PSH-PART SIX-2021

 


source: pinterest.com/ Sam Alive


Enam

Kemungkinan


“Lo tidak usah ngambil kesimpulan dulu, Laut. Mungkin aja Zia tidak bermaksud kaya gitu,” Hendra mencoba menenangkan pikiran saya yang berserakan.

“Kemungkinan yang lo bilang itu tidak mungkin, Hend.”

“Ya.. terus? Kenapa lo bisa ngambil kesimpulan kaya tadi?”

“Gue ngambil kesimpulan bahwa Zia tidak ada perasaan sama gue ya karena…. Feeling gue bilang gitu, Hend.”

Hendra mengacak-ngacak rambutnya dengan sedikit kesal. “Gue kadang suka bingung sama jalan pikiran lo, Laut. Yang suka baca lo, yang suka nulis juga lo. Tapi kenapa yang waras gue?

“Laut, tidak semua apa yang dianggap dugaan itu benar.”

“Hend, tapi gue yakin apa yang gue duga itu benar. Gue yakin banget kalo selama ini Zia tidak ada perasaan sama gue.”

Meskipun ini hanya dugaan saya, tapi entah kenapa dugaan itu terasa benar adanya. Kemarin setelah Zia melihat raut wajah saya. Ia membuang pandangannya ke arah lain. Zia dan saya sama-sama diam. Dalam diam kami, seolah kami berdebat perihal kejelasan. Sungguh menyakitkan melihat bagaimana Zia hanya bisa diam setelah mengatakan ucapan yang tidak pernah ingin saya dengar. Saya tidak ingin mendengar Zia mengatakan Alia suka pada saya atau siapa pun itu subjeknya karena yang saya ingin adalah nama Zialah yang menjadi subjeknya. Saya ingin mendengar Zia mengatakan aku mencintaimu, Laut.

Jarum pendek menunjukkan pukul tujuh malam. Perut ini belum juga diisi apa pun sejak siang hari. Nafsu makan saya seakan mati ditelan beribu-ribu pertanyaan perihal kemungkinan akan perasaan. Daripada berdiam diri di rumah, saya memilih untuk pergi mengendarai motor. Entah ke mana tujuannya, yang saya butuhkan saat ini adalah angin malam.

Ditemani puluhan kendaraan lain, saya membawa motor itu ke mana pun pikiran ini mengarah. Dalam perjalanan, akal saya masih juga mengobrak-abrik loker kenangan. Memutar semua hal indah yang saya dan Zia ciptakan. Di satu sisi, akal saya mencoba memberi semua kemungkinan yang bisa terjadi, bahkan kemungkinan paling buruk sekali pun. Dan di sisi lain, akal pun memberikan pertanyaan, “Bagaimana jika apa yang kamu takutkan tidak akan pernah menjadi kenyataa? Dan pada akhirnya, Zia pun memiliki perasaan yang sama padamu? Ia mengatakan itu kemarin hanya karena ingin menyembunyikan perasaannya. Bukankah perempuan terlalu malu untuk mengutarakan perasaan? Bagaimana jika saat ini kamu hanya sedang dipermainkan oleh sebuah dugaan? Bagaimana jika ternyata Zia tengah menunggumu untuk menjemput perasaannya? Bagaimana jika saat ini Zia perlahan mundur karena terlalu lama menunggu penjelasan? Bagaimana jika saat ini Zia telah pergi karena terlalu lama menunggu kedatangan? Bagaimana jika saat ini… Zia tengah mengubur perasaannya karena kamu tidak juga menentukan keputusan?

Tapi…

Bagaimana jika selama ini kamu dan dia hanya dipertemukan oleh sebuah kesepian, bukan kebersamaan?

Gemelut pikiran saya membuat saya beberapa kali ditegor oleh para pengendara lain karena hampir menyerempet kendaraan mereka atau menabrak para pejalan. Khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan, saya menepikan motor di trotoar jalan, mengambil nafas sejenak lalu merapat ke sebuah restoran. Kebetulan sedang ada live musik di sana. Restoran dengan nuansa senja itu berhasil menghipnotis para pengunjung. Saya duduk setelah memesan segelas kopi hitam.

Sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan kopi dan segalam macamnya, tapi untuk kali ini, saya biarkan pahitnya kopi hitam mengalahkan manisnya cerita saya dan Zia.

Grup musik yang mengisi restoran itu mulai melantunkan sebuah lagu.

 

Kucoba tuk melupakan

Semua tentang dirimu

Yang selalu menghantui, setiap langkah hidupku.

Semua sesal dalam hati, karena cinta yang kurasa.

Tak terukur dalamnya, sampai saat kau pergi.

Tak terhitung air mata yang jatuh membasahi

Ku tak mampu menahan sakit ini

Terkhianati cinta yang kujalani

Menyakitkan..

