PSH-Part Eight-2021

 


Source: pinterest.com


Delapan

Selaras


“Udah selesai?” tanya Hendra sembari berdiri di motor. Sebatang rokok menempel di sudut mulutnya. 

“Udah,” jawab saya setelah membersihkan pusaka Ibu. Hari ini hari Jumat dan setiap hari Jumat adalah jadwal wajib saya dan Bapak berziarah ke makam Ibu. Meskipun begitu, saya dan Bapak tetap berziarah di jam yang berbeda. Biasanya Bapak berziarah pagi hari, sedangkan saya sore hari. Tidak ada alasan lain selain hubungan buruk yang terjalin di antara kami. 

“Gue udah dapet info tentang kegiatan Afina dari beberapa teman gue yang sekolah di sana juga. Dan sore ini dia ada jadwal latihan basket di daerah Cibubur. Lo mau ke sana?”

“Gak tau, Hend. Gue masih bingung mau ngomong apa.”

“Ya udah. Yang penting lo ketemu dulu.”

“Kalo dia masih badmood atau kesel?”

“Gak usah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terjadi.”

Saya pun memberanikan diri untuk pergi ke tempat latihan Afina. Hendra ikut serta menemani. Katanya ada teman yang mau ditemuinya. 

Waktu menuju tempat latihan Afina hanya membutuhkan waktu setengah jam. Di sana saya melihat kumpulan anak-anak cowok dan cewek seumuran saya yang tengah berlatih basket. Seseorang di antara mereka sesekali meniup peluit, mengarahkan anak-anak itu melangkah dari satu titik ke titik lain. Sepertinya ia adalah pelatihnya. 

Saya dan Hendra duduk di tribun penonton. Entah kenapa jantung saya terpompa lebih kencang. Darah mengalir lebih cepat. Saya takut hanya memperburuk suasana. Dari jauh, salah satu teman Hendra bernama Raiden mengangkat tangan ke arah Hendra. Hendra membalasnya dengan jempol. 

Beberapa menit kemudian, peluit panjang berbunyi. Sang pelatih memberikan mereka waktu istirahat sepuluh menit.

Raiden pun menghampiri kami berdua. Hendra melakukan sedikit basa-basi sebelum bertanya tentang keberadaan Afina. Raiden pun menunjuk ke satu arah, di mana saya bisa melihat Afina sedang duduk bermandikan keringat. Rambutnya dikuncir kuda. Tiba-tiba Raiden memanggil Afina. 

Seketika itu juga pandangan saya dan Afina bertemu di garis yang sama. Untuk beberapa detik kami berdua hanya saling pandang. Afina berdiri dan menghampiri saya, Hendra dan Raiden. Ia pun menyapa Hendra dan hanya Hendra. 

Ini benar-benar isyarat bahwa ia kesal pada saya. 

Belum mengobrol apa-apa, Hendra meminta pada Raiden untuk menemaninya ke toilet. Raiden hanya mengikuti tanpa curiga. Tinggallah saya dan Afina berdua di tribun. Saya diam tidak berbicara. Jujur, saya kagum pada kecantikannya saat ini. Meskipun kening, pipi dan lehernya dipenuhi keringat, ia tetap terlihat cantik. 

Sudah hampir dua menit dan kami masih sama-sama dipenjara oleh kebisuaan. Hingga akhirnya dia berbicara, “Kamu gak mau ngomong apa-apa, kan? Aku mau ke teman-teman aku.” Intonasinya cukup datar, menandakan ia masih enggan untuk berbicara dengan saya.

Ketika langkah kakinya hendak pergi, secara refleks, tangan saya mengambil tangan kirinya dan menahannya untuk tidak pergi. “Gue mau ngomong sesuatu.”

Semua yang ada di otak saya mulai tersusun rapih, seolah mereka adalah data yang siap dibiarkan muncul ke permukaan. Saya meminta Afina untuk duduk kembali. Walaupun duduk kami masih berjarak, setidaknya saya tahu ia mendengar saya dengan simak. 

“Kamu mau ngomong apa?” 

“Kenapa lo gak balas chat gue?”

“Lupa.”

Matanya terus menatap arah lain. Tidak sekali pun ia sangkutkan pandangannya ke mata saya. Saya berusaha menyusun kata-kata yang sederhana namun tetap sasaran. Takut suasana hati Afina semakin buruk. Berat sekali untuk membuka mulut dan mengeluarkan ribuan pertanyaan yang sudah beberapa hari ini menghantui saya. Tapi saya harus mengatakannya. Kalau tidak, pikiran saya tidak akan kembali fokus. 

Afina menoleh ketika menyadari saya tidak lagi berbicara. Saya cukup terkejut dengan pandangan tajamnya. Saya menelan ludah berat. 

“Gak ada lagi? Kalo gak ada lagi, aku mau gabung sama yang lain. Waktu istirahatnya udah mau habis.”

Tidak langsung mendapat jawaban, Afina pun bangkit. Namun, langkahnya kali ini kembali berhenti. Bukan karena saya menggenggam tangannya, tapi karena ia mendengar ucapan saya. 

“Gue cuma mau ketemu lo doang, Fin. Sekalian gue mau minta satu hal dari lo. Gue minta lo jangan marah lagi sama gue. Gue mau lo gak pergi lagi.”

Saya yakin Afina tahu maksud dari ucapan saya barusan. Saya langsung menunduk setelah mengucapkan itu, khawatir ia malah memarahi saya habis-habisan meskipun mau tidak mau saya harus menerimanya. 

Belum lama berselang, kini saya melihat Afina sudah berdiri di depan saya. Ia memasang wajah yang tidak bisa saya jelaskan. Tapi yang saya lihat, bola matanya sedikit gemetar. Pun dengan bibirnya. Ia melemparkan senyuman yang tidak bisa ditahan. Saya sedikit bingung. Apakah ia sedang sedih atau bahagia. 

Saya berdiri. 

“Fin, kalo gue ada salah sama lo, gue minta maaf.”

“Mau kamu tuh sebenarnya apa sih, Laut? Aku udah capek-capek lari, tapi ternyata dengan mudahnya kamu kembali. Aku udah berusaha ngelupain, tapi dengan mudahnya kamu ngingetin. Aku udah berusaha untuk nahan, tapi lagi-lagi dengan mudahnya kamu menghancurkan. Mau kamu tuh apa?” Afina berkata dengan nada parau tapi tidak keras. Meski begitu, saya berhasil menangkap kegetiran di setiap kata-katanya. 

