PSH-PART TEN-2021




Source: pinterest.com


Sepuluh

Terikat


Kereta saya sampai di stasiun Lempuyangan jam lima sore. Rata-rata waktu yang ditempuh untuk perjalanan dari Jakarta ke Jogja memang delapan jam lima puluh lima menit menggunakan kereta api. Saya turun dari kereta api. Baru beberapa langkah, ponsel saya berdering. Nomor tidak dikenal menghubungi saya. 

“Iya.”

“Salam, Mas. Saya Bima, karyawan penerbit Bapak Rama.”

“Iya, Mas Bima.”

“Masnya sudah sampai? Saya sudah ada di stasiun dekat pintu keluar.”

“Baik. Saya segera ke sana.”

Gerombolan orang masih memenuhi stasiun. Di teras depan stasiun, seorang pria dengan kaos batik dan sarung bermotif kotak berwarna coklat menyengir menatap saya. Saya membalasnya, tapi saya tidak terlalu yakin bahwa dia adalah Bima. Alhasil, saya mencoba menghubungi nomor yang mengaku Bima tadi. 

Bersamaan dengan itu, pria tadi merogoh ponsel dari saku kemejanya lalu menjawabnya. Benar, pria dengan wajah Jogja kentalnya itu adalah Bima. Dari keperawakannya, saya yakin ia lebih tua dari saya. Mungkin usianya dua tahun di atas saya. 

Saya mendekatinya, menjajarkan langkahnya di depan Mas Bima. “Permisi...., Mas Bima?”

Mas Bima mengangguk, tersenyum lebar sebelum berkata, “Mas Laut, ya?”

“Iya, Mas.”

“Yo wess. Mari, Mas. Saya antar ke mobil.” Ia mengambil koper dan satu tas saya, membawanya ke sebuah mobil avanza putih. 

Saya pun hanya mengangguk kecil, lalu berjalan mengikutinya dari belakang. Setelah koper dan dua tas saya diletakkan di bagasi, kami pun bergegas pergi. Tujuan pertama kami adalah rumah kakek dan nenek Hendra. 

Selama perjalanan, Mas Bima tidak henti-hentinya menceritakan cuaca di Jogja yang sudah mulai terasa panas. Namun, terlepas dari itu, saya benar-benar merasakan hal baru di tempat ini. Bila kata Brouwner, Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka saya berani mengatakan bahwa Jogja diciptakan ketika Tuhan sedang tertawa.

Rentetan rumah yang seolah dibangun sedemikian rupa menghangatkan mata saya. Pedagang kaki lima yang berbaris menjamu para pelanggan. Saya menikmati itu semua dengan bahagia. Mungkinkah ini cara semesta menyambut saya?

Mobil avanza putih ini berhenti di depan sebuah rumah berinterior kayu dengan puluhan pot bunga di depannya. Saya dan Mas Bima turun, memeriksa apakah alamat yang diberikan Hendra ini benar. Kedatangan saya disambut oleh seorang nenek tua bernama Mbah Sriati, salah satu asisten rumah tangga kakek dan nenek Hendra. “Maaf, Mbah, benar ini rumahnya Kakek Darmono, Kakeknya Hendra?”

Mbah itu mengganggukkan kepala, membenarkan. Lalu ia mempersilakan saya dan Mas Bima masuk. “Mas Laut sudah ditunggu oleh Kakek Darmono.”

Saya mengangguk lalu mengikuti Mbah Sriati masuk ke dalam. Mas Bima tidak mengikuti. Ia pamit lebih dahulu karena sudah ada janji dengan beberapa teman. Nanti malam jam delapan, ia akan menjemput saya untuk bertemu dengan teman-teman penerbit di jalan Malioboro. 

Mbah Sriati membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu jati dan tingginya hampir dua meter. Mata saya dibuat takjub ketika melihat lukisan-lukisan Jawa yang menggantung di dinding ruang tamu, seolah mereka lah yang menyambut kedatangan setiap tamu rumah ini. 

Tidak lama kemudian seorang kakek tua berusia tujuh puluhan melontarkan senyum pada saya. Tubuh yang dibalut dengan sarung putih dan kaos partai bergambar ka’bah itu terlihat masih segar. Ia memeluk saya dan berkata, “Pasti kamu yang namanya Laut. Saya nggak mengira kamu lebih tampan daripada yang ada di foto. Hendra sudah kasih tahu maksud kedatangan kamu ke Jogja. Saya justru senang karena rumah ini kedatangan tamu.”

“Makasih, Kek,” balas saya dengan canggung dan senyum tipis.

Dari arah lain, tampak satu sosok lain mendekati kami. Kali ini seorang nenek tua dengan rambut penuh uban yang diikat, badannya sedikit membungkuk, kulit yang menutupi wajahnya pun sudah mulai mengendur, namun tatapannya masih tajam. 

“Nah, Laut, ini istri saya,” seru Kakek Darmono. 

Nenek Darmono tersenyum lebar menyambut kedatangan saya. Ia juga memeluk saya dengan sedikit tepukan di punggung. “Selamat datang,” sapanya lembut.

“Terima kasih, Nek.”

“Ya sudah. Sekarang kamu istirahat dulu saja. Nanti Mbah Sri yang antar kamu. Dan... maaf, malam ini kita belum bisa makan malam bersama karena Kakek dan Nenek ada janji bertemu seseorang.”

Benarlah perkataan saya, untuk ukuran seorang kakek dan nenek, Kakek dan Nenek Darmono terbilang masih kuat dan segar. Sekilas saya lihat Kakek Darmono mirip sekali dengan salah satu penulis favorit saya, Buya Hamka. 

“Tidak apa, Kek, Nek. Saya tidak ingin merepotkan kalian. Saya sangat berterima kasih atas sambutan hangatnya.”

“Sudah...sudah... jangan seperti itu. Mulai hari ini, kamu sudah kami anggap seperti cucu sendiri,” balas Kakek Darmono. 

Setelah percakapan itu, Mbah Sriati mengantar saya ke kamar di lantai dua. Mbah meninggalkan saya karena ia harus kembali ke dapur. Saya mengangguk dan berterima kasih. Kamar ini cukup luas untuk saya sendiri. Di sana sudah dilengkapi ranjang, lemari, meja dan kursi belajar dari kayu. Dinding putihnya kosong tidak dihiasi apa-apa. Saya berjalan ke balkon kecil, menatap langit dan menghela nafas. “Terima kasih,” ucap saya. 

***

Seperti ucapannya tadi, Mas Bima menjemput saya di rumah Kakek Darmono. Dengan mengenakan sweater putih, celana jeans hitam, topi hitam dan sepatu converse saya, saya keluar rumah. Mas Bima tengah merokok dan bersandar di pintu ketika saya menyapanya. 

“Udah siap, Mas?” 

Mendadak ia terbatuk, menelan asap rokoknya sendiri. “Gusti.... benar kata orang-orang, pakaian anak Jakarta memang keren-keren, yo.”

“Alah, biasa aja, Mas.”

“Yo wes, yuk berangkat.”

Hujan sempat mengguyur Jogja. Mobil avanza putih Mas Bima tampak kesusahan mencari tempat parkir di daerah jalan malioboro, sampai akhrinya mobil itu berhasil terparkir di salah satu masjid. 

Dering ponsel Mas Bima daritadi sudah meraung-raung, Mas Bima pun beberapa kali menjawabnya, “Iya, Mba. Saya dikit lagi sampai.”

Yang menelfon menjawab meski saya hanya mendengar redupan suaranya. 

“Iya, Mba. Maaf, ya, Mba.”

Kami melangkah lebih cepat, melompat kesana-kemari menghindari genangan air. Saya melihat lautan manusia tengah duduk dan menikmati aneka makanan. Hingga Mas Bima melambaikan tangan pada seseorang. Saya hanya mengekor dari belakang hingga mata saya melihat seorang perempuan mungil setinggi dagunya, wajahnya polos seperti anak SD, pakaiannya pun sederhana; kaos abu-abu panjang yang dibalut dengan kemeja kotak merah, serta celana jins hitam dan hijab hitam yang menutupi rambutnya. 

Perempuan itu tengah duduk menikmatik susu jahe ketika melihat saya dan Mas Bima sampai. Saya duduk di depannya, sedangkan Mas Bima duduk di sampingnya. 

Saya dan dia sempat tercenung memandangi satu sama lain. Dalam koridor dekat, saya seolah tengah dihakimi oleh tatapan matanya. 

“Maaf telat, Mba. Tadi sempat kejebak macet,” ungkap Mas Bima dengan nada memohon ampun.

Yang saya lihat, kenapa Mas Bima sangat takut pada perempuan ini. Padahal, saya yakin, dari segi umur Mas Bima lebih tua darinya. Perempuan itu tidak menanggapi permintaan maaf Mas Bima dan Mas Bima pun tidak mengulang ucapannya. 

“Kenalian, Mba. Ini Laut, penulis baru kita...”

Perempuan itu tidak menampakkan kegembiraan atau kekesalan. Raut wajahnya datar seolah ia tidak berkesan sama sekali melihat saya. Saya mengulurkan tangan, “Hai. Laut...”

Tanpa senyuman, perempuan itu menyambut tangan saya dengan mata yanag menatap tajam mata saya. “Nadhifa,” singkatnya.

Deg. Jantung saya seolah dipukul palu besar. Jadi dia yang bernama Nadhifa, editor yang akan mengoreksi tulisan saya. Sedetik kemudian Mas Bima seolah menyadari ada bendera peperangan yang siap dikibarkan. Untuk menghindarinya, ia menanyakan apakah ada makanan yang ingin dipesan oleh Nadhifa atau tidak. Perempuan itu menggelengkan kepala tanpa mengucapkan satu kata pun. 

