Bagaimana Rasanya Mati?


Sumber foto: Pinterest.com

Pernah terbesit di benak, bahkan sering, bagaimana jika mati adalah solusi dari sakitnya hidup yang tidak pernah berhenti? Toh, hidup tanpa kebahagiaan pun tak ada artinya juga, kan? 
Kata orang, bahagia adalah hak semua manusia, tapi sebagian besar dari kita lupa caranya bahagia dan membahagiakan. Sebentar... Tidak! Tidak mungkin kita lupa. Kita hanya sedang rehat sejenak di halte tepi jalan sembari mendengar orang tua, teman-teman bahkan orang-orang yang tidak kita kenal mengoceh membicarakan apa yang 'menurut' mereka mampu membahagiakan kita. 

Kata mereka, "Hidup hanya satu kali, jangan disia-siakan." 

Persetan bagi mereka yang berkata seperti itu karena bagi saya hidup tanpa kebebasan berpendapat dan melangkah adalah penjajahan tak kasat mata. Apa yang menurut mereka baik untuk kita, belum tentu 'benar-benar' baik untuk kita. Begitu pun hal yang buruk. Kerap kali saya melihat orang tua dengan mudahnya memberikan motor mahal, mobil mahal, dan uang puluhan juta untuk anaknya dengan maksud hal-hal itu mampu membahagiakan anaknya. Padahal di sisi lain anaknya tidak merasa bahagia, atau ya, anaknya merasa bahagia, namun 'sementara', tolong garis bawahi kata sementara itu. 

Dalam kasus lain pun sama. Orang tua dengan semangat 'memaksa' anaknya untuk masuk di sekolah atau kampus yang menurut mereka mampu mencetak orang-orang sukses. Setelah anak mereka mengikuti kemauan mereka, mereka tidak pernah bertanya apakah anak mereka bahagia atau tidak, apakah anak mereka tertekan atau tidak, apakah anak mereka mendapatkan sahabat yang tulus atau tidak. Itu semua karena orang tua hanya peduli dengan apa yang menurut mereka baik. 

Lantas, sampai kapan lembaran kehidupan saya ini harus saya isi dengan sejarah yang tidak pernah ingin saya tulis? 

Di mana kepercayaan mereka saat saya mengatakan ini lembaran saya dan ini hak saya. Kalian seharusnya memberikan saran, bukan mengatur kehidupan saya. 

Semua orang berkata, "Suka dan duka ada di tanganmu."

Hahahaha, pintar sekali orang-orang itu mengolah kata, memberi harap, tanpa melakukan tindakan. Tapi, maaf, sedari dulu hidup saya sudah mereka atur sedemikian rupa. Bukan saya yang menciptakan jalan saya sendiri, tapi mereka yang menciptkan jalan untuk saya lalu mau tidak mau saya harus berjalan melaluinya. Mereka ingin saya seperti ini dan itu. Lalu siapa yang menanggung konsekuensi perjalanan itu? Ya jawabannya adalah saya. 

Hampir 9 tahun saya diarahkan kepada apa yang mereka mau dengan dalih "ini untuk kebaikanmu juga". Saya kira kebaikan itu dijalankan dengan menyenangkan, tapi kenapa saya malah merasakan hal yang sebaliknya? Kenapa dorongan untuk bunuh diri itu selalu ada? 

Dan sialnya, Tuhan seakan tidak rela bila saya kembali pada-Nya secepatnya. Ia seakan masih ingin saya merasakan luka yang menganga lebih lama. Sempat saya bertanya, "Di mana letak kebahagiaan yang Engkau hendak berikan?" 

Siang dan malan ditelan waktu, tapi tidak ada jawaban dari Tuhan. Anggap saja Tuhan punya kejutan untuk saya. 

Hampir 2 tahun dorongan bunuh diri itu datang lalu pergi. Ia tidak pernah saya undang. Ia datang sendiri dan hebatnya ia tahun kapan harus datang dan meyakinkan saya bahwa kematian adalah cara terbaik mengakiri semuanya. 