Mengapa semua harus terjadi

Di saat begitu dalam cinta ini

Tak ada jalan untuk kembali

 

Dari bisikan para pengunjung, baru saya tahu bahwa grup musik itu bernama Senja dan lagu yang mereka bawakan berjudul Saat Kau Pergi. Mendengar lirik-lirik lagu itu, hati saya menerima dengan suka cita, seolah lirik-lirik itu menjadi wasilah bagi kondisi hati saya saat ini. Tapi, tidak dengan akal, lagi-lagi ia bertentangan dengan hati. Ia menafsirkan lirik-lirik itu sebelum memberitahu saya bahwa lirik-lirik itu tidaklah sama dengan apa yang saya rasakan saat ini.

Karena saat ini saya sedang tidak mencoba melupakan Zia, bahkan saya sedang tidak mencoba melupakan bagaiamana ia tersenyum, tertawa, dan menangis. Saya sedang tidak mencoba melupakan apa pun yang berkaitan dengan Zia. Penyesalan pun belum mendatangi saya karena sampai saat ini semua kemungkinan masih menjadi kemungkinan.

Zia pun belum pergi dari hidup saya. Ia masih di sini, masih di tempat yang sama saat saya memberikan ruang kosong untuknya.

Air mata saya pun belum jatuh karena terasa dikhianati. Tidak. Zia tidak mengkhianati saya. Selama ini saya dan dia menjalani semuanya dengan bahagia. Kami memang belum berjalan di jalan yang sama, tapi setidaknya itu hanya masalah waktu.

Intinya akal saya menolak semua kandungan dalam lirik-lirik tersebut.

Sial! Duduk di sini dan mendengarkan lagu ini hanya memantik api peperangan antara hati dan akal saya semakin besar. Saya pun angkat kaki dari tempat itu, bahkan sebelum kopi hitam saya datang.

Ketika hendak membuka pintu restoran, tanpa sengaja wajah seorang perempuan menabrak dada saya. Ia mengeluh sakit. Merasa bersalah, saya buru-buru memegang keningnya dan mengusap keningnya dan mengatakan, “Maaf, gue tidak sengaja. Lo tidak apa-apa?”

Mata saya melebar saat melihat yang menabrak saya adalah Alia. Ia pun terkejut melihat saya berdiri di depannya dengan tangan yang masih menempel di keningnya. Kami berdua tiba-tiba menjadi pusat perhatian orang-orang. Saya buru-buru melepaskan tangan saya. Wajah Alia tiba-tiba memerah.

“Maaf, Ka Laut. Aku tadi bengong.” Ia berkata seraya menunduk. Ia terlihat lucu jika seperti ini.

“Gue yang salah. Oh ya, lo sama siapa ke sini?”

Alia membalikkan badan dan menunjuk empat orang temannya yang ternyata adalah adik kelas saya di sekolah. Melihat Alia menunjuk ke arah mereka, mereka dengan kompak melambaikan tangan pada saya. Saya mengangguk pelan sambil tersenyum pada mereka.

“Kakak sendirian?”

“Iya.”

“Kirain,” bisiknya pelan sendirian.

“Kirain? Kirain kenapa?”

Ia mendongak memberanikan diri menatap mata saya. “Kirain sama pacarnya,” jawabnya.

Mendengarnya mengatakan pacar dengan nada malu, saya merasa terhibur. Suara lucu dan caranya berbicara terdengar lembut di telinga saya. Saya menggelengkan kepala dan mengatakan, “Gue tidak punya pacar, Alia.”

Setelah mendengar kalimat saya barusan, ekspresi Alia berubah. Ia seolah lebih percaya diri menatap gue. Ia tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya yang menghasilkan lesung pipi yang menggemaskan di pipinya.

“Ko senyum gitu?” tanya saya heran sembari ikut tersenyum.

“Tidak apa-apa. Hanya ingin bertanya satu hal,” balasnya.

Saya menghela sedikit nafas dan memandangnya dalam. “Silakan,” ucap saya.

“Kakak… lagi suka sama seseorang tidak?”

Mendengar pertanyaan itu. Nama Zia mendadak muncul di kepala saya. Saya tidak bisa memungkiri bahwa saya cinta Zia, apalagi suka. Tapi semenjak keraguan itu muncul, saya merasa perasaan ini hanya bersifat sementara dan mungkin saja tidak pernah ada. Saya pun berkata, “Tidak.”

Entah saya harus marah pada diri sendiri karena berbohong pada diri sendiri atau malah berterima kasih karena seolah dengan kata ‘tidak’, saya telah membuang segala kemungkinan dan keraguan.

Alia temangut-mangut mendengar jawaban saya. Senyuman kecil mengembang di wajahnya. Dilihat dari gerak-geriknya, saya mengetahui Alia tertarik pada saya. Tapi sejauh ini, itu hanya prasangka saya, saya tidak berani memutuskan perasaan seseorang.

“Alia,”

“Iya?”

“Bisa ikut saya sebentar?”

“Ke mana, Ka?”

“Nanti juga kamu tahu,”

Alia mengangguk dan mengatakan ia akan berpamitan dulu pada teman-temannya. Saya melihatnya pergi ke teman-temannya. Teman-temannya pun tertawa menggodanya. Saya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku mereka. Ada-ada saja kelakuan adik kelas itu. Alia kembali dengan wajah yang lebih sumringah dan segar.