Mas Bima menanyakan hal yang sama pada saya. “Saya teh hangat aja, Mas. Sekalian kalo ada gorengannya,” jawab saya.

Ketika Mas Bima hendak bangkit dan melongos pergi, Nadhifa menahannya. Matanya memandangi mata saya. “Ini Jogja, bukan Jakarta. Jadi, kalo kamu mau pesan, kamu pesan sendiri.”

Ucapannya cukup menampar keras harga diri saya. Sempat saya ingin membalas serangannya, tapi mata saya melirik Mas Bima yang memberi isyarat untuk saya tutup mulut. Saya menghela nafas lalu bangkit menyusul Mas Bima.

Belum pernah saya bertemu seorang perempuan dengan keberanian seperti Nadhifa. Dan, ya, untuk seorang perempuan, tatapan dan mulutnya memang tajam. Sepertinya saya harus menyiapkan kantong kesabaran lebih banyak. 

Tak lama kemudian saya dan Mas Bima kembali membawa teh hangat dan beberapa gorengan. Saya melihat Nadhifa tengah sibuk menatap layar laptopnya. Beberapa kali ia berkutat dengan keyboardnya. Sepertinya ia sedang merevisi beberapa tulisan. 

“Silakan, Mba, gorengannya dimakan dulu,” Mas Bima menawarkan.

Dan hebatnya lagi Nadhifa tidak mengucapkan terima kasih atau basa-basi pada umumnya. Tidak bisakah dia menghargai tawaran Mas Bima? 

Hampir limat menit saya duduk di depan Nadhifa, dan tidak ada keakraban yang mampu mencairkan suasana. Seolah kami berdua benar-benar mendirikan dinding atau tirai permusuhan. Namun, saya sadar bahwa saya adalah orang baru dalam lingkungan mereka, maka dari itu, saya memberanikan diri untuk membuka pembicaraan, “Kamu sudah lama bekerja sebagai editor Om Rama?”

Saya lihat Mas Bima meneguk teh hangatnya tanpa henti sembari bergantian memandangi saya dan Nadhifa. 

Nadhifa berdeham sebelum mengatakan, “Baik. Saya kira tujuan pertemuan kita malam ini sudah jelas. Saya juga tidak perlu mengenalkan diri saya.” Ia berbicara lancang dan jelas seolah ia sudah memiliki jam terbang jauh dalam bicara. “Saya sudah baca beberapa cerpen kamu,” kini pandangannya mengarah ke saya, “dan jujur, saya tidak suka semua cerpen kamu.”

Bagi saya, ungkapannya barusan seperti bom atom yang membumihanguskan diri saya. Ungkapannya barusan adalah ungkapan paling pedas dan tajam yang pernah saya dengar, terlebih ini menyangkut tulisan saya. Selama saya hidup, tidak ada satu pun teman saya yang mengatakan seperti itu. Semua mengatakan sebaliknya, bahkan selama masa SMA, tidak ada satu pun yang menggantikan tulisan saya di mading. 

Dan kali ini berbeda, Nadhifa seakan dikirim dari planet lain untuk menghancurkan kerajaan kartu yang saya buat dengan sekali pendapatnya. Ia seolah monster yang memiliki misi untuk membuyarkan mimpi saya, menjatuhkan saya ke dalam lobang kegelapan. 

“Maaf... bagaimana?” Saya memasang wajah menantang, memajukan telinga sebagai isyarat supaya dia mengulangi pendapatnya.

“Saya tidak suka semua cerpen kamu. Saya nggak tahu alasan kenapa Om Rama getol menerima kamu sebagai penulis. Saya malah merasa kamu lebih pantas disebut pembual.”

Cukup sudah. Perkataannya barusan sudah jelas merendahkan harga diri saya. Tanpa membalas pendapatnya, saya buru-buru bangkit dan angkat kaki dari tempat itu. Saya berjalan tanpa tujuan sambil mencoba meredakan emosi yang sudah memuncak. Sial! Berani sekali perempuan itu menjelekkan tulisan saya! Belum sepuluh menit dia mengenal saya dan dia sudah menyimpulkan kesimpulan yang buruk tentang tulisan saya. Sungguh kejutan yang tidak saya bayangkan. 

Saya menghela nafas. Kehabisan bahan untuk berbicara karena emosi saya sudah merampok semuanya. Alhasil, saya memilih untuk pulang menggunakan ojek. 

Kakek dan nenek Darmono belum pulang. Itu saya ketahui dari mobilnya yang belum ada di garasi. Mbah Sriati mengatakan bahwa ia sudah menyiapkan lauk dan nasi di atas meja. Untuk menghargai Mbah Sri, saya memakan malam meski sedikit karena sebenarnya saya tidak lapar, atau lebih tepatnya tidak nafsu. Ucapan Nadhifa benar-benar membuat mood saya hancur. 

Setelah mencuci piring dan gelas, saya pergi ke kamar. Saya biarkan tubuh saya tergeletak di kasur. Sedetik kemudian dering ponsel saya berbunyi. Dengan setengah niat saya mengambilnya lalu melihat nama Afina di sana. 

“Hai, orang Jogja....” sapanya dengan semangat.

“Hai,” balas saya. 

“Bagaimana hari ini? Wait a minute... kamu kenapa? Ko suaranya lemas gitu?”

“Baik alhamdulillah. Aku nggak apa-apa,” saya buru-buru mengatur suara agar terdengar normal.

“Kalo ada apa-apa, cerita ya.”

“Iya.”

“Oh ya, sore tadi aku udah ketemu pihak kampus. Aku juga udah beli beberapa barang yang aku butuhin. Nah, tapi aku juga sempat....”

Semesta, salahkah saya bila saya ingin sendiri dulu? Merenungi setiap kata-kata yang keluar dari mulut Nadhifa. Saya tidak akan pernah lupa hari ini. Bertemu dengan seorang perempuan yang saya yakin berasal dari dunia lain. Dunia yang tidak mengerti tulisan. Ia hanya bisa menyalahkan tulisan orang lain tanpa tahu lelahnya menulis. Sial! Kali ini saya benar-benar kesal pada seseorang. 

“Laut? Kamu dengerin aku?”

Kembali mendengar suara Afina, saya buru-buru membalasnya, “Iya, Fin? Kenapa? Sinyal kurang bagus barusan...”

“Barusan aku bilang, aku juga sempat main ke gramedia. Aku ke sana bukan mau beli buku, tapi ngobatin kangen aku sama kamu.”

“Oalahh, bisa gitu ya. Belum juga sehari pisah, Fin.”

“Memangnya kangen mesti nunggu satu hari dulu?” 

“Iya nggak juga, sih.”

“Jadi... boleh dong kalau aku kangen kamu setiap hari?”

“Boleh.”

“Telfon kamu setiap hari?”

“Aku bakal luangin waktu untuk telfon kamu, Fin.”

Dan selanjutnya, cerita demi cerita mengalir dari mulut Afina. Saya mendengarnya meski menjauhkan sedikit ponsel, dan malah memijat pelan kening saya.

“Aku istirahat dulu, ya. Kamu juga. Besok aku telfon lagi, ya.”

“Iya, Fin.”

“Byeee.... miss u.”

“Miss u too.”

Dan sedetik kemudian saya biarkan mata saya perlahan menutup hingga saya memasuki dunia mimpi.

***

Di ruangan makan, Kakek Darmono tampak sudah duduk nyaman menikmati bubur ayam dengan segelas air putih hangat. Tidak jauh darinya ada sebuah radio yang menyala, memutar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran. Saya menyapanya dan ia tersenyum lebar. “Selamat pagi.... ayo nak Laut, bubur ayamnya dimakan, mumpung masih hangat.”

Saya duduk di depannya, memperhatikan beberapa koran yang tertumpuk di sampingnya, mengingatkan saya pada Bapak. 

“Nak Laut, maaf, ya, Kakek dan Nenek tidak bisa ikut makan bersama tadi malam.”

“Aduh, nggak apa-apa, Kek.” Saya mengambil satu sendok di rak kecil di tengah meja, lalu mengaduk bubur ayam yang sudah saya tuangkan di mangkok kecil. 

“Kakek dengar dari Hendra kamu mengambil jurusan Sastra di UGM?”

Saya mengangguk.

“Dulu, Kakek gemar sekali membaca tulisan-tulisannya Goenawan Muhammad, Tan Malaka atau buku wajib dari penulis hebat Pramoedya. Rakyat dibuat mabuk semangat oleh tulisan-tulisan mereka. Terlepas dari masalah yang menimpa mereka, tulisan-tulisan mereka itu seolah abadi. Kamu sendiri, memang gemar menulis?”

“Iya, Pak. Saya suka menulis cerita.”

“Baik. Sekarang kamu lagi bikin cerita apa?” 

“Saya sedang bikin cerpen horor dengan sedikit cinta-cinta.”

“Menarik. Sedikit beda daripada umumnya. Cerita-cerita sekarang hampir semuanya cinta-cintaan. Entah cinta yang masuk akal hingga cinta yang bikin kesal. Seolah Indonesia tidak punya cerita yang punya nyawa.”

Saya membenarkan omongan Kakek Darmono. Dari buku yang ia lahap, saya pikir beliau adalah kritikus hebat di masanya. 

“Kapan kamu mulai kuliah?”

“Mungkin minggu depan, Kek. Tapi hari ini saya ada jadwal bertemu pihak kantor UGM untuk mengurus beberapa data.”