Sempat saya bertanya padanya, "Apa kematian akan terasa sakit?" 

Ia tersenyum seringai sebelum menjawab, "Kamu tidak akan tahu bila tidak mencobanya."

Huft, jawaban itu melahirkan penasaran. Saya pun kembali bertanya, "Kenapa kamu datang saat saya tidak tahu kemana harus pulang?" 

Ia pun menjawab, "Tidak ada manusia yang waras di dunia ini, Far. Semua orang itu gila, hanya bentuknya yang berbeda-beda. Lagipula, aku sudah tahu tekanan apa yang menimpa hidupmu. Aku tahu, kamu pasti lelah, bahkan sangat lelah. Kamu sudah berusaha menjadi apa yang mereka inginkan, tapi kamu tetap salah karena keinginan mereka berubah-rubah. Kamu tidak akan pernah memuaskan dahaga mereka. Mereka akan selalu meminta lebih dari apa yang kamu kerjakan. Mereka butuh hasil, bukan usahamu dan keringatmu. Mereka tidak benar-benar menyayangimu. 

Mereka akan tersenyum dan tertawa bangga bila kamu mengikuti apa yang mereka minta. Tapi sialnya, kamu terlahir sebagai manusia, mahluk Tuhan paling istimewa sekaligus tolol luar biasa. Tuhan memberikanmu kebebasan memilih, tapi tololnya kamu adalah kamu membiarkan manusia-manusia itu mengambil kebebasanmu dengan mudah dengan alasan kamu adalah anaknya, temannya, muridnya, gurunya, bawahannya, bahkan budaknya. 

Kapan kamu berani untuk bersuara, Far?! Oh ya, maaf, hahahaha, seharusnya aku tidak bertanya seperti itu karena jawaban atas pertanyaan itu tidak akan pernah datang, bahkan tidak pernah ada," kata dorongan bunuh diri itu dengan tawa mengejek. 

"Kamu," ia melanjutkan, "tidak pernah hidup. Jasadmu memang ada, tapi akal dan kebebasanmu telah lama mati. Dan kini kamu hanya sebatas onggok daging tak bernyawa dan berharga. Dan dengan kematianmu, kuyakin orang-orang itu akan menyadari betapa pentingnya dirimu, betapa kamu perlu dihargai dan didengar, bukan hanya diberi komentar, betapa kamu pun perlu diakui bahwa kamu pun manusia." 

"Jadi..." ia menggantukan kalimatnya, menunggu saya memberi reaksi atas ucapan-ucapan sialnya yang benar, "kapan kamu akan mati?" 

Entah kenapa pertanyaan barusan sangat menarik bagi saya. Akal saya memutar memori beberapa tahun lalu, saat saya merasa saya 'sehat'. Saat di mana saya tertawa bersama orang-orang yang saya anggap istimewa. Bak api di atas lilin kecil, memori itu hilang dibawa angin. 

Sedetik kemudian saya membuka suara, "Entahlah, rasanya saya masih ingin hidup." 

Jawaban saya dibalas tawa terbahak-bahak. Ia melirik saya dengan lirikan merendahkan, "Apa yang membuatmu ingin hidup, Far?! Kamu sendiri saya tidak tahu apa tujuan hidupmu. Pada dasarnya kamu ini sendirian. Terlalu banyak luka tak kasat mata yang sudah tergores di tubuh kurusmu itu! Lantas apa lagi alasanmu untuk hidup?!"

"Apa saya harus punya alasan untuk hidup?"

"Dasar tolol! Alasan itulah yang membuatmu bertahan di dunia yang menyeramkan ini! Bila kamu tidak punya alasan untuk hidup, lantas kamu lebih rendah daripada seonggok tai kambing!"

"Jangan samakan saya dengan tai kambing!"

"Aku memang tidak menyamakanmu, karena tai kambing lebih berguna daripada dirimu. Sudah! Berhenti membicarakan tai kambing. Sekarang kutanya padamu, apa yang kamu butuhkan sekarang?"

"Bila saya menjawabnya, apa kamu akan mengabulkannnya?" 

