PSH-PART SEVEN-2021
source: pinterest.com/sam alive
Tujuh
Tumbuh
Bapak sedang duduk membaca koran
saat saya menghampirinya. Angin sore memenuhi udara. Setelah mengumpulkan
keberanian, saya duduk di depan Bapak. Untuk beberapa saat kami hanya diam
tidak saling berbicara. Hubungan saya dengan Bapak masih bisa dibilang buruk,
tapi tidak seburuk dulu. Mungkin saya juga merasa lelah bila harus
mempertahankan dinding tak kasat mata yang berdiri di antara kami berdua.
“Pak, Laut mau bicara sesuatu.”
Bapak melirik lewat ekor matanya.
Mendapati wajah saya serius, Bapak menurunkan korannya dan melipatnya.
“Mau bicara apa?” tanyanya setelah meneguk
kopi hitam yang mengebulkan uap.
“Ini soal kuliah Laut, Pak.”
Menyadari anak tunggalnya hampir
memasuki jenjang kuliah, Bapak memasang wajah tegas. Sorot matanya tidak bisa
saya hindari.
“Laut ingin kuliah di Jogja, Pak.”
Bapak tidak mungkin salah dengar. Ia
hanya diam sebelum membenarkan posisi duduknya. Saya tidak tahu lagi harus
bicara apa. Diam dan menunggu Bapak menanggapi adalah apa yang bisa saya
lakukan saat ini.
“Saya akan mengambil jurusan Sastra,
Pak,” lanjut saya.
“Kamu mau jadi penulis?”
“Tidak tahu, Pak.”
“Lalu untuk apa kamu memilih jurusan
Sastra?”
Saya tidak bisa menjawab pertanyaan
ini untuk beberapa menit. “Laut tidak tahu alasannya, Pak. Laut hanya mengikuti
perasaan. Seolah seseorang memerintahkan Laut untuk mengambil jurusan itu.”
“Jadi kamu tidak memiliki
pertimbangan?”
“Pak… Laut cinta menulis.”
“Hanya karena kamu cinta menulis,
kamu mau mengorbankan masa depanmu?” nada suara Bapak mulai tinggi. Sepertinya
api peperangan mulai dinyalakan.
“Menjadi penulis, kan juga punya masa
depan, Pak?”
“Dari apa? Dari menulis
cerita-cerita konyol?”
“Pak, kita, kan tidak bisa
menentukan masa depan.”
Tiba-tiba Bapak bangkit membawa
koran dan kopi hitamnya. “Bapak belum bisa jawab sekarang.”
Begitulah akhir dari percakapan
kami. Tidak melahirkan titik temu, melainkan titik jemu. Saya menyandarkan
punggung saya di kursi, membiarkan aliran darah saya mengalir deras.
***
Ujian kelulusan sudah saya lewati
dengan lancar. Untuk beberapa minggu, saya membiarkan novel-novel yang saya
belum baca berbaris di rak buku, menunggu untuk dibaca. Tapi, ujian tetaplah
ujian. Ada nilai yang harus dicapai, meskipun kelulusan tidak menandakan murid
paham pelajaran, setidaknya nilai jadi tolok ukur kepintaran dan kebodohan di
Indonesia. Perbincangan saya dengan Bapak perihal kuliah belum juga
dilanjutkan. Untuk saat ini, saya tidak ingin memperpanjang masalah itu. Saya
ingin menikmati masa-masa rehat setelah kepala saya diperas oleh mata
pelajaran.
Di dekat kaca metro mini, saya
menyandarkan kepala, menatap gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Kini,
Jakarta tak ubahnya seperti susunan balok tanpa celah. Tanah kosong tidak akan
berumur lama. Tidak ada lagi kehidupan yang sehat di Jakarta. Polusi udara
sudah jadi makanan sehari-hari masyarakat. Perkara penyakit paru-paru menyerang
atau tidak, itu urusan nanti.
Sembari mendengarkan lagu lewat
ponsel, isi kepala saya keluar, memberikan ribuan pertanyaan, salah satunya,
“Apakah saya bisa hidup lewat tulisan?”
Kesuksesan J.K Rowling saat ini bisa
dibilang ia peroleh dari tulisan, tapi faktor bisnis juga mempengaruhi. Apa
pemerintah Indonesia bisa mendukung para penulis? Sepertinya sulit.
Ucapan-ucapan Bapak kembali terngiang. Tidak sepenuhnya ucapan Bapak salah.
Entahlah, apakah saya sendiri yakin mampu menjadi penulis hebat? Atau
setidaknya bermanfaat? Sulit dibayangkan.
Saat tengah mendengarkan lagu, mata
saya mendapati seorang nenek tua menjinjing barang belanjaan. Saya tidak
langsung memberikan tawaran untuk duduk. Pandangan saya teredar ke segala sudut
dan melihat semua orang sibuk dengan dirinya sendiri, atau lebih tepatnya
pura-pura sibuk.
“Silakan duduk, Nek,” ucap saya.
Nenek tua dengan rambut dipenuhi
uban itu tersenyum lebar, memperlihatkan rentetan giginya yang sudah mulai
hilang ditelan masa. Atau karena ia terlalu sering menyuarakan kepedihan pada
Tuhan? Mungkin saja.
“Aku kira cowok sepertimu sudah
punah.”
Saya menengok ke belakang. Perempuan
yang saya temui di toko buku beberapa minggu lalu kini tengah berdiri
melemparkan senyuman.