“Kebetulan Kakek ada vespa tua yang tidak dipakai. Memang sudah lama, tapi masih bisa menyala. Kamu bisa menggunakan kalo kamu mau.”

Saya menelan ludah. “Apa tidak merepotkan, Kek?”

“Tuh, kan. Sudah saya bilang, kamu ini sudah saya anggap cucu sendiri. Tidak ada yang namanya merepotkan. Lagipula, Kakek khawatir vespa itu berubah menjadi motor balap kalau terlalu lama dianggurkan,” ujarnya sambil terkekeh. 

“Terima kasih, Kek. Saya nggak tahu harus bilang apa.” 

“Sudah-sudah. Tapi sebelum ke kampus, kamu pergi ke bengkel dulu. Pastiin kalo Burok tidak kenapa-kenapa.”

“Burok?”

“Itu panggilan Kakek buat vespa itu.”

***

Beberapa buku dan catatan sudah saya masukkan ke dalam tas. Saya sudah berjanji akan menemui Pak Jati, salah satu karyawan di UGM untuk membahas kuliah saya. Sekarang masih jam tujuh pagi. Itu artinya saya masih memiliki dua jam lagi sebelum bertemu Pak Jati. 

Dengan cuaca Jogja yang cukup panas buat saya, saya memilih untuk mengenakan kaos oblong putih panjang, celana jeans hitam dan sepatu converse kesayangan saya. Untuk jaga-jaga, saya menyimpan satu kemeja coklat di tas serta sisir dan parfume. Saya mengeluarkan si Burok dari bagasi setelah hampir lima belas menit saya mengelap debu yang menempel di badannya. 

Dan dengan sekali sentakan, Burok menyala dengan suara yang terlibang masih halus di telinga. Dengan membaca basmallah, saya mengendarai Burok, menyatukannya dengan kendaraan lain. GPS di ponsel menjadi pemandu jalan untuk hari ini. 

Percayalah, saya menikmati setiap detik angin yang memukul wajah saya. Saya memasuki bengkel vespa yang sudah diberitahu oleh Kakek Darmono. Mungkin ini adalah bengkel langganannya. Saya berjalan mendekati seorang pemuda dengan tangan penuh oli yang sedang mengutak-ngatik mesin motor di depannya. Ketika ia mendengar langkah saya, ia menoleh ke arah saya.

“Mas, saya mau——“

“Sssssttt, saya sudah tahu. Wong hampir setiap bulan si Burok masuk sini,” seorang karyawan memotong ucapan saya. Ia meletakkan alatnya lalu menjulurkan tangan. Saya menyambutnya meski itu artinya tangan saya harus terkena oli hitam. “Adam,” ucapnya yang saya balas dengan, “Laut.”

“Ya sudah, Masnya mau tunggu di sini atau gimana?”

Saya melirik jam tangan. Jam delapan kurang. “Kira-kira butuh waktu yang lama nggak, Mas?”

“Biasanya sih setengah jam. Tapi saya nggak bisa jamin juga. Semoga nggak ada yang rusak.” 

“Baik. Saya tunggu di sini aja, Mas.” 

Sambil menunggu Burok diservice, saya duduk di kedai bengkel motor dan membaca buku. Mas Adam menyediakan saya air mineral dan beberapa bingkis coklat untuk menemani. Jarum jam terus berputar. Ternyata ada beberapa kendala di Burok yang harus diselesaikan oleh Mas Adam dan itu membutuhkan waktu lebih dari setengah jam. Service itu selesai jam delapan tiga puluh lebih. 

Meski tidak ada pesan atau panggilan dari Pak Jati, namun saya tidak boleh terlambat di pertemuan kali ini. Saya khawatir Pak Jati menilai buruk kedisiplinan saya. Pertemuan pertama memang sangat riskan. Saya mengendarai Burok dengan kecepatan penuh dan saya sepertinya mulai yakin bahwa Burok telah menjadi motor balap.

***

Kini kaki saya sudah berpijak di depan gedung UGM jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia, gedung  lima lantai bercatkan putih cukup membuat saya kagum. Saya bergegas ke ruangan yang sudah diberitahu oleh Pak Jati. Sambil melangkah cepat, beberapa kali saya mengutuk diri karena menyadari sudah jam sembilan lewat sepuluh menit. Sial! Saya terlambat!

Saya mengatur nafas ketika sudah sampai di depan pintu coklat. Masih dengan nafas nafas sedikit terengah, saya membuka pintu lalu menyapa, “Selamat pagi.”

Pak Jati bangkit dari kursinya lalu menyambut kedatangan saya. “Selamat pagi.” Kami berdua berjabat tangan. Ia menyadari hembusan nafas saya yang tidak beraturan. “Kamu lari ke sini?”

“Nggak, Pak. Saya tadi habis——“

“Dia harus diberi hukuman karena telat, Pak.” Seseorang keluar dari dapur kantor sambil membawa segelas air mineral. Ia duduk di kursi dekat meja Pak Jati lalu meneguk air mineralnya.”

Saya menelan ludah sembari melongo karena melihat Nadhifa berada di sini. Ia tidak menatap saya, dan sekarang malah sibuk dengan novel yang ia baca. 

“Sudahlah, Nadhifa. Ini kan hari pertamanya Laut. Jadi kita maklumi saja.” Pak Jati menenangkan sambil berputar dan melangkah menuju kursi singgahsananya.

“Cih! Privilage anak Jakarta mulai diaktifkan,” Nadhifa menyindir dengan suara cukup keras. 

Saya menghela nafas. Tahan, Laut! Tahan! Ucap saya dalam hati. 

Hampir satu jam saya mendengar Pak Jati berbicara dan selama itu juga saya tidak tahu kemana pikiran saya terbang. Meskipun begitu, saya mampu menyimpulkan apa saja yang diucapkan Pak Jati. Berbeda dengan saya, Nadhifa menyimak betul apa yang keluar dari mulut Pak Jati. 

“Kalau semua sudah jelas, kalian boleh pergi,” ucap Pak Jati sambil tersenyum lebar.

Sebelum berdiri, Nadhifa menoleh ke arah saya, mendapati saya tengah memandanginya. Saya terkejut dan mengalihkan pandangan ke tempat lain. Ia pamit pada Pak Jati sebelum kakinya melangkah keluar. Saya pun melakukannya. 

Sempat bingung ke mana Nadhifa melangkah, tapi mata saya seolah menuntun saya untuk berjalan dan saat itu juga saya melihat cardigan coklat dan kerudung hitamnya. Saya melangkah cepat, berusaha menjajarkan langkah kaki saya dengan langkah kaki Nadhifa. 

Mendapati saya berjalan di sampingnya, ia menoleh dan memasang tampang serius. “Maaf, kamu ada masalah sama saya?” Tanpa basa-basi saya langsung menyemprotnya dengan pertanyaan itu.

Tanpa menghentikan langkahnya, ia menoleh dan memutar bola matanya seolah tidak peduli dengan apa yang saya ucapkan. Saya buru-buru berdiri di depannya, menghalangi jalannya. “Saya serius,” tegas saya.

“Kamu tersinggung dengan ucapan saya?” Kali ini suaranya pelan tapi menusuk.

“Sangat.”

Ia melipat kedua tangannya di dada lalu mengatakan, “Coba jelasin ke saya di mana letak kesalahan saya.”

“Pertama, masalah tulisan saya, maksud kamu apa bilang semua cerpen saya jelek? Kedua, kenapa kamu tuh pengen banget saya dapat hukuman?”

Nadhifa menggelengkan kepala lalu tersenyum mengejek. “Jadi kamu mau semua orang menyukai tulisan kamu? Kalo kamu punya prinsip seperti itu, kamu nggak pantas jadi seorang penulis. Kedua, hidup itu ada aturan. Nggak semua hal bisa berjalan semau kamu. Kalo kamu telat, itu artinya kamu merugikan orang lain dan agar tidak terulang, seharusnya kamu mendapat hukuman.”

Ini kedua kalinya ia membuat saya jengkel karena sialnya saya tidak bisa menerima apa yang ia ucapkan, walaupun saya tahu itu adalah kebenaran. Belum sempat saya membalas, ia sudah pergi meninggalkan saya seolah bendera kemenangan telah ia dapatkan. 

Sungguh Jogja memberikan saya banyak kejutan, terutama kehadiran Nadhifa. Saya mengacak rambut saya sendiri karena kesal. Mahasiswa lain hanya memandangi saya heran, seolah ada orang gila di tengah-tengah mereka. 

Kenapa mulut saya tidak bisa berkata apa-apa saat menghadapi Nadhifa. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan argumen kuat yang sulit dipatahkan. Entahlah, saya tidak tahu, apakah kalimat yang Nadhifa keluarkan tadi adalah kritikan membangun untuk saya, atau kritikan yang ingin menyadarkan saya bahwa saya memang tidak pantas menjadi penulis. Dari tatapan matanya, saya lebih condong pada yang kedua. 

Saya berjalan menuju kantin gedung ini. Beberapa mahasiswi memandangi saya, menjadikan saya pusat perhatian mereka. Saya tidak mengindahkan pandangan mereka dan memilih duduk di satu bangku setelah memesan kopi hangat. Bahkan kopi ini tidak lebih pahit ketimbang ucapan Nadhifa tadi. 

“Maaf, Mas, kursi ini kosong?” Seseorang bertanya. Saya menengok dan melihat Mas Bima sudah menyengir lebar.

“Mas Bima? Silakan duduk, Mas.”