"Urusan mengabulkan atau tidak itu urusan Tuhanmu. Bicara padaNya selagi masih ada kesempatan. Kini aku hanya ingin tahu apa yang kamu butuhkan."

"Saya butuh obat. Saya ingin sembuh dari segala pikiran dan tekanan yang menyiksa diri ini. Kini saya hanya merasa saya disiksa dalam penjara. Saya ingin bebas. Saya ingin berteriak kencang, mengeluarkan kekesalan, meregangkan tali-tali kusut dalam kepala."

"Kan sudah kukatakan. Tidak ada yang benar-benar waras di dunia ini."

"Iya, saya mengerti. Hanya saja, saya tidak ingin seperti ini terus-terusan. Hidup dihantui rasa takut yang diciptakan penghuni rumah saya sendiri, teman-teman saya bahkan lingkungan saya. Saya tidak ingin seperti anjing yang lehernya diikat dan harus mengikuti kemanapun majikannya melangkah dan memberikan arah. Saya tidak ingin selamanya menjadi pasien." 

"Ini yang aku tunggu-tunggu. Akhirnya kamu sadar bahwa selama ini kamu adalah pasien. Tapi yang harus kamu tahu, kamu bahkan lebih sulit disembuhkan ketimbang pasien-pasien rumah sakit jiwa. Karena kamu sendiri tidak tahu kamu sakit apa dan bagian ironisnya adalah tidak ada yang menganggapmu sakit. Mereka menganggapmu baik-baik saja. 

"Kamu tahu apa yang paling kusenangi dari kehidupan manusia?"

Saya menggelengkan kepala, tidak tahu. 

"Mereka sangat pintar berbohong. Bahkan kupikir seharusnya iblis belajar dari mereka caranya berbohong. Manusia, termasuk kamu, kerapkali berbohong perihal apa yang kamu butuhkan dan apa yang kamu rasakan. Perihal apa yang menggores perasaanmu pelan-pelan. Perihal apa yang kamu tidak senangi dari dunia ini, perihal apa yang seharusnya kamu nikmati dan biarkan pergi. Dan untukmu, kutahu kamu sangat ingin mengungkapkan apa yang kamu rasakan dari dulu. Namun sedihnya, orang tuamu, teman-temanmu dan lingkunganmu tidak menganggap hal itu sebagai hal yang penting. Ya, ceritamu hanya dianggap keluhan bagi mereka. Mereka menganggapmu orang yang labil. Mereka tidak peduli tentang kesehatan mentalmu yang sedang hancur. Mereka tidak akan pernah mengerti. Maaf, kuralat, mereka tidak akan pernah INGIN mengerti. 

Kamu selalu berpikir bahwa pulang adalah kesempatan untuk sembuh. Nyatanya kamu salah. Karena rumahmu adalah salah satu bagian yang ikut andil dalam menghancurkan kesehatan mentalmu dan membangun karakter dirimu sekarang ini. Tapi di sisi lain, kamu tidak tahu harus pergi ke mana. Pulang ke rumah nyatanya hanya membuat sakitmu bertambah parah. 

Kamu ingin dipeluk, tapi tidak ada yang ingin memelukmu. Kamu ingin digenggam, tapi tidak ada yang ingin menggenggammu. Kamu ingin bahagia, tapi tidak ada yang ingin kamu bahagia. 

Kamu ingat saat dirimu tertawa sendirian di kamar? Bila lupa, mari aku ingatkan kembali, saat itu kamu hanya duduk di kursi menghadap tumpukan tugas di atas meja. Kamu habiskan tiga jam lebih hanya untuk berdiam diri dengan mata kosong. Tidak terasa sudah jam sebelas malam. Badanmu terasa lelah padahal kamu tidak melakukan apa-apa. Saat itu kamu mencoba memejamkan mata, tapi mendadak matamu terbuka cepat. Saat itu kamu berkata bahwa tekanan hidupmu seakan berubah menjadi monster yang siap menerkam dan membunuhmu. Beberapa detik kemudian kamu menangis tanpa sebab. Pikiranmu kacau kelut. Beberapa detik kemudian kamu malah tertawa tanpa sebab. Seperti orang gila, kamu menghadap jendela kamar seraya tertawa lalu menangis, lalu kembali tertawa dan menangis. Sendirian tanpa teman. 