“Lo?! Lo masih ngikutin gue?”
“Loh? Aku kira metro mini ini
kendaraan umum.”
Saya tidak menghiraukan jawabannya.
“Kamu tahu apa yang menyebabkan
kehidupan ini terlihat menyenangkan?” ia bertanya pada saya. Semenjak menyadari
keberadaannya, saya memilih untuk mematikan lagu dan mendengarkan bunyi-bunyi
klakson kendaraan yang saling menyahut tidak karuan.
“Gue lagi gak mood buat ngobrol.”
“Yap! Bener banget. Kehidupan itu
terlihat menyenangkan kalo dunia diisi oleh orang-orang yang tau dan sadar
untuk apa mereka diciptakan.” Perempuan ini tidak memedulikan ucapan saya. Ia
malah menjawab pertanyaan yang ia buat sendiri.
Metro mini berhenti di tepi jalan.
Saya turun. Belum beberapa langkah saya berjalan, perempuan tadi sudah
menyelaraskan kakinya di samping saya. Saya menengok dan memasang wajah
frustasi.
“Mau lo apa sih?”
Dia mengerutkan kening lalu bertanya
balik, “Mau kamu apa?”
“Ditanya malah nanya balik.”
“Ya kan gak semua pertanyaan harus
ada jawabannya, Laut.”
Saya tersentak kaget. “Sebentar… lo
tau nama gue dari mana?”
Dia malah tertawa. Aneh sekali
rasanya ketika saya mendengar tawanya. Saya bahkan tidak tahu apakah pertanyaan
saya adalah sebuah lelucon atau bukan. Saya harap perempuan ini bukan orang
gila.
“Kamu tuh orangnya emang unik, ya.”
“Gue serius. Lo tau nama gue dari
mana?”
“Laut, suatu saat nanti semua orang
di dunia ini akan tau nama kamu.”
“Dasar cewek aneh.”
“Kalo aku cewek normal, kamu gak
akan penasaran.”
Saya akhirnya diam. Saya memilih
tidak lagi meneruskan percakapan yang membuat saya terlihat bodoh. Entah dari
mana cewek ini datang. Mungkin dia adalah penghuni planet pluto yang nyasar ke
bumi. Kalau perempuan ini adalah alien, saya akan memasukkan dia ke museum.
Ralat, saya akan menyuruh dia untuk pulang ke tempat asalnya. Tapi, jujur,
bagaimana ia tau nama saya?
Saya masih diam membisu sampai
langkah kaki ini memasuki toko buku daerah Kwitang. Firasat saya yang
mengatakan perempuan itu mengikuti saya ternyata benar.
“Aduhhh, lo ngapain sih?”
Dia memandang saya heran, seolah
saya adalah pasien sakit jiwa yang tengah kumat.
“Lo tuh gak ada kerjaan atau gimana?
Kalo lo mau ke toko buku, lo pergi ke toko buku yang lain aja.”
Tiba-tiba perempuan itu mengangkat
tangannya dan melambai ke seseorang. Sedetik kemudian seorang lelaki berlogat
Jawa menghampiri kami berdua. Dari penampilannya, saya tahu dia adalah karyawan
toko buku ini.
“Ada yang bisa saya bantu, Mba?”
“Mas, cowok ini ngelarang saya untuk
beli buku di sini,” ucap perempuan itu seraya meletakkan jari telunjuknya di
hidung saya.
“Haduhhhhh. Mas, gini loh.. dalam
agama saya, menghalangi rezeki orang itu tidak baik. Yo kalo mbanya ini mau
beli buku di sini, ya jangan dilarang toh, Mas,” balas karyawan itu dengan
logat Jawa kentalnya sambil mengusap-ngusap keningnya sendiri.
Seolah maling yang tertangkap basah,
saya tidak bisa berkata apa-apa selain mengangguk cepat. Karyawan itu kembali
tersenyum dan pergi. Tapi, tidak lama kemudian karyawan itu kembali. Matanya
bergantian memandang saya dan perempuan tadi. Kalau ada orang yang membuat saya
bingung sekaligus kesal, mungkin karyawan ini jawabannya. Karena tanpa meminta
izin, ia menarik tangan saya lalu meletakkannya di pergelangan tangan perempuan
tadi dan berkata, “Mas, kalo sudah punya pacar secantik Mba ini, yo dijaga,
Mas. Nanti kalo ditikung malah nyesel. Yang langgeng, ya. Jangan lupa beli buku
yang banyak di sini.”
Karyawan itu melongos pergi setelah
menimbulkan kecanggungan antara saya dan perempuan ini. Untuk beberapa detik,
kulit saya masih bersentuhan dengan kulit perempuan ini. Lembut dan hangat.
Seakan ada daya listrik yang besar, saya menjauhkan tangan saya.
Saya menggaruk dagu yang tidak gatal
sebelum mendengar perempuan itu tertawa.
“Ada yang lucu?”
“Memangnya harus ada yang lucu dulu
agar bisa ketawa?”
Saya menggelengkan kepala. “Udah gila
nih cewek.”
“Dunia akan cepat kiamat bila
ditinggali orang-orang yang terlalu serius seperti kamu, Laut.”
Saya membalikkan badan dan
mendekatinya. “Dunia akan cepat kiamat bila ditinggali orang-orang gila seperti
lo.”
“Bukannya manusia memang sudah gila
sejak diciptakan?”