Mas Bima menggendong beberapa buku dan meletakkannya di atas meja sebelum duduk di depan saya. “Hebat, ya. Baru satu hari di kampus, kamu sudah Romeo,” komentar Mas Bima karena melihat dan mendengar beberapa mahasiswi membicarakan saya. 

“Saya nggak terlalu peduli, Mas.”

Mas Bima mengeluarkan satu bungkus rokok, mengambil asbak di meja sebelah lalu menyalakan satu batang rokok. 

“Kamu lagi mikirin Mba Nadhifa, ya?”

“Hah?” Saya terkejut dengan pertanyaannya. Buru-buru saya membuang muka sambil tertawa pelan. 

“Laut, Mba Nadhifa memang seperti itu orangnya. Lurus banget.” 

“Saya nggak mikirin dia, Mas. Lagian, ngapain juga saya mikirin dia.”

“Jadi kamu nggak kesel sama ucapannya kemarin?”

“Sedikit.”

“Oalah,” Mas Bima cekikian mendengar nada suara saya yang seolah mensiratkan kebalikannya. “Nggak apa-apa, Laut. Saya juga mikirnya gitu pas pertama kali kenal Mba Nadhifa. Tapi aslinya dia nggak gitu, ko.”

Mata saya memicing, memastikan saya tidak salah lihat. Mata itu mereka Nadhifa tengah berdiri di bawah pohon besar, berbincang dengan seorang laki-laki dengan tinggi 175 cm dan rambut yang terurai sebahu. Sesekali mereka tertawa dan memandang erat satu sama lain. 

“Mas,” saya menyolek tangan Mas Bima yang tengah meminum kopi hitam saya. “Itu Nadhifa, kan?” Tunjuk saya ke satu arah. Mas Bima mengarahkan pandangannya ke arah yang saya maksud. 

“Yap, betul. Itu Nadhifa sama cowoknya.” 

Saya terdiam sejenak. “Saya baru tahu Nadhifa punya pacar.”

“Namanya Alex, mahasiswa jurusan Psikologi semester akhir. Pinternya bukan main, Laut.”

“Mereka udah lama pacaran?”

“Kalo nggak salah sudah enam bulanan.”

“Mereka ketemu di mana?”

“Aduhhh... mana saya tahu, Laut. Saya bukan mak comblang mereka. Udah, nggak usah dipikirin.”

Saya mengangguk meski ekor mata saya masih mencuri pandang ke sejoli tadi. Entah kenapa, kali ini saya enggak menoleh ke arah lain. Saya hanya ingin memandangi mereka berdua tanpa alasan yang jelas. Tak lama kemudian, saya melihat cowok itu mengusap pelan kerudung Nadhifa, membuat cewek itu sedikit jengkel meskipun senyum lebar terlukis di wajahnya. Saya hanya bisa melihat adegan itu dengan mulut terbungkam. 

***

Untuk pertama kalinya saya mengunjungi kantor penerbit Satu Media di Jogja. Kantor dengan satu lantai dan halaman sedikit luas yang dijadikan lahan parkir para karyawan itu cukup sejuk. Mungkin karena beberapa pohon mangga yang menutupi sinar matahari. 

Saya memarkirkan Burok di samping motor lain. Di dekat gerbang, plang Satu Media beserta semboyannya ‘Buku adalah nafas orang-orang bodoh’ terpampang jelas di sana. Saya melepaskan sepatu, meletakkannya di rak lalu masuk mengikut Mas Bima melangkah. 

“Selamat siang....” sapa Mas Bima dengan semangat. Para karyawan di sana membalas sapaan Mas Bima meski dengan tangan dan mata yang masih sibuk bekerja. 

Mas Bima mengalungkan tangannya di leher saya dan berkata, “Kenalin, Laut. Penulis baru kita. Kiriman langsung Pak Rama.”

Tidak seperti orang asing, para karyawan langsung mendatangi saya dan menjulurkan tangan mereka. Saya melemparkan senyum pada setiap dari mereka. Saya membalas keramahan mereka. 

“Ganteng yo,” puji salah satu karyawan perempuan yang saya rasa umurnya sudah lebih dari dua puluh lima tahun.

“Kaya aku, kan?” Mas Bima menyengir.

“Istigfar kamu, Bim!” Perempuan itu membalas dibarengi tawa dari para karyawan lain. Saat ini perasaan saya terus berputar, seolah saya telah pergi jauh dan baru pulang ke rumah. Mereka menyambut saya dengan hangat, seolah tidak ada batas di antara kami semua. 

Tawa mereka tiba-tiba hilang dari peredaran ketika seorang perempuan memasuki kantor ini. Pandangan mereka langsung tertunduk ke bawah. Saya memutar badan dan melihat Nadhifa menjinjing tasnya, melewati saya tanpa menoleh. Tidak ada suara. Semua hening seakan memberikan Nadhifa waktu untuk berjalan nyaman. 

Ketika Nadhifa hendak memasuki satu ruangan yang saya rasa itu adalah ruang pribadinya, ia berdiri di ambang pintu, mengendarkan pandangannya ke semua orang dan berkata, “Tiga puluh menit lagi kita rapat.”

Seorang karyawan mengangkat tangan. Badannya terlihat gugup dan suaranya terdengar getar ketika ia berkata, “Maaf, Mba. Tapi setengah jam lagi waktunya makan siang.”

Nadhifa membalikkan badan, mendekati karyawan itu dan berkata, “Waktu makan siangnya ditunda setelah rapat bisa, kan?”

Karyawan itu menunduk lalu mengangguk cepat. Saya melihat ketakutan di wajahnya. Semua menghela nafas lega ketika Nadhifa masuk ke ruangannya dan menutup pintunya. 

Beberapa mereka menggerutu kesal, beberapa yang lainnya pasrah tawakkal. Mas Bima yang berdiri di samping saya mengendikkan bahu ketika saya melihatnya dengan tatapan bertanya, ‘kenapa’.

Tanpa bicara apa-apa, saya meminta Mas Bima untuk membeli bakso untuk semua karyawan di sini. Saya memberinya uang dengan anggapan ini adalah cara saya berterima kasih pada semua karyawan yang telah menyambut hangat saya. Awalnya Mas Bima menolak karena takut Nadhifa akan marah. Namun, saya berkata padanya bahwa saya yang akan berhadapan dengan Nadhifa. 

Tiga puluh menit kemudian teriakan Nadhifa memenuhi satu kantor. Saya dan para karyawan lain yang sedang menikmati bakso di teras depan mendengar teriakan itu. Nadhifa keluar menuju teras dengan berkacak pinggang dan mata menusuk ke semua karyawan. 

“Siapa yang ngizinin kalian makan siang? Kan saya bilang ada rapat!” Nadhifa berseru tegas.

Semua mata karyawan mengarah ke saya, menganggap bahwa itu sudah bisa jadi jawaban atas pertanyaan Nadhifa. Nadhifa mendekati saya dengan raut wajah kesal. “Maksud kamu apa?” Ia bertanya dengan serius.

“Saya nggak punya maksud apa-apa. Saya cuma mentraktir mereka sebagai tanda terima kasih.”

“Yakin? Ko saya melihatnya berbeda, ya,” ia membalas dengan senyuman tipis mengejek, “saya ngerasa kalo kamu mau mempengaruhi mereka.”

“Supaya?

“Supaya mereka santai-santai terus lupa sama pekerjaannya.”

Saya bangkit dan berdiri tegak memandangnya. Kali ini saya cukup bisa mengendalikan diri saya. “Mereka itu manusia. Mereka butuh istirahat. Mereka butuh makan.”

“Tapi, tadi saya bilang waktu makan siangnya di—-“

Ucapannya dipotong oleh suara perutnya sendiri. Seketika suara itu menjadi pemicu tawa karyawan yang mendengarnya. 

“Kayanya kamu juga butuh makan,” ucap saya sambil tersenyum penuh kemenangan.

Nadhifa menggelengkan kepala dengan tatapan tajam ibarat api yang siap membakar wajah saya. Mungkin ia sudah mulai merasakan kekalahan. Ia meninggalkan tempat itu dan masuk ke ruangannya sambil membiarkan orang-orang menahan tawa mereka. 

***

Sudah jam empat sore dan saya tidak melihat tanda-tanda adanya rapat. Hampir semua karyawan sudah pulang ke rumah masing-masing. Saya pun bertanya pada Mas Bima yang tengah menyusun beberapa file di meja kerjanya, “Mas, rapatnya beneran nggak jadi atau gimana?” 

“Itu dia, Laut...” raut wajahnya menunjukkan kebingungan.

“Kenapa, Mas?”

“Mba Nadhifa nggak keluar dari ruangan sejak tadi.”

Kepala saya menerbitkan beberapa pertanyaan, termasuk apakah perbuatan saya terlalu berlebihan atau tidak. Sebersit perasaan aneh menyusupi hati saya, yang membuat saya cukup menyesal. Tadinya saya ingin berasumsi bahwa Nadhifa tidak lapar atau sedang berpuasa kalo perlu. Tapi asumsi saya itu seakan kemungkinan kecil yang tidak berdampak. 

Tanpa banyak bicara, saya mengambil kunci motor, pergi keluar mencari sesuatu. Lima belas menit kemudian saya kembali membawa satu bungkus nasi padang berisikan nasi, rendang dan kuah opor serta sambal hijau yang dipisah. 

Mas Bima melihat saya mengetuk pintu ruangan Nadhifa. Beberapa kali ketukan dan tidak ada jawaban. Saya melirik Mas Bima, bertanya apa yang terjadi. Mas Bima mengendikkan bahu tidak tahu. Hingga ketukan terakhir, Nadhifa berteriak mempersilakan masuk tanpa tahu si pengetuk. 