Afina cepat-cepat mengusap air matanya yang hendak mengalir. Wajah saya membeku melihat raut wajahnya. Saya benar-benar tidak bisa mengesampingkan bahwa kini Afina seolah membiarkan saya tahu bahwa ada perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan. 

Ketika saya melihat ia hendak kembali berbicara. Saya langsung menarik tubuhnya ke tubuh saya. Saya peluk ia erat dan berkata, “Cukup, Fin. Cukup. Mulai sekarang, gue bakal ada di samping lo dan lo gak perlu nyakitin diri lo sendiri.”

Saya tidak tahu apa yang saya rasakan sekarang. Tapi yang pasti saya tahu, seseorang telah menaruh hatinya di ruang hati saya. Dan untuk beberapa alasan, saya tidak ingin ia hancur. Meskipun saat ini saya belum bisa membiarkan Afina masuk ke dunia saya. 

Saya memegang kedua pipi Afina dan mengatakan, “Udah, ya. Lo udah maafin gue, kan?”

Ia mengangguk lalu mengatakan, “Maaf, aku udah nyuekin kamu beberapa hari ini.”

“Gak apa-apa. Hidup gue jauh lebih tenang.”

Ucapan saya dibalas dengan sebuah tonjokan keras di bahu. “Aduh! Bercanda! Demen banget sih mukul?!”

“Lagian!”

“Lama-lama gue beliin samsak nih!”

“Aku maunya mukul kamu aja.”

“Jangan dong! Nanti guenya gak ganteng lagi.”

Sekali lagi pukulan mendarat di bahu saya. Bahkan kali ini lebih keras.

“Udah mulai sok ganteng, ya.”

Saya tertawa melihat raut wajah kesalnya. Ingin sekali saya mencubit kedua pipinya itu. “Ya udah sana latihan,” tukas saya.

“Malam ini kamu ada kegiatan?”

Saya menggelengkan kepala. 

“Temenin aku beli buku mau?”

“Emangnya gak capek?”

“Capek sih. Tapi buku ini buat kado sepupu aku. Besok dia ulang tahun.”

“Ya udah. Gue aja yang beliin. Nanti gue anter ke rumah lo.” 

“Tapi, akunya mau ik---“

“Sssstttt. Lo tuh butuh istirahat. Kalo lo sakit, nanti siapa yang bikin kesel gue?” 

Saat saya melihat tangannya sudah mengepal dan hendak memukul, saya memejamkan mata dan meminta ampun. Mendadak saya rasakan tangannya malah mengacak-ngacak rambut saya dan berkata, “Makasih ya udah perhatian.”

Sebilah senyum merangkak di sudut bibir saya. Kami saling memandang sebelum pandangan kami pecah karena sang pelatih sudah kembali meniupkan peluit, tanda meminta anak-anak muridnya kembali berlatih.

“Aku latihan lagi, ya. Dahhh.”

Saya hanya melambaikan tangan. Untuk saat ini, saya merasa bersyukur permasalahan antara saya dan Afina sudah mereda. Meksipun saya tidak tahu hal apa yang akan terjadi nanti. Tidak tahu kenapa, saya hanya merasa dunia saya mulai semakin tidak nyata, dunia yang selama ini hanya membuat saya ingin menulis cerita-cerita fiksi. Karena hanya dengan cerita fiksi, saya bisa menciptakan hidup sesuai kemauan saya. Termasuk menghadirkan seorang Ibu.

***

Bulan mulai merangkak. Bintang-bintang bertebaran di langit. Saya keluar dari rumah mengenakan sweater hitam dan celana hitam serta sepatu converse lama. Saya sudah menerima titipan Afina. Ia memesan novel Antares karya Rweinda. Setau saya itu novel dari Wattpad. Ya, akhir-akhir ini memang novel itu sedang jadi buah bibir karena kabarnya novel itu akan diadaptasi menjadi sebuah series. Sedangkan saya sendiri ingin membeli buku Thinking Fast and Slow karya Daniel Kahneman, salah satu buku yang menurut saya wajib dibaca oleh semua pelajar. 

Hari ini saya pergi sendirian. Hendra tidak bisa ikut karena sedang ada pertemuan keluarga di rumahnya. 

Saya tiba di gramedia Depok lima belas kemudian. Setelah memarkirkan motor, saya bergegas pergi ke toko buku yang berada di lantai dua. Tidak sulit bagi saya untuk menemukan dua buku yang ingin dibeli. Setelah membayar biayanya di kasir dan pergi ke lapangan parkir, saya pun melaju menuju rumah Afina. 

Saya memencet bel rumahnya. Tidak lama kemudian, Afina keluar mengenakan celana training dan kaos lengan pendek. Saya mengernyitkan kening. Sudah jam sembilan malam dan ia belum juga tidur.

“Kenapa belum tidur?” tanya saya sambil memberikan titipan bukunya. 

“Nunggu kamu.”

“Kenapa?”

“Gak ada apa-apa.”

“Bohong.”

Ia menyengir lebar. Selanjutnya ia berkata, “Laper.” Tidak sulit menebak maksud di balik ucapannya barusan. Sederhana saja, ia minta untuk ditemani makan. 

“Mau makan di mana?”

“Mau nasi gorengnya teman kamu yang waktu itu.”

“Si Agung?”

Ia mengangguk cepat. 

“Ya udah, tapi makan di rumah aja. Biar lonya langsung bisa istirahat.”

Ia bersikap memohon sambil memegang kedua tangan saya. “Yahhh, makan di sana aja, ya. Plisssss.”

Saya menghela nafas, memaklumi sikapnya yang tiba-tiba berubah menjadi manja seperti ini. Saya menganggukkan kepala. Ia langsung tersenyum lebar dan berkata, “Makasihhhhh.”

“Iya. Oh ya, orangtua lo ada di rumah?”

“Ada. Kenapa?”

“Gue mau ketemu sama mereka.”

Afina melongo. “Ha? Mau apa?”

“Ya mau izin sama mereka lah, Fin. Gue gak mau jemput anak perempuan, sedangkan orangtuanya gak tau siapa yang jemput.”

“Harus banget?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Ya karena saat gue jemput lo, itu artinya lo tanggung jawab gue.”

Ketika saya hendak melangkah, saya melihat ia masih mematung di tempat dengan senyum manisnya. Matanya memandangi saya dengan aneh. “Lo kenapa? Sakit perut?”

Ia menggelengkan kepalanya.

“Kesemutan?”

Sekali lagi ia menggelengkan kepalanya.

“Mau kentut?”

Lagi-lagi ia menggelengkan kepala.

“Ya terus?”

“Aku senang.”

“Karena?”