Saya tidak menanggapi omongannya dan
memilih untuk melihat-lihat buku. Novel A Little Life milik Hanya Yanagihara
masih saya buru. Tapi, bila novel itu tidak ada, pilihan lainnya adalah novel
1984 karya George Orwell atau Kata karya Rintik Sedu. Pun Bilangan Fu milik Ayu
Utami menjadi pilihan.
Setelah mencari, ternyata yang
tersedia hanya novel Kata. Saya pun membelinya, hitung-hitung menjadikannya
referensi novel romantis.
“Aku kira kamu tidak suka novel romance.”
Perempuan itu tiba-tiba sudah duduk
di depan saya. Dengan sebilah senyuman, ia memandangi saya dengan dua mata yang
mirip danau.
Saya mengurungkan niat untuk membaca
novel itu dan meletakkannya di samping saya. Tidak lama kemudian, penjual somay
mengantar pesanan saya lengkap dengan air mineralnya.
“Makasih, Mas,” ucap saya pada si
penjual.
Penjual itu mengangguk sebelum
membuat saya sedikit tersedak karena ia berkata, “Pacarnya mau pesan somay
juga?”
Entah kapan perempuan itu bangkit
dari duduknya, tiba-tiba ia sudah berada di samping saya dan menyuapi air
mineral tadi ke mulut saya. Adegan saat ini persis seperti FTV yang beredar di
televisi, drama roman yang menebarkan kebodohan.
“Aduh, romantisnya….” Beberapa
ibu-ibu berkata bersamaan.
Setelah merasa tenang, saya mengusap
mulut saya dengan tisu dan menundukkan wajah.
“Gak usah malu gitu. Nanti beneran
dikira pacaran,” ucap perempuan itu diakhiri dengan tawa.
“Udah, ya. Gue gak mau lagi
main-main. Gue perlu tau lo siapa dan kenapa lo bisa tau nama gue.”
“Kita ngobrolnya yang santai, ya.
Tunggu pesanan aku datang.”
Beberapa menit kemudian satu mangkok
somay tanpa pare dan kentang yang dilumuri bumbu kacang tersedia di depan
matanya. Saya memperhatikan perempuan itu yang sedang meratakan bumbu somaynya.
Setelah menelan beberapa suapan, ia berkata, “Oke, kamu mau kita ngobrol dari
mana?”
“Mulai dari kenapa lo bisa tau nama
gue.”
Ia mengangguk lalu memasukkan
tangannya ke dalam tote bag putihnya. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu.
Dan… yap, selanjutnya ia mengeluarkan satu kertas putih dan menyodorkannya ke
saya.
Sekali lihat saya sudah bisa tau
kalo kertas itu adalah cerita pendek saya yang hilang beberapa minggu lalu.
“Ko ini bisa ada di tangan lo?”
“Kertas ini jatuh dari tas kamu saat
kita ketemu di toko buku waktu itu.”
“Dan lo tau---“
Ia mengangguk seakan sudah tahu
pertanyaan saya. “Aku tau nama kamu dari kertas itu.”
“Itu artinya---“
“Yap! Itu artinya aku juga udah baca
cerita pendek ini. Judulnya menarik. Si Anjing dan Si Bangsat. Ceritanya pun
unik. Jarang ada penulis yang menulis cerita ini.”
“Gue bukan penulis.”
“Kamu calon penulis.”
“Hanya calon.”
“Selamanya kamu hanya akan menjadi
calon kalo kamu tidak membuktikan diri kamu sendiri.”
Saya kebingungan sendiri. “Lo baru
kenal gue hari ini, jadi gak usah sok nasihatin gue.”
“Aneh.”
“Ko aneh?”
“Laut, setiap orang yang membaca
tulisan kamu, pasti akan berkata bahwa si penulis adalah penulis hebat. Bila
ternyata ia belum hebat, maka ia pasti calon penulis yang hebat.”
“Lalu letak anehnya di mana?”
“Ya aneh saja. Ternyata yang menulis
cerita ini,” ia meletakkan tangannya di kertas itu, “tidak percaya pada
kemampuannya sendiri.”
Ingin rasanya membantah perempuan
ini atau menyumpal mulutnya menggunakan pare, tapi sialnya adalah apa yang ia
ucapkan adalah kebenaran. Bagaimana pun saya sendiri tidak terlalu percaya pada
kemampuan ini.
“Nama lo siapa?”
Ia menjulurkan tangannya mengajak
bersalaman. Meski terlihat aneh, saya akui perempuan ini memang lucu dan
menyenangkan. Ini pertama kalinya saya bertemu mahluk Tuhan seperti ini.
Saya menyambut jabatannya.
“Afina. Nama panjangnya Afina
Hanifansha,” ucapnya lugas dan dengan nada yang semangat. “Kamu?”
“Lo kan udah tahu nama gue.”
“Anggap saja kita baru pertama kali
bertemu dan berkenalan.”
Saya mengikuti kemauannya dan berkata,
“Laut.”
“Nama panjangnya?”
“Tidak ada.”
“Hmmmm…” ia mengelus-ngelus dagunya
seolah ia adalah detektif sebelum melanjutkan, “Kamu memang unik.”
“Bukan unik, tapi aneh.”
“Tadi katamu aku yang aneh.”
“Ya berarti kita berdua aneh.”
“Berarti kita bisa berteman?”
“Sejauh ini belum.”
“Kenapa?”
“Gak ada alasannya.”
“Oke. Sekarang kita resmi jadi
teman,” ucapnya semangat.
“Ko bisa? Kenapa?”