Saya membuka pintu ruangannya pelan lalu menutupnya kembali. Kini saya melihatnya tengah menenggelamkan wajahnya di atas meja menggunakan tangannya. “Hai, Nad. Saya cuma—-“

Ucapan saya menggantung ketika melihat kepalanya terangkat ketika mendengar suara saya. Raut wajah kelelahan sangat tampak di sana. Wajahnya ibarat awan mendung yang menetap di satu tempat. 

“Kamu mau ngapain? Saya minta kamu keluar dari ruangan saya.”

“Saya—-“

“SAYA BILANG KELUAR!”

Saya menggelengkan kepala. Berhadapan dengan Nadhifa, seolah sedang berhadapan dengan banteng liar yang sulit dijinaki. Jarak kami hanya dua meter, namun kepala kami seakan menempatkan kami di dua kutub yang berbeda. Saya keluar setelah meletakkan satu bungkus nasi padang tadi di atas meja kecil. 

Suara Mas Bima yang memanggil nama saya terdengar. Tapi, saya tidak peduli. Saya hanya ingin cepat pergi dari tempat ini, entah harus merasa kecewa atau bangga atau lainnya. Sebentar... saya ingin pergi dari tempat ini atau pergi dari pandangan Nadhifa?

***

Burok menepi di jajanan kaki lima di pinggir jalan, bergabung bersama pengendara puluhan motor lainnya yang sedang menikmati langit malam Jogja. Afina sudah menghubungi saya lima belas kali, begitu juga dengan Hendra yang saya tahu ia diminta tolong Afina untuk menghubungi saya. Tapi, saya sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Saya ingin menyendiri dulu, membiarkan benang pikiran saya tergulung dengan rapih. 

Saya menunduk, membiarkan aliran darah mengalir. Puluhan klakson kendaraan menguap ke udara. Ramai, tapi kenapa rasanya sepi. Seolah lidah ini mati rasa, saya meneguk teh hangat panas tanpa jeda. 

“Haus?”

Saya menoleh ke penanya dan mendapati Mas Bima berdiri lalu duduk di samping saya. Ia meletakkan satu batang rokok di sudut bibirnya, menangkupnya dengan telapak tangan sebelum menyalakan pemantik.

“Mas Bima.”

“Kenapa? Lagi banyak masalah?”

“Nggak, Mas.”

“Masa? Wong mukanya aja kusut banget.”

“Nggak ko, Mas. Biasa aja.”

“Laut, saya mau tanya satu hal ke kamu. Kalo kamu tersesat sendirian di hutan, apa yang kamu lakuin?”

“Saya nggak tau maksud Mas Bima nanya gini, tapi kalo Mas mau saya jawab, saya akan berteriak mencari bantuan.”

“Gimana kalo tidak ada yang mendengar suaramu, entah karena suaramu tidak terdengar atau sama sekali tidak keluar?”

“Saya akan berlari mencari bantuan?”

“Ke mana?”

“Ke arah mana saja yang saya kira ada bantuan.”

“Itu artinya kamu tidak tahu mau ke mana?”

Deg! Saya tercengang mendengar itu. “Baik, kalo gitu saya akan menunggu orang lain menemukan saya.”

“Gimana kalo tidak ada yang menemukanmu, atau... tidak ada yang ingin menemukanmu?”

“....”

“Mba Nadhifa sedang ada di kondisi ini, Laut. Kita pikir ia hidup, tapi saya tahu perasaannya perlahan mulai mati. Mba Nadhifa butuh kita, Laut. Jadi... saya mohon sama kamu untuk memahami dunianya.”

“Saya nggak tahu, Mas. Sejak ketemu dia, saya ngerasa dia tuh benci banget sama saya.”

Mas Bima menerima pesanana gorengan dan kopi hangatnya lalu meletakkannya di sampingnya. “Dia memang nggak gampang ketemu orang baru. Sebagian karyawan lama saja belum ada yang akrab sama dia.”

“Mas, dia kan editor, tapi kenapa seolah dia punya....” saya tidak meneruskan, berharap Mas Bima paham apa yang saya ingin ucapkan.

“Sebenarnya kita punya pimpinan redaksi di penerbit, tapi orangnya sedang cuti beberapa hari ini. Nah, secara tertulis, Mba Nadhifa memang menjabat sebagai editor, tapi Pak Rama memberinya kekuasaan khusus untuk mengadakan rapat, menolak atau menerima naskah, dan semacamnya. Itu semua karena kepintaraan dan kehebatan yang Mba Nadhifa punya. Padahal umurnya itu sekamu.”

“Hah???”

“Loh? Ya apa sih. Kamu kira umurnya berapa? Orang mukanya saja masih cantik begitu.”

“Mas Bima suka sama...”

“Wesss. Jangan mikir yang aneh-aneh kamu. Saya sudah bertunangan,” ia memperlihatkan cincin di jari manisnya. 

Saya tersenyum tipis, “Semoga lancar sampai hari H, Mas.”

“Amin... doain, ya, semoga saya bisa jadi suami yang——waduh!” Ia menepuk keningnya sendiri, “saya lupa, saya ada janji makan malam sama dia. Ya udah, saya pamit duluan.” Mas Bima segera meninggalkan tempat itu dengan motornya. 

“Mas! Ko nggak pakai mobil?”

“Itu kan mobil kantor, Laut. Udah, saya pamit ya!” 

Saya tertawa pelan melihat tingkah laku Mas Bima. Belum jadi suami saja sudah lupa janji, bagaimana kalo sudah jadi suami. Tapi... dilihat dari sikap Mas Bima, saya yakin dia akan jadi suami yang menyenangkan dan bertanggung jawab. 

Semakin malam tempat ini semakin ramai. Saya melihat jam tangan saya. Sudah jam delapan lewat, saya harus pulang sebelum Kakek Darmono khawatir. Lagipula, saya ingin melanjutkan bacaan novel A Little Life saya malam ini. Sebentar... merasa ada yang janggal, saya memeriksa isi tas saya dan benar saja, novel itu tertinggal di kantor penerbit.

Saya pun bergegas kembali ke sana. Begitu sampai, saya heran karena pintu kantor belum dikunci. Entah biasanya seperti atau tidak, namun ini cukup riskan perampokan. Saya masuk tanpa mengucapkan salam. Lampu ruang tengah sudah padam meski cahaya langit malam menyeruak masuk lewat celah jendela. 

Novel A Little Life saya terpampang di meja Mas Bima. Pasti saya lupa membawanya ketika keluar membeli nasi padang untuk Nadhifa. Saya pun mengambilnya dan memasukkannya ke dalam tas. Tapi, ketika saya hendak angkat kaki, saya mendengar suara isak tangis. 

Bulu kuduk saya bangkit. Saya mencoba menghilangkan ketakutan perihal setan, pocong atau kuntilanak sekali pun. Saya mengencangkan pendengaran saya, mencoba menemukan sumber tangis itu. Langkah kaki saya mendekat ke ruangan Nadhifa. Saya menempelkan telinga di badan pintu dan tidak salah lagi, suara itu berasal dari sana. 

Tangan saya memegang gagang pintu, membukanya perlahan. Saya berusaha mencari saklara lampu dan ketika saya sudah menyalakan lampu, saya bisa melihat jelas Nadhifa yang tengah duduk di sudut kamar. Ia memeluk kedua kakinya, menenggelamkan wajahnya di antara keduanya. 

“Nad?”

Ia menengok dan buru-buru menyeka air matanya. 

“Ngapain kamu di sini?” 

Saya tidak menjawab dan malah mendekatinya. Saya hanya duduk di sampingnya tanpa bicara apa-apa. Saat ini, saya seperti melihat orang lain. Kini Nadhifa seolah berubah menjadi kapas yang mudah sekali hancur. Mata saya menyapu semua sudut dan hati saya terasa lega ketika melihat ia sudah menghabiskan nasi padang yang saya bawa tadi. 

“Saya nanya kamu, ngapain kamu di sini?”

“Novel saya tadi ketinggalan. Makanya saya balik lagi.”

“Terus, kenapa masih di sini?”

“Pas saya mau pulang, saya denger ada yang nangis. Saya kira kuntilanak atau pocong. Ternyata bukan.”

Matanya memandang tajam saya. Masih dengan suara paraunya, ia bertanya kesal, “Ternyata apa?!”

“Ternyata bidadari.”

Mendadak pandangan Nadhifa berubah menjadi lembut. Ia memalingkan wajahnya, namun saya menemukan pipinya mendadak merah. 

“Ko pipinya merah?” 

“Ish! Apa sih?! Kamu tuh kesambet ya?!”

“Kok saya?”

“Udah, ah! Saya mau pulang!” Ia bangkit, mengambil tas dan kunci motornya lalu keluar. Saya tersenyum sendiri. Pasti ini perempuan lagi malu.  

“Nad, tunggu!” seru saya sambil menyusulnya.

Di halaman rumah, ia sedikit kesulitan menyalakan motornya. Tidak bermaksud tega, saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil sesekali tertawa. Nggak tega sih, tapi mau gimana lagi, nih cewek kalo diperhatiin ko lucu juga, ya. 

Serangan selanjutnya ia lontarkan. Ia menoleh ke saya dan berkata, “Nggak ada niat bantu?”

“Nggak.”

“Ish! Jadi cowok jahat banget.”

Eh buset! Jadi selama ini dia pikir omongan dia ke saya tidak termasuk kejahatan? Dasar, tipe perempuan yang mudah sekali memanipulasi keadaan. Ia mulai terlihat kelelahan. Karena tidak tega, saya mendekatinya dan berkata, “Saya janji bantu kamu, tapi dengan satu syarat.”