“Karena Tuhan ngizinin aku untuk ketemu sama kamu.”

Gantian saya yang dibuat diam tanpa suara. Saya menghampirinya, mengacak rambutnya dan berkata, “Gue juga senang.”

Afina meminta saya untuk menunggu di ruang tamu karena ia akan memanggil Ibunya. Sedangkan ayahnya masih belum pulang dari kantor. Tak lama kemudian seorang perempuan berparas cantik datang. Saya masih mau mengakui kecantikan ibunya Afina. Meski sudah memasuki usia empat puluh tahun, saya yakin orang-orang akan menganggap Afina dan ibunya seperti adik-kakak. Kini saya tau dari mana kecantikan Afina itu didapatkan.

Setelah memperkenalkan diri dan meminta izin untuk menemani Afina makan malam di luar, saya dan Afina pamit dan pergi menuju nasi goreng Agung. Di perjalanan, Afina meletakkan dagunya di bahu saya dan rasanya seperti disetrum dengan tegangan listrik yang tinggi. Awalnya saya sedikit gelisah, tapi saya mulai menikmatinya. 

Agung menyambut kedatangan Afina dengan ceria. Bahkan ia sengaja menarik kursi dan mempersilakan Afina untuk duduk bak adegan romantis di sebuah film. Sedangkan untuk saya, ia hanya melirik memberi kode, seakan ia bertanya, “Hubungannya sudah membaik?”

Saya hanya mengangguk singkat. 

Agung mulai mengeluarkan buku pesanan dan bertanya, “Mba dan supirnya ini mau makan apa ya?”

Belum lama duduk, Agung sudah membuat Afina tertawa. “Aku mau nasi gorengnya, ya,” jawab Afina. Dan Agung mencatat di kertas sebelum ia menambahkan catatan ketika Afina melanjutkan, “tapi jangan pedes ya, Bang.”

Seketika itu juga Agung melongo dan berkata, “Loh? Yang waktu itu kan pedes, Mba.”

“Iya. Aku lupa bilang. Tapi, gak papa, ko. Lagian waktu itu Laut yang makan nasi gorengnya. Dia kan suka pedes.”

Tiba-tiba Agung tertawa. “Mba, Laut ini paling gak suka sama makanan yang pedas-pedas.” 

Saya mengalihkan pandangan. Terbongkar sudah. 

“Ya sudah, berarti malam ini nasi gorengnya yang biasa dan gak pedas. Ditunggu, ya.” Agung beranjak pergi, meninggalkan Afina yang kini menatap saya. Saya bersiul singkat sebelum ia memanggil saya. Saya menoleh dengan cengiran lebar.

“Kamu gak suka pedas?”

Saya menggelengkan kepala. 

“Ko waktu itu gak bilang? Aku jadi ngerasa bersalah.” Raut wajahnya menunjukkan penyesalan. 

“Udah. Gak apa-apa, ko. Lagian gue baik-baik aja.”

“Kamu gak bulak-balik toilet?”

“Iya, sih.” Kembali saya menyengir. 

“Berapa kali?” 

“Lima.” 

“Tuh, kan! Itu artinya perut kamu bermasalah.”

“Ya udah. Gak apa-apa. Hitung-hitung buang dosa.” 

Tawanya pecah saat mendengar ucapan saya barusan. Mendengar tawanya itu, saya setuju dengan perkataan saya di rumah Afina. Saya berterima kasih pada Tuhan karena telah mengizinkan saya bertemu Afina, sosok yang sekarang tengah mewarnai hidup saya. Meski, masih ada bagian dari diri saya yang belum mampu membuka pintu ruang hati untuknya. 

Saya terus menatap matanya ketika ia bercerita mengenai kesukaannya pada basket. Ia sudah bermain basket sejak SD. Tapi, meski begitu, ia tidak pernah memiliki niat untuk menjadi atlet profesional. 

“Emangnya lo mau jadi apa?”

“Psikolog,” serunya semangat. “Aku pengen banget jadi psikolog. Gak tau kenapa, aku suka banget bantu orang lain, termasuk nemenin orang lain sembuh dari lukanya, memberi mereka kehangatan saat hidup gak adil buat mereka. Aku suka banget jadi jembatan buat orang-orang yang ingin sembuh.”

Ketika mendengar keinginannnya menjadi psikolog, seketika itu juga nama Zia terlintas di benak saya. Dulu Zia juga pernah bercerita bahwa ia ingin menjadi psikolog. 

Lamunan saya pecah ketika Afina meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri saya dan mengusapnya. “Kamu gak apa-apa?”

“Gak ko, Fin. Gue gak apa-apa.” 

Afina menghela nafas. Suara lembutnya memasuki lorong telinga saya, merayap di tulang-tulang saya sebelum ia menetap di hati saya dan menghangatkan tubuh saya dengan perkataan, “Laut. Aku hadir dalam hidup kamu bukan untuk jadi beban buat kamu. Aku mau aku jadi tempat kamu tumbuh dan berbagi. Jadi, kalo kamu ada masalah apa pun, aku mohon sama kamu untuk cerita.”

Saya langsung tersenyum. “Terima kasih, Fin.” 

“Ehm, ehm.” Suara dehaman Agung menghancurkan suasana. Saya dan Afina buru-buru menarik tangan kami masing-masing. 

“Maaf mengganggu waktu Mba dan pembantunya, tapi, ini minumannya,” ucapnya sambil meletakkan dua es teh manis.

Afina menutup mulutnya, menahan untuk tidak tertawa keras. Cepat-cepat saya mengusir Agung. “Udah, lo sana. Ganggu aja!”

Agung melirik sinis sebelum berkata pada Afina, “Mba, kalo punya pembantu galak gini, mending langsung pecat aja. Jangan jadiin pembantu. Tapi, jadiin pacar.”

Candaan Agung kali ini tidak membuat Afina tertawa, melainkan membuat pipinya merah. Buru-buru ia menutup muka dengan telapak tangannya. Agung yang sudah membuat candaan itu langsung pergi tidak bertanggung jawab. 

Setelah menyantap nasi goreng, saya mengantar Afina pulang, sesuai janji saya dengan ibunya.  Sesampainya di rumah Afina, saya pun kembali masuk ke rumahnya untuk bertemu kembali dengan ibunya dan mengatakan bahwa Afina telah kembali dengan sehat wal afiat. Sekaligus saya pamit pulang. 

Afina mengatar saya ke depan rumah. Sesaat sebelum saya menyalakan mesin motor, Afina mendekati saya dan berkata lembut, “Makasih buat hari ini.”

