PSH-PART SIX-2021
source: pinterest.com/ Sam Alive
Enam
Kemungkinan
“Lo tidak usah ngambil kesimpulan
dulu, Laut. Mungkin aja Zia tidak bermaksud kaya gitu,” Hendra mencoba
menenangkan pikiran saya yang berserakan.
“Kemungkinan yang lo bilang itu
tidak mungkin, Hend.”
“Ya.. terus? Kenapa lo bisa ngambil
kesimpulan kaya tadi?”
“Gue ngambil kesimpulan bahwa Zia
tidak ada perasaan sama gue ya karena…. Feeling gue bilang gitu, Hend.”
Hendra mengacak-ngacak rambutnya
dengan sedikit kesal. “Gue kadang suka bingung sama jalan pikiran lo, Laut.
Yang suka baca lo, yang suka nulis juga lo. Tapi kenapa yang waras gue?
“Laut, tidak semua apa yang dianggap
dugaan itu benar.”
“Hend, tapi gue yakin apa yang gue
duga itu benar. Gue yakin banget kalo selama ini Zia tidak ada perasaan sama
gue.”
Meskipun ini hanya dugaan saya, tapi
entah kenapa dugaan itu terasa benar adanya. Kemarin setelah Zia melihat raut
wajah saya. Ia membuang pandangannya ke arah lain. Zia dan saya sama-sama diam.
Dalam diam kami, seolah kami berdebat perihal kejelasan. Sungguh menyakitkan
melihat bagaimana Zia hanya bisa diam setelah mengatakan ucapan yang tidak
pernah ingin saya dengar. Saya tidak ingin mendengar Zia mengatakan Alia suka
pada saya atau siapa pun itu subjeknya karena yang saya ingin adalah nama
Zialah yang menjadi subjeknya. Saya ingin mendengar Zia mengatakan aku
mencintaimu, Laut.
Jarum pendek menunjukkan pukul tujuh
malam. Perut ini belum juga diisi apa pun sejak siang hari. Nafsu makan saya
seakan mati ditelan beribu-ribu pertanyaan perihal kemungkinan akan perasaan.
Daripada berdiam diri di rumah, saya memilih untuk pergi mengendarai motor.
Entah ke mana tujuannya, yang saya butuhkan saat ini adalah angin malam.
Ditemani puluhan kendaraan lain,
saya membawa motor itu ke mana pun pikiran ini mengarah. Dalam perjalanan, akal
saya masih juga mengobrak-abrik loker kenangan. Memutar semua hal indah yang
saya dan Zia ciptakan. Di satu sisi, akal saya mencoba memberi semua
kemungkinan yang bisa terjadi, bahkan kemungkinan paling buruk sekali pun. Dan
di sisi lain, akal pun memberikan pertanyaan, “Bagaimana jika apa yang kamu
takutkan tidak akan pernah menjadi kenyataa? Dan pada akhirnya, Zia pun
memiliki perasaan yang sama padamu? Ia mengatakan itu kemarin hanya karena
ingin menyembunyikan perasaannya. Bukankah perempuan terlalu malu untuk
mengutarakan perasaan? Bagaimana jika saat ini kamu hanya sedang dipermainkan
oleh sebuah dugaan? Bagaimana jika ternyata Zia tengah menunggumu untuk
menjemput perasaannya? Bagaimana jika saat ini Zia perlahan mundur karena
terlalu lama menunggu penjelasan? Bagaimana jika saat ini Zia telah pergi
karena terlalu lama menunggu kedatangan? Bagaimana jika saat ini… Zia tengah
mengubur perasaannya karena kamu tidak juga menentukan keputusan?
Tapi…
Bagaimana jika selama ini kamu dan
dia hanya dipertemukan oleh sebuah kesepian, bukan kebersamaan?
Gemelut pikiran saya membuat saya
beberapa kali ditegor oleh para pengendara lain karena hampir menyerempet
kendaraan mereka atau menabrak para pejalan. Khawatir terjadi hal yang tidak
diinginkan, saya menepikan motor di trotoar jalan, mengambil nafas sejenak lalu
merapat ke sebuah restoran. Kebetulan sedang ada live musik di sana.
Restoran dengan nuansa senja itu berhasil menghipnotis para pengunjung. Saya
duduk setelah memesan segelas kopi hitam.
Sebenarnya saya tidak terlalu suka
dengan kopi dan segalam macamnya, tapi untuk kali ini, saya biarkan pahitnya
kopi hitam mengalahkan manisnya cerita saya dan Zia.
Grup musik yang mengisi restoran itu
mulai melantunkan sebuah lagu.
Kucoba tuk
melupakan
Semua tentang
dirimu
Yang selalu
menghantui, setiap langkah hidupku.
Semua sesal
dalam hati, karena cinta yang kurasa.
Tak terukur
dalamnya, sampai saat kau pergi.
Tak terhitung
air mata yang jatuh membasahi
Ku tak mampu
menahan sakit ini
Terkhianati
cinta yang kujalani
Menyakitkan..
