Memangnya Pesantren Tempat Pembuangan?
Buat para
orangtua, udah dong mikir kalo mau punya anak soleh atau solehah masukin aja ke
pondok pesatren.
Stigma
pondok pesantren adalah tempat mendidik atau merubah seorang anak menjadi soleh
atau solehah masih aja stuck di pikiran para orangtua. Nggak jarang dari
mereka masukin anak mereka ke pondok pesantren, dijamin jadi alim tuh anak.
Waduh? Pikiran kaya gitu tuh munculnya dari mana?
Salah satu
sebab munculnya stigma seperti ini karena orangtua merasa bahwa anak-anak
mereka butuh asupan agama dan tempat terbaik buat nyuapin anak perihal agama
adalah pondok pesantren. Buktinya udah banyak tokoh-tokoh Indonesia yang sempat
nyantri di pondok pesantren, contohnya; mantan mentri agama Lukman Hakim
Saifuddin yang mana beliau adalah salah satu lulusan pondok pesantren modern
Darussalam Gontor.
Dengan
bayangan bahwa anak mereka bisa menjadi seperti mereka, para orangtua
memasukkan anak mereka ke pondok pesantren.
“Daripada
bandel atau kena pergaluan bebas, mending masuk ke pesantren aja,”
Ucapan di
atas adalah salah satu ucapan yang paling sering saya dengar dari mulut-mulut
orangtua. Dengan dalih tidak ingin anaknya menjadi liar atau kacau karena
pergaulan remaja jaman sekarang, para orangtua seakan mencuci tangan dari
pendidikan anak dan menyerahkan semuanya pada ustad atau ustadzah serta pulang
ke rumah membawa harapan bahwa anak mereka dijamin bersih tanpa dosa membandel.
Kalo semua
orangtua mikirnya kaya gini, peran orangtua dalam membangun sisi rohani anak
apa?
Saya
seringkali mendengar bahwa orangtua terutama ibu adalah madrosah pertama bagi
anak, tapi saya belum pernah mendengar bahwa anak bisa dikeluarkan dari
madrosah pertama mereka. Namun stigma bahwa pondok pesantren adalah tempat
‘penitipan’ anak membenarkan bahwa anak bisa saja keluar dari lingkaran
pendidikan orangtua. Stigma seperti ini memberatkan anak dan pihak pesantren
itu sendiri.
Dari sisi
anak, bisa saja ia berpikir bahwa orangtua mereka ‘membuang’ mereka ke pondok
pesantren karena tidak kuat melihat tingkah laku mereka di rumah. Bila
kenyataannya tingkah laku mereka tidak benar, kenapa berpikir bahwa jika mereka
mondok, maka tingkah laku mereka bisa dipastikan akan menjadi benar?
Lucunya
lagi, jika harapan para orangtua tidak sesuai dengan realita, para pengasuh
pondok pesantren menjadi imbasnya. Dibilang nggak becus didik anak merekalah,
atau dibilang peraturannya nggak ketat, atau dibilang terlalu keras sehingga
anak mereka memberontak, atau ucapan-ucapan bersifat menghakimi yang lainnya.
Di sini
beratnya menjadi pengasuh pondok pesantren, mendidik seorang anak tidaklah
mudah, apalagi menumbuhkan pohon rohani mereka. Tentu hal tersebut membutuhkan
kesabaran, keteguhan dan keikhlasan yang besar. Karena menguatkan sisi rohani
seseorang bukanlah pekerjaan mudah, bahkan bisa saya katakan bahwa meninggikan
sisi rohani seseorang lebh berat daripada meninggikan tinggi badan.
Belajar ilmu
agama sehingga bisa menemukan jalan dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan
bukanlah hanya tugas ustad atau ustadzah, bukanpula hanya tugasnya orangtua dan
anak. Namun, belajar ilmu agama adalah tugas setiap manusia.
Wong, Nabi Muhammad SAWW aja bilang, “طلب العلم فريضة على كل مسلم.” Yang
artinya belajar ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Meski sebagian ulama
memiliki perbedaan dalam menafsirkan kata ‘ilmu’ dalam hadis tersebut, namun
pendapat masyhur mengatakan bahwa ilmu tersebut adalah ilmu agama.
Kalo netizen masih pada bingung dengan apa yang saya tulis, saya cuman
mau bilang kalo pondok pesantren bukanlah laundry berbayar untuk membersihkan
anak-anak dari dosa. Maka saran saya untuk para orangtua adalah berhentilah
berpikir bahwa tempat itu menjamin anak kalian bersih dan jadi alim yang
keluar-keluar pakai peci putih, sarung dan kening hitam. Karena membimbing anak
untuk menemukan jalan menuju Tuhan adalah bagian dari tugas kalian sebagai
orangtua, dan saran saya untuk para anak adalah menguatkan hubungan antara diri
kalian dan Tuhan adalah sebuah kewajiban, jadi hal tersebut hanya bisa
terealisasi jika kalian mempelajari ilmu agama.
Komentar
Posting Komentar