“Kenapa mesti pakai syarat, sih?!”

“Ya udah. Mau dibantu nggak?”

Ia menghela nafas lalu dengan tukas ia bertanya, “Apa syaratnya?”

“Temenin saya makan. Saya laper.”

“Ya udah, mau makan di mana?”

Saya menggelengkan kepala. “Nggak tahu, kan saya anak Jakarta,” sarkas saya.

“Cih.” 

Sesaat saya mendengar ia mendumel sendirian dengan mulut dimanyunkan. 

“Nggak usah ngedumel gitu. Yang ikhlas, dong, biar ada pahalanya,” ucap saya jahil.

“Ya udah, ayok,” ia buru-buru mencabut kunci motornya, memasukkannya ke dalam tas lalu berjalan keluar pagar sebelum tangan saya menahannya. 

“Mau ke mana?”

“Katanya tadi mau ditemenin makan. Gimana sih, labil banget.”

“Ya terus lo mau naik apa?”

“Angkot.”

“Udah, nggak usah. Naik motor saya aja.”

“Ogah! Saya nggak mau naik motor bareng kamu.”

“Kenapa?”

“Nanti kita dikira....” perkataannya tercekat. 

Melihat itu, saya menaikkan alis lalu bertanya, “Dikira apa?” Saya tidak bisa menyembunyikan senyum jahil darinya. Tiba-tiba ia menepak pundak saya dan berdecak kesal, “Ya udah, buruan.”

“Aduh! Bisa nggak sih nggak mukul?”

“Nggak!” 

“Galak banget.”

“Emang, kenapa? Nggak suka?” Matanya melotot.

Saya geleng-geleng lalu membalas tatapan matanya dengan lekat, “Saya suka.”

Untuk beberapa detik pandangan kami mengunci satu sama lain. Kegugupan mulai terbit dari wajah Nadhifa. Ia menelan ludah dan menunduk sebelum kembali memasang wajah galaknya. “Buruan, keburu malam.”

Nadhifa membawa saya ke warung sate dekat kantor. Kami tidak saling berbicara selama di jalan. Rasanya seperti saya benar-benar sedang menggonceng kuntilanak beneran. 

“Sate ayamnya dua porsi, ya, Mba,” ucap saya pada penjual sate. 

“Segitu lapernya sampai pesen dua porsi?” Nadhifa bertanya dengan nada ketus.

“Satunya lagi buat kamu.”

“Saya nggak laper.”

“Tadi siang juga bilangnya gitu, eh ternyata malah—-“

“Udah ah, saya mending pulang,”

Saya meraih tangannya, menahannya untuk tidak pergi. “Sorry, sorry. Saya nggak bermaksud, Nad.”

Dengan pasrah, ia kembali duduk di kursinya. 

“Iya. Tapi, tangan saya bisa dilepas nggak?” 

Saya mengernyitkan kening, lalu tersadar bahwa saya belum melepaskan genggaman saya. Saya buru-buru melepasnya. “Maaf, Nad. Saya nggak bermaksud.”

Tiba-tiba saya mendengarnya tertawa pelan. Saya menoleh dan bertanya, “Ko ketawa, Nad?”

“Nggak apa-apa. Kamu lucu aja pas bilang ‘nggak bermaksud’. Raut wajah kamu aneh gitu.”

“Jadi... selain ngeselin, tulisannya jelek, dan suka telat, saya lucu juga?”

“Nggak usah gitu. Malah jijik jatuhnya.”

Saya tersenyum melihat raut wajahnya. Benar kata Mas Bima, saya hanya perlu memahaminya lebih jauh. Tak lama kemudian, pesanan saya datang. Awalnya Nadhifa tetap menolak untuk makan, tapi akhirnya ia makan karena saya berkata padanya saya tidak mau membantunya bila ia tidak ikut makan. Lagipula, biasanya kan cewek suka lapar kalo sudah nangis. Seolah menangis adalah cara mereka mengosongkan perut. 

Ternyata ucapan saya tidak salah. Nadhifa melahap sate ayam dengan semangat. Saya yang duduk di depannya hanya bisa tersenyum. 

Setelah menyantap makan malam, saya bertanya, “Dari dulu memang cita-citanya jadi editor?”

“Dari dulu memang suka banget cari kesalahan orang. Agak aneh sih, tapi karena suka baca buku, kayanya jadi editor adalah pilihan yang tepat.” 

“Kelihatan sih,” komentar saya pelan.

“Kenapa?”

“Ohh, nggak, saya bilang kamu hebat.”

“Kalo kamu? Memang mau jadi penulis?”

Saya mengangguk. “Saat masih kecil, Ibu saya sering banget ceritain dongeng. Entah cerita yang sudah ada, atau lahir dari khayalannya. Sampai akhirnya saya jatuh cinta sama yang namanya bercerita. Dan salah satu cara saya mempertahan cinta itu adalah dengan menjadi penulis.”

“Ibu kamu masih sering ngedongeng sampai sekarang?”

“Ibu saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.”

Beberapa detik kemudian, saya merasa ada yang aneh dalam dada saya ketika saya melihat Nadhifa meletakkan tangannya di atas tangan saya dan mengatakan, “Saya turut berduka.”

Kami saling memandang untuk waktu yang cukup lama, sebelum kesadaran kami sama-sama kembali. Tangan kami saling menjauh. Kecanggungan menyelimuti kami berdua. Sorot mata saya teralihkan ke arah lain, mencoba membuang apa yang seharusnya dibuang. 

“Oh, ya, Nad. Waktu di kampus, saya lihat kamu sama cowok. Itu... pacar kamu?”

Nadhifa mengangguk tanpa ragu. Saya tersenyum. Tapi, aneh, kali ini rasanya tawar dan sumbang. Diri saya seolah menolak untuk tersenyum, seperti ada kelu yang menancap di sana. 

“Namanya Alex,” sebut Nadhifa.

Saya tahu ini aneh, tapi saya merasa ada sesuatu yang remuk, membuat segalanya terasa hambar. Belum sempat saya bertanya lebih lanjut, ponsel Nadhifa berdering. Ia merogohnya dari tas, dan saat itu juga saya melihat matanya bersinar ketika melihat siapa yang menghubunginya. 

“Sebentar, ya,” ucapnya. Ia berdiri dan berjalan beberapa langkah, menjauhkan diri dari saya. 

“Hai...” 

Saya mendengar suaranya berubah lembut. Saya tidak bisa mengalihkan pandangan saya dari Nadhifa, melihat bagaimana raut wajahnya yang bercahaya saat itu. Seolah ia sudah menunggu panggilan itu daritadi. Sesekali tawanya pecah. Entah kenapa semua seolah berubah pahit, meski saya belum bisa menguraikan apa yang sesungguhnya terjadi. Saya merasa ingin mendengar semua pembicaraan Nadhifa dengan orang itu yang kemungkinan besar adalah Alex.

“Udah, ko. Barusan aku udah makan. Kamu udah? Senyamannya kamu aja. Motor aku ada di kantor, tadi ada sedikit kendala. Aku lagi bareng temen. Iya...  hati-hati di jalan.” Nadhifa mematikan ponselnya lalu kembali duduk. “Sorry, ya.”

Dilandasi rasa penasara, saya bertanya, “Teman, Nad?”

“Oh... bukan. Barusan itu Alex.”

Mendengar nama itu, rasa tidak nyaman mendadak merambati tubuh saya. Saya merasa benar-benar tidak beres. Nadhifa memiringkan kepalanya, menaikkan satu alis lalu bertanya, “Kenapa? Ada yang pengen kamu omongin?”

“Nggak. Nggak ada.”

Ia menganggukkan kepala. “Kalo kamu? Kamu ada pacar?”

“Pacar saya di Jakarta. Namanya Afina.”

“Oh, jadi lagi ngejalanin LDR?”

“Ya.... kurang lebih begitu deh.”

“Semoga sukses ya....”

Napas saya mendadak tertahan. Lidah saya benar-benar kelu. Saya tidak tahu lagi ingin bicara apa. Pun dengan Nadhifa yang berubah diam seribu bahasa.

Tak lama kemudian, sesosok pria berbadan tegak muncul di balik punggung Nadhifa. Tubuh semampainya itu terlihat tegap dengan balutan batik coklat dan celana bahan. Sepatu kulit yang tebal membuatnya semakin berwibawa. Parfum maskulin tercium di udara ketika pria itu menyentuh bahu Nadhifa. 

Nadhifa menoleh dan tersenyum lebar. Mereka berdua berpelukan dan itu membuat saya mematung. 

“Laut, kenalin. Ini Alex, pacar saya,” Nadhifa berkata.

Alex menjulurkan tangannya sembari berkata, “Alex.”

Saya menerima uluran tangan Alex. Kulit putih, sedikit urat dan kuku yang rapih melapisi tangannya, membuatnya tampak indah. Saya menatap matanya dan menyadari lensa matanya yang berwarna kebiruan. Alex sangat tampan dan sempurna. 

“Laut.”

Belum bertukar kata, Alex meminta maaf karena ia tidak bisa terlalu lama di sini. Ia memutar tubuhnya menghadap Nadhifa. “Bisa kita berangkat sekarang?”

Nadhifa mengangguk dan menoleh ke arah saya. “Laut, terima kasih untuk traktirannya. Next time, gantian saya yang traktir. Saya pergi dulu.”