Saya membawa Alia pergi ke sebuah taman di pinggiran kota. Meskipun sudah memasuki jam sembilan malam, taman ini masih ramai dipenuhi anak-anak kecil yang bermain, beberapa mahasiswa, dan sejoli yang dimabuk asmara. Kami duduk di kursi kayu penuh coretan setelah memesan es krim coklat.

“Alia… makasih ya untuk bukunya,”

Alia menengok sembari memakan es krimnya. Ia menjauhnya es krimnya sebentar lalu mengangguk. “Apa pun asal Ka Laut semangat nulisnya,” jawabnya.

Saya membenarnya posisi duduk saya. “Kamu baca tulisan-tulisan saya?”

Alia mengangguk cepat. “Semuanya.”

“Oh ya?”

“Yap! Aku paling suka cerita pendek penulis toilet. Aku ngerasa kalo Kakak nulis cerita itu tuh dari hati banget,” komentarnya. Suaranya yang lembut terasa hangat ketika memasuki lorong telinga saya. Saya melihat ada kejujuran yang keluar dari dua bola matanya. Ia tidak berbohong ketika mengatakan ia telah membaca tulisan-tulisan saya. Dan entah kenapa… rasanya menyejukkan.

“Tapi kamu kan tahu cerita itu bukan cerita romantis,” balas saya.

“Ya… awalnya sih cukup kesel karena Ka Laut kalo nulis cerita atau puisi selalu berbau thriller atau horror. Tapi aku memaklumi karena setiap penulis punya kenikmatannya sendiri dalam menulis. Mungkin dengan menulis cerita thriller atau horror, Ka Laut sedang membebaskan diri Kakak sendiri. Itu sih menurut aku, ya.”

“Kamu bener, Alia.”

“Hah?”

“Iya. Setiap penulis memang punya dunianya sendiri.”

“Kakak tidak mau coba nulis cerita romantis?”

Saya tersenyum mendengar nada bertanyanya. Saya menggelengkan kepala, “Sejauh ini belum, bukan tidak mau.”

“Kenapa? Belum punya inspirasi?”

“Tidak, bukan itu alasannya. Hanya saja---“

“Aku mau ko jadi inspirasinya Ka Laut.”

Untuk perkataannya kali ini, saya sukses dibuat diam tanpa suara. “Ini salah satu alasan kenapa saya mengajakmu ke sini, Alia. Saya ingin bertanya satu hal.” Selepas perkataan saya barusan, saya melihat Alia mulai salah tingkah. Sepertinya ia sudah tahu arah tujuan percakapan ini.

“Apa kamu ada perasaan lebih pada saya?”

“Aku…”

“Saya ingin kamu jujur, Alia.”

Untuk beberapa saat, keheningan menyelimuti kami berdua. Malam seolah memberikan ruang untuk saling membuyarkan perasaan. Sejenak saya melihat bibir Alia bergetar.

“Maaf, Kak,” ia mulia bersuara, “maaf karena aku sudah jatuh cinta sama Kakak. Semenjak aku baca tulisan-tulisan Kakak, aku merasa tulisan Kakak adalah ruang untuk Kakak bercerita. Tidak ada yang menempati ruang itu selain Kakak dan bodohnya aku adalah aku memberanikan diri untuk mengetuk ruang itu. Aku udah berusaha nahan perasaan ini, tapi setiap melihat Kakak, aku tahu kalo perasaan aku semakin besar. Aku juga tahu kalo Kakak sudah jatuh cinta sama perempuan lain.”

“Alia…” saya mengambil tangannya dan menggenggamnya.

“Aku tahu kalo Kakak tuh sayang sama Kak Zia. Aku udah sadar tentang itu sejak lama.” Saya lihat matanya mulai berkaca-kaca dan sedetik kemudian air sungai itu mengalir membasahi pipinya. “Maaf, Kak. Maaf karena aku sudah biarin diri aku jatuh cinta sama Kakak. Maaf  karena aku---“

“Udah, ya. Udah.” Saya menarik tubuhnya ke dalam pelukan saya, membiarkan butiran air matanya membasahi dada saya. Saya tidak berani berbicara apa-apa, takut perkataan saya malah menyakitinya terlalu dalam. Biarkan pelukan ini yang menjadi wasilah permintaan maaf saya.

Meskipun saya belum terlalu lama mengenal Alia, tapi saya dapat mengetahui bahwa perasaannya pada saya sangat tulus. Karena bagi saya, air matanya adalah bukti bahwa ia tidak main-main dengan perasaannya. Tapi, Alia… saya minta maaf karena tidak bisa membalas perasaanmu. Kamu benar, ruang hati saya memang saya sediakan untuk Zia. Walaupun sejauh ini saya sendiri tidak tahu apakah Zia rela memasuki ruang itu lalu menetap.

Urusan perasaan memang tidak semudah membalikkan tangan.

