Kalo Punya Keluarga Kaya Gini Malah Bikin Gerah.

Mending nggak usah pulang kalo pulang cuman buat dimarahin, atau denger pertengkaran orangtua yang nggak ada habis-habisnya, atau denger celotehan istri yang cuman bisa ngeluh, atau denger omongan suami yang cuman bisa nyuruh. Buat apa ada rumah kalo cuman bikin gerah?!

Ucapan seperti ini seringkali saya baca di media social, sambatan orang-orang yang merasa gerah karena berdiam di rumah. Bukannya menghilangkan lelah, rumah bagi mereka terasa seperti pemantik amarah.

Lantas, seharusnya rumah itu seperti apa?

Sifat rumah itu relative, para penghuninya yang memiliki kendali, mau menjadikan rumah itu seperti neraka atau surga?

Nggak jarang saya mendapati orangtua memarahi anak karena sering berkumpul dengan teman-temannya hingga lupa waktu, lebih memilih menghabiskan waktu dan quality time bersama kekasih atau sahabat, pergi pagi dan pulang malam atau sebaliknya padahal nggak punya kegiatan apa-apa di luar rumah. Karena yang terpenting bagi mereka adalah membebaskan diri dari penat serta jerat emosi rumah itu. Rasanya jengah dan lelah jika terlalu lama di rumah itu.

Bukan, bukan karena bangunan, fasilitas atau perabotannya, tapi karena penghuninya, termasuk ayah dan ibunya.

Bagi saya, ayah dan ibu bukanlah posisi yang dengan mudahnya dijadikan alasan untuk memarahi, mendidik atau mengkritik ucapan dan perbuatan anak. Di dalam keluarga, setiap penghuni adalah guru dan murid. Ayah belajar dari anak, ibu belajar dari anak, ibu belajar dari ayah, ayah belajar dari ibu dan anak belajar dari ayah dan ibu.

Memiliki ego tinggi hanya menjadikan rumah itu sebagai bangunan biasa yang tidak lebih terdiri dari batu bata dan teman-temannya. Tidak menjadikan rumah itu sebagai tempat untuk menumpahkan cerita.

Berposisi sebagai ayah tidak serta merta menjadikannya berkuasa atas segala hal. Berstatus sebagai ibu juga tidak menjadikannya pengatur atas segala hal. Dan berstatus sebagai anak tidak menjadikannya hewan yang ingin selalu dimanja.

Rumah akan menjadi rumah sesungguhnya jika para penghuninya sadar dan paham tentang batas wilayah yang ia miliki dan hal apa yang harus ia kerjai dan tinggali.

Kalo ngomongin keluarga, rasanya nggak bakal bisa lepas dari ujian. Keluarga, tempat yang tadinya dikira bakal jadi meja bundar untuk berdiskusi hingga melahirkan solusi, malah seringkali menjadi tempat adu emosi, hingga tak jarang permasalah yang sudah pernah terselesaikan muncul kembali ke permukaannya. Meja bundar yang tadinya dibuat untuk mengurangi masalah, malah berbalik menambah masalah serta beban pikiran.

Ayah mengungkit susahnya kerja keras mencari nafkah, ibu mengungkit susah payahnya membersihkan rumah, dan anak mengungkit hawa panas di rumah.

Membangun keluarga nyatanya bukan sebatas menyatukan badan dan melahirkan keturunan, lebih dari itu, membangun keluarga artinya menyatukan visi, misi, hati dan akal dalam menggerakkan bahtera rumah tangga.

Dan bisa dipastikan akan ada terjangan ujian dalam perjalanan, bukankah itu adalah tantangan dari Tuhan? Masalah berhasil atau tidaknya melewati tantangan itu kembali ke usaha para penghuni keluarga itu sendiri. Apakah mereka masih mau bergelut dalam balutan emosi dan ego tinggi, atau merangkul tangan dan melangkah bersama hingga mendapat solusi?

Ayah bukan Tuhan, begitupun dengan ibu. Anak juga bukan barang. Setiap dari mereka memiliki hak dan tanggung jawab yang mana mereka tidak akan bisa lepas dari keduanya. Kadar keduanya pun telah diatur oleh agama, ya kalo sudah begitu, jangan memaksa mengurangi atau menambahi keduanya dari kadar yang ditentukan, karena sesuatu yang melenceng dari agama, bisa dipastikan akan memberikan dampak buruk bagi si pelaku.

Kalo sudah mendapatkan dampak buruk, ya jangan marah atau mengkambinghitamkan orang lain. Seharusnya introspeksi, diskusi dan cari solusi.

Cobalah untuk sering bertanya pada diri sendiri;

“Apakah saya sudah menunaikan tanggung jawab sehingga berhak menerima hak?”

“Apakah saya sudah menjadi anak yang diinginkan Tuhan dan agama-Nya?”

“Apakah saya sudah menjadi kepala keluarga yang diinginkan Tuhan dan agama-Nya?”

“Apakah saya sudah menjadi ibu rumah tangga yang diinginkan Tuhan dan agama-Nya?”

“Apakah saya, sebagai salah satu penghuni rumah ini, sudah berkontribuksi menjadikan rumah ini layak disebut ‘rumah’?”

Di dalam keluarga, komunikasi itu penting, dan meredam ego pribadi itu lebih penting. Jangan salahkan anak karena ia tidak ingin pulang ke rumah jika rumahnya saja tidak terasa seperti rumah. Jangan salah ibu karena ia tidak ingin membersihkan rumah, memasak atau melayani keluarga jika penghuni rumahnya malah menjadikannya sebagai pembantu. Jangan salahkan ayah karena tidak ingin mencari nafkah jika keluarganya saja tidak bisa menghargai usaha dan keringatnya.

Jadikan rumah sebagai tempat pertama yang terlintas di kepala saat akal, hati dan jasad sedang bahagia atau berduka. Saat mulut ingin tertawa atau bercerita. Saat mata ingin mengucurkan air mata. Saat jari jemari butuh genggaman.

Yang menjadikan rumah itu tempat mewah adalah para penghuninya, bukan barang-barangnya atau fasilitasnya.


Komentar

Postingan Populer