Meskipun ucapan terima kasih terbilang sederhana, entah kenapa bagi saya, ucapan seperti itu punya jiwanya sendiri. Ia punya apa yang tidak bisa diberikan kata lain; kekuatan menghargai. 

Saya tersenyum dengan perasaan campur aduk lalu membalas, “Mimpi yang nyenyak, ya.”

“Kenapa gak mimpi yang indah?”

“Gak perlu mimpi indah. Bisa tidur nyenyak aja udah keindahan, ko.”

Malam itu ditutup dengan tawa lembut dari Afina. Tawa yang kini jadi apa yang selalu ingin saya dengar dari mulutnya. Tawa yang saya sadari sudah menjadi salah satu kepingan bahagia dalam hidup saya. Semesta, bila ternyata Afina adalah sosok yang pantas mengisi ruang hati ini, saya mohon biarkan ia menempatinya tanpa ada kata ragu untuk mengizinkannya masuk. 

***

Hari ini badan saya remuk kelelahan. Sebelum tidur, saya menyempatkan diri untuk berselancar di media sosial Instagram. Namun instastory dari akun Instagram Afina menarik perhatian saya. Ketika saya membukanya, saya melihat ia sedang bermain piano dan bernyanyi sebuah lagu. 

Saya menyimak lagu itu dengan baik hingga saya menyadari ia seolah tengah mengirim pesan lewat lirik-lirik itu:


Terjadi satu ikatan

Lebih dari persahabatan

Ku hanya beri isyarat

Agar kau merasa

Apa yang aku rasakan 

Di dalam dada

Kita tumbuh dan bersenyawa

Mendekap dan mendekat dalam jiwa 


Saya memutar video itu berkali-kali. Suara itu seolah menggambarkan cinta tanpa kata, cinta yang dibiarkan bernyawa, dan cinta yang lahir lewat cerita. Saya memejamkan mata, membiarkan pikiran saya jatuh pada lubang sebuah pertanyaan, “Apa mungkin Afina adalah orang yang tepat?”

***

Pagi ini saya dibangunkan oleh sebuah panggilan masuk dari seseorang. Saya melihat jam dinding kamar yang masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Setelah sembahyang subuh, saya memilih untuk melanjutkan perjalanan mimpi saya. Benar kata orang, tidur setelah subuh adalah tidur paling nikmat. 

Tertera nama Afina di layar ponsel saya. 

Saya menggeser tombol hijau lalu menempelkan ponsel saya di telinga. 

“Pagi....” suara sambutan darinya terdengar

“Pagi,” saya membalasnya dengan suara yang lemas.

“Ayo bangun.” 

“Iya, nanti.”

“Bangun, Laut. Kalo kamu gak bangun, aku datang ke kamar kamu, ya,” ancamnya lucu.

“Kalo lo bisa, silakan.”

Mendadak mata saya terbuka lebar ketika pintu kamar saya diketuk beberapa kali dan tiba-tiba Afina sudah masuk. Tidak sendirian, sudah ada Hendra bersandar di badan pintu. 

Saya terkejut dan bertanya dengan suara cukup keras, “Ko kalian bisa ada di sini?!”

“Afina ngajakin gue sama lo untuk lari pagi,” jawab Hendra.

“Aduhhhh. Mager.”

“Gak boleh! Kamu harus ikut aku olahraga.” Kini Afina yang bersuara. Ia juga melangkah mendekati jendela, membukanya lebar-lebar sehingga cahaya matahari dengan mudahnya menerjang masuk. Yang lebih mengejutkan lagi ketika Afina hendak menarik selimut yang menutupi tubuh saya. Saya berteriak tidak padanya. 

Hendra hanya tertawa karena tahu kalau saya hanya memakai kaos dan celana pendek. Sialnya, saya sedang memakai celana pendek bergambarkan marsha and the bear hari ini. 

Saya memohon pada Afina dan Hendra untuk menunggu di luar. Mereka pun setuju. Setelah mereka keluar kamar, saya menenangkan diri saya. Gila! Ko bisa mereka tiba-tiba ada sini?! Tanya saya dalam hati. 

Hendra tengah membuat susu ketika saya menemuinya di dapur. Saya menepuk keras pundak Hendra dan bertanya, “Ini pasti ide lo, kan?!”

“Astagfirullah, Laut. Baru bangun udah fitnah aja. Kan gue bilang tadi, Afina ngajakin gue sama lo buat lari pagi.” 

“Terus, sekarang dia di mana?”

“Di teras rumah.”

“Sendirian.”

Hendra menggelengkan kepala. “Lagi ngobrol sama Bapak.”

“Ohhh, lagi ngobrol sama Ba—-Hah? Sama Bapak?” 

“Iya. Sekarang telinga lo gak berfungsi?”

Saya bergegas pergi menuju teras rumah. Satu langkah sebelum mencapai teras rumah, saya menghentikan langkah saya karena mendengar Bapak menyebut-nyebut nama Ibu. Saya pun bersandar di balik tembok dan memasang telinga, berharap mendengar percakapan antara Bapak dan Afina.

“Laut itu anak yang kuat,” suara Bapak terdengar jelas, “dari kecil, ia sangat mencintai buku dan menulis. Kecintaannya pada buku turun dari ibunya yang suka sekali membaca dongeng. Bagi ibunya, dongeng adalah harta karun. Karena ketika kita membaca sebuah dongeng, kita diajarkan untuk sadar bahwa dunia yang kita tinggali bukanlah dunia dongeng. Dongeng mengajarkan kita untuk mengetahui bahwa dunia ini membahagiakan sekaligus menakutkan. Membaca dongeng menjadi cara ibunya Laut untuk menghargai kehidupan, berani untuk melangkah. Karena suatu saat nanti jejak langkah kita akan menjadi sebuah dongeng untuk diri kita sendiri.

“Dulu, setiap malam, ibu Laut akan datang ke kamar Laut, memeriksa apakah anak tunggalnya sudah tidur atau belum. Jika belum, ia akan membacakan dongeng dari kisah-kisah yang tidak pernah didengar sebelumnya. 

“Ibu Laut sangat pintar berimajinasi dan Bapak mengetahui kepintaran itu turun ke Laut dan Bapak bangga punya anak seperti dia. Hanya saja, Bapak terlalu takut melepas Laut berlayar di lautan kehidupan.”

Kini suara Afina yang saya dengar. “Pak, Laut bukan hanya kuat, tapi juga hebat. Aku percaya bahwa Laut dilahirkan untuk menulis. Dunia tulisan adalah dunianya, Pak. Dan aku juga percaya bahwa ibunya akan sangat-sangat bangga memiliki anak seperti Laut.” 