Selepas mengantar Alia pulang ke rumah, saya undur diri dan bergegas pulang. Sesampainya di sana, ternyata Hendra sudah duduk di teras rumah seraya menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Seperti kilatan petir, Hendra tiba-tiba berkata, “Sudah selesai urusan lo dengan Alia?”

Saya menghampirinya dan duduk di depannya. “Tau dari mana lo?”

Hendra meletakkan rokoknya di asbak lalu menegak sedikit kopi hitamnya. “Dari anak-anak sekolah.”

“Ko bisa?”

Hendra menghela nafas lalu berkata, “Lo jangan nyalahin Alia. Dia gak salah apa-apa. Teman-temannya yang nyebarin berita tentang penolakan lo di grup sekolah.”

“Itu artinya Zia…”

Hendra mengangguk. “Zia juga udah tahu kabar ini.”

Seakan perlu melakukan pembelaan, saya kembali mengambil kunci motor dan pergi menuju rumah Zia. Awalnya Hendra bersikeras menahan karena ini sudah tengah malam. Ada kemungkinan Zia sudah tenggelam dalam mimpinya, kalau pun ia belum tidur, maka kurang etis bila seseorang bertamu di waktu sekarang ini. Tapi saya tetap bersikeras untuk pergi.

Kepala saya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang saya harap tidak terjadi. Sebelum sampai rumah Zia, saya melihat Zia sedang berbincang dengan seorang lelaki di depan rumahnya. Ia terlihat senang saat itu. Dengan memberanikan diri, saya menghampirinya setelah memarkirkan motor di tempat yang cukup jauh.

“Laut?”

“Hai.”

“Hai.”

Kini saya mampu melihat jelas lelaki di depannya tadi. Memiliki postur tubuh besar dan tegak, alis tebal, rahang kuat dan hidung mancung, saya mengambil kesimpulan lelaki ini adalah salah satu gambaran lelaki populer di sekolah atau kampus.

“Kamu ngapain malam-malam ke sini?” tanyanya dengan nada heran.

“Gue mau jelasin soal---“

“Oh, ya, sampai lupa. Laut, ini Bara, mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia. Bara, ini Laut, teman aku di sekolah.”

Lelaki bernama Bara itu menjulurkan tangannya dan saya menyambutnya. Genggaman Bara cukup tegas, sepertinya ia lelaki yang rajin berolahraga. Belum satu menit saya berada di sana, Bara pamit pada Zia. Yang membuat dada saya sesak adalah bagaimana Bara dengan lembutnya mencium kening Zia sebelum pergi mengendarai mobilnya.

Kini hanya saya dan Zia. Bulan memberikan secercah cahaya untuk kami berdua.

“Zia, gue mau ngomong sesuatu sama lo.” Saya kembali fokus pada apa yang saya hendak sampaikan sedaritadi.

“Laut,  ngobrolnya bisa besok aja, gak? Pas di sekolah… pliss,” ucapnya memohon.

“Zia, tapi ini penting buat gue,”

Zia mendekati gue dan menarik tangan gue lalu ia pun mengajak gue duduk di teras rumahnya.

“Kamu mau ngomong apa?”

“Gue mau jelasin soal---“

“Alia?” ia menyela. Ia meletakkan tangannya di pipi kiri saya, mengusapnya sebelum berkata, “Laut, aku gak ambil pusing masalah itu. Aku pun cemburu, marah atau sedih.” Kini ucapannya mulai mengobrak-abrik isi kepala saya. “Karena sedari awal aku tidak memiliki perasa—“

“Stop!” Saya menepis tangannya lalu bangkit dari kursi. Sial! Jangan sampai saya mendengar kelanjutan ucapannya. Saya tidak ingin mendengar itu! Tidak!

Saya berjalan cepat menuju gerbang rumah. Zia menyusul seraya berusaha menarik pergelangan tangan saya.

“Laut! Tunggu dulu! Biar aku jelasin!”

Saya menoleh dan membalikkan badan, menatapnya penuh kebingungan. “Lo mau jelasin apa?!”

Ia sempat tersentak mendengar nada keras saya. Tapi seharusnya itu wajar karena saat ini saya seolah dibiarkan jatuh ke lubang yang dalam. Beberapa detik kemudian saya lihat air matanya sudah mengalir. Ini kedua kalinya saya melihat perempuan menangis dalam satu malam. Apakah air mata selalu menjadi senjata kaum Hawa?

“Laut… aku tahu kamu marah sama aku. Aku tahu kamu kecewa sama aku karena aku gak bisa balas perasaan kamu. Sebelumnya aku minta maaf. Tapi… yang perlu kamu tahu, aku bersyukur kamu ada dalam hidup aku. Sejujurnya, aku ngerasa nyaman sama kamu, Laut.”

“Ya tapi kenapa, Zia? Kenapa lo gak bisa balas perasaan gue?! Gue cinta sama lo, Zia. Cinta!”

Air matanya semakin deras berjatuhan. Ia berjalan mendekati saya. Sembari menunduk ia berkata, “Cinta gak bisa dipaksa, Laut. Dan lebih dari itu… nyaman gak selalu mengartikan perasaan. Aku udah jatuh cinta sama orang lain.”

