Surat Dari Yang Hilang
Sumber foto: Pinterest.com
Ini bukan perihal apa yang saya butuhkan. Ini perihal apa yang mereka butuhkan. Ini perihal apa yang mereka tuntut untuk saya jalankan. Ini perihal apa yang mereka ingin saya rasakan. Ini perihal apa harga diri mereka yang terlalu tinggi. Ini perihal memberi makan ego mereka. Ini perihal apa yang sedari dulu mereka atur. Ini perihal apa yang menurut mereka mampu 'membahagiakan' saya.
Sudah hampir dua bulan saya di rumah dan sudah hampir dua bulan pula saya berusaha untuk 'sembuh'. Satu-satunya tujuan saya pulang ke rumah memang ingin 'sembuh'. Hampir dua tahun saya mulai merasakan apa yang orang-orang bilang hilangnya kebebasan menentukan jalan. Tidak, saya ralat, semenjak lulus SD, saya selalu mengikuti keputusan orang tua. Masuk pondok pesantren untuk kurun waktu enam tahun. Setelah itu melanjutkan pendidikan di Najaf, Iraq, dari umur 18 tahun hingga detik ini. Semua yang saya jalani adalah keputusan orang tua.
Saya tahu bahwa hampir semua orang tua ingin anaknya bahagia, tapi mereka lupa caranya membahagiakan anaknya. Dengan dalih, "Ini demi kebahagiaanmu juga," anak seakan harus menuruti apa yang mereka 'arahkan'. Saya memberi tanda kutip pada kata arahkan karena saya sendiri tidak yakin apakan orang tua benar-benar MENGARAHKAN atau lebih condong MEMAKSAKAN. Tentu dua kata kerja itu memiliki arti yang berbeda.
Mengarahkan belum tentu memaksakan, tapi memaksakan sudah tentu mengarahkan.
Bila berkenan, saya ingin bertanya, "Di mana yang namanya kebahagiaan bila sebuah keputusan dicampuri dengan paksaan tanpa meminta persetujuan dengan dalih demi kebahagiaan?"
Saya memahami, bahkan sangat, bila pada dasarnya atau normalnya, orang tua ingin anaknya bahagia atau jika saya boleh meminjam kata yang menjadi tolok ukur masa sekarang adalah sukses. Iya, orang tua ingin anaknya sukses. Saya tidak membantah itu dan sangat setuju dengan hal itu. Namun apa yang menurut orang tua akan membuat anaknya sukses, belum tentu sama dengan apa yang ada di pikiran anak.
Saya pernah membaca sebuah artikel mengenai peran penting orang tua dalam mendidik anak. Ada sebuah kutipan bagus yang kurang lebihnya begini, "Anak tidak bertanggung jawab membahagiakan orang tua."
Pertama kali membaca kutipan ini, saya terhenyak kaget karena ini tentu sangat bersebrangan dengan apa yang selama ini saya pikirkan dan lihat di dunia nyata; wejangan-wejangan orang tua yang berharap anaknya sadar bahwa kebahagiaan orang tua adalah yang pertama. Setelah saya baca ulang-ulang kutipan di atas, saya baru sadar bahwa kebahagiaan memang tanggung jawab masing-masing.
Orang lain tidak bisa menjamin kebahagiaan kita. Begitupun sebaliknya.
Secara kasar saya ingin mengatakan bahwa hidup kita adalah tanggung jawab kita sendiri. Orang lain, termasuk orang tua, tidak akan mampu menjamin kebahagiaan kita. Anak pun tidak mampu menjamin kebahagiaan orang tua. Berbeda halnya dengan anak yang 'berusaha' membahagiakan orang tuanya. Setiap anak punya caranya masing-masing membahagiakan orang tua. Kenapa memaksakan anak untuk membahagiakan diri mereka dengan cara mereka sendiri?
Ini kerap terjadi di lingkungan kita saat seorang ibu dengan mudahnya mengatakan, "Punya anak kerjaannya main hape terus... lihat noh si fulan udah bisa beliin ibunya mobil, rumah, perhiasan.", atau "Punya anak gak bisa apa-apa, bisanya cuman ngerepotin aja.", atau "Cari kerjaan sono. Kerjaannya di rumah doang. Mending bantu nyapu atau bersih-bersih." atau ucapan-ucapan lain yang tanpa sadar menyakiti anak.
Pernah gak orang tua berpikir apa yang anak mereka rasakan saat ucapan-ucapan di atas terdengan oleh telinga anak mereka? atau bahkan terdengar oleh telinga-telinga tetangga? Bagaimana perasaan anak mereka? Bagaimana kondisi mental mereka? Bagaimana sakitnya mereka saat mereka tahu bahwa kini orang tuanya pun ikut merendahkan, meremehkan bahkan menganggap mereka tidak bisa apa-apa hanya karena mereka belum bisa membuktikan atau menghasilkan apa yang orang tua inginkan?
Beberapa minggu yang lalu, sebuah ucapan pedas terlontar dari orang yang saya sayang. Ia berkata, "Kalo pulang ke rumah hanya buat main sama temen-temen aja, mending gak usah pulang."
Saya gak pernah nyangka ucapan itu akan saya dengar dengan telinga saya sendiri. Mendadak pikiran saya kosong. Saya gak tahu harus respond apa. Saya cuman mau bilang kalo ngabisin waktu bareng teman-teman saya pun bisa nyembuhin saya. Kembali saya bilang, saya cuman mau sembuh, karena gak semua orang bisa sembuh.
Kapan saya bisa menentukan jalan saya sendiri? Kapan keputusan saya diterima tanpa perlu dibalas dengan komentar, "Kamu masih kecil," atau "Kamu gak tau resikonya apa yang kamu pilih," atau "Kamu yakin gak akan nyesel dengan keputusan kamu?"
Saya tahu, saya tahu bahwa semua keputusan ada resikonya tapi saya lebih bahagia bila saya mengambil keputusan dengan tangan saya sendiri meski itu akan memberikan resiko yang tinggi. Karena di situ saya tahu letaknya tanggung jawab. Karena di situ saya merasakan namanya hidup. Sampai kapan saya harus mengikuti semua kemauan mereka hanya demi memuaskan apa yang menurut mereka baik untuk saya?
Komentar
Posting Komentar