Catatan Untuk Tuhan: Terpenjara di Dunia.
“Saya tidak ingin menjadi terkenal. Saya hanya ingin membuat dunia di sekitar saya menjadi tempat lebih baik daripada yang pernah saya rasakan dulu.”
Ungkapan barusan adalah sebuah dialog yang saya dengar dari sebuah film berjudul surga yang tidak dirindukan. Mungkin sebagian besar kita pernah menotonnya atau membaca novel karya Asma Nadia ini.
Di sini, saya tidak ingin membahas tema yang diangkat dalam film tersebut, kualitas akting para pemain atau semacamnya. Saya hanya tertarik dengan bagaimana ungkapan di atas tersusun rapih menjadi sebuah ungkapan yang memiliki nyawa.
Jauh dari itu semua, kebodohan dan kepintaran adalah dua hal yang berbeda. Kehidupan dan kematian pun begitu. Manusia terbagi oleh berbagai macam perbedaan yang lahir dari sebuah teori. Puluhan konseptual yang berceceran di pinggir jalan kini menjadi konsumsi publik yang mudah sekali dicari sebelum dijilat dan dimakan.
Kini manusia mirip seperti tong sampah yang diisi oleh puluhan spekulasi tentang kehidupan. Sulit rasanya menghindar dari ucapan-ucapan manis para penulis yang seolah meyakini bahwa kehidupan akan berjalan baik-baik saja tanpa mengindahkan distorsi yang bisa saja menyerang akal kapan dan di mana saja.
Saat masih kecil, saya mengira kehidupan akan berjalan tanpa kesulitan seperti alur film yang sudah dirancang sedemikian rupa; menghabiskan masa kecil dengan kesenangan, masa remaja dengan belajar, masa dewasa dengan kerja dan pernikahan sebelum memasuki masa tua dengan ketenangan sambil menunggu kematian.
Ternyata semua tidak sesederhana itu, kan?
Hari demi hari menjalani hidup, saya merasa seolah tidak ingin mengenal hidup. Bagi saya, hidup adalah satu hal yang abstrak yang diciptakan Tuhan tanpa kejelasan. Untuk apa Ia menciptakan saya bila hanya ingin melihat bagaimana saya menjalani kehidupan yang mubham. Orang-orang akan berkata saya bodoh atau tolol karena sudah jelas Tuhan telah mengirimkan petunjuk yang jelas, yang hanya dengan mengikutinya saja kita sudah dipastikan akan sampai di pintu kebahagiaan.
Namun, perkataan bukanlah tindakan. Tentu dalam perjalanan menuju apa yang mereka katakan sebagai kebahagiaan Tuhan tidaklah semudah apa yang mereka katakan. Kehidupan nyata bukanlah sebuah dongeng. Selalu ada dua kemungkinan dalam hidup ini; berakhir happy ending atau sad ending.
Akhri-akhir ini, kepala saya terasa lebih berat setiap kali saya hendak istirahat. Belum menutup mata, namun pertanyaan-pertanyaan perihal masa depan tiba-tiba menyerang saya seolah mereka adalah gerombolan anak panah yang haus akan darah. Menghabiskan waktu satu jam bahkan lebih hanya untuk memikirkan jawaban atas kumpulan pertanyaan itu sering kali membuat saya kesal, lelah bahklan marah.
Sialnya adalah ketika saya tidak berhasil mendapatkan jawaban barang satu pun. Tak jarang saya mencengkram rambut saya sendiri, memukul kepala saya sendiri agar menghilangkan rasa sakit yang dihasilkan dari pertanyaan-pertanyaan itu. Kenapa hidup serumit ini?!
Pernah saya mengirim pesan pada Tuhan di malam hari, “Tuhan, ketika Engkau mengizinkan saya lahir ke dunia ini, saya hanyalah lembarang kosong suci tanpa noda sedikit pun. Saya disambut bahagia oleh puluhan pasang mata, termasuk orang tua. Tentu ini adalah sebuah rezeki dari-Mu yang patut disyukuri. Pun saya tumbuh lewat rezeki-Mu yang tidak pernah berhenti. Namun, saat ini saya sedang berada di titik buntu. Saya tidak tahu harus apa dan ke mana. Sedangkan puluhan orang seusia saya sedang tertawa bahagia, menikmati kebahagiaan mereka sendiri.
“Suatu hari saya pernah bertanya pada diri sendiri ingin menjadi apa. Pun saya menjawab ingin menjadi orang pintar, namun keinginan saya berubah ketika mendapati banyak orang pintar yang sombong akan ilmunya sampai berada di titik menganggap orang lain tidak lebih pintar darinya. Saya merubah keinginan saya menjadi orang kaya, namun keinginan saya lagi-lagi saya patahkan ketika mendapati banyak orang kaya yang berubah menjadi hamba kertas bernomilal itu sampai apa pun akan ia lakukan demi uang, bahkan kalau itu perlu mengorbankan agama. Kali ini saya ingin menjadi orang sholeh, namun saya melihat banyak orang sholeh yang tersesat oleh pemikiran mereka sendiri, menganggap ia adalah satu-satunya yang berada di jalan-Mu hingga penyesatan dengan mudah ia lakukan.
“Lalu tibalah saya di satu celah yang menuntun saya saat ini. Celah yang memperlihatkan saya ada sebuah jalan yang mengantar saya pada-Mu. Jalan itu bernama kebaikan. Maka, sejak itu saya memutuskan untuk menjadi orang baik. Saking bahagianya, saya sampai lupa bahwa setiap jalan punya rintangannya tersendiri, termasuk menjadi orang baik.
“Dalam satu sujud saya berkata pada-Mu, bahwa saya hanya ingin menjadi orang baik, yang tidak diusik, dikritik dan dianggap licik oleh orang-orang. Dan saat itu telinga saya mendengar sebuah suara berkata, “Di dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan.”.”
Sejak itu, saya tahu bahwa menjadi orang baik tidak semudah yang saya bayangkan. Tapi, terlepas dari itu semua, saya tidak ingin terpenjara di dunia ini; dunia yang membutakan setiap pasang mata, menghilangkan setiap akal, dan menuhankan setiap nafsu.
Saya menjalani kehidupan ini hanya satu kali. Dan waktu tidak akan pernah berhenti hanya karena saya sedang mengeluh betapa perihnya kaki ini. Seperti ungkapan dialog film tadi, saya tidak ingin menjadi terkenal, saya hanya ingin menjadi orang baik yang menciptakan dunia yang lebih baik, tanpa harus berpura-pura bahwa semua akan baik-baik saja.
Tuhan, bantu saya merealisasikan itu semua.
Komentar
Posting Komentar