Dan selesai sudah semua harapan yang tumbuh dalam tubuh ini. Tidak lagi ada kata ‘kita’ yang mengikat saya dan Zia. Semua pertanyaan perihal perasaan ini kini terjawab dengan rasa sakit. Zia berhasil menerbangkan saya ke awan dengan segala sikap manisnya selama ini, terlebih dengan ciuman manis yang bibir kami ciptakan. Tapi Zia juga berhasil membiarkan saya jatuh remuk ke tanah dengan sebuah pengakuan bahwa cintanya telah ia berikan untuk orang lain. Tidak perlu ditanya lagi, orang itu adalah Bara.

Sekarang saya mengerti bagaimana perasaan Alia. Penolakan memang melahirkan kekecewaan, kehancuran dan kehampaan. Rasa sakit yang saya rasakan sekarang sejatinya tidak akan lahir bila saya tidak memberikan harapan lebih pada Zia. Sial! Lagi-lagi karena harapan!

Tanpa mengucap apa pun lagi, saya pergi meninggalkan Zia. Cukup bagi saya merasakan sakit hati. Saya tahu, ini tidak sepenuhnya salah Zia. Saya yang terlalu merasa bahwa hubungan ini akan menemukan titik terangnya. Saya yang terlalu percaya bahwa Zia memiliki perasaan yang sama. Dan kini semuanya telah selesai.

***

“Kak Laut, aku mau ngomong sesuatu.”

Alia menarik kursi dan duduk di depan saya, membuat saya harus menutup buku yang sedang saya baca. Pasti Hendra yang memberitahu Alia bahwa saya sedang ada di perpustakaan. Saya memandang wajah Alia, melemparkan senyuman.

“Silakan.”

“Kak, aku mau minta maaf soal kehebohan hari ini.”

Benar juga. Pagi ini saya memang disambut oleh sindiran murid-murid sekolah karena dianggap sok jual mahal. Tidak lain ini adalah buntut dari penolakan saya terhadap perasaan Alia. Tanpa tahu duduk persoalannya, mereka mencap saya dengan berbagai macam label negatif. Saya tidak terlalu memedulikannya karena isi kepala saya sedang kusut seperti benang.

Saya bangkit dari kursi setelah mengatakan pada Alia bahwa ia tidak perlu mencemaskan saya. Malah saya yang meminta maaf padanya karena telah menyakiti perasaannya.

“Kita masih bisa temenan, kan, Kak?”

Mendengar pertanyaan polos itu, saya sedikit tertawa lalu sedikit mengacak rambut Alia sebelum berkata, “Masih, Alia.”

Biasanya, jika sedang pusing atau bingung pada diri sendiri, saya memilih untuk pergi ke toko buku. Meskipun toko buku kakek Zia sempat tebersit di kepala saya, tapi saya enggan untuk pergi ke sana. Untuk apa pergi ke tempat yang hanya mengingatkan kita pada sosok orang yang kita cintai? Bukankah itu sebuah kebodohan?

Hendra sempat menawarkan diri untuk menemani, meski saya tahu itu hanya alibinya agar tidak ikut pelajaran. “Gue mau sendiri dulu, Dra.”

Tanpa peduli ada yang melaporkan saya ke kantor guru karena bolos hari ini, saya tetap pergi mengelilingi Jakarta, sembari mencari toko buku baru yang belum sempat saya kunjungi.

Tibalah saya di sebuah toko buku daerah Menteng. Tempatnya tidak terlalu besar dan kecil. Uniknya adalah tempat ini memberikan saya nuansa yang berbeda dari toko buku lainnya. Seolah ada daya magnet yang menarik saya untuk masuk dan tidak pernah keluar dari toko ini. Dengan nuansa Jogja, cukup bagi orang-orang untuk mampir.

Sejujurnya, saya tidak sedang ingin membeli sebuah buku, meskipun daftar novel yang saya ingin beli sudah tertulis rapih di kamar saya. Tapi tidak apa, mencium aroma buku saja sudah membahagiakan saya. Mata saya dengan cermat menyapu setiap sudut toko buku ini. Dan… itu dia! Novel A Little Life karya Hanya Yanagihara, salah satu novel yang tidak henti-hentinya dibicarakan orang-orang. Meskipun novel itu berbahasa Inggris, peminatnya pun cukup banyak.

Kira-kira berapa harga novel itu, ya?

“Aduh,” ucap saya dan seorang perempuan bersamaan. Kening saya sempat bertubrukan dengan kepalanya ketika saya hendak mengambil novel itu.

Saya mengusap kening saya yang terasa nyeri.

“Maaf. Kamu gak papa?” perempuan itu bertanya.

Saya mengangguk dan balik bertanya, “Mba sendiri?”

Bukannya menjawab, ia malah tertawa pelan.

“Ko malah ketawa, Mba?”

“Memangnya aku setua itu sampai harus dipanggil ‘mba’?”

