Pergi
source photo: pinterest.com
Saya pikir pergi jadi hal yang saya butuhkan saat masalah sedang menghampiri. Saya pikir pergi jadi hal yang saya butuhkan saat hati gak tahu lagi ke mana harus berkompromi. Saya pikir pergi jadi hal yang saya butuhkan saat cerita tidak sedang ingin dibagi. Saya pikir pergi jadi hal yang saya butuhkan saat kepala gak tahu lagi ke mana harus berbagi.
Tidak, ternyata saya salah.
Selama ini pergi gak selalu jadi hal yang menyenangkan. Meskipun sendirian, saya merasa masalah itu tetap berjalan di belakang. Mengikuti langkah kaki sambil tertawa karena melihat saya hanya bisa berlari.
Akan lucu bila saya bilang saya gak tahu lagi harus apa. Sedangkan orang-orang di sekeliling saya berkali-kali memberi jalan keluar. Mereka bilang harus inilah, harus itulah. Jangan inilah, jangan itulah.
Tapi mereka lupa, kalo jalan keluar belum tentu mampu menyelesaikan masalah dengan benar. Saat ini, saya seakan berada di satu ruang tertutup tanpa jendela dan pintu. Gelap, bahkan sangat gelap. Saya tidak yakin dunia luar lebih terang daripada ruang ini, tapi, bila tidak dicoba, kita tidak akan pernah tahu.
Saya gak tahu, apakah mati bisa jadi solusi untuk masalah-masalah yang sedang saya hadapi? Kalo pun saya memilih mati, apakah dengan begitu semua masalah saya bisa pergi? Apakah saya akan tiba di ruang yang terang? Apakah saya akan bahagia?
Semua pertanyaan barusan belum bisa saya jawab karena memang 'kan tidak semua pertanyaan harus ada jawaban. Atau... semua pertanyaan memang ada jawaban, tapi 'kan tidak semua jawaban itu menyenangkan.
Pergi dari satu tempat ke tempat lain, berharap mendapatkan tempat yang membuat saya terus bahagia. Tapi saya lupa, kalo hidup gak melulu tentang bahagia. Bukan hidup namanya kalo saya selalu tertawa. Juga bukan hidup namanya kalo saya selalu kecewa.
Bagi saya, hidup adalah hasil gabungan suka dan duka.
Saya pernah bahagia, tepatnya ketika orang-orang sekeliling saya menganggap saya ada. Tapi, oh ya, maaf, ya kalo saya sering kali menggunakan kata tapi, padahal kata tapi menunjukkan sebuah perbedaan.
Tidak, tidak, keberadaan saya saja tidak cukup membuat orang-orang bahagia. Mereka mulai menuntut saya harus bisa membahagiakan mereka. Awalnya mereka mulai memberi jalan, meski akhrinya, mereka memaksa saya untuk berjalan di jalan yang tidak saya inginkan. Memberontak terasa percuma, karena ucapan mereka kerap kali menciptakan luka.
Saya pernah mencoba memaksa diri untuk berjalan di jalan yang mereka beri, dan rasanya tidak menyenangkan. Seakan hak saya menulis cerita diambil paksa. Saya seperti orang bodoh yang berdiri di pinggir jalan, sambil melihat orang-orang berebutan menulis cerita di hidup saya. Bodohnya lagi, saya hanya diam seribu bahasa.
Hingga saya berada di satu titik di mana saya mulai merasa lelah dan gerah. Saya 'kan juga manusia. Apa saya tidak berhak menulis cerita saya sendiri? Apa saya tidak berhak berdiri di atas suara saya sendiri? Bila tidak, kenapa saya diciptakan sebagai manusia?
Kemudian pergi menjadi keputusan pertama yang saya buat sendiri. Saya berlari tidak kenal arah. Yang terpenting untuk saya, saya mampu menyelamatkan sisa lembaran hidup saya. Seharusnya orang-orang itu sadar, mereka punya hak berbicara, tapi mereka tidak punya hak mengatur hidup saya.
Seperti yang saya bilang tadi, pergi gak selalu jadi hal yang menyenangkan, tapi setidaknya pergi memberi saya waktu untuk mendapatkan ketenangan.
Komentar
Posting Komentar