Dan saat itulah aku hadir di sampingmu, melihatmu penuh iba seraya berkata, "Apa dunia yang membuatmu seperti ini, Far? atau manusianya? Apa tekanan hidup itu terlalu keras sampai membuatmu hilang arah? Apa orang-orang itu tidak tahu apa yang aku lihat sekarang ini?"

Saat itu aku tidak melihatmu sebagai manusia, Far. Karena yang kulihat hanya mahluk Tuhan tanpa nyawa. Saat itu kamu sungguh terlihat gila. Aku tidak tahu, Far, apakah orang-orang itu sadar akan rasa sakit yang kamu rasakan? Sampai kapan kamu akan menahan rasa sakit itu? Apa penyakit mentalmu tidak lagi bisa kamu sembuhkan? Apa semua ini kamu lakukan hanya demi membahagiakan orang tuamu, teman-temanmu, guru-gurumu dan lingkunganmu? 

Aku tahu, kamu menahan ini karena ceritamu akan dianggap keluhan. Diammu akan dianggap isyarat kamu baik-baik saja. Karena pada dasarnya tidak ada yang benar-benar peduli padamu. Aku tahu, kamu tidak ingin mengecewakan mereka, kamu ingin mereka bangga padamu, tapi... apakah harus sampai seperti ini? Apakah kamu kuat berjalan di atas pecahan beling tajam hanya demi mendapatkan buah yang bahkan kamu tidak sukai? Aku tahu, aku tahu selama ini kamu menahan sakit itu. Berkali-kali aku datang dan membujukmu agar menyelesaikan semuanya. Tapi semua usahaku gagal oleh ragmu. Kamu ragu apakah mati adalah pilihan yang tepat untukmu saat ini. 

Aku hanya ingin membebaskan jwamu, Far. Aku hanya ingin membebaskanmu dari rasa sakit yang selama ini kamu tanggung. Aku hanya ingin membebaskamu dari orang-orang itu, Far! 

Percaya padaku! Bunuh diri tidak sesakit apa yang kamu bayangkan. Hanya butuh beberapa detik lalu kamu akan bebas! Bebas, Far! Itukan yang kamu butuhkan?! Percuma menangis. Kamu akan dianggap lemah oleh mereka. Percuma tertawa. Kamu hanya membuat dirimu lebih tersiksa. Apa kamu tidak lelah dengan teriakan-teriakan orang tuamu setiap waktu? Teriakan yang membuatmu terasa lelah, teriakan yang sedikit demi sedikit menumbuhkan rasa benci? Apa kamu tidak lelah dengan sikap teman-temanmu yang berpura-pura baik padamu? Teman-temanmu yang memiliki sejuta topeng di lemarinya. Teman-temanmu yang menyambut pesan dan telfonmu dengan sambutan melas. Teman-temanmu yang dengan mudah datang lalu pergi. Teman-temanmu yang bahkan tidak peduli dengan hidupmu. 

Lalu untuk apa masih hidup, Far?! 

Bangsat kamu, Far! Jangan takut untuk mati! Sudahi semua pura-pura ini! Toh selama ini kamu memang telah mati. Biarkan orang-orang itu menangisi pusara kuburmu nanti. Percaya padaku, tangisan mereka hanya sesaat. Air mata mereka akan diganti dengan tawa. Bila pada akhirnya kam akan masuk neraka, setidaknya kamu bebas dari siksa dunia. Aku tidak mendoakanmu masuk neraka, tapi... apa kamu memandang dirimu pantas masuk surga?

Baiklah, aku sudah terlalu banyak bicara. Panggil aku bila kamu butuh teman. Akan kutemi kamu sampai sembuh. Kabari aku jika kamu sudah yakin ingin mati. 