“Kamu tahu apa yang paling orangtua khawatirkan?” Bapak bertanya pada Afina

Sepertinya Afina tidak tahu karena saya tidak mendengar suaranya. 

“Orangtua sangat khawatir anaknya memilih jalan yang salah dalam hidupnya. Afina, waktu tidak bisa dikembalikan. Dan ketika seorang anak sudah memilih jalan hidupnya, orangtua tau bahwa anaknya tidak bisa kembali. Ia harus melangkah maju apa pun tantangannya ke depan. Dan Laut, saya khawatir Laut menyesal.”

Mata saya mulai berkaca-kaca, tapi ketika mendengar langkah kaki Hendra, saya langsung berkedip dan mengusap air mata. Saya menarik nafas dan membuangnya lalu berusaha memasang wajah baik-baik saja. 

Hendra melihat saya dengan wajah heran. “Lo ngapain di situ? Ayo jalan.”

Saya mengangguk. Saya dan Hendra keluar rumah. Afina dan Bapak langsung meluhat saya. Dengan basa-basi singkat, saya pamit pada Bapak. Afina dan Hendra juga melakukan hal yang sama. 

***

Niat untuk lari pagi buat Hendra sirna saat ia melihat beberapa bocah berumur tiga belas tahunan bermain bola di lapangan. Hendra bergabung bersama mereka dan meninggalkan saya dan Afina berduaan. 

Afina mengajak saya berlari mengelilingi lapangan setelah melakukan peregangan otot. Saat ini ia memakai celana training panjang dan kaos lengan panjang, kedua-duanya berwarna biru langit. Sedangkan saya mengenakan celana training pendek hitam dan kaos lengan pendek putih. 

Meskipun tidak menggunakan make-up, Afina terlihat cantik. 

“Lo dalam rangka apa sih ngajakin gue lari pagi?”

“Gak ada apa-apa. Aku cuman pengen kamu olahraga. Karena katanya Hendra kamu jarang banget olahraga.”

Tuh kampret memang perlu dijitak, hardik saya dalam hati. 

“Itu aja?”

“Aku kangen.”

“Hah?”

“Aku kangen sama kamu.”

“....”

“Tenang aja. Kamu gak perlu kangen balik, ko. Lagipula aku juga udah tahu kamu tuh gak ——“

Saya memotong ucapannya dengan cara mengambil tangan kanannya dan menggenggamnya. Lalu dengan tersenyum saya berkata, “Gue juga kangen.”

Untuk seorang perempuan, saya terkejut dengan stamina Afina. Ia mampu mengatur nafas dengan baik ketika berlari. Tidak jarang malah saya yang kelelahan dan meminta istirahat barang lima menit. 

“Duduk sini aja dulu.” Ia mengajak saya duduk di pinggir orang-orang yang sedang bermain bulu tangkis. 

Saya meneguk air mineral. Sebagian besar kaos saya sudah basah kuyup oleh keringat. Pun sama dengan Afina. Sedangkan Hendra sudah duduk di kursi dekat gerobak bubur ayam. 

“Udah ketemu Bapak?”

Afina mengangguk dengan senyuman. “Ternyata Bapak orangnya baik banget.”

“Iya.”

“Ganteng juga.”

“Gantengan mana sama gue?”

“Ya gantengan Bapaklah,” serunya percaya diri.

Saya tertawa pelan. “Fin, lo pernah jatuh cinta?”

Tiba-tiba ia menoleh dengan wajah heran. “Ko pertanyaannya random banget?”

“Ya, nggak. Nanya aja.”

“Aku gak tau apakah itu disebut jatuh cinta atau tidak, tapi yang pasti aku pernah berada di titik di mana aku cuman bisa mengagumi seseorang dari jauh padahal kita sangat dekat.”

“Oh ya? Siapa?”

“Namanya Langit.”

Ada satu hal yang mengoyak dada saya ketika Afina menyebut nama itu. “Kenapa hanya bisa mengagumi?”

“Laut, terkadang mengagumi sudah lebih dari cukup. Bahkan, terkadang mengagumi jauh lebih indah daripada jatuh cinta. Karena mengagumi adalah jatuh cinta dalam diam. Saat itu, aku merasa cukup berada di dekatnya. Aku tidak ingin kalau ungkapan cinta aku ke dia merubah semuanya, termasuk persahabatan kita. Lebih baik kita menyembunyikan perasaan  daripada mengungkapkan lalu kehilangan.” 

“Kalo sekarang?”

“Kamu kan tahu hati ini buat siapa, Laut.”

Ucapannya kali ini berhasil menyesakkan nafas saya. Ia menoleh ke arah saya. “Gak usah terlalu dipikirin.”

“Iya.”

“Oh ya, aku minta maaf ya kalo tadi pagi masuk kamar kamu.”

“Gak apa-apa. Gue malah seneng.”

“Gimana?”

“Gue seneng kalo lo bangunin gue. Kalo bisa setiap hari ya, Fin. Lumayan hemat battrei ponsel.”

“Ish! Nyebelin!” 

“Tapi ngangenin, kan?”

“Nggak.”

“Yakin?”

“Yakin.”

“Jangan terlalu gengsi, nanti nyesel.”

“Iya deh, aku akuin kamu ngangenin.”

Saya meraih tangan Afina. “Emang banyak ko orang yang bilang aku ngangenin.”

“Tuh, kan, kepedean!”

“Bercanda.”

Masih dengan tangan yang saling bergandengan, Afina bertanya, “Laut, kamu tahu kan Bapak kamu itu orang hebat?” 

Pertanyaan mulai mengundang saya untuk masuk ke topik yang akhir-akhir ini saya hindari. Saya tidak menjawab. Dengan raut wajah cemberut, Afina mengatakan, “Laut....”

“Iya, Fin. Gue tau.”

“Tadi aku sempet ngobrol beberapa hal sama Bapak. Aku tahu kalo Bapak belum menyetujui keputusan kamu untuk kuliah di Jogja. Itu semua karena Bapak khawatir sama kamu. Bapak gak mau kamu mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan banyak hal.”

“Fin, gue lagi gak mau ngobrolin tentang hal itu. Bisa kita ganti topik?”

“Maaf. Aku cuma niat bantu.”

Saya memegang kepala atasnya dan mengarahkan wajahnya ke arah saya. “Ini bukan salah lo. Justru gue berterima kasih sama lo karena udah peduli sama gue. Tapi, ini memang bukan masalah yang ringan. Gue cuma belum siap untuk ngobrolin ini.”

