Catatan Untuk Tuhan
Catatan Untuk Tuhan: Pertanyaan Tentang Kehidupan
Tentu saja seharusnya saya tidak melontarkan pertanyaan bodoh ini pada kalian. Saya tidak tahu apakah saya ini bisa disebut gila atau tidak. Tapi, pertanyaan ini selalu menggerogoti kepala saya, mengobrak-abrik isi kepala saya, menghancurkan isi kepala saya, bahkan mempertanyakan keberadaan saya sesungguhnya. Seolah ada lapisan kebodohan yang selama ini menutupi kepala saya, menjadikan saya seperti kerdil bodoh yang tidak tahu ingin jalan ke mena.
“Kenapa Tuhan menciptakan saya?”
“Apa tujuan Tuhan menciptakan saya?”
“Kenapa saya harus diciptakan sebagai manusia?”
“Kenapa saya harus menjalani hidup yang saya sendiri tidak tahu apa tujuannya?”
“Apa itu kehidupan yang diinginkan Tuhan?”
Sementara saya menyusun berbagai macam pertanyaan ini yang entah nantinya akan menemukan jawaban atau tidak, saya tetap menjalani kehidupan ini. Saya bangun, makan, mandi, bekerja lalu tidur. Saya melakukan aktivitas itu setiap hari seakan robot yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga tidak ada kesempatan bagi saya untuk menolaknya.
Kalaupun menolak, itu artinya saya memberontak. Dan memberontak hanya akan menyusahkan saya sendiri. Yang bodoh adalah saya sendiri tidak tahu sampai kapan saya melakukan ini semua. Tidak semua manusia bisa menjalani kehidupan seperti air yang mengalir, bukan? Tidak semua manusia tahu arah tujuan dan tidak semua manusia tahu arti sebenarnya dari kehidupan.
Saya menulis ini semua karena saya tidak ingin hidup dalam kefanaan, ketidakjelasan yang abstrak lalu duduk di sebuah bangku menunggu kematian menghampiri. Entah apakah saya akan mati dengan cara sakit keras, dibunuh seseorang atau mati karena hati dan pikiran saya sudah terlebih dulu mati.
Kini semua ini masih menjadi persoalan. Saya sudah mulai gerah karena saya selalu mempertanyakakan ini semua, selalu mengadakan diskusi dengan Tuhan di sebuah sajadah panjang. Tentu saja Tuhan tidak menjawab pertanyaan saya seperti seorang pasien yang sedang berkonsultasi dengan dokternya, tapi orang-orang mengatakan bahwa Tuhan adalah sebaik-baiknya penyembuh.
Sejauh ini saya percaya akan hal itu. Tentu saja, saya percaya seperti itu karena dari kecil saya sudah disuapi ilmu-ilmu agama. Ibu saya mengajarkan saya membaca Al-Quran, sebuah kitab suci milik kaum muslim. Ayah saya mengajarkan saya sholat, cara kaum muslim berhubungan dengan Tuhan. Pun di sekolah, saya belajar buku agama Islam. Teman-teman saya juga sebagian besar adalah muslim.
Saya menerima itu semua tanpa pernah menolak atau mempertanyakan kegunaan itu semua. Hingga tiba hari itu, hari di mana kepala saya melahirkan kembali sebuah pertanyaan, “Bagaimana bila Tuhan tidak pernah ada? Dan apa yang kita sembah hanyalah dia yang mengaku sebagai Tuhan?”
Konflik batin ini kerap kali menyerap emosi, mengutak-atik diri hingga saya seringkali lupa siapa sebenarnya saya ini.
Saya sudah bergerak ingin memeluk Tuhan, mengatakan pada-Nya bahwa saya sudah lelah dengan ini semua. Saya mencengkram lengan saya seperti seekor kucing yang murka. Saya menahan diri dan membiarkan Tuhan mempercepat kematian saya. Saya sudah tidak lagi peduli dengan amal baik dan buruk yang akan diperhitungkan. Saya hanya ingin cepat-cepat bertemu Tuhan.
Keinginan saya ini tidak lepas dari pertanyaan-pertanyaan yang sampai sekarang belum juga bisa terselesaikan. Setiap malam, sebelum tidur, saya akan memandang langit-langit kamar dan berkata pada Tuhan, “Tuhan, bila saya memejamkan mata malam ini dan saya tidak lagi melihat mentari pagi esok hari, saya akan sangat berterima kasih padaMu. Karena dengan itu, saya tidak perlu lagi merasakan kesedihan, kebahagiaan, dan kehampaan esok hari. Saya tidak perlu lagi memasang wajah palsu di hadapan orang-orang. Saya tidak perlu lagi memposisikan diri saya di tempat orang lain agar disukai orang lain. Saya tidak perlu tersenyum menutupi luka yang sedang saya rasakan. Maukah malaikat-Mu mencabut nyawa saya malam ini?”
Penyair Robert Frost pernah menyatakan bahwa rumah adalah tempat tujuan kita, sebuah tempat yang akan memeluk kita. Tapi, sampai sekarang saya tidak tahu di mana rumah itu. Di mana tempat yang akan memeluk saya?
Saya terus-menerus menatap diri saya di depan cermin, mempertanyakan apa itu hidup dan bagaimana caranya untuk hidup.
Saya bisa mendengar degup jantung saya sendiri di tengah sepinya malam ini. Saya tidak sabar dengan keheningan suasana sebidang tanah merah itu, tempat di mana tubuh saya akan hancur secara perlahan.
Tapi.... sebelum saya bertemu Tuhan, saya ingin menuangkan apa yang saya rasakan dan pikirkan. Semuanya. Dalam hidup, saya tidak ingin mati sia-sia, apalagi bila saya tidak sempat mengenal Sang Pencipta. Maka dari itu, saya pun memutuskan untuk menulis catatan-catatan ini, catatan yang saya beri nama Catatan Untuk Tuhan.
Komentar
Posting Komentar