Dan ketika pasangan itu pergi, saya menghela nafas dan duduk di bangku saya. Aneh. Rasanya campur aduk. Saya tidak bisa menyebutkan satu persatu apa yang saya rasakan karena sejatinya saya sendiri tidak tahu itu apa. Semuanya terasa menguap ke langit lalu hilang ditelan awan. Sejenak saya menyadari detak jantung saya yang sedikit bertambah cepat, serta tenggorokan saya yang terasa lebih kesat. 

Saya merasa ada sesuatu yang asyik bermain di dalam kepala saya, ada juga yang merobek lembaran cerita di dada saya, bahkan ada yang berteriak seakan ingin memberontak keluar. Saya membiarkan itu semua terjadi di tubuh saya, meskipun rasanya saya terusik dengan itu semua. 

Saya mengedarkan pandangan ke jalanan, meneliti wajah-wajah yang lalu-lalang di trotoar jalan. Tak lama kemudian, sebuah pesan singkat masuk dari Kakek Darmono yang menanyakan keberadaan saya, ia berkata Nenek Darmono khawatir saya terjadi apa-apa. 

Dengan cepat saya membalas bahwa saya akan segera berada di rumah lima belas menit lagi. Tanpa berlama lagi, saya bergegas pulang. 

Sesampainya di rumah, Mbah Sri mengatakan bahwa daritadi Kakek Darmono belum tidur juga karena menunggu saya pulang. Saya terenyuh mendengarnya. Saya tidak menyangka bahwa Kakek Darmono sampai segitunya memperlakukan saya. 

“Laut...” suara Kakek Darmono terdengar hingga kini saya bisa melihatnya terbungkus baju koko, sarung dan peci. Satu buah tasbih kayu menggantung di tangannya.

Saya menyalaminya dan berkata, “Maaf, Kek. Saya pulang terlalu larut.”

“Tidak apa-apa. Kakek dan Nenek hanya khawatir. Apalagi kamu baru beberapa hari di Jogja.”

“Sekali lagi, saya minta maaf.”

“Ya sudah, lain kali tolong kabari saja, ya.”

“Pasti, Kek.”

“Kamu sudah makan?”

“Sudah.”

“Kalo gitu Kakek mau lanjut witiran dulu. Nenek sudah tidur. Sekarang kamu istirahat saja. Besok pagi kita sarapan bareng.”

Saya mengangguk dan pergi ke kamar. Setelah mandi dan mencuci muka, saya langsung merebahkan diri di atas kasur. Sambil rebahan di atas kasur, saya mengamati langit kamar. Rasa kantuk belum juga datang. Hingga ponsel saya bergetar di atas meja. Ingin rasanya memiliki tangan panjang seperti karakter luffy, cocok untuk orang-orang yang malas bergerak. Dengan setengah hati, saya bangkit dan mengambil ponsel lalu kembali merebahkan diri. 

Ada nama Afina di layar ponsel saya. Sudah jam sepuluh malam lewat dan ia belum tidur. Meskipun sudah tahu apa yang akan dibicarakan, saya tetap menjawab panggilan itu.

“Hi, Fin.”

Sedetik kemudian ribuan pertanyaan mengalir tanpa henti.

“Iya, Fin. Maaf. Tadi baterai hape aku mati,” ucap saya bohong, “iya, aku minta maaf. Udah, aku udah makan. Hari ini udah ketemu pihak kampus dan penerbit. Nggak ada, ko. Semuanya lancar.... iya, next time aku janji bakal ngabarin kamu. Mmm.... lain kali, bisa? Hari ini aku capek banget.... maaf, ya.... iya, kamu juga. Mimpi yang nyenyak... bye,” saya menutup panggilan itu lalu menghela nafas. 

Saya membenamkan muka ke dalam bantal. Lelah dengan apa yang terjadi hari ini. Saya mencoba memejamkan mata, berharap saya bisa mengundang rasa kantuk lebih cepat. Tapi... setiap kali memejamkan mata, saya baru menyadari bahwa wajah Nadhifa selalu terbit dalam benak saya.

***

Rasa pegal menyerang tubuh saya pagi ini. Ingin rasanya tetap terjaga di kamar. Tapi pagi ini saya ada kelas pertama. Seseorang mengetuk pintu yang dari suaranya saya tahu adalah Mbah Sriati. Ia memberitahu bahwa Kakek Darmono sudah menunggu saya untuk sarapan. 

Saya bangun, mencuci muka dan berusaha menghilankan muka bantal saya sebelum bertemu Kakek. Setelah itu saya keluar dan pergi menuju meja makan. 

Sambil memotong sebuah roti menjadi beberapa potongan, Kakek menyambut kedatangan saya. “Bagiamana tidurnya? Kelihatannya capek sekali.”

“Iya, Kek. Badan saya seperti remuk.”

“Kamu harus tetap jaga kondisi tubuh kamu, agar Bapakmu tidak khawatir, Laut.”

Saya menelan ludah. Saya takut Kakek tahu hubungan buruk saya dengan Bapak. Terlebih lagi, kepergian saya ke sini yang sejatinya tidak disetujui Bapak. Namun, ketakutan itu dengan cepat hilang ketika Kakek melanjutkan, “Kalo kamu mengira Kakek tidak tahu tentang hubunganmu dengan bapakmu, kamu keliru. Kakek sudah tahu semuanya dari Hendra.”

“Iya, Kek,” saya hanya bisa menjawab sesingkat itu. Tidak tahu harus merespond apa.

“Tidak apa, Laut. Kadang kita memang butuh berjarak dengan beberapa orang agar kita tahu pentingnya berdekatan. Lalu... bagaiamana kuliahmu?”

“Hari ini kelas pertama saya, Kek.”

“Semoga lancar. Nah, Burok aman, kan?”

“Aman, Kek. Ya... meskipun kemarin ada sedikit kendala, tapi alhamdulillah semuanya bisa diselesaikan dengan lancar.”

“Syukurlah. Jam berapa kelasmu dimulai?”

“Jam sembilan, Kek. Dua jam lagi.”

“Ya sudah, kalo begitu mari kita sarapan dulu.”

“Nenek tidak ikut sarapan, Kek?”

“Nenek tidak biasa sarapan jam segini. Tapi sebentar lagi ia akan bergabung dengan kita.”

Dan benar saja. Ketika saya dan Kakek tengah menyantap roti, Nenek keluar mengenakan mukena putihnya lalu duduk di samping Kakek. Ia meminta pada Mbah Sri untuk membuatkan jahe hangat. 

“Nek,” panggil saya.

“Iya?”

“Laut ingin minta maaf kalo tadi malam Laut pulang terlambat dan membuat Nenek khawatir.”

“Sudah, tidak apa-apa. Lain kali jangan diulang.”

“Iya, Nek.”

Kami bertiga pun membuka pagi ini dengan perbincangan mengenai banyak hal; politik, agama, kuliah saya hingga bagaimana saya bisa berteman baik dengan Hendra. Belum satu minggu saya tinggal di rumah ini, tapi rasanya seolah saya sudah lama menjadi bagian dari keluarga ini. Entahlah, setidaknya hal ini bisa mengobari kerinduan saya pada apa yang mereka sebut keluarga, satu hal yang sudah lama hilang semenjak Ibu meninggal. 

Saat Kakek dan Nenek tengah membicarakan rencana mereka untuk merombak halaman depan rumah, saya mengiterupsi sedikit ucapan mereka dengan mengatakan, “Kek, Nek, saya ingin bekerja.”

Nenek sedikit  melongo mendengar kemauan saya itu. “Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Saya hanya ngerasa kalo saya nggak bisa tinggal di rumah Kakek dan Nenek tanpa ngelakuin apa-apa.”

“Lohh... kamu kan sudah sibuk dengan kuliah. Belum lagi, kamu ada kerjaan dengan penerbit,” balas Nenek.

“Saya kira saya masih banyak waktu kosong, Nek. Jadi, saya bisa bantu Kakek dan Nenek.”

“Memangnya kamu mau kerja apa?” Kakek angkat suara.

“Apa aja, Kek.”

“Ya sudah, nanti Kakek pikirkan dulu. Sekarang kamu fokus dulu saja dengan kuliah dan tulisanmu.”

Merasa sudah kenyang, saya pamit pada Kakek dan Nenek untuk pergi ke kamar setelah mencuci piring bekas makan, hal yang selalu ditekankan oleh almarhumah Ibu setiap kali kami berkunjung ke rumah orang lain.

*** 

Tidak ada yang lebih dahsyat daripada siraman air dingin di cuaca yang terasa panas. Itulah yang saya nikmati sekarang. Membiarkan siraman air membasahi kepala, melunturkan segala kepenatan yang bersarang di sana. 

Setelah mandi, saya merapihkan kamar sendiri meskipun Mbah Sri kerapkali menawarkan diri untuk membersihkannya, disuruh Nenek katanya. Tapi, saya menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan. Alasan klasik, tapi begitulah kenyataannya. 

Begitu sampai di kelas, saya lantas mengeluarkan laptop dan buku dari tas. Sembari menunggu dosen datang, saya melanjutkan cerpen yang tengah saya tulis. 

“Suka nulis, ya?”

Saya menoleh dan melihat seorang perempuan dengan rambut pendek kemerahan dan hidung mancung sedang tersenyum pada saya.

“Hah? Iya.”

Perempuan itu menjulurkan tangannya pada saya, mencoba memperkenalkan diri, “Maudy.”

Saya menyambutnya dan berkata, “Laut.”

Belum sempat berbincang panjang, dosen Sastra yang kita tunggu akhirnya datang juga. Setelah meletakkan tasnya di atas meja, dosen bernama Pak Saleh itu memberikan muqodimmah untuk pelajaran hari ini. 