Bebeberapa hari kemudian. 

"Hei, Far! Sudah ada keputusan?" tanyanya tanpa basa-basi.

Saya menggelengkan kepala. Saya hembuskan nafas pelan, membiarkan diri ini merasa nyaman, untuk sesaat. "Belum, saya belum memutuskan apapun. Tapi... dentuman keras terjadi di kepala ini. Kepala ini terasa sakit. Dada saya pun sesak. Pikiran pun kosong."

"Itu semua karena mindsetmu yang tidak sehat. Kamu menganggap semua akan baik-baik saja kedepannya. Padahal tidak. Kamu menganggap semua akan berlalu begitu saja. Padahal tidak. Masalah-masalah ini akan berdiam menunggu di satu tempat, lalu menuntunmu ke jalan sesat dan pekat. 

"Awalnya, kamu pikir pulang menyembuhkanmu. Nyatanya tidak. Kini pulang ke rumah hanya membuatmu terkekang. Tidak ada satu pun orang yang percaya padamu. Karena kecurigaan mereka manafikan itu. Bila curiga dijadikan senjata utama, jangan harap lahir rasa percaya. 

Kamu tahu apa yang selama ini mengurungmu?" belum sempat saya jawab, ia kembali berkata, "rasa takutmu sendiri. Kamu takut mengecewakan orang lain. Kamu takut tidak mampu membahagian orang lain. Kamu takut jalan yang kamu ambil tidak disukai orang lain. Kamu takut mengambil resiko. Kamu takut akan segala hal karena gagal atau pun jatuh bukanlah hal yang mereka ingin lihat darimu. Kamu berusaha untuk menjadi sempurna di mata mereka padahal kamu sendiri tahu bahwa manusia mustahil untuk menjadi sempurna di semua hal. Kamu takut beban yang kini kamu pikul berjatuhan karena keteledoranmu. Kamu terlalu takut, Far. Bahkan kamu takut untuk mengatakan apa yang kamu butuhkan hanya karena kamu tidak ingin orang-orang sekelilingmu menelan kekecewaan. KAMU ITU PENAKUT, FAR! Hidup hanya satu kali, lantas kenapa tidak hidup?" 

"Kamu benar. Saya memang penakut. Saya takut mengambil langkah yang salah. Di mata orang-orang, mungkin beasiswa yang saya ambil adalah hal yang luar biasa, tanpa pernah mereka bertanya apakah saya tersiksa atau tidak. Saya terbang tinggi bukan karena prestasi, tapi karena ekspektasi. 

"Sulit rasanya harus mengikuti apa yang orang-orang inginkan. Senyum di hadapan semua orang seakan saya bahagia menjalaninya. Tertawa lepas tanpa batas. Di waktu yang sama, diri ini duduk di sudut ruangan gelap penuh kejujuran. Di sana, saya merasa bahagia karena saya mampu menjadi diri saya seutuhnya dan apa adanya. Tapi orang-orang tidak mengingkan itu. Orang-orang tidak ingin kamu menjadi dirimu sendiri. Orang-orang ingin kamu menjadi apa yang mereka inginkan. Pernah saya bertanya pada Tuhan, kenapa Ia menciptakan saya sebagai manusia. Kenapa harus ada perasaan dan akal. Kenapa dengan mudahnya saya berbuat baik pada orang meski diri saya tersiksa dengan hal itu. Kenapa harus senyum saat diri ingin menangis. Kenapa harus selalu berpura-pura. Dalam satu film yang pernah saya tonton, dikatakan, "Kadang kita harus melakukan apa yang tidak inginkan, supaya mendapatkan apa yang kita inginkan.". Tapi bagaimana jika pada akhirnya kita sudah tahu kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan meski kita sudah melakukan apa yang mereka inginkan?"

Semua orang dengan mudah mengucapkan berbagai kata-kata motivasi. Tidak! Saya tidak butuh itu. Saya hanya butuh dipahami dan sialnya tidak ada satupun yang ingin memahami. 

Kenapa hidup serumit ini?


Komentar

Postingan Populer