Saya menoleh ke arahnya. Perempuan dengan rambut pendek hitam, bibir tipis dan pipi tembam itu mengembangkan senyuman. Tidak pernah saya lihat senyuman semanis itu, bahkan dari Zia sekalipun. Senyuman itu tidak hanya manis, tapi juga indah.

“Halo?” ia menepuk pundak saya, menyadarkan saya dari lamunan pendek. Saya memejamkan mata sambil menoleh ke sudut lain. Aduhhh, malu deh, hardik saya dalam hati.

“Suka baca novel juga?” tanyanya.

Saya mengangguk.

“Sukanya genre apa?”

“Apa aja.”

“Berarti suka novel romantis juga?”

“Gak.”

“Loh? Katanya tadi suka genre apa aja.”

“Kecuali romantis.”

“Kenapa?”

Ditembaki beberapa pertanyaan, saya langsung pergi keluar toko buku. Motor saya menepi di pinggir jalan. Saya hanya ingin rehat sejenak. Kenapa semua hal di dunia ini menjadi rumit? Apa sebenarnya isi kepala ini saja yang membuatnya rumit, sedangkan kenyataannya sangat sederhana? Kenapa manusia kerapkali merumitkan hal?

Setelah memesan segelas es teh manis. Huft, seolah matahari berada lurus di kepala saya. Saking panasnya, es teh manis itu habis dalam beberapa tegakan.

“Haus?”

Saya menengok dan mendapati perempuan tadi sudah ada duduk di samping saya. Malas menanggapi, saya berjalan pergi. Ternyata perempuan tadi mengikuti dari belakang. Tanpa basa-basi, saya membalikkan badan dan bertanya, “Lo ngapain si ngikutin gue?”

Dan tanpa menjawab pertanyaan saya, ia berjalan melewati saya. Mata saya mengikutinya sampai saya mendapati ia bertemu dengan seseorang. Mereka pun berdua berbincang untuk beberapa menit sebelum temannya kembali pergi. Perempuan itu berjalan mendekati saya.

“Aku gak ikutin kamu, ko.”

Sial! Mau ditaruh dimana muka saya? Ucap saya dalam hati.

“Lagi ada masalah, ya?”

Saya mengernyitkan kening seolah bertanya bagaimana ia bisa tahu.

“Kelihatan dari mukanya. Kusut,” tambahnya.

Tanpa memedulikan ucapannya, saya beranjak pergi. Dasar perempuan aneh, ucap saya dalam hati.

***

“Laut, aku ngomong sama kamu.”

“Gue gak ada waktu.”

“Laut, kamu gak bisa bersikap kaya gini.”

“Bersikap kaya gimana?”

“Ya… bersikap seolah semuanya harus ikutin mau kamu.”

“Zia, gue bersikap kaya gini karena gue cinta sama lo.”

“Laut, kita hidup di dunia nyata. Kadang kita cinta sama seseorang yang belum tentu mencintai kita balik. Itu memang menyakitkan, tapi itu adalah kenyataan.”

Saya menggelengkan kepala. “Gue makin gak ngerti sama jalan pikiran lo.”

“Ikut aku, sebentar,” ucapnya sembari menarik pergelangan tangan gue.

“Ke mana?”

“Udah, ikut aja!” seru Zia sambil beranjak pergi.

Dengan sedikit paksaan, saya pun menuruti keinginannya untuk pergi. Kami berdua pergi menggunakan motor saya. Meski saya sedang kesal dengan dia, tapi saya juga tidak enak bila ia yang mengendari motor dan saya duduk di belakang. Alhasil, mau tidak mau saya yang mengendarai dan dia yang memberikan petunjuk ke mana harus pergi.

“Berhenti di sini,” ucap Zia.

Saya memarkirkan motor di satu bangunan kosong. Ia mengajak saya untuk naik ke lantai paling atas. Ternyata di sana sudah ada kursi panjang dengan satu meja bundar kecil. Ia meminta saya duduk.

“Kita mau ngapain si?”

“Duduk dulu.”

Saya tidak lagi ingin bertanya. Saya hanya mengikuti kemauannya. Kami berdua duduk menghadap langit sore.

“Laut, kamu tahu dunia tidak berputar untuk kita saja, kan?”

“Iya.”

“Ada banyak hal di dunia ini yang sulit dipahami oleh akal, termasuk cinta.” Ia mulai memalingkan wajahnya ke arah saya. “Sejak mengenal kamu, aku lebih mengenal apa itu kebahagiaan, kenyamanan dan kesederhanaan. Sejak mengenal kamu, aku tidak takut kesepian. Meskipun orangtua aku jauh, aku tidak pernah takut melangkah. Itu karena aku tahu ada kamu di samping aku.”

“Lo terlalu banyak nonton drama,” balas saya. Saya yang tadinya hendak pergi, memberhentikan langkah karena Zia memanggil saya dengan suara paraunya.

“Laut, aku gak sebaik apa yang kamu pikir. Kita mungkin hanya sedang diselimuti kebahagiaan sementara, hingga pada akhirnya kita akan saling berpisah karena pada kenyataanya…. Kita memang gak saling cinta.”

