Catatan Untuk Tuhan: Ketika Bertahan Bukanlah Pilihan.
Pict by me.
Pernahkah kamu merasa ada di titik di mana kamu tidak lagi bisa bergerak, tidak bisa melakukan sesuatu yang kamu inginkan, tidak bisa mendapatkan sesuatu yang kamu butuhkan. Yang kamu jalani adalah kehidupan yang tidak pernah jadi pilihan. Semua seolah teka-teki yang sudah disepakati. Semua seolah catatan yang tidak bisa lagi kamu isi.
Hidup saya seolah catatan penuh yang diberikan Tuhan ketika saya diciptakan. Saya tidak tahu caranya berkehendak. Saya tidak tahu caranya memilih. Saya tidak tahu caranya menginjak bumil. Saya tidak tahu caranya melawan. Bahkan saya tidak tahu caranya bersuara.
Semua sudah termaktub dalam lembaran kehidupan yang hanya bisa saya jalankan. Dan malam ini, saya ditemani segelas teh lemon hangat tanpa cemilan. Bukan karena tidak ingin membelinya, tapi karena memang tidak punya uang.
Setelah menjalani aktivitas dari pagi sampai sore, saya merasa lelah dengan ini semua. Semuanya hanyalah repetisi membosankan yang mau tidak mau harus saya biarkan mengalir. Rutinitas harian yang menjadikan saya seperti tidak punya nyawa, seolah saya hanya mirip boneka yang dipajang di toko-toko mainan.
Dan kemudian pertanyaan itu datang.
Apakah saya ingin terus hidup seperti ini? Apakah saya hanya membiarkan hidup mengalir tanpa tujuan yang pasti? Apakah Tuhan menciptakan manusia hanya untuk menjalani aktivitas yang tidak ada tidak kejelasannya? Atau memang hidup hanya diisi oleh bangun pagi, bekerja, makan, tidur? Begitu seterusnya sampai kematian menghampiri?
Maka di sinilah saya. Menulis sebuah catatan untuk Tuhan, bermaksud mengatakan pada-Nya bahwa bertahan bukanlah pilihan. Saya ingin menceritakan semuanya, membiarkan Tuhan merasakan apa yang saya rasakan. Mulai dari kebahagiaan, kesedihan, bahkan kekecewaan pada-Nya. Saya menulis ini semua hanya agar saya tidak terdampar di pinggiran hidup yang tidak berakar. Saya tidak ingin melupakan keresahan yang terbit di dada dan kepala saya setiap mata ini terbuka di esok paginya. Saya tidak ingin bahwa suatu saat nanti tubuh saya hanya akan hancur tanpa pernah orang-orang mengingat saya pernah hidup.
Malam ini hujan tidak turun. Langit sedang cerah dengan bintang dan bulan yang tengah berdiskusi di atas sana. Entahlah, mungkin mereka juga sedang menertawakan para manusia yang beraneka macam kelakuannya; ada yang belajar dengan giat hingga lupa istirahat, ada yang tenggelam dalam mimpi hingga lupa mewujudkan mimpi, ada yang tertawa ditemani kekasihnya, ada yang kecewa karena ditinggal kekasihnya, ada pula yang tidak tahu harus apa.
Entahlah, para manusia memang kerapkali jadi mahluk paling aneh. Diberikan akal, namun tak digunakan. Diberi kepintaraan, namun tidak dimanfaatkan. Diberi kebodohan, namun tidak dihilangkan. Diberi kehidupan, namun menginginkan kematian.
Hidup memang tidak semudah yang saya bayangkan. Waktu kecil, saya mengira hidup adalah dimensi baru yang saya tunggu-tunggu, yang saya kira sangat mudah untuk dijalankan. Hingga saya mulai menyadari bahwa semua itu tidak sesederahana yang saya pikirkan.
Saya mulai mempertanyakan untuk apa saya diciptakan? Untuk apa saya terlahir sebagai manusia? Untuk apa saya harus menjalani ini semua? Bekerja untuk cari makan dan minum, belajar untuk menjadi pintar, beribadah untuk bersyukur pada Tuhan, dan menikah untuk mendapatkan keturunan. Atau hal-hal lain yang tidak saya mengerti tujuannya.
Namun, nahasnya, semua itu tidak bisa saya dapatkan dengan mudah. Ada banyak kerikil kecil yang kerapkali menjatuhkan saya. Ada banyak rintangan yang kerapkali menghalangi saya. Bahkan ada banyak pilihan yang membuat saya bingung harus ke mana. Saya mencoba bertahan, berharap Tuhan memberikan ilham pada saya.
Sudah puluhan ceramah saya dengar, sudah puluhan petuah saya jalankan, dan sudah puluhan kali saya mencoba bertahan. Tapi... saya sadar bahwa bertahan bukanlah pilihan.
Saya tidak bisa mengelak dari misteri hidup ini. Apa yang saya rencanakan, belum tentu sesuai dengan kenyataan. Dan apa yang sudah terjadi, belum tentu sesuai dengan apa yang saya kehendaki. Bahkan, apa yang mereka ingin saya jalani, belum tentu sesuai dengan isi hati. Saya yakin Tuhan punya alasan kenapa saya harus menjalani kehidupan seperti ini. Mungkin orang-orang berpikir saya terlalu jauh tenggelam dalam kecemasan. Tapi dalam hati saya, saya tidak bisa berjalan dalam ketidakpastian.
Maka, di kesempatan kali ini saya ingin mengatakan pada Tuhan, “Engkau menciptakan saya atas dasar kasih sayang. Selamanya saya tidak akan pernah lepas dari rahmatmu. Namun, kali ini benar-benar muak pada hidup ini, hidup yang tidak pernah bisa saya mengerti. Maka dari itu, izinkahlah saya mendapatkan kejelasan ke mana saya harus melangkah, karena bertahan seringkali hanya menyakiti perasaan,”
Komentar
Posting Komentar