Mengapa semua
harus terjadi
Di saat begitu
dalam cinta ini
Tak ada jalan
untuk kembali
Dari bisikan para pengunjung, baru
saya tahu bahwa grup musik itu bernama Senja dan lagu yang mereka bawakan
berjudul Saat Kau Pergi. Mendengar lirik-lirik lagu itu, hati saya menerima
dengan suka cita, seolah lirik-lirik itu menjadi wasilah bagi kondisi hati saya
saat ini. Tapi, tidak dengan akal, lagi-lagi ia bertentangan dengan hati. Ia
menafsirkan lirik-lirik itu sebelum memberitahu saya bahwa lirik-lirik itu
tidaklah sama dengan apa yang saya rasakan saat ini.
Karena saat ini saya sedang tidak
mencoba melupakan Zia, bahkan saya sedang tidak mencoba melupakan bagaiamana ia
tersenyum, tertawa, dan menangis. Saya sedang tidak mencoba melupakan apa pun
yang berkaitan dengan Zia. Penyesalan pun belum mendatangi saya karena sampai
saat ini semua kemungkinan masih menjadi kemungkinan.
Zia pun belum pergi dari hidup saya.
Ia masih di sini, masih di tempat yang sama saat saya memberikan ruang kosong
untuknya.
Air mata saya pun belum jatuh karena
terasa dikhianati. Tidak. Zia tidak mengkhianati saya. Selama ini saya dan dia
menjalani semuanya dengan bahagia. Kami memang belum berjalan di jalan yang
sama, tapi setidaknya itu hanya masalah waktu.
Intinya akal saya menolak semua
kandungan dalam lirik-lirik tersebut.
Sial! Duduk di sini dan mendengarkan
lagu ini hanya memantik api peperangan antara hati dan akal saya semakin besar.
Saya pun angkat kaki dari tempat itu, bahkan sebelum kopi hitam saya datang.
Ketika hendak membuka pintu
restoran, tanpa sengaja wajah seorang perempuan menabrak dada saya. Ia mengeluh
sakit. Merasa bersalah, saya buru-buru memegang keningnya dan mengusap
keningnya dan mengatakan, “Maaf, gue tidak sengaja. Lo tidak apa-apa?”
Mata saya melebar saat melihat yang
menabrak saya adalah Alia. Ia pun terkejut melihat saya berdiri di depannya
dengan tangan yang masih menempel di keningnya. Kami berdua tiba-tiba menjadi
pusat perhatian orang-orang. Saya buru-buru melepaskan tangan saya. Wajah Alia
tiba-tiba memerah.
“Maaf, Ka Laut. Aku tadi bengong.”
Ia berkata seraya menunduk. Ia terlihat lucu jika seperti ini.
“Gue yang salah. Oh ya, lo sama
siapa ke sini?”
Alia membalikkan badan dan menunjuk
empat orang temannya yang ternyata adalah adik kelas saya di sekolah. Melihat
Alia menunjuk ke arah mereka, mereka dengan kompak melambaikan tangan pada
saya. Saya mengangguk pelan sambil tersenyum pada mereka.
“Kakak sendirian?”
“Iya.”
“Kirain,” bisiknya pelan sendirian.
“Kirain? Kirain kenapa?”
Ia mendongak memberanikan diri
menatap mata saya. “Kirain sama pacarnya,” jawabnya.
Mendengarnya mengatakan pacar dengan
nada malu, saya merasa terhibur. Suara lucu dan caranya berbicara terdengar lembut
di telinga saya. Saya menggelengkan kepala dan mengatakan, “Gue tidak punya
pacar, Alia.”
Setelah mendengar kalimat saya
barusan, ekspresi Alia berubah. Ia seolah lebih percaya diri menatap gue. Ia
tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya yang menghasilkan lesung pipi yang
menggemaskan di pipinya.
“Ko senyum gitu?” tanya saya heran
sembari ikut tersenyum.
“Tidak apa-apa. Hanya ingin bertanya
satu hal,” balasnya.
Saya menghela sedikit nafas dan
memandangnya dalam. “Silakan,” ucap saya.
“Kakak… lagi suka sama seseorang
tidak?”
Mendengar pertanyaan itu. Nama Zia
mendadak muncul di kepala saya. Saya tidak bisa memungkiri bahwa saya cinta
Zia, apalagi suka. Tapi semenjak keraguan itu muncul, saya merasa perasaan ini
hanya bersifat sementara dan mungkin saja tidak pernah ada. Saya pun berkata,
“Tidak.”
Entah saya harus marah pada diri
sendiri karena berbohong pada diri sendiri atau malah berterima kasih karena
seolah dengan kata ‘tidak’, saya telah membuang segala kemungkinan dan
keraguan.
Alia temangut-mangut mendengar
jawaban saya. Senyuman kecil mengembang di wajahnya. Dilihat dari
gerak-geriknya, saya mengetahui Alia tertarik pada saya. Tapi sejauh ini, itu
hanya prasangka saya, saya tidak berani memutuskan perasaan seseorang.
“Alia,”
“Iya?”
“Bisa ikut saya sebentar?”
“Ke mana, Ka?”
“Nanti juga kamu tahu,”
Alia mengangguk dan mengatakan ia
akan berpamitan dulu pada teman-temannya. Saya melihatnya pergi ke
teman-temannya. Teman-temannya pun tertawa menggodanya. Saya hanya
menggelengkan kepala melihat tingkah laku mereka. Ada-ada saja kelakuan adik
kelas itu. Alia kembali dengan wajah yang lebih sumringah dan segar.