“Kamu harus janji sama aku kalo suatu saat nanti kamu bakal obrolin hal ini lebih serius sama Bapak.”

“Iya. Gue janji.”

“Dan harus dengan kata-kata yang baik. Aku gak mau kamu nyakitin hati Bapak.”

“Iya.”

“Anak pinterrrrrr,” ucapnya sambil mengusap-ngusap rambut saya. Saat itu juga saya dan Afina melihat beberapa remaja SMP yang sedang duduk tidak jauh dari kami, tengah mencuri pandang ke wajah Afina. Beberapa dari mereka melirik dengan lirikan jahat. 

“Woi! Lo pada ngapain ngelihatin adik gue?!”

Mimik wajah mereka terkejut saat mendengar pertanyaan saya. Dan hebatnya, dengan kata-kata saya barusan, mereka bangkit dan pergi. 

“Hah? Adik?” Afina melongo.

“Ya terus maunya apa? Majikan?

“Kenapa gak sebut pacar aja?”

Saya tidak menjawab dan mengalihak topik pembicaraan. “Laper, gak?”

Afina mengangguk melas. Saya dapati perubahan raut wajahnya. Merasa bersalah, saya pun berbisik padanya, “Iya. Lain kali gue sebut lo pacar gue.”

Senyum sumringah terukir di wajahnya. Saya dan Afina pun bergabung bersama Hendra, menyantap bubur ayam yang disertai beberapa tusuk sate. Dari dalam hati saya muncul satu pertanyaan yang dari tadi menampar saya, apa benar saya bisa menjadikan Afina pacar saya?

Sejauh ini saya belum yakin akan hal itu. Saat ini, saya hanya ingin dekat dengan Afina, mendengar ceritanya, menikmati setiap detik bersamanya. Entah nanti ia akan menjadi rumah untuk kembali atau hanya sekedar tempat berbagi. 

Semesta, tolong yakinkan saya. Saya tidak ingin menyakiti hatinya. 

***

Saya mematikan motor saya di depan gerbang rumah Afina. Setelah melepas helm, saya mendekati gerbang dan masuk. Di teras rumah, Afina sudah menunggu saya. Gaun putih yang memanjang hingga mata kakinya, sepatu kats putih serta tas kecil yang ia jinjing membuatnya terlihat cantik. Wajahnya pun tidak terlalu menor oleh make-up. Ia sungguh cantik malam ini.

“Hai,” sapa saya.

“Hai,” balasnya.

Matanya menelusuri apa yang saya kenakan malam ini. Dengan kemeja putih, jas hitam, dasi hitam dan celana levis hitam serta sepatu converse yang akhirnya saya cuci, saya menerima ajakan Afina untuk menemaninya

Saya tidak bisa melepaskan pandangan saya dari penampilannya. Afina menyadari itu dan berkata, “Kenapa? Jelek, ya?”

“Lo cantik, Fin. Sangat.”

Afina berterima kasih. Ia melirik jam tangan yang mengelit pergelangan tangan kirinya. Jam delapan malam. “Yuk berangkat,” ajaknya.

“Orangtua lo?”

“Mereka udah berangkat sejak tadi sore. Sekalian ada kerjaan katanya.”

Kami pun beranjak pergi. Bila kalian bertanya apakah kami pergi menggunakan mobil pribadi atau online, maka jawabannya tidak. Afina menolak itu. Ia ingin pergi naik motor saya. Awalnya saya ragu, saya takut penampilannya akan rusak. Tapi ia berkata tidak apa, lagi pula naik motor lebih mengasikkan. 

***

Lima belas menit berada di jalan nyatanya tidak membuat penampilan Afina rusak. Ia tetap terlihat cantik. Afina melepas helm, turun dan memasuki gerbang sebuah rumah bertingkat tiga. Dengan interior hitam-putih, rumah itu terlihat elegan namun minimalis. Semuanya seolah berada di tempatnya dengan benar.  Puluhan lampu gantung menerangi sebuah jalan menuju sebuah taman di belakang rumah, semuanya menghangatkan mata. 

Saya mengikuti Afina dari belakang. Sempat saya merasa tidak nyaman karena menghadiri acara seperti ini adalah hal yang baru untuk saya. Ketidaknyamanan itu hilang ketika Afina menggenggam tangan saya sambil melemparkan senyuman. Puluhan orang hadir di acara itu. Beberapa anak kecil berlari ke sana-kemari. 

“Fin, gue tunggu sini aja, ya,” ucap saya sambil menatap Afina. 

“Kenapa?”

“Gue...” 

“Laut. Tidak apa-apa. Santai aja. Ini cuma perayaan ulang tahun aja, ko.”

Saya menghela nafas, mencoba meregangkan semua otot. 

Seorang anak kecil tiba-tiba memekik panjang dan memeluk Afina erat. “Kak Afina!!”

“Hai, Safira. Jangan lari-lari. Bahaya,” Afina menegur dan membalas pelukan itu lebih erat. Anak kecil dengan balutan dress pink itu melirik ke arah saya. Pandangannya terlihat sinis. 

“Kak Afina dateng bareng siapa?” 

“Ohh, kenalin ini—-“

“Hai, Fin,” sapaan seorang laki-laki memotong perkataan Afina. Sekarang berdiri di depan saya dan Afina seorang laki-laki dengan penampilan seperti mahasiswa elegan. Dari wajahnya, saya bisa menangkap bahwa ia keturunan bangsa Eropa. Badannya tegap, rahangnya tajam, alisnya tebal. 

Detik itu juga ia mendekati Afina dan memeluknya. Afina membalas pelukannya. Lelaki itu melepas pelukannya dengan senyuman. Sorotan matanya cukup tajam. Lelaki itu mulai bersuara, “Gimana kabar kamu?”

“Baik. Kamu?”

“I’m great.”

“Kamu datang sama...”

“Kenalin, namanya Laut. Laut, ini Naka, sepupu aku, mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia.”

Saya dan Naka bergandengan tangan. Tidak lama kemudian, anak kecil bernama Safira tadi menghampiri Afina dan mengajaknya bermain. Afina pamit pada saya untuk beberapa menit. Sekarang hanya saya dan Naka berdiri di pinggir pelantaran taman rumah ini. 

“Lo teman kelasnya Afina atau gimana?” Naka bertanya sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

“Bukan. Gue kenal dia baru-baru ini aja.”

“Oh, teman barunya. Tapi seumuran?”

“Iya.”

“Itu artinya tahun ini lo kuliah?”

“Rencananya gitu.”

“Mau ngambil jurusan apa?”

“Sastra.”