Saya kembali duduk dan menatap mata Zia.

“Zia, gue gak pernah main-main sama yang namanya perasaan. Gue udah jujur sama perasaan gue kalo gue cinta sama lo. Gue mau ada terus di samping lo. Gue mau jadi orang pertama yang lo butuhin. Gue mau jadi orang pertama yang terlintas di kepala lo saat lo ingin berbagi. Gue cinta sama lo, Zia. Cinta!”

Zia berusaha tersenyum meski saya lihat matanya mulai memerah.

“Kalo selama ini nyaman aja gak cukup buat lo. Kasih gue waktu biar gue bisa buktiin kalo gue serius sama lo.”

“Laut, kenapa si kamu pengen banget aku punya perasaan yang sama kaya kamu?”

“Ya karena gue gak bisa perjuangin hubungan ini sendirian, Zia. Hubungan itu dibangun oleh dua pihak, dan diperjuangin juga oleh dua pihak.”

“Dan kamu tahu kalo aku gak bisa lakuin itu semua.” Ia menghela nafas. Ia menarik tangan saya, menggenggamnya erat lalu berkata, “Laut, aku gak mau kamu nyakitin diri kamu sendiri. Dan… mulai sekarang, aku mau kamu lupain semua hal yang pernah terjadi di antara kita. Aku mau kamu mencintai seseorang yang juga cinta sama kamu. Aku mau kamu----“

“Cukup!” Saya bangkit, menarik tangan saya dari genggamannya lalu berkata, “sekarang terserah lo. Gue gak peduli lagi sama lo.”

Saya berlari menuruni tangga dan pergi meninggalkan tempat itu. Saya tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Bagi saya, semuanya sudah berantakan dan tidak perlu lagi dirapihkan.

***

Selepas kejadian itu, saya dan Zia berubah menjadi orang asing yang tidak saling mengenal. Lebih tepatnya, saya tidak lagi ingin mengenal atau masuk ke dunia Zia. Karena semakin saya masuk, saya hanya semakin kecewa. Berhari-hari saya lewatkan dengan sikap seperti itu. Meskipun berusaha tidak peduli pada orang yang kita cintai rasanya menyakitkan. Saya seolah dipaksa untuk berlari sejauh mungkin hanya karena ingin melupakan.

Sampai berita itu datang pada saya. Saat itu, saya sedang membaca buku di perpustakaan sekolah. Hendra duduk di samping saya.

“Sudah tau kabar terbaru?”

“Tidak minat.”

“Yakin?”

“Kalo lo mau ganggu gue baca, mending lo cabut.”

“Ya udah,” Hendra bangkit. Sebelum melangkah pergi, ia menepuk pundak saya dan berkata, “Oh ya, mulai sekarang, lo gak perlu lagi pura-pura gak peduli sama Zia. Karena orangnya udah pergi.”

Saya menengok dan memandang Hendra seakan meminta penjelasan lebih. Hendra membalas pandangan saya dengan heran. “Kenapa? Ko kaya kaget gitu? Kirain udah gak peduli lagi.”

“Maksud lo pergi?” saya bertanya dengan nada cukup tinggi sampai beberapa murid menegur. Tidak ingin ada keramaian di perpustakaan, saya bangkit dan menarik Hendra keluar.

“Zia pergi ke mana?”

“Dia pindah sekolah. Dia nyusul orangtuanya di Jerman.”

Mendadak rasa bersalah karena telah mengucapkan kata-kata pedas di pertemuan terakhir saya dan zia menyelimuti dada saya. Benar kata Hendra, saya sudah tidak perlu lagi pura-pura tidak peduli padanya. Namun, rasa sayang tetaplah rasa sayang. Ketidakpedulianmu pada orang yang kamu cintai hanya menyakiti dirimu sendiri. Saat saya hendak berlari menuju lapangan parkir, Hendra menahan saya.

“Kalo lo mau nyusul Zia ke rumahnya, lo telat. Dia udah berangkat tadi pagi. Dan…” Hendra mengeluarkan sepucuk surat dari kantongnya, “dia nitip ini buat lo.”


Teruntuk Laut


Dalam keadaan yang kacau ini, sebetulnya tidak baik bila aku tetap mengirimu surat. Tapi, aku tidak ingin pergi tanpa mengabari. Meskipun kamu akan berkata bahwa surat ini tidak mewakili ucapan perpisahan, tapi bagiku surat ini sudah lebih dari cukup untuk mengutarakan perasaaan.

Laut, mengenalmu adalah salah satu warna baru dalam hidupku. Kupikir duniaku akan kujalani dengan rasa bosan dan kesedihan. Entah karena apa, mungkin semesta yang menjadikanku seperti ini. Sampai suatu hari aku mengenalmu. Terbilang lucu memang, karena aku dengan bodohnya memberanikan diri untuk berteman denganmu.

