak sendiri.
“Ada banyak rahasia yang selamanya
akan jadi rahasia. Ada banyak hal yang tidak nyata yang selamanya tidak akan
jadi nyata. Hidup ini bukan soal siapa yang paling berani, tapi siapa yang
paling berarti.”
“Nadhifa, saya…”
“Pergi dari suatu tempat hanya
karena ingin membuktikan bahwa dirimu hebat, tidak selalu membuatmu benar-benar
terlihat hebat, Laut. Ada kalanya kamu perlu pulang setelah perjalanan panjang.”
Langit tidak lagi terlihat cerah.
Beberapa kepiting kecil berbaris berirama di bibir pantai sembari tertawa. Saya
sempat berpikir mereka menertawakan saya karena apa yang dilontarkan Nadhifa
terlihat benar. Sialnya seperti itu.
Tidak lama kemudian, datang seorang
pria dengan kaos oblong dan celana pendek membawakan dua gelas es kelapa.
“Silakan, Mas, Mba,” ucapnya seraya meletakkan dua gelas itu di atas meja
kecil.
Setelah kepergian pria itu, saya
bertanya pada Nadhira, apakah ia masih menyukai es kelapa atau tidak. Salah
satu sudut bibirnya naik sebelum mengangguk. Saya merasa lega saat itu, saya
tidak salah pilih hati. Setidaknya untuk saat itu.
Matanya terlihat lembut temaram.
Setelah mengucapkan kata-kata yang mampu membuat saya diam, ia pun memilih
diam, seperti khawatir akan ada ucapan lain yang membenarkan kebodohan saya
saat ini. Tapi, bagi saya, diamnya seakan menjelaskan kebodohan yang selama ini
saya jalankan. Keterlaluan. Kenapa alam dan semesta seperti menyudutkan saya?
“Hei, maaf kalo ucapanku
menyakitimu, Laut. Aku hanya tidak ingin kamu tenggelam dalam egomu yang tidak
kunjung larut,” ucapnya, merasa bersalah.
“Tidak. Kata-katamu tidak menyakiti
saya. Saya malah merasa kata-kata itu terdengar seperti kebenaran yang selama
ini tidak saya perhatikan,” ucap saya. “Sebaliknya, saya ingin meminta maaf
padamu perihal dua hal.”
Ia membenarkan posisi duduknya,
meletakkan gelas yang sedari tadi ia pegang dekat mulutnya. Ia pun memusatkan
kedua pandangannya ke saya, memberitahu tanpa suara bahwa ia mendengarkan
dengan seksama. Sial… saya harus benar-benar mengaku saat ini bahwa matanya
lebih indah daripada mutiara, tidak berlebihan dan kekurangan, hanya jujur akan
perasaan.
“Pertama, saya minta maaf karena selama ini saya tidak sadar bahwa saya
tidak sendirian. Saya tidak sadar bahwa kamu ada di samping saya dan tidak ke
mana-mana. Selama ini saya egois pada diri sendiri. Dan yang kedua…”
Belum sempat saya melanjutkan
pembicaraan, ponsel Nadhifa berdering, menandakan ada panggilan masuk. Ia
mengangkat tangan kirinya setengah, menandakan ia meminta izin untuk mengangkat
panggilan itu. Saya mengangguk, mempersilakan meski ada rasa penasaran.
Saya memperhatikan mimik wajahnya
dari kejauhan. Ia terlihat sumringah saat itu. Kali ini senyumnya lebih merekah
hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih. Senyum itu tidak pernah
berubah. Masih halus dan cerah, bahkan bernyawa.
Ketika melihat ia sudah mematikan
panggilannya, saya membuang muka ke arah lain, khawatir dia bertanya apakah
sedari tadi saya memperhatikannya atau tidak. Pun bila ia bertanya, saya akan
menjawab dengan jujur. Ia kembali menghampiri, tapi ia tidak duduk kembali dan berkata
bahwa ia sudah harus pergi.
Saya terdiam, pergi adalah satu hal
yang tidak ingin lagi saya temui. Pergi adalah pintu masuk
kemungkinan-kemungkinan yang sulit dimengerti dan dipercayai, salah satunya
adalah tidak ada lagi kata kembali.
Saya berdiri dan menatap matanya.
Memiliki tinggi tubuh 160 cm, membuatnya harus mendanga ke atas bila hendak
menatap saya yang memiliki tinggi tubuh 170 cm. Ada beberapa kalimat yang
tertahan di tenggorokan saya, tetapi lagi-lagi semesta seperti memiliki
konspirasinya tersendiri dengan membantunya mengatakan, “Ya sudah, Laut. Semoga
kita bisa bertemu kembali.”
“Penyesalan
memang ditakdirkan datang belakangan. Tetapi manusia sering kali lupa bahwa
cinta tidak melebur bersama penyesalan.
Kita tidak
meminta untuk dipertemukan, kita pun tidak meminta untuk dipersatukan, apalagi
saling memberi harapan, tetapi kita punya peran dalam memperjuangkan atau
memisahkan.
Saya tidak
pernah menyesal pernah mencintaimu, pun saya harap kamu begitu.
Hanya ada satu
hal yang membuat saya sesal dan kesal; saya tidak pernah sadar bahwa kamu bisa
pergi saat perjuanganmu tidak saya hargai.”
Komentar
Posting Komentar