“Tidak ada alasannya.”
Kalau ada orang yang kepala ingin
meletus, mungkin orang itu adalah saya. Saya benar-benar geram melihat
perempuan bernama Afina ini. Tapi, anehnya saya pun terhibur dengan sikap dan
ucapannya. Semesta, mahluk apa lagi yang kamu kirim ke dunia saya?
Tidak ada angin atau hujan, mahluk
ini datang lalu merecoki isi kepala saya dengan ribuan pertanyaan. Entah
semua pertanyaan itu mendapatkan jawaban
atau tidak, yang terpenting sekarang adalah membiarkan itu semua berhamburan.
Bulan memberikan cahayanya. Meski
malam, Jakarta tetaplah Jakarta. Saya berjalan menyusuri trotoar jalan hendak
menuju halte terdekat. Kali ini saya sendirian. Saya dan Afina sudah berpisah
lima menit yang lalu. Pun itu saya yang memilih untuk pergi duluan. Saya duduk
di ruang tunggu halte. Sudah memasuki jam delapan malam. Beberapa orang sudah
mulai berdatangan mengisi halte.
Mendadak isi kepala saya dipenuhi
oleh suara dan tawa Afina. Saya memejamkan mata untuk menghilangkan itu semua.
Tapi dicoba berapakalipun tidak bisa. Saya pun memutuskan untuk kembali ke
penjual somay tadi.
Saya mengedarkan pandangan ke semua
arah.
“Kenapa, Mas? Cari pacarnya, ya?”
tanya penjual somay tadi.
Saya tetap diam dan mengambil
kesimpulan bahwa Afina telah pulang.
“Ko balik lagi?”
Mendengar suara itu, saya membalikkan
badan dan melihat Afina sedang berdiri sembari mengunyak permen karet. Ketika
saya melihat wajahnya yang penuh keringat, saya mengeluarkan sapu tangan.
“Nih.”
Afina menolak. “Nggak usah. Aku
punya sapu tangan sendiri.” Ia menoleh ke dalam tasnya dan mengacak-ngacaknya.
Dari raut wajahnya, sepertinya ia tidak menemukan sapu tangannya.
Seolah didorong angin, saya
menghampirinya dan berdiri di dekatnya. Saya mengangkat tangan dan mengusap
butiran keringat yang menempel di kening dan hidungnya. “Muka lo jadi jelek
kalo banyak keringet.”
Afina diam tanpa suara. Sesaat saya
lihat mukanya menegang dan matanya menatap saya kebingungan. Melihat ada
kesalahpahaman, saya mengambil langkah mundur dan berkata, “Lo lap sendiri
nih!” Saya meletakkan sapu tangan tadi tepat di depan wajahnya.
Ia mengambilnya kasar lalu mengelap
keringatnya. “Ini bukan bekas ketek kamu, kan?”
“Gak usah rese,” balas saya.
“Iya… iya… maaf.”
Saya tidak bisa menahan tawa saat
mendengar ia mengucapkan kata maaf. Saya pikir Afina adalah perempuan yang rese
dan gengsi untuk meminta maaf. Apalagi ia dengan sikapnya yang menyebalkan.
“Ko ketawa?”
“Gak penting.”
“Ohhhhh…. Okay. Oh, ya, kenapa balik
lagi? Ketinggalan busway?” tanyanya sambil mengembalikan sapu tangan saya.
“Lo tuh jorok, ya. Ini kan bekas
lo.”
“Ya terus?”
“Lo wajib cuci tuh sapu tangan.”
“Itu artinya kita bakal ketemu
lagi?”
Jleb! Pertanyaannya berhasil membuat
tulang-tulang kaki saya remuk dan tidak kuat berjalan. Benar juga. Kalo saya
memintanya untuk mencuci sapu tangan itu, itu artinya secara tidak langsung
saya akan bertemu dia lagi.
Saya mengambil sapu tangan itu dan
berkata, “Ya udah, lo gak perlu cuci.”
“Itu artinya kamu gak mau ketemu aku
lagi?”
“Udah deh. Udah malem. Bisa gak
pertanyaan lo gak usah yang aneh-aneh?”
Afina mangut-mangut tanpa melakukan
pembalasan. Melihatnya seperti itu, sebenarnya membuat saya tertawa. Tapi,
untungnya, saya mampu menahan. Harus saya akui, mahluk ini memang lucu.
“Rumah lo di mana, Fin?”
“Daerah Cibubur. Kenapa?”
“Lo berani pulang sendirian?”
“Berani.”
“Ya udah. Berarti gue----“
“Ohhh, aku mulai paham sekarang,”
selanya. “Jadi kamu sengaja balik lagi karena mau nganterin aku pulang?”
Saya menyerah. Saya ketahuan dan
tidak bisa lagi memberikan kebohongan. “Gue cuman---“
“Khawatir?”
“Gak! Gak ada yang khawatir. Gue
cuman mau tau aja rumahnya teman gue.”
“Tadi katanya kita bukan teman.”
“Calon.”
“Ohhh.. aku baru tau ada yang
namanya calon teman. Aku kira yang ada hanya calon pacar.”
“Di kamus gue ada.”
“Calon pacar?”
“Calon teman.”
“Kalo calon pacar sudah ada?”
Saya berusaha mengalihkan
pembicaraan. “Ya udah. Lo bisa pulang sendiri, kan? Gue cabut.” Saat saya
hendak mengambil langkah pergi, Afina sudah menggenggam tangan saya dan
menautkan jemarinya di jemari saya.
“Aku minta temenin pulang, boleh?”
Tanpa berkata apa-apa lagi, saya
mengangguk mengiyakan. Untuk beberapa detik, kami berdua dibutakan oleh
perasaan yang tidak bisa kami jelaskan. Saat Afina menautkan jemarinya, entah
kenapa saya merasa tautan itu pas, tidak kurang dan tidak lebih. Seolah tangan
kami berdua diciptakan untuk saling bersangkutan.
Selimut kenyamanan itu lepas
bersamaan dengan kembalinya kesadaran kami berdua. Selimut itu berganti menjadi
kecanggungan dan tangan kami sudah saling melepaskan.
Tidak ada topic pembicaraan sampai
busway yang kami tunggu tiba. Di dalamnya hanya tersisa dua kursi kosong. Itu
artinya mau tidak mau saya dan Afina harus duduk bersebelahan.
“Kamu sudah kuliah, Laut?” Afina membuka
topik pembicaraan sekaligus menanggalkan selimut kecanggungan tadi.
“Belum. Gue baru mau kuliah tahun
ini.”
“Pasti kamu mau ngambil jurusan
Sastra, kan?”
Saya mengangguk, membenarkan
tebakannya.
“Kamu tidak ingin tahu apakah aku
sudah berkuliah atau belum?”
Saya memutar bola mata dan bertanya,
“Lo kuliah?”
“Belum. Baru mau kuliah tahun ini.”
Alis kanan saya naik mendengar
jawabannya, seolah bertanya, nih anak demen ngikutin orang atau gimana, sih?
Seakan mendengar pertanyaan saya,
Afina menggelengkan kepala. “Kita memang seumuran, Laut.”
Kembali ia membuka topik baru,
“Kalau kamu, Laut, kenapa suka menulis?”
“Suka aja.”
“Gak ada alasan khusus?”
“Suka sama sesuatu kan gak mesti ada
alasannya.”
“Aku juga suka.”
“Menulis?”
“Baca tulisan kamu.”
“Lah? Lo kan baru baca satu cerpen
gue.”
“Jadi, kamu mau ngasih tau aku
cerpen yang lain?”
“Lo gak bakal suka.”
“Kalo belum dicoba, kan kita gak
tau.”
“Gak semua hal perlu dicoba.”
Saya dan Afina berjalan kaki menuju
rumah Afina. Entah rumah Afina yang terlalu jauh atau tidak. Tapi yang pasti
saya rasakan adalah kenapa langkah kaki ini tidak ingin cepat sampai di sana.
Rasanya seolah saya ingin terus berbincang dengan Afina hingga pagi tiba.
Padahal baru hari ini saya banyak bertukar kata dengannya.
“Kamu mau masuk dulu atau…”
“Gue langsung pulang aja.”
Afina mengangguk. Saya membalikkan
badan sebelum mendengar Afina kembali memanggil nama saya. Saya menengok dan
mendengar ia berkata, “Terima kasih buat hari ini.” Ia menutup ucapannya dengan
senyuman hangat. Bulan, maaf jika saya harus jujur, tapi malam ini saya berani
bertaruh bahwa senyumannya lebih indah daripada cahayamu.
***
Saya membuka pintu kamar. Setelah
membasuh muka, saya merebahkan diri di kasur. Hari ini terasa berat sekali,
tapi… cukup menyenangkan. Entah karena saya berhasil membeli salah satu novel
incaran saya atau karena…. Tidak-tidak, tidak mungkin karena Afina. Kalo pun
karena Afina, itu pasti karena saya hanyalah manusia biasa yang bahagia ketika
mendapatkan teman baru.
Sebentar… teman baru? Saya kan belum
secara resmi menganggap Afina teman saya. Lalu karena apa?
Biarlah. Hal seperti itu tidak perlu
dipikirkan. Saya merogoh novel Kata dari tas saya. Ketika saya membuka halaman
pertamanya, kertas cerita pendek saya jatuh ke lantai. Saya memungutnya dan
meletakkannya di meja belajar. Tapi sesuatu di balik kertas itu menyita
perhatian saya. Saya mengambilnya kembali dan melihatnya. Ternyata hanya ada beberapa
angka di sana. Tepatnya nomor ponsel seseorang.
Tidak perlu ditanya lagi, sudah
pasti itu nomor Afina. Heran, bukannya kesal atau setidaknya biasa saja, kenapa
saat ini saya malah bahagia menemukan nomor Afina?
Perlahan-lahan saya mengamati nomor
itu dengan kebimbangan. Apakah saya harus menyimpan nomor itu atau tidak. Toh
saya tidak ada urusan dengannya saat ini. Kembali saya rebahkan kepala saya di
atas bantal sembari melihat nomor itu.
Afina Hanifansha, saya menyebut
namanya dalam benak. Afina, sebenarnya kamu tuh mahluk apa sih? Kenapa kamu
tiba-tiba hadir dalam hidup saya tanpa rencana? Dan anehnya adalah hidup saya
seolah memberikan ruang tersendiri untuk kamu tempati, ruang yang saya sendiri
tidak pernah bangun. Lebih dari itu, entah kenapa kamu mampu memahami diri saya
di saat saya sendiri tidak mampu memahaminya.
***
Hari ini hari kelulusan sekolah.
Tadi pagi Bapak bertanya apakah ia perlu hadir di sekolah atau tidak. Saya
menjawab tidak perlu. Toh semenjak ibu meninggal, saya sudah terbiasa mengurus
urusan sekolah sendirian, termasuk mengambil rapor.
Kepala sekolah dan para guru
memberikan selamat pada saya dan murid-murid kelas dua belas karena kami semua
dinyatakan lulus. Meski sudah jadi rahasia umum bahwa sekolah tidak akan
membiarkan muridnya tidak lulus. Maka dari itu sogok-menyogok pun sudah jadi
hal yang lumrah di kalangan sekolah. Kalau kelulusan seorang murid diukur dari
kepintaran, maka saya yakin sebagian dari kami tidak akan lulus. Namun sekolah
tetaplah sekolah yang mempunyai harga diri di mata pemerintah. Mereka lebih
memilih untuk meluluskan murid tolol ketimbang menerima kritikan atau cibiran
dari masyarakat karena tidak meluluskan murid tolol.
“Bapak lo gak dateng?”
Saya menengok dan mendapati Hendra
sudah berdiri di samping saya dengan setelan jas hitamnya. Saya menggelengkan
kepala.
“Pasti ini ulah lo, kan?”
“Gue cuman gak mau dia kecapean.”
“Lo cuman gak mau dia ikut campur,”
ralat Hendra.
Kini kami berdua sedang berdiri di
pinggir lapangan, menyaksikan pidato singkat dari kepala sekolah yang mendadak
berubah baik di depan semua wali murid dan pejabat pemerintah setempat.
“Tuh orang, udah umur tua, muka dua,
istri dua,” cibir Hendra yang mengarah pada kepala sekolah.
Saya tidak menanggapi dan memilih
untuk mengendorkan dasi hitam yang sedari tadi mencekek leher saya. Perhatian
saya dan Hendra teralihkan ketika kami berdua mendengar seseorang berkata, “Ka
Laut, selamat, ya.”
“Alia?”
Di depan saya sudah berdiri Alia.
Saya sempat terhipnotis oleh kecantikannya. Make-upnya yang normal serta
pakaiannya yang modis namun tidak norak menjadikannya pusat perhatian beberapa
murid lain. Kenapa saya merasa Alia sangat cantik saat ini? Apa semua perempuan
akan terlihat cantik setelah mengalami penolakan atau putus hubungan?
Saya mengajak Alia ke kantin untuk
mengobrol. Sempat ingin ikut, tapi Hendra akhirnya memutuskan untuk tidak
bergabung bersama kami karena ia dipanggil orangtuanya.
“Alia mau makan apa?”
“Jus mangga aja, Kak.”
“Kenapa? Lagi diet?”
Dengan nada malu-malu ia mengangguk.
“Alia, kamu tuh cantik apa adanya. Kalo kamu ngerasa insecure dengan tubuh
kamu, lalu kamu memilih untuk diet, saya kurang setuju. Tapi kalo kamu diet
dalam rangka menyehatkan tubuh, saya masih bisa nerima.”
“Iya, Kak.”
“Jadi… mau tetep jus aja?”
“Baksonya boleh deh, Kak. Hehehehe.”
Saya tertawa melihat raut wajahnya.
“Ditunggu, ya,” ucap saya sambil mengusap-ngusap rambutnya.
Tak lama kemudian saya kembali
membawakan dua mangkok bakso, jus mangga dan es jeruk. “Silakan,” ucap saya.
“Makasih.”
Akhirnya saya duduk, menikmati bakso
itu bersama Alia. Sembari menyantap makanan, saya bertanya, “Seinget saya,
kelas sepuluh dan sebelas gak wajib dateng deh.”
“Iya, Kak.”
“Terus?”
“Aku cuman mau lihat Ka Laut lulus
aja.”
“Gak ada yang spesial dari kelulusan
saya, Alia. Kamu cuman buang-buang waktu aja.”
“Ya kan Kakak bentar lagi mau kuliah
di Jogja.”
Saya sempat kaget mendengar ia tahu
rencana saya. Tapi kaget itu dengan cepat surut setelah saya yakin ini pasti
ulah Hendra.
“Baru mau, Alia. Belum pasti.”
“Kenapa mesti di Jogja, Kak?”
“Kalo ditanya seperti itu, mungkin
hampir semua orang akan menjawab karena Jogja kota pelajar. Tapi, bagi saya,
Jogja lebih dari itu, Alia. Jogja seolah memberikan saya catatan kosong untuk
menulis mimpi, menerbangkan saya lebih tinggi. Ya… meskipun saya sendiri masih
bingung ke depannya seperti apa.”
“Kak Laut,”
“Hmm,”
“Kak Laut percaya sama yang namanya
keajaiban?”
“Gak terlalu.”
“Kakak hanya butuh percaya dengan
yang namanya keajaiban. Usaha serta doa akan membuat Kakak yakin sama diri
Kakak sendiri. Jadi, jangan pernah takut untuk bermimpi. Suatu saat nanti, aku
yakin kalo Kakak akan jadi penulis yang hebat. Jangan lupa tanda tangannya, ya,
hehehehehe.”
Saya tersenyum mendengar ucapan Alia
yang terasa lembut dan sejuk.
“Alia,”
“Iya?”
“Saya minta maaf ya.”
“Untuk?”
“Karena saya belum bisa balas
perasaan kamu.”
Kini giliran ia yang tersenyum. “Kak
Laut gak perlu minta maaf. Kita kan tau, kalo jatuh cinta sama seseorang gak
selalu berujung kebahagiaan. Kita juga tau, kalo dua orang yang saling jatuh
cinta gak selalu melangkah di jalan yang sama.”
“Iya.”
“Terus, Ka Zia gimana?”
Kembali nama itu hadir dalam benak.
Sososk itu, sosok yang hanya memberikan pelajaran penting dalam hidup saya.
Sosok yang mengajarkan saya bahwa kadang kehilangan justru lebih membahagiakan.
“Kakak udah gak tau kabarnya dia.
Kakak udah lost contact semenjak dia pergi.”
“Kak Laut masih cinta sama Ka Zia?”
“Menurut kamu cinta itu apa, Alia?”
“Cinta itu.. ya… ketika Kakak merasa
bahagia mengingat dia.”
Sejenak saya diam dan mencoba
mengingat nama Zia. Dan hasilnya biasa saja. Saya tidak lagi merasa bahagia
atau kecewa. Seolah cerita yang pernah saya buat bersama Zia tidak pernah ada.
“Udah nggak.”
“Kalau sekarang? Kakak lagi cinta sama seseorang?”
Cinta, cinta dan cinta. Kenapa hal
seperti itu harus ada di dunia? Kenapa cowok dan cewek harus saling jatuh cinta
hanya agar merasa bahagia? Saling mengikat dalam hubungan resmi. Kenapa cinta
selalu merumitkan hal yang sederhana?
“Kalo itu…”
***
“Lo mesen apa, nyet?”
“Es teh manis aja, Dra.”
“Lah? Lo gak makan?”
“Belum laper.”
Hendra mengangukkan kepala. “Ya
udah, gue pesen dulu.” Ia pun pergi me kasir sebuah restoran, sedangkan saya
melanjutkan bacaan saya. Entahlah, cerita yang terjadi antara Binta dan Nugraha
dalam novel Kata berhasil memikat perhatian saya.
“Kursi ini kosong?”
“Ya kan lo yang ngisi, pa---“
Saya tidak melanjutkan omongan saya
ketika mendapati Afina berdiri dan tersenyum.
“Pa….” dia berusaha menebak kata
yang hendak saya ucapkan.
“Pa….”
“Pantai?”
“Pa…”
“Pancoran?”
“Pa…”
“Panci?”
“Pa…”
“Ohhh. Pacar?”
Saya menatapnya dengan mulut
terbuka. Pun ludah berat membasahi tenggorokan saya.
“Kenapa? Aku salah ngomong?”
Belum sempat saya jawab, Hendra
datang dari kejauhan membawa makanan. Melihat ada perempuan cantik berdiri di
depan saya, Hendra sempat kebingungan. Ia meletakkan makanan itu di aas meja
lalu mempersilakan Afina duduk. Afina membalasnya dengan senyuman hangat. Dalam
hati, Hendra pasti mempertanyakan siapa perempuan ini.
“Hendra,” Hendra menjulurkan tangan
mengajak berkenalan. Afina menyambutnya lalu menyebut namanya.
“Kalo boleh tau, mba siapa ya?”
“Aku calon temannya Laut.”
“Hah? Calon teman?”
“Iya. Katanya dia belum bisa
berteman dengan aku. Makanya status kita sekarang cuman teman.”
“Buset! Dia beneran bilang gitu?”
Afina mengangguk.
“Wah! Sakit lo, nyet. Mau jadi temen
lo aja kaya lagi magang,” ucap Hendra pada saya yang daritadi hanya mendengar
mereka mengobrol.
“Ya udah, mulai sekarang, kamu resmi
jadi temannya Laut.”
“Ko lo yang nentuin?” tanya saya
sinis.
“Sssssttttt. Lo gak usah kecot.”
“Apaan tuh?”
“Kebanyakan bacot.”
Terdengar Afina tertawa melihat
percakapan saya dan Hendra.
“Fin, kamu mau makan atau minum?”
Hendra menawarkan.
“Gak usah, Hend. Nanti aku aja yang
pesen sendiri.”
“Santai. Teh atau kopi?”
“Teh lemon aja.”
“Baik. Ditunggu, ya.”
Sembari menunggu Hendra, tidak ada
percakapan antara saya dan Afina. Sebelum akhirnya saya memecahkan suasana. “Lo
tau dari mana gue ada di sini?”
“Gak tau dari siapa-siapa.”
“Ko bisa?”
“Mmmm… takdir mungkin.”
“Gak usah bawa-bawa takdir.”
“Emangnya kamu gak percaya takdir?”
Saya menggelengkan kepala. “Bagi
saya, takdir hanya alasan untuk seseorang yang malas menjalani kehidupan.”
“Bukannya kehidupan seseorang memang
sudah digariskan?”
“Bila seperti itu, tidak ada yang
namanya kebebasan.”
“Kebebasan tidak selalu mencakup
semua hal, Laut.”
Belum sempat saya membalas
ucapannya, Hendra sudah datang dengan raut wajah bahagia. Seolah kehadiran
Afina adalah penyebabnya. Ya… bisa dibilang seperti itu. Malam ini pun saya isi
bersama Afina dan Hendra. Mereka berdua terlihat sangat akrab. Padahal mereka
baru kenal beberapa menit yang lalu.
“Ohh, jadi kamu lulusan SMA
Angkasa?” Hendra bertanya untuk sekian kalinya, mencoba meyakinkan dirinya
sendiri.
“Yap!” jawab Afina dengan bangga.
“Nyet,” Hendra memanggil saya. “Lo
tau kan SMA Angkasa? Salah satu SMA favorit di Jakarta! Katanya lulusan sekolah
itu langsung bisa diterima di salah satu kampus terbaik di Inggris.
Murid-muridnya juga cantik,” lanjut Hendra.
Saya mengernyitkan kening. Menatap
Afina dengan pandangan menyelidik sampai ia memundurkan wajahnya. Sesekali ia
menengok ke sekeliling untuk memastikan orang-orang tidak melihat tingkah laku
saya. Berbeda dengan Hendra, ia malah menahan tawa.
“Hoax,” ucap saya.
“Hah?” Hendra memasang wajah
bingung.
“Murid-muridnya biasa aja.”
Tiba-tiba Hendra menginjak kaki
saya. Saya mengerang kesakitan lalu memandangnya kesal. Hendra melemparkan
tatapan tajam ke saya dan senyum lebar yang dibuat-buat ke Afina. Saya lihat raut
wajah Afina yang mendadak berubah datar. Tak lama kemudian ia berkata, “Hend,
aku ada urusan lain. Aku duluan, ya.”
Ia bangkit, menyongkong tasnya dan
pergi.
Plak! Hendra menepak keras kening
saya. Saya tidak mengerti apa kesalahan saya.
“Mulut lo tuh pengen banget
disambelin, ya?!” seru Hendra kesal.
“Salah gue apa anjir?!”
“Si kambing! Masih nanya lagi.
Sekarang lo kejer Afina dan minta maaf sama dia.”
“Untuk?”
“Lo tuh ganteng tapi bego, ya. Dia
tuh gak bener-bener ada urusan. Dia sakit hati karena omongan lo. Paham?”
Saya memandangi Hendra dengan
bingung.
Plak! Kali ini Hendra menampar keras
pipi saya. Saking kerasnya, orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke arah
kami.
“Cepetan minta maaf,”
Tidak ingin menciptakan keributan.
Saya mengikuti perintah Hendra dan mengejar Afina meski saya tidak tahu ke mana
ia pergi. Saya hanya mengikuti ke mana pikiran saya menuntun. Sudah lima belas
menit saya berjalan tanpa arah dan
batang hidung Afina juga belum kelihatan. Hingga telinga saya menangkap
suara seseorang.
“Kalo kamu sedang mencari aku karena
kasihan atau perintah Hendra, sebaiknya tidak usah. Aku tidak apa-apa.”
Saya menengok. Sudah ada Afina di
sana. Ia sedang duduk di kursi sembari meminum air mineral. Tanpa menjawab
apa-apa, saya mendekatinya dan takkala hendak duduk di sampingnya. Ia berseru,
“Mau ngapain?”
“Duduk,”
“Siapa yang ngebolehin?”
“Ini kan kursi umum?”
“Mulai malam ini, kursi ini milik
aku.”
“Ko bisa?”
“Ya bisa lah.”
“Alasannya?”
“Semua cewek benar.”
Saya menghela nafas kesal. Salah apa
saya harus berurusan dengan perempuan seperti ini. Akhirnya saya pun berdiri,
meski tidak pergi dari tempat itu.
“Kenapa masih di sini?”
“Guemaumintamaaf,” jawab saya cepat.
Bahkan saking cepatnya, bisa jadi dua malaikat yang berada di sisi saya tidak
mendengar apa yang saya ucapkan.
“Bkakkewkeik. Kamu tuh ngomong apa,
sih?! Kalo ngomong tuh yang jelas.”
Ya Allah,
kenapa rumit banget sih cuman mau minta maaf? Ucap saya dala hati.
“Gue minta maaf.” Saya mengucapkan
dengan jelas. Tidak ada alasan bagi dia untuk tidak mendengar.
“Ohhhh, kamu mau minta maaf?”
“Hmmm.”
“Kalo gitu yang ikhlas, dong.”
Pandangan saya menuju ke matanya.
“Gue udah ikhlas.”
“Belum. Aku belum ngerasain.”
“Ya terus?”
“Ya… ulang.”
Perempuan ini benar-benar menguji
kesabaran saya. Agar masalah ini cepat selesai, saya mengulanginya. Terlintas
dalam benark saya untuk melakuakn balas dendam. Raut wajahnya sempat kesal
ketika tiba-tiba saya duduk di sampingnya, mengambil tangannya, dan mendekatkan
wajah saya ke wajahnya. Saya rasakan hembusan nafasnya.
Dalam jarak dekat seperti ini, saya
baru menyadari bahwa ia memiliki bola mata yang indah, lebih indah dari apa
yang saya duga. Untuk beberapa detik, mata kami saling mengikat, seolah
memberika sesuatu yang tidak bisa dipegang erat. Saya lihat ia meneguk ludah,
tanda ia bingung harus apa.
Dan dengan sekali ucapan lembut saya
berkata, “Afina, gue minta---“
Tiba-tiba ia mendorong saya menjauh
dan… plak! Tangannya dengan ringan menampar pipi kiri saya. Sempurna sudah.
Bila mala mini tidak memiliki batas, mungkin wajah saya sudah bonyok terkena
tamparan Afina dan Hendra.
“Lo kesambet?” tanya saya sewot
sambil mengusap-ngusap pipi yang panas.
“Kamu yang salah! Kenapa kamu
deketin wajah kamu ke aku?”
“Katanya suruh---- sebentar, kenapa
pipi lo merah?” tanya saya menunjuk ke pipinya. Mendengar pertanyaan saya, ia
buru-buru mengalihkan wajah ke tempat