Sungguh, tidak pernah ada penyesalan yang hinggap dalam diriku sejak aku mengenalmu. Duniaku seakan berubah menjadi lebih cerah. Terlebih saat aku tahu bahwa kamu adalah pecinta novel. Tulisan-tulisanmu sudah sepatutnya berlayar lebih jauh daripada hanya sekedar dibaca oleh murid-murid sekolah. Lebih dari itu, Laut! Dunia harus tahu bahwa kini sudah ada penulis hebat dari Indonesia bernama Laut, penulis yang tidak hanya menulis kata-kata, tapi juga menciptakan nyawa.

Setiap berada di dekatmu, aku merasa berada di samping orang yang tepat. Bagaimana caramu berkata padaku, bersikap padaku dan memberi perhatian padaku. Semua itu melahirkan kenyamanan.

Tapi, maaf, nyaman itu tidak melahirkan perasaan lebih. Nyaman itu cukup membuatku memberikan suatu ruang untukmu dalam hidup ini. Dari dulu aku juga tahu, bahwa akan tiba hari di mana kita tidak lagi bisa menjalani hari dengan hubungan seperti ini. Dengan kata lain, salah satu dari kita pasti akan meminta penjelasan. Dan itu terbukti dari pernyataanmu malam itu.

Bila kamu bertanya, apakah aku cemburu saat mengetahui Alia menyatakan perasaannya padamu, maka aku akan menjawab, iya. Aku memang cemburu, Laut. Aku pikir kamu akan pergi dan berlayar bersama Alia. Tapi.. saat aku mendengar  kamu menolak perasaannya, ikatan yang mengekang dadaku mendadak hilang. Sesaat kupikir mungkin aku telah jatuh cinta padamu, tapi pikiran itu juga hilang dalam beberapa detik. Bukannya aku tidak membiarkan diriku jatuh cinta padamu. Tapi karena dari awal pun aku tahu hubungan ini tidak bisa berlanjut seperti maumu.

Laut, jangan kamu kira aku tidak tersiksa. Tidak, Laut. Aku pun merasakan yang sama. Aku merasa sakit saat aku bangun dari tidur dan sadar bahwa semua telah berubah. Kamu yang pergi dari hidupku, dan aku yang tidak lagi mengenalmu.

Setelah pertemuan terakhir kita, tidak pernah aku tidak menangis setiap malam. Pun bulan dan bintang menjadi saksi buta air mataku yang jatuh ke permukaan. Kuratapi setiap kesalahan yang kuperbuat. Kutanya pada diriku sendiri, “Kenapa aku tidak bisa jatuh cinta pada lelaki sebaikmu?”

Namun, kuyakinkan diriku sendiri bahwa kita telah melangkah di jalan yang berbeda. Semesta seolah menamparku setiap malam dan mengatakan, “Lupakan Laut! Dia sudah tidak lagi peduli padamu!”

Dan begitulah saat ini. Aku memutuskan untuk pergi ke Jerman, mengobati rinduku pada orangtua, pun agar bisa cepat melupakanmu. Tak apa, ini juga bisa berdampak baik untukmu. Dengan kepergianku, kamu bisa lebih cepat sembuh dan menemukan perempuan lain, perempuan yang bisa memberikanmu kejelasan.

Oh ya, bila kamu bertanya perihal Bara. Dia bukan pacarku. Dia adalah abang tiriku. Ibunya adalah istri pertama ayahku. Ibunya sudah meninggal saat ia kecil. Ayahku sempat mengajaknya untuk ke Jerman, tapi ia memilih untuk menetap di Indonesia. Mungkin agar ia bisa lebih dekat dengan pusara ibunya.

Untuk penutup, aku meminta maaf atas semua kesalahan yang kubuat. Maaf, selamanya cerita kita tidak akan pernah bisa dimulai. 

Laut, terima kasih atas segala kebahagiaan yang kamu ciptakan. Tetaplah menulis hingga kulihat namamu terpampang di rak hijau toko buku, bersanding dengan penulis-penulis kebanggaanmu. Kalahkan mas Eka Kurniawan, mba Leila Chudori, bahkan eyang Pram sekalian. Tulisan-tulisanmu berhak mendapatkan pengakuan dari dunia, bahkan Tuhan.

 

Zia

 

Saya menutup surat itu dengan rasa yang campur aduk. Saya bingung harus berkata dan bersikap apa. Surat ini seolah menampar keras saya. Rasa bersalah semakin menggerogoti dada dan kepala saya. Saya meremukkan surat itu dan membuangnya ke sembarang tempat. Hendra hanya bisa diam melihat saya seperti itu. 

Percayalah, saat itu saya merasa hancur. Kenapa jatuh cinta serumit ini? 

Saya sempat mengingat mimpi saya waktu itu. Di mana saya seolah berada di tengah lautan dan berdiri di atas sebuah perahu. Sepertinya mimpi itu kini telah menjadi kenyataan. 

Mungkinkah suatu hari Zia akan kembali? Bukankah setiap yang pergi belum tentu kembali? Dan satu lagi… Zia berharap saya menemukan perempuan lain? Saya tertawa gila lalu berkata dalam hati, “Jatuh cinta tidak semudah itu, Zia.”


Komentar

Postingan Populer