Kami menyimak dengan hikmat sampai kelas berakhir. Saat tengah memasukkan buku-buku ke dalam tas, Maudy berusaha mengajaka saya bertukar kata. Awalnya saya menyambut, namun, seseorang yang baru saja melewati kelas saya mengalihkan pandangan saya. 

“Maaf, saya duluan, ya,” ucap saya buru-buru lalu pergi keluar kelas. 

Perempuan dengan hijab putih itu sedang berjalan menuju kantin ketika saya menyusulnya dan mengatakan, “Hai, Nad. Mau ke kantin, ya?”

Ia menoleh, memberikan tatapan tajamnya dan dengan tukas menjawab, “Kenapa?”

“Ya Allah, Nad. Perasaan baru kemarin kita damai, masa udah ribut lagi,” jawab saya dengan melas yang ternyata malah ia balas dengan tawa pelan. 

Melihat tawanya di pagi ini, saya langsung tersenyum lebar, “Nad, kamu tahu nggak?”

Sembari berjalan menuju kantin, ia menjawab, “Ya kan belum kamu kasih tahu.”

“Kamu tahu nggak kalo ketawa kamu tuh bisa jadi penyemangat buat orang lain?”

Nadhifa menggelengkan kepala lalu membalas, “Kamu tahu nggak?”

“Apa?”

“Gombalanmu barusan bisa bikin orang yang mendengar muntah?”

Saya menelan ludah. Jahat banget balasannya, batin saya berkata.

Gerombolan mahasiswa memenuhi kantin saat ini. Beberapa dari mereka ada yang merokok, berdiskusi, bernyanyi atau bermain gitar. Saya dan Nadhifa memilih duduk di bangku di sudut kantin setelah memesan dua gelas jus mangga. Kami duduk berhadap-hadapan. 

Entah ada yang salah dalam saya berpakaian atau bersikap, saya dan Nadhifa resmi jadi tontonan para mahasiswa. Saya merasa risih, tapi tidak dengan Nadhifa. 

“Nad, ko kita jadi bahan tontonan gini, ya?”

“Daripada jadi bahan taruhan, kamu mau?”

Saya tersenyum canggung mendengar candaan yang seharusnya lucu, tapi tidak karena itu keluar dari mulut Nadhifa. Bagaimana tidak, dia saja memasang wajah datar saat mengatakan itu. Belum ada satu menit kami duduk, Nadhifa sudah tenggelam bersama laptopnya. 

“Nad, lagi ngapain?”

“Ngedit.”

“Pasti banyak banget salahnya ya sampai kamu kelihatan fokus banget.”

“Iya. Kalo boleh, saya ingin buang tulisan ini.”

“Memangnya lagi ngedit tulisan siapa, Nad?”

“Tulisanmu.”

Saya melongo kaget. Ternyata Nadhifa benar-benar berubah menjadi monster ketika sedang memposisikan dirinya sebagai editor. 

“Memangnya tulisan saya seburuk itu ya, Nad?” Kali ini saya harus bisa memahami maksud Nadhifa. Saya harus siap dikritik olehnya karena saya yakin ia lebih memahami tugasnya ketimbang saya. 

Nadhifa mengangkat jari-jarinya dari papan keyboard. Ia menatap mata saya. Untuk sesaat saya bisa melihat bola matanya yang indah. Saya yakin tidak ada lelaki yang tidak terpana ketika melihat wajahnya dari dekat. 

“Laut, menulis itu bukan hanya merangkai kata. Selain harus memikirkan konflik, plot twist, karakter dan kerangka lainnya, kamu harus paham bahwa menulis adalah menciptakan sesuatu yang bernyawa. Kalau kamu mau tulisanmu hanya dibaca sekali, lalu dilupakan begitu saja, selamat... karena kamu sudah mencapai posisi itu. Tapi, kalau kamu mau tulisanmu berdampak untuk para pembaca, kamu masih jauh dari posisi itu. Maaf kalau ucapan saya kerapkali menyakitkan, saya hanya—-“

“Tidak, Nad,” potong saya, “saya malah berterima kasih sama kamu. Karena kritikanmu, saya sadar kalo saya tidak boleh puas dan masih harus belajar.”

Tidak lama kemudian kami berdua melihat Mas Bima datang sambil bertanya, “Kalian sudah berdamai?”

Nadhifa menoleh ke arah Mas Bima dengan tatapan tajamnya. Mendapatkan tatapan seram seperti itu, Mas Bima langsung nyengir dan melanjutkan, “Bercanda, Mba. Ampun.” Ia mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat mengaku kalah. 

Akhirnya Mas Bima ikut bergabung dengan kami berdua. Ketika kami tengah membahas cerpen-cerpen saya yang dikritik habis-habisan oleh Nadhifa, ada seorang mahasiswi yang mendekati kami. 

“Permisi.. boleh join?” 

Kami bertiga menoleh dan melihat Maudy sedang membawa satu piring ayam goreng dan satu botol air mineral. “Kursi yang lain penuh. Terus aku nggak sengaja lihat kursi kalian ada yang kosong.”

Mas Bima langsung berdiri dan mempersilakan Maudy duduk di samping saya. 

“Hai,” Maudy menyapa saya dengan senyumannya.

“Hai,” balas saya.

“Kamu udah makan?” 

Saya agak terkejut mendengar pertanyaannya. Bukan karena saya baru mengenalnya hari ini, tapi karena saya menangkap panah perhatian dari pertanyaannya. 

“Belum, sih. Tapi, saya....”

“Mau aku pesenin?”

“Nggak. Nggak usah. Nanti saya pesen sendiri aja.”

Ekor mata saya terarah pada Nadhifa yang kembali sibuk dengan laptopnya. Saya memalingkan wajah ke arahnya dan berkata, “Oh ya. Terus tadi gimana, Nad?”

“Kita obrolin nanti aja,” ucapnya datar tanpa menoleh ke arah saya. Nada suaranya kembali seperti biasanya; datar dan tegas. Kali ini wajahnya lebih dingin daripada biasanya. 

Sedetik kemudian meja makan kami dihujani dengan puluhan cerita dari Maudy yang sebagian besar hanya berputar pada pengalamannya keliling Eropa, membeli tas mahal, berfoto di tempat-tempat aesthetic, menjadi model untuk suatu majalah, dan cerita lainnya yang tidak terlalu saya pedulikan karena pikiran saya sepenuhnya tertuju pada Nadhifa. 

Nadhifa akhirnya bangkit dan berjalan pergi. Seolah didorong sesuatu, saya pergi menyusul Nadhifa yang tiba-tiba melangkah dengan cepat. Saya mengedarkan pandangan, mencoba mencari Nadhifa hingga saya melihat ia tengah duduk di sebuah bangku taman. 

Darah saya terasa berdesir. Ada yang melonjak dalam hati saya ketika melihat Nadhifa menunduk, menutup wajahnya. Langkah kaki saya hendak melangkah mendekatinya sebelum akhirnya tertahan karena arah mata saya menangkap Alex sudah berada di sampingnya dan mendekapnya erat.  

Saya membiarkan Alex mengusap bahu Nadhifa, seolah menguatkan Nadhifa dari air mata yang meleleh di pipinya. Saya sudah pernah melihat Nadhifa menangis, tapi, kenapa kali ini berbeda? Saya berusaha bersikap wajar, memandang semuanya dengan logika bahwa memang Alex-lah yang seharusnya berada di sisi Nadhifa, memeluknya dan menjadi wadah air matanya, karena Alex adalah kekasih Nadhifa dan saya harus sadar akan hal itu.

***

Di bawah sinar lampu meja, saya menatap layar laptop. Kumpulan kertas berisi ide cerita berserakan di sekitar saya. Beberapa kaleng soda sudah memenuhi tempat sampah. Saya mencoba menuangkan kata-kata yang sudah berkumpul di kepala. 

Jari-jari saya mulai menari di atas keyboard. Tapi, baru saja satu kalimat terselesaikan, jari saya sudah menekan tombol delete hingga kertas di layar laptop itu kembali kosong. Hal itu terulang beberapa kali sampai saya sendiri merasa buntu. Saya tidak tahu ingin menulis apa. Saya mencoba membayangkan alur cerita yang sederhana, tapi gagal. 

Setiap kali saya mencoba menulis, setiap kali itu juga kepala saya terasa kosong. Saya seolah berubah menjadi jasad tanpa nyawa. Sesuatu terasa bergetar dalam hati saya ketika wajah Ibu mendadak hadir dalam benak saya. Di sana Ibu terlihat sangat cantik dengan gaun putih panjang yang membungkus tubuhnya. Saya berusaha menyelami bola matanya yang selalu saya rindukan. Karena di sana, saya bisa menemukan kehangatan yang tidak pernah bisa saya dapatkan dari orang lain. Kehangatan yang bercampur dengan ketulusan, keikhlasan dan kasih sayang. 

Saat ini, entah kenapa saya ingin sekali memeluk Ibu, membiarkan Ibu mengusap rambut saya saat air mata saya turun tanpa perlu saya tahan. Saya masih terpaku di tempat. 

“Bu, apa yang terjadi sama Laut, Bu? Kenapa Laut tidak bisa menulis apa pun? Kenapa semuanya terasa buntu, Bu?” 

Saat itu, tiba-tiba saya merasakan seseorang memeluk saya dari belakang. Saya tidak mungkin salah, apalagi ragu. Saya yakin ini adalah pelukan Ibu. Dalam pelukannya, ia berkata, “Jangan biarkan dirimu terikat pada satu hal yang tidak kamu inginkan, Laut.”


Komentar

Postingan Populer