Saya membawa Alia pergi ke sebuah
taman di pinggiran kota. Meskipun sudah memasuki jam sembilan malam, taman ini
masih ramai dipenuhi anak-anak kecil yang bermain, beberapa mahasiswa, dan
sejoli yang dimabuk asmara. Kami duduk di kursi kayu penuh coretan setelah
memesan es krim coklat.
“Alia… makasih ya untuk bukunya,”
Alia menengok sembari memakan es
krimnya. Ia menjauhnya es krimnya sebentar lalu mengangguk. “Apa pun asal Ka
Laut semangat nulisnya,” jawabnya.
Saya membenarnya posisi duduk saya.
“Kamu baca tulisan-tulisan saya?”
Alia mengangguk cepat. “Semuanya.”
“Oh ya?”
“Yap! Aku paling suka cerita pendek
penulis toilet. Aku ngerasa kalo Kakak nulis cerita itu tuh dari hati banget,”
komentarnya. Suaranya yang lembut terasa hangat ketika memasuki lorong telinga
saya. Saya melihat ada kejujuran yang keluar dari dua bola matanya. Ia tidak
berbohong ketika mengatakan ia telah membaca tulisan-tulisan saya. Dan entah
kenapa… rasanya menyejukkan.
“Tapi kamu kan tahu cerita itu bukan
cerita romantis,” balas saya.
“Ya… awalnya sih cukup kesel karena
Ka Laut kalo nulis cerita atau puisi selalu berbau thriller atau horror. Tapi
aku memaklumi karena setiap penulis punya kenikmatannya sendiri dalam menulis.
Mungkin dengan menulis cerita thriller atau horror, Ka Laut sedang membebaskan
diri Kakak sendiri. Itu sih menurut aku, ya.”
“Kamu bener, Alia.”
“Hah?”
“Iya. Setiap penulis memang punya
dunianya sendiri.”
“Kakak tidak mau coba nulis cerita
romantis?”
Saya tersenyum mendengar nada
bertanyanya. Saya menggelengkan kepala, “Sejauh ini belum, bukan tidak mau.”
“Kenapa? Belum punya inspirasi?”
“Tidak, bukan itu alasannya. Hanya
saja---“
“Aku mau ko jadi inspirasinya Ka
Laut.”
Untuk perkataannya kali ini, saya
sukses dibuat diam tanpa suara. “Ini salah satu alasan kenapa saya mengajakmu
ke sini, Alia. Saya ingin bertanya satu hal.” Selepas perkataan saya barusan,
saya melihat Alia mulai salah tingkah. Sepertinya ia sudah tahu arah tujuan
percakapan ini.
“Apa kamu ada perasaan lebih pada
saya?”
“Aku…”
“Saya ingin kamu jujur, Alia.”
Untuk beberapa saat, keheningan
menyelimuti kami berdua. Malam seolah memberikan ruang untuk saling membuyarkan
perasaan. Sejenak saya melihat bibir Alia bergetar.
“Maaf, Kak,” ia mulia bersuara,
“maaf karena aku sudah jatuh cinta sama Kakak. Semenjak aku baca
tulisan-tulisan Kakak, aku merasa tulisan Kakak adalah ruang untuk Kakak
bercerita. Tidak ada yang menempati ruang itu selain Kakak dan bodohnya aku
adalah aku memberanikan diri untuk mengetuk ruang itu. Aku udah berusaha nahan
perasaan ini, tapi setiap melihat Kakak, aku tahu kalo perasaan aku semakin
besar. Aku juga tahu kalo Kakak sudah jatuh cinta sama perempuan lain.”
“Alia…” saya mengambil tangannya dan
menggenggamnya.
“Aku tahu kalo Kakak tuh sayang sama
Kak Zia. Aku udah sadar tentang itu sejak lama.” Saya lihat matanya mulai
berkaca-kaca dan sedetik kemudian air sungai itu mengalir membasahi pipinya.
“Maaf, Kak. Maaf karena aku sudah biarin diri aku jatuh cinta sama Kakak.
Maaf karena aku---“
“Udah, ya. Udah.” Saya menarik
tubuhnya ke dalam pelukan saya, membiarkan butiran air matanya membasahi dada
saya. Saya tidak berani berbicara apa-apa, takut perkataan saya malah
menyakitinya terlalu dalam. Biarkan pelukan ini yang menjadi wasilah permintaan
maaf saya.
Meskipun saya belum terlalu lama
mengenal Alia, tapi saya dapat mengetahui bahwa perasaannya pada saya sangat
tulus. Karena bagi saya, air matanya adalah bukti bahwa ia tidak main-main
dengan perasaannya. Tapi, Alia… saya minta maaf karena tidak bisa membalas
perasaanmu. Kamu benar, ruang hati saya memang saya sediakan untuk Zia.
Walaupun sejauh ini saya sendiri tidak tahu apakah Zia rela memasuki ruang itu
lalu menetap.
Urusan perasaan memang tidak semudah
membalikkan tangan.