Tiba-tiba ia tertawa mengejek. Tapi, dengan cepat ia mendeham, mereda keinginannya untuk tertawa lebih lama. “Sorry. Gue gak bermaksud apa-apa. Jadi... lo mau ngambil Sastra? Pasti karena lo suka nulis, kan?”

Saya hanya mengangguk. 

“Bagus, bagus. Gue juga punya beberapa teman yang ngambil jurusan Sastra. Tapi, sayang, hampir semuanya bingung mau jadi apa. Beberapa dari mereka memilih jurusan Sastra karena ingin menjadi penulis. Hampir setiap malam mereka bergelut dengan tulisan supaya bisa menghasilan tulisan yang bagus. Hingga satu persatu dari mereka sadar bahwa mereka tidak bisa hidup lewat tulisan. Lo tahu kan berapa pendapatan penulis dari menulis?”

Kembali saya mengangguk. Berat sekali tenggorokan saya untuk membalas ucapannya. Saya hanya bisa menyimak ucapannya yang membuat telinga saya panas. 

“Dan gue tidak mau keluarga gue mengalami kesusahan di hidupnya.  Itulah sebabnya gue ngambil kedokteran. Termasuk Afina, gue tidak mau dia susah. Lo paham maksud gue, kan?” Ia bertanya sambil memijat-mijat bahu saya.

Melihat kedatangan Afina, Naka berkata, “Ya udah. Gue cabut dulu. Fin, aku ketemu eyang dulu, ya.”

Afina mengangguk lalu menyapa saya dengan nada cerianya. Ia membawakan segelas sirup leci. Saya menerimanya dan berterima kasih. Mendadak ia bertanya, “Kamu tidak apa-apa?”

Sepertinya ia melihat raut wajah saya yang berubah. Cepat-cepat saya tersenyum lebar dan membalas, “Tidak apa-apa. Cuma kagum aja sama keluarga besar lo. Pasti anak-anaknya pintar-pintar.”

Afina tidak menanggapi. “Sini, ikut.”

Sedikit bingung, saya mengikutinya dari belakang. Ia mengajak saya menuju rooftop. Di sana, kami berdua bisa melihat langit malam yang dipenuhi bintang dengan jelas. Malam ini sangat indah. 

Afina melepaskan genggaman saya dan berjalan mendekati sebuah taman kecil. Saya mulai merasa ada yang aneh. “Fin? Afina?”

Yagn dipanggil tidak menjawab. Saya pun menghampirinya. Detik itu juga saya mendengar ia menangis. Seolah ada luka yang baru saya temui dalam dirinya. Saya sempat tidak tahu harus mengatakan apa. Air mata Afina terus mengalir tanpa henti. Tanpa meminta izin, saya menarik tubuh Afina ke dalam dekapan saya. Saya biarkan ia terus menangis tanpa perlu saya tana alasannya. Terkadang seseorang yang sedang menangis hanya butuh dekapan daripada pertanyaan. 

“Laut, maaf.”

“Untuk apa, Fin?”

“Maaf karena aku seringkali memaksamu untuk masuk ke duniaku.”

“Gue tidak merasa lo maksa, Fin. Gue masuk ke dunia karena gue mau.”

“Kenapa kamu mau?”

“Entahlah. Gue tidak tahu alasan yang pasti, tapi yang gue tahu, gue cuma mau lihat lo terus.”

Afina memandang wajah saya sambil membiarkan dekapan itu menghangatkannya. “Laut, kalo suatu hari nanti, aku membuatmu tidak nyaman, kamu boleh per—-“

Saya langsung memotong kalimat Afina dengan kecupan di bibirnya. Saya biarkan bibir kami beradu. Untuk beberapa detik, kami saling memberi kenyamanan lewat ciuman. Afina menjauhkan bibirnya, lalu menatap mata saya. Ia tersenyum meski masih sesegukan. Matanya masih berkaca-kaca. Saya mengusap-ngusap rambutnya dan berkata, “Udah ya nangisnya.”

“Kenapa? Make-up aku luntur, ya? Jadi jelek, ya?”

“Ihh, ko gitu ngomongnya? Masih cantik ko.”

“Makasih.”

“Sama-sama.”

Setelah sesi pembukaan kado selesai, seharusnya saya dan Afina mengikuti sesi jamuan makan. Tapi Afina mengatakan ia ingin pergi. Pun acaranya sudah tidak terlalu penting lagi karena jamuan makan malam itu hanya akan dipenuhi oleh obrolan bisnis antar keluarga. Ia juga sudah pamit pada orangtuanya. 

Afina mengajak saya ke trotoar sebuah jembatan yang dipenuhi pedagang kaki lima. Saya membawakan satu gelas jahe hangat dan ia menerimanya. 

“Fin, gue boleh tanya satu hal.”

“Silakan.”

“Kenapa lo ngerasa kalo lo maksa gue masuk ke dunia lo?”

Afina meletakkan gelas jahe hangatnya di sampingnya. “Laut, dunia aku punya batasnya sendiri. Dunia kamu juga begitu. Aku yang menciptakan dan aku yang mengatur siapa saja yang boleh masuk dan keluar. Karena ketika aku mengizinkan seseorang masuk ke duniaku, itu artinya aku memberi dia ruang untuk meninggalkan sesuatu di duniaku, entah itu sebuah kebahagiaan atua kekecewaan. Tapi, aku tidak mau memaksa seseorang untuk masuk, karena aku tidak mau oranglain merasa tersakiti hanya karena masuk ke dalam dunia aku, seolah ia bertanggungjawab untuk memberikan cerita dalam duniaku.”

“Dan yang perlu lo tahu, gue bahagia bisa ada di dunia lo.”

Afina tersenyum mendengar tanggapan saya. 

“Fin,”

“Iya.”

“Laper.”

Mendadak ia tertawa. Saya pun pamit untuk memesan satu piring ketoprak dan kembali membawanya lalu duduk di samping Afina.

“Ko cuma satu?” Afina bertanya.

“Lo mau?”

“Ih! Kamu pikir aku tidak lapar?”

Saya tertawa sambil mencubit pelan hidungnya. “Gue tau lo lapar. Gue sengaja pesan satu piring supaya romantis.”

***

Malam ini benar-benar membuat saya lelah. Terlepas dari itu semua, saya bahagia dan itu tidak bisa ditolak. Saya memejamkan mata. Lembut bibirnya Afina seolah masih bisa saya rasakan. Ada sesuatu yang berlari di dalam perasaan saya. Saya tidak tahu pastinya apa, tapi saya tahu bahwa itu membahagiakan saya. 

Namun, maaf, saya belum terlalu yakin bahwa Afina adalah orang yang pas untuk menggantikan Zia di ruang hati saya. Silakan kalian menilai saya buruk, tapi kini saya mulai merasakan apa yang dirasakan oleh Zia; nyaman saja tidak cukup untuk menjalin sebuah hubungan. 

Saya bahagia bersama Afina, tapi hal itu belum membuat saya jatuh cinta padanya. Saya masih butuh waktu. 

Saya memutar bola mata, kesal dengan apa yang saya rasakan sekarang. Saya tidak ingin menyakiti Afina hanya karena saya belum bisa memperjelas hubungan ini. Tapi saya juga tidak mau pergi dari hidupnya. Terlebih saat Naka mengatakan ia tidak ingin melihat Afina hidup dalam kesusahan. Anak kecil pun tahu bahwa perkataan itu hanyalah tamparan tak kasat mata darinya untuk saya. Dengan kata lain, Naka tidak ingin Afina menjalani hidupnya bersama saya. 

Hubungan ini lebih rumit daripada yang saya bayangkan. Kenapa saya belum bisa mencintai Afina, seseorang yang berhasil membantu saya untuk keluar dari luka yang disebabkan oleh Zia?

Sebelum hanyut dalam gelapnya mimpi, lahir sebuah pertanyaan, “Kenapa Tuhan menciptakan cinta bila semua orang tidak bisa bersama dengan orang yang dicintainya?”

***

Afina mengikuti saya berjalan di belakang, menapaki jalan sejengkal menuju makam ibu.  Matahari di Sabtu ini baru saja menapaki langit. Afina tidak bertanya apa-apa sejak motor saya memasuki halaman pemakaman. Terlebih kami berdua sudah sampai di depan batu nisan Ibu.

Sebelum mengatakan apa pun, saya membersihkan rumput dan dedaunan yang berserakan di pusaka Ibu.  

“Bu, hari ini Laut balik lagi. Tapi kali ini Laut tidak sendiri. Laut mengajak perempuan cantik. Namanya Afina,” kata saya lembut sambil mengusap batu nisan Ibu.

Afina ikut membungkuk. Saya lihat matanya fokus pada batu nisan Ibu. Beberapa kali wajahnya terlihat membeku, tidak tahu harus berkata apa. Saya berusaha menenangkannya dengan mengatakan saya hanya ingin Ibu tahu kepada siapa saat ini saya berbagi cerita hidup. Afina tersenyum canggung. Tangannya menyentuh tumpukan tanah makan Ibu. “Halo, Ibu, aku Afina, temannya Laut. Aku salah satu penggemar tulisan Laut, Bu. Aku tidak tahu kalo Indonesia punya penulis hebat seperti Laut. Kepintarannya menulis pasti turun dari Ibu.”

Saya tidak bisa memalingkan kekagetan saya karena melihat Afina berkata seperti itu. Ia seolah sudah lama mengenal Ibu. Bahkan ia merasa Ibu akan sangat cocok dengan Afina jika mereka bisa bertemu di dunia nyata.

Afina kembali melanjutkan, “Ibu, aku udah mengirim salah satu cerpen Laut ke sebuah media dan ternyata media itu menyambut dengan bahagia. Bahkan mereka menunggu cerpen Laut yang lain. Aku yakin Laut akan menjadi penulis yang hebat, Bu, penulis yang punya garis keajaibannya sendiri.”

Saya terus tersenyum melihat bagaiamana Afina bercerita, berusaha mengobrol dengan Ibu. Setiap minggu saya mengunjungi makam Ibu dan setiap kali itu juga saya berusaha mengungkapkan apa yang ingin sekali saya rasakan, tapi tenggorokan saya seolah ditahan jarum-jarum tajam yang menusuk, menahan saya untuk mengeluarkan kata-kata. Dan akhirnya saya hanya bisa menangis, berharap air mata saya membungkus rasa sakit yang saya rasakan dan ketika air mata itu jatuh membasahi tanah Ibu maka saya tahu Ibu pasti akan mendengar cerita saya.

Setelah membaca surah Al-Fatihah sebagai hadiah untuk Ibu, saya dan Afina kembali ke lapangan parkir. Afina belum bertanya apa-apa saat itu, meskipun saya tahu kepalanya sudah menelurkan puluhan pertanyaan. 

Saya mengajak Afina duduk di sebuah bangku taman dekat wahana permainan anak-anak.

“Kalo ada pertanyaan, tanya aja, Fin.”

“Kelihatan banget, ya?”

Saya mengangguk.

“Kenapa, Laut? Kenapa kamu mengizinkan saya bertemu Ibumu?”

“Hmm.... kenapa, ya. Gue gak tahu alasannya apa, Fin. Gue cuman mau Ibu tahu dengan siapa gue hidup.”

“Apa ini artinya kamu sudah mengizinkan aku masuk ke duniamu?”

“Afina, sejak bertemu sama lo, lo memang sudah masuk ke dunia gue. Bukan karena gue yang mengizinkan, tapi semesta. Gue tidak tahu apa alasan semesta melakukan itu. Hidup gue terlalu dipenuhi dengan pertanyaan kenapa yang belum menemukan jawabannya.”

“Kamu percaya dengan semesta?”

“Gue percaya semesta punya tugasnya sendiri. Tidak semua hal perlu dikaitkan dengan semesta. Yang gue percaya adalah bagaimana hidup memberi kita jalan untuk menulis cerita kita sendiri.”

Afina tersenyum. Perasaan bingung yang tadi menutupi tubuh saya seolah awan mendung, tiba-tiba pergi. Kini langit kehidupan saya terlihat cerah, meskipun tatapan mata Afina memberikan saya pertanyaan, “Mungkinkah Afina adalah orang yang tepat menemani saya untuk melangkah?”

Sial! Kenapa akal dan hati seringkali tidak selaras?

Afina mengambil tangan saya. “Kalo kamu merasa belum yakin untuk buka ruang hati, tidak perlu dipaksa. Semua akan baik bila ditempatkan di tempatnya, termasuk hati.”

Bahagia dan kecewa. Sendirian dan bersamaan. Hidup dan mati. Cinta dan luka. Tawa dan air mata. Saya pasti akan disebut pengecut. Bermanis dalam kata-kata dan sikap, tapi belum juga memutuskan langkah selanjutnya. Seolah saya adalah tempat tinggal yang tidak pantas ditinggali. Bernafas dengan nafas ketidakpastian. Kalau sudah begini, saya tidak bisa bermain-main dengan perasaan. Kepala saya tidak henti-hentinya menampar keras pikiran saya. 



Komentar

Postingan Populer