Dari Zee untuk Afina.
Sumber foto: Pinterest.com
Dulu saya pikir cinta itu buta, Fin. Ternyata saya salah. Saya menyadari bahwa cinta itu tidak pernah buta. Ia benar-benar melihat dengan kedua mata dan hati yang terbuka. Ia melihat semuanya dengan jelas.
Lima tahun lalu. Iya, tepat lima tahun lalu saya melihatmu lewat selembar foto yang tertidur di atas meja teman. Meski di sana ada lebih dari sepuluh pria dan wanita, tapi percayalah bahwa kamu adalah orang pertama yang saya lihat. Mata ini menatapmu penuh erat. Butuh waktu lama saya menarik pandangan ke arah lain. Entahlah, saya sendiri tidak tahu alasannya apa. Mungkin karena mata ini masih ingin memandangmu lebih lama.
Sialnya, semakin lama mata ini melihatmu, semakin lama juga wajahmu terekam dalam benak saya. Senyum hangat itu yang mampu membuat saya ikut tersenyum. Untungnya hanya foto yang ada di sana. Saya akan malu bila kamu melihat saya tersenyum seperti itu hanya karena fotomu. Orang-orang akan berpikir saya gila karena tersenyum sendirian. Tapi... sebentar, bukankah tidak ada manusia yang waras saat ia jatuh cinta?
Iya, saya jatuh cinta padamu. Mungkin perasaan ini terbilang cepat untuk disebut cinta tapi Tuhan pun tahu bahwa perasaan tidak bisa dikendalikan. Ia berlabuh di tempat yang ia rasa teduh. Ia singgah di tempat yang melepaskan lelah. Ia merasa aman di tempat yang membuatnya nyaman dan ia bahagia di tempat yang membuatnya sempurna.
Dan tempat itu adalah kamu, Fin.
Satu minggu setelah melihat fotomu itu, saya memberanikan diri untuk mencari informasimu di media sosial. Dunia memang semakin canggih. Hanya dengan hitungan menit namamu sudah berhasil kudapatkan. Seakan mendapatkan dukungan dari Tuhan, saya pun melangkah lebih jauh dengan cara mengirimmu pesan.
Lama kamu tidak menjawab. Tidak apa-apa, menerima orang baru memang butuh waktu. Dan ternyata waktu itu tidak terlalu lama karena dua hari setelahnya kamu membalas pesan saya dengan hangat dan keceriaan. Jujur, Fin. Saat itu saya sangat bahagia karena merasa jalan menuju hatimu telah terbuka. Saya hanya tinggal menapakinya dengan doa dan usaha.
Mulai dari hari itu kita pun saling mengirim pesan, berbincang banyak hal hingga tak sadar langit telah gelap. Tidak ingin mengganggu waktu tidurmu, saya pun mengucapkan salam perpisahan untuk sementara karena saya tidak ingin berpisah denganmu untuk selamanya.
Semesta memang kerapkali memberi kejutan. Dulu saya berpikir begitu. Tapi semenjak hari itu, saya tidak lagi percaya sama semesta. Kamu tahu kenapa? Karena semesta yang membuat saya bertemu kamu dan semesta pula yang memisahkanmu dari saya.
Mungkin pagi itu adalah pagi yang tidak pernah saya harapkan kedatangannya karena di pagi itu saya tidak lagi mendapatkan kabar darimu. Tidak ada pesan atau panggilan. Kamu mendadak hilang ditelang ruang.
Afina, kepergian kamu buat saya sadar, bawa saya nggak punya kemampuan untuk membahagiakan kamu. Dan lebih dari itu, saya pun nggak punya kemampuan untuk menyakitimu. Dari awal saya pun sudah tahu akhir cerita ini tidak berujung bahagia untuk kita. Dari awal pun saya sudah tahu bahwa saya hanya penulis yang menulis tentang saya, bukan tentang kita. Dan bodoh saya adalah saya menganggap bahwa semua akan baik-baik saja
Afina, dulu saya pikir saya punya sejuta alasan untuk mempertahankan hubungan ini. Tapi semenjak kamu pergi, saya pikir kamu punya sejuta alasan untuk menghancurkannya. Dari awal saya pun tahu bahwa akan ada waktunya kamu merasa bosan dengan saya, merasa terganggu dengan kehadiran saya, dan merasa risih dengan tingkah laku saya. Bagi saya itu bukan masalah.
Tapi saya mohon padamu untuk tidak pergi tanpa alasan karena hal itu tidak akan memperbaiki keadaan. Saya dan kamu hanya butuh mendinginkan kepala lalu berbicara.
Afina, orang bilang kita harus mencintai pasangan apa adanya. Saya katakan padamu bahwa omongan itu omong kosong. Karena setiap perempuan dan laki-laki ingin pasangannya menjadi lebih baik daripada hari ini. Bila ia pemalas, maka pasangannya ingin ia menjadi pekerja keras. Bila ia pemarah, maka pasangannya ingin ia lebih bisa mengendalikan emosinya. Bila ia bodoh, maka pasangannya ingin ia pintar.
Maka dari itu, saya katakan bahwa saya tidak mencintaimu apa adanya. Afina, mencintai seseorang itu berarti berjalan bersama untuk ke jalan yang lebih baik, bukan membiarkan orang itu diam di tempat yang sama.
Dulu kamu sempat bilang bahwa semesta punya rencana yang baik. Saya setuju. Tapi rencana baik itu untukmu, bukan untuk saya. Menunggu kamu selama lima tahun dengan harapan kamu akan kembali seperti menunggu siang bertemu malam.
Apa yang kamu sebut harapan adalah apa yang saya sebut kekecewaan. Dan kali ini saya tegaskan, saya dan kamu sama-sama tahu bahwa perasaan tidak bisa dikendalikan. Kalau saya cinta sama kamu, ya itu hak saya. Pun kalo kamu menolak, itu hak kamu.
Yang saya pinta kali ini adalah sebuah kejelasan. Kejelasan dari kepergian. Saya nggak tahu bagaimana saya bisa pindah dari tempat ini, Fa. Karena setiap kali saya ingin melangkah dan bertemu hati yang baru, perasaan saya padamu tiba-tiba datang dan menutup jalan.
Saya ini seakan berjalan di tempat yang sama selama lima tahun. Bodohnya saya adalah saya tetap membiarkan luka itu semakin terbuka meski tahu bahwa kamu tidak lagi peduli pada saya. Tapi apa salahnya? Apa salahnya bila kamu beri saya kesempatan untuk membahagiakan? Apa salahnya bila kamu beri saya kesempatan untuk berjalan berbarengan? Apa salahnya bila kamu beri saya kunci pintu hati? Apa salahnya bila kamu beri saya waktu untuk membuktikan bahwa saya adalah orang yang tepat?
Komentar
Posting Komentar