Selepas mengantar Alia pulang ke
rumah, saya undur diri dan bergegas pulang. Sesampainya di sana, ternyata
Hendra sudah duduk di teras rumah seraya menghembuskan asap rokok dari
mulutnya. Seperti kilatan petir, Hendra tiba-tiba berkata, “Sudah selesai
urusan lo dengan Alia?”
Saya menghampirinya dan duduk di
depannya. “Tau dari mana lo?”
Hendra meletakkan rokoknya di asbak
lalu menegak sedikit kopi hitamnya. “Dari anak-anak sekolah.”
“Ko bisa?”
Hendra menghela nafas lalu berkata,
“Lo jangan nyalahin Alia. Dia gak salah apa-apa. Teman-temannya yang nyebarin
berita tentang penolakan lo di grup sekolah.”
“Itu artinya Zia…”
Hendra mengangguk. “Zia juga udah
tahu kabar ini.”
Seakan perlu melakukan pembelaan,
saya kembali mengambil kunci motor dan pergi menuju rumah Zia. Awalnya Hendra
bersikeras menahan karena ini sudah tengah malam. Ada kemungkinan Zia sudah
tenggelam dalam mimpinya, kalau pun ia belum tidur, maka kurang etis bila
seseorang bertamu di waktu sekarang ini. Tapi saya tetap bersikeras untuk
pergi.
Kepala saya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan
yang saya harap tidak terjadi. Sebelum sampai rumah Zia, saya melihat Zia
sedang berbincang dengan seorang lelaki di depan rumahnya. Ia terlihat senang
saat itu. Dengan memberanikan diri, saya menghampirinya setelah memarkirkan
motor di tempat yang cukup jauh.
“Laut?”
“Hai.”
“Hai.”
Kini saya mampu melihat jelas lelaki
di depannya tadi. Memiliki postur tubuh besar dan tegak, alis tebal, rahang kuat
dan hidung mancung, saya mengambil kesimpulan lelaki ini adalah salah satu
gambaran lelaki populer di sekolah atau kampus.
“Kamu ngapain malam-malam ke sini?”
tanyanya dengan nada heran.
“Gue mau jelasin soal---“
“Oh, ya, sampai lupa. Laut, ini
Bara, mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia. Bara, ini Laut, teman aku
di sekolah.”
Lelaki bernama Bara itu menjulurkan
tangannya dan saya menyambutnya. Genggaman Bara cukup tegas, sepertinya ia
lelaki yang rajin berolahraga. Belum satu menit saya berada di sana, Bara pamit
pada Zia. Yang membuat dada saya sesak adalah bagaimana Bara dengan lembutnya
mencium kening Zia sebelum pergi mengendarai mobilnya.
Kini hanya saya dan Zia. Bulan
memberikan secercah cahaya untuk kami berdua.
“Zia, gue mau ngomong sesuatu sama
lo.” Saya kembali fokus pada apa yang saya hendak sampaikan sedaritadi.
“Laut, ngobrolnya bisa besok aja, gak? Pas di
sekolah… pliss,” ucapnya memohon.
“Zia, tapi ini penting buat gue,”
Zia mendekati gue dan menarik tangan
gue lalu ia pun mengajak gue duduk di teras rumahnya.
“Kamu mau ngomong apa?”
“Gue mau jelasin soal---“
“Alia?” ia menyela. Ia meletakkan
tangannya di pipi kiri saya, mengusapnya sebelum berkata, “Laut, aku gak ambil
pusing masalah itu. Aku pun cemburu, marah atau sedih.” Kini ucapannya mulai
mengobrak-abrik isi kepala saya. “Karena sedari awal aku tidak memiliki
perasa—“
“Stop!” Saya menepis tangannya lalu
bangkit dari kursi. Sial! Jangan sampai saya mendengar kelanjutan ucapannya.
Saya tidak ingin mendengar itu! Tidak!
Saya berjalan cepat menuju gerbang
rumah. Zia menyusul seraya berusaha menarik pergelangan tangan saya.
“Laut! Tunggu dulu! Biar aku
jelasin!”
Saya menoleh dan membalikkan badan,
menatapnya penuh kebingungan. “Lo mau jelasin apa?!”
Ia sempat tersentak mendengar nada
keras saya. Tapi seharusnya itu wajar karena saat ini saya seolah dibiarkan
jatuh ke lubang yang dalam. Beberapa detik kemudian saya lihat air matanya
sudah mengalir. Ini kedua kalinya saya melihat perempuan menangis dalam satu
malam. Apakah air mata selalu menjadi senjata kaum Hawa?
“Laut… aku tahu kamu marah sama aku.
Aku tahu kamu kecewa sama aku karena aku gak bisa balas perasaan kamu.
Sebelumnya aku minta maaf. Tapi… yang perlu kamu tahu, aku bersyukur kamu ada
dalam hidup aku. Sejujurnya, aku ngerasa nyaman sama kamu, Laut.”
“Ya tapi kenapa, Zia? Kenapa lo gak
bisa balas perasaan gue?! Gue cinta sama lo, Zia. Cinta!”
Air matanya semakin deras
berjatuhan. Ia berjalan mendekati saya. Sembari menunduk ia berkata, “Cinta gak
bisa dipaksa, Laut. Dan lebih dari itu… nyaman gak selalu mengartikan perasaan.
Aku udah jatuh cinta sama orang lain.”
Dan selesai sudah semua harapan yang
tumbuh dalam tubuh ini. Tidak lagi ada kata ‘kita’ yang mengikat saya dan Zia.
Semua pertanyaan perihal perasaan ini kini terjawab dengan rasa sakit. Zia
berhasil menerbangkan saya ke awan dengan segala sikap manisnya selama ini,
terlebih dengan ciuman manis yang bibir kami ciptakan. Tapi Zia juga berhasil
membiarkan saya jatuh remuk ke tanah dengan sebuah pengakuan bahwa cintanya
telah ia berikan untuk orang lain. Tidak perlu ditanya lagi, orang itu adalah
Bara.
Sekarang saya mengerti bagaimana
perasaan Alia. Penolakan memang melahirkan kekecewaan, kehancuran dan
kehampaan. Rasa sakit yang saya rasakan sekarang sejatinya tidak akan lahir
bila saya tidak memberikan harapan lebih pada Zia. Sial! Lagi-lagi karena
harapan!
Tanpa mengucap apa pun lagi, saya
pergi meninggalkan Zia. Cukup bagi saya merasakan sakit hati. Saya tahu, ini
tidak sepenuhnya salah Zia. Saya yang terlalu merasa bahwa hubungan ini akan
menemukan titik terangnya. Saya yang terlalu percaya bahwa Zia memiliki
perasaan yang sama. Dan kini semuanya telah selesai.
***
“Kak Laut, aku mau ngomong sesuatu.”
Alia menarik kursi dan duduk di
depan saya, membuat saya harus menutup buku yang sedang saya baca. Pasti Hendra
yang memberitahu Alia bahwa saya sedang ada di perpustakaan. Saya memandang
wajah Alia, melemparkan senyuman.
“Silakan.”
“Kak, aku mau minta maaf soal
kehebohan hari ini.”
Benar juga. Pagi ini saya memang
disambut oleh sindiran murid-murid sekolah karena dianggap sok jual mahal.
Tidak lain ini adalah buntut dari penolakan saya terhadap perasaan Alia. Tanpa
tahu duduk persoalannya, mereka mencap saya dengan berbagai macam label negatif.
Saya tidak terlalu memedulikannya karena isi kepala saya sedang kusut seperti
benang.
Saya bangkit dari kursi setelah
mengatakan pada Alia bahwa ia tidak perlu mencemaskan saya. Malah saya yang
meminta maaf padanya karena telah menyakiti perasaannya.
“Kita masih bisa temenan, kan, Kak?”
Mendengar pertanyaan polos itu, saya
sedikit tertawa lalu sedikit mengacak rambut Alia sebelum berkata, “Masih,
Alia.”
Biasanya, jika sedang pusing atau
bingung pada diri sendiri, saya memilih untuk pergi ke toko buku. Meskipun toko
buku kakek Zia sempat tebersit di kepala saya, tapi saya enggan untuk pergi ke
sana. Untuk apa pergi ke tempat yang hanya mengingatkan kita pada sosok orang
yang kita cintai? Bukankah itu sebuah kebodohan?
Hendra sempat menawarkan diri untuk
menemani, meski saya tahu itu hanya alibinya agar tidak ikut pelajaran. “Gue
mau sendiri dulu, Dra.”
Tanpa peduli ada yang melaporkan
saya ke kantor guru karena bolos hari ini, saya tetap pergi mengelilingi
Jakarta, sembari mencari toko buku baru yang belum sempat saya kunjungi.
Tibalah saya di sebuah toko buku
daerah Menteng. Tempatnya tidak terlalu besar dan kecil. Uniknya adalah tempat
ini memberikan saya nuansa yang berbeda dari toko buku lainnya. Seolah ada daya
magnet yang menarik saya untuk masuk dan tidak pernah keluar dari toko ini.
Dengan nuansa Jogja, cukup bagi orang-orang untuk mampir.
Sejujurnya, saya tidak sedang ingin
membeli sebuah buku, meskipun daftar novel yang saya ingin beli sudah tertulis
rapih di kamar saya. Tapi tidak apa, mencium aroma buku saja sudah
membahagiakan saya. Mata saya dengan cermat menyapu setiap sudut toko buku ini.
Dan… itu dia! Novel A Little Life karya Hanya Yanagihara, salah satu novel yang
tidak henti-hentinya dibicarakan orang-orang. Meskipun novel itu berbahasa
Inggris, peminatnya pun cukup banyak.
Kira-kira berapa harga novel itu,
ya?
“Aduh,” ucap saya dan seorang
perempuan bersamaan. Kening saya sempat bertubrukan dengan kepalanya ketika
saya hendak mengambil novel itu.
Saya mengusap kening saya yang
terasa nyeri.
“Maaf. Kamu gak papa?” perempuan itu
bertanya.
Saya mengangguk dan balik bertanya, “Mba
sendiri?”
Bukannya menjawab, ia malah tertawa
pelan.
“Ko malah ketawa, Mba?”
“Memangnya aku setua itu sampai
harus dipanggil ‘mba’?”
Saya menoleh ke arahnya. Perempuan
dengan rambut pendek hitam, bibir tipis dan pipi tembam itu mengembangkan
senyuman. Tidak pernah saya lihat senyuman semanis itu, bahkan dari Zia
sekalipun. Senyuman itu tidak hanya manis, tapi juga indah.
“Halo?” ia menepuk pundak saya,
menyadarkan saya dari lamunan pendek. Saya memejamkan mata sambil menoleh ke
sudut lain. Aduhhh, malu deh, hardik saya dalam hati.
“Suka baca novel juga?” tanyanya.
Saya mengangguk.
“Sukanya genre apa?”
“Apa aja.”
“Berarti suka novel romantis juga?”
“Gak.”
“Loh? Katanya tadi suka genre apa
aja.”
“Kecuali romantis.”
“Kenapa?”
Ditembaki beberapa pertanyaan, saya
langsung pergi keluar toko buku. Motor saya menepi di pinggir jalan. Saya hanya
ingin rehat sejenak. Kenapa semua hal di dunia ini menjadi rumit? Apa
sebenarnya isi kepala ini saja yang membuatnya rumit, sedangkan kenyataannya
sangat sederhana? Kenapa manusia kerapkali merumitkan hal?
Setelah memesan segelas es teh
manis. Huft, seolah matahari berada lurus di kepala saya. Saking panasnya, es teh
manis itu habis dalam beberapa tegakan.
“Haus?”
Saya menengok dan mendapati
perempuan tadi sudah ada duduk di samping saya. Malas menanggapi, saya berjalan
pergi. Ternyata perempuan tadi mengikuti dari belakang. Tanpa basa-basi, saya
membalikkan badan dan bertanya, “Lo ngapain si ngikutin gue?”
Dan tanpa menjawab pertanyaan saya,
ia berjalan melewati saya. Mata saya mengikutinya sampai saya mendapati ia
bertemu dengan seseorang. Mereka pun berdua berbincang untuk beberapa menit
sebelum temannya kembali pergi. Perempuan itu berjalan mendekati saya.
“Aku gak ikutin kamu, ko.”
Sial! Mau ditaruh dimana muka saya? Ucap
saya dalam hati.
“Lagi ada masalah, ya?”
Saya mengernyitkan kening seolah
bertanya bagaimana ia bisa tahu.
“Kelihatan dari mukanya. Kusut,”
tambahnya.
Tanpa memedulikan ucapannya, saya
beranjak pergi. Dasar perempuan aneh, ucap saya dalam hati.
***
“Laut, aku ngomong sama kamu.”
“Gue gak ada waktu.”
“Laut, kamu gak bisa bersikap kaya
gini.”
“Bersikap kaya gimana?”
“Ya… bersikap seolah semuanya harus
ikutin mau kamu.”
“Zia, gue bersikap kaya gini karena
gue cinta sama lo.”
“Laut, kita hidup di dunia nyata.
Kadang kita cinta sama seseorang yang belum tentu mencintai kita balik. Itu
memang menyakitkan, tapi itu adalah kenyataan.”
Saya menggelengkan kepala. “Gue
makin gak ngerti sama jalan pikiran lo.”
“Ikut aku, sebentar,” ucapnya
sembari menarik pergelangan tangan gue.
“Ke mana?”
“Udah, ikut aja!” seru Zia sambil
beranjak pergi.
Dengan sedikit paksaan, saya pun
menuruti keinginannya untuk pergi. Kami berdua pergi menggunakan motor saya.
Meski saya sedang kesal dengan dia, tapi saya juga tidak enak bila ia yang
mengendari motor dan saya duduk di belakang. Alhasil, mau tidak mau saya yang
mengendarai dan dia yang memberikan petunjuk ke mana harus pergi.
“Berhenti di sini,” ucap Zia.
Saya memarkirkan motor di satu
bangunan kosong. Ia mengajak saya untuk naik ke lantai paling atas. Ternyata di
sana sudah ada kursi panjang dengan satu meja bundar kecil. Ia meminta saya duduk.
“Kita mau ngapain si?”
“Duduk dulu.”
Saya tidak lagi ingin bertanya. Saya
hanya mengikuti kemauannya. Kami berdua duduk menghadap langit sore.
“Laut, kamu tahu dunia tidak
berputar untuk kita saja, kan?”
“Iya.”
“Ada banyak hal di dunia ini yang sulit
dipahami oleh akal, termasuk cinta.” Ia mulai memalingkan wajahnya ke arah
saya. “Sejak mengenal kamu, aku lebih mengenal apa itu kebahagiaan, kenyamanan
dan kesederhanaan. Sejak mengenal kamu, aku tidak takut kesepian. Meskipun
orangtua aku jauh, aku tidak pernah takut melangkah. Itu karena aku tahu ada
kamu di samping aku.”
“Lo terlalu banyak nonton drama,”
balas saya. Saya yang tadinya hendak pergi, memberhentikan langkah karena Zia
memanggil saya dengan suara paraunya.
“Laut, aku gak sebaik apa yang kamu
pikir. Kita mungkin hanya sedang diselimuti kebahagiaan sementara, hingga pada
akhirnya kita akan saling berpisah karena pada kenyataanya…. Kita memang gak
saling cinta.”
Saya kembali duduk dan menatap mata
Zia.
“Zia, gue gak pernah main-main sama
yang namanya perasaan. Gue udah jujur sama perasaan gue kalo gue cinta sama lo.
Gue mau ada terus di samping lo. Gue mau jadi orang pertama yang lo butuhin.
Gue mau jadi orang pertama yang terlintas di kepala lo saat lo ingin berbagi.
Gue cinta sama lo, Zia. Cinta!”
Zia berusaha tersenyum meski saya
lihat matanya mulai memerah.
“Kalo selama ini nyaman aja gak cukup
buat lo. Kasih gue waktu biar gue bisa buktiin kalo gue serius sama lo.”
“Laut, kenapa si kamu pengen banget
aku punya perasaan yang sama kaya kamu?”
“Ya karena gue gak bisa perjuangin
hubungan ini sendirian, Zia. Hubungan itu dibangun oleh dua pihak, dan diperjuangin
juga oleh dua pihak.”
“Dan kamu tahu kalo aku gak bisa
lakuin itu semua.” Ia menghela nafas. Ia menarik tangan saya, menggenggamnya
erat lalu berkata, “Laut, aku gak mau kamu nyakitin diri kamu sendiri. Dan…
mulai sekarang, aku mau kamu lupain semua hal yang pernah terjadi di antara
kita. Aku mau kamu mencintai seseorang yang juga cinta sama kamu. Aku mau
kamu----“
“Cukup!” Saya bangkit, menarik
tangan saya dari genggamannya lalu berkata, “sekarang terserah lo. Gue gak
peduli lagi sama lo.”
Saya berlari menuruni tangga dan pergi
meninggalkan tempat itu. Saya tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi
setelahnya. Bagi saya, semuanya sudah berantakan dan tidak perlu lagi dirapihkan.
***
Selepas kejadian itu, saya dan Zia
berubah menjadi orang asing yang tidak saling mengenal. Lebih tepatnya, saya
tidak lagi ingin mengenal atau masuk ke dunia Zia. Karena semakin saya masuk,
saya hanya semakin kecewa. Berhari-hari saya lewatkan dengan sikap seperti itu.
Meskipun berusaha tidak peduli pada orang yang kita cintai rasanya menyakitkan.
Saya seolah dipaksa untuk berlari sejauh mungkin hanya karena ingin melupakan.
Sampai berita itu datang pada saya.
Saat itu, saya sedang membaca buku di perpustakaan sekolah. Hendra duduk di
samping saya.
“Sudah tau kabar terbaru?”
“Tidak minat.”
“Yakin?”
“Kalo lo mau ganggu gue baca,
mending lo cabut.”
“Ya udah,” Hendra bangkit. Sebelum
melangkah pergi, ia menepuk pundak saya dan berkata, “Oh ya, mulai sekarang, lo
gak perlu lagi pura-pura gak peduli sama Zia. Karena orangnya udah pergi.”
Saya menengok dan memandang Hendra
seakan meminta penjelasan lebih. Hendra membalas pandangan saya dengan heran. “Kenapa?
Ko kaya kaget gitu? Kirain udah gak peduli lagi.”
“Maksud lo pergi?” saya bertanya
dengan nada cukup tinggi sampai beberapa murid menegur. Tidak ingin ada
keramaian di perpustakaan, saya bangkit dan menarik Hendra keluar.
“Zia pergi ke mana?”
“Dia pindah sekolah. Dia nyusul
orangtuanya di Jerman.”
Mendadak rasa bersalah karena telah
mengucapkan kata-kata pedas di pertemuan terakhir saya dan zia menyelimuti dada
saya. Benar kata Hendra, saya sudah tidak perlu lagi pura-pura tidak peduli
padanya. Namun, rasa sayang tetaplah rasa sayang. Ketidakpedulianmu pada orang
yang kamu cintai hanya menyakiti dirimu sendiri. Saat saya hendak berlari
menuju lapangan parkir, Hendra menahan saya.
“Kalo lo mau nyusul Zia ke rumahnya,
lo telat. Dia udah berangkat tadi pagi. Dan…” Hendra mengeluarkan sepucuk surat
dari kantongnya, “dia nitip ini buat lo.”
Teruntuk Laut
Dalam keadaan
yang kacau ini, sebetulnya tidak baik bila aku tetap mengirimu surat. Tapi, aku
tidak ingin pergi tanpa mengabari. Meskipun kamu akan berkata bahwa surat ini
tidak mewakili ucapan perpisahan, tapi bagiku surat ini sudah lebih dari cukup
untuk mengutarakan perasaaan.
Laut,
mengenalmu adalah salah satu warna baru dalam hidupku. Kupikir duniaku akan
kujalani dengan rasa bosan dan kesedihan. Entah karena apa, mungkin semesta yang
menjadikanku seperti ini. Sampai suatu hari aku mengenalmu. Terbilang lucu
memang, karena aku dengan bodohnya memberanikan diri untuk berteman denganmu.
Sungguh, tidak
pernah ada penyesalan yang hinggap dalam diriku sejak aku mengenalmu. Duniaku
seakan berubah menjadi lebih cerah. Terlebih saat aku tahu bahwa kamu adalah
pecinta novel. Tulisan-tulisanmu sudah sepatutnya berlayar lebih jauh daripada
hanya sekedar dibaca oleh murid-murid sekolah. Lebih dari itu, Laut! Dunia
harus tahu bahwa kini sudah ada penulis hebat dari Indonesia bernama Laut,
penulis yang tidak hanya menulis kata-kata, tapi juga menciptakan nyawa.
Setiap berada
di dekatmu, aku merasa berada di samping orang yang tepat. Bagaimana caramu
berkata padaku, bersikap padaku dan memberi perhatian padaku. Semua itu
melahirkan kenyamanan.
Tapi, maaf,
nyaman itu tidak melahirkan perasaan lebih. Nyaman itu cukup membuatku
memberikan suatu ruang untukmu dalam hidup ini. Dari dulu aku juga tahu, bahwa
akan tiba hari di mana kita tidak lagi bisa menjalani hari dengan hubungan
seperti ini. Dengan kata lain, salah satu dari kita pasti akan meminta
penjelasan. Dan itu terbukti dari pernyataanmu malam itu.
Bila kamu
bertanya, apakah aku cemburu saat mengetahui Alia menyatakan perasaannya
padamu, maka aku akan menjawab, iya. Aku memang cemburu, Laut. Aku pikir kamu
akan pergi dan berlayar bersama Alia. Tapi.. saat aku mendengar kamu menolak perasaannya, ikatan yang mengekang
dadaku mendadak hilang. Sesaat kupikir mungkin aku telah jatuh cinta padamu,
tapi pikiran itu juga hilang dalam beberapa detik. Bukannya aku tidak
membiarkan diriku jatuh cinta padamu. Tapi karena dari awal pun aku tahu
hubungan ini tidak bisa berlanjut seperti maumu.
Laut, jangan
kamu kira aku tidak tersiksa. Tidak, Laut. Aku pun merasakan yang sama. Aku
merasa sakit saat aku bangun dari tidur dan sadar bahwa semua telah berubah.
Kamu yang pergi dari hidupku, dan aku yang tidak lagi mengenalmu.
Setelah
pertemuan terakhir kita, tidak pernah aku tidak menangis setiap malam. Pun
bulan dan bintang menjadi saksi buta air mataku yang jatuh ke permukaan.
Kuratapi setiap kesalahan yang kuperbuat. Kutanya pada diriku sendiri, “Kenapa
aku tidak bisa jatuh cinta pada lelaki sebaikmu?”
Namun, kuyakinkan
diriku sendiri bahwa kita telah melangkah di jalan yang berbeda. Semesta seolah
menamparku setiap malam dan mengatakan, “Lupakan Laut! Dia sudah tidak lagi
peduli padamu!”
Dan begitulah
saat ini. Aku memutuskan untuk pergi ke Jerman, mengobati rinduku pada
orangtua, pun agar bisa cepat melupakanmu. Tak apa, ini juga bisa berdampak
baik untukmu. Dengan kepergianku, kamu bisa lebih cepat sembuh dan menemukan
perempuan lain, perempuan yang bisa memberikanmu kejelasan.
Oh ya, bila
kamu bertanya perihal Bara. Dia bukan pacarku. Dia adalah abang tiriku. Ibunya
adalah istri pertama ayahku. Ibunya sudah meninggal saat ia kecil. Ayahku sempat
mengajaknya untuk ke Jerman, tapi ia memilih untuk menetap di Indonesia.
Mungkin agar ia bisa lebih dekat dengan pusara ibunya.
Untuk penutup, aku meminta maaf atas semua kesalahan yang kubuat. Maaf, selamanya cerita kita tidak akan pernah bisa dimulai.
Laut, terima kasih atas
segala kebahagiaan yang kamu ciptakan. Tetaplah menulis hingga kulihat namamu
terpampang di rak hijau toko buku, bersanding dengan penulis-penulis kebanggaanmu.
Kalahkan mas Eka Kurniawan, mba Leila Chudori, bahkan eyang Pram sekalian.
Tulisan-tulisanmu berhak mendapatkan pengakuan dari dunia, bahkan Tuhan.
Zia
Saya menutup surat itu dengan rasa
yang campur aduk. Saya bingung harus berkata dan bersikap apa. Surat ini seolah
menampar keras saya. Rasa bersalah semakin menggerogoti dada dan kepala saya.
Saya meremukkan surat itu dan membuangnya ke sembarang tempat. Hendra hanya
bisa diam melihat saya seperti itu.
Percayalah, saat itu saya merasa
hancur. Kenapa jatuh cinta serumit ini?
Saya sempat mengingat mimpi saya
waktu itu. Di mana saya seolah berada di tengah lautan dan berdiri di atas
sebuah perahu. Sepertinya mimpi itu kini telah menjadi kenyataan.
Mungkinkah suatu hari Zia akan
kembali? Bukankah setiap yang pergi belum tentu kembali? Dan satu lagi… Zia
berharap saya menemukan perempuan lain? Saya tertawa gila lalu berkata dalam
hati, “Jatuh cinta tidak semudah itu, Zia.”
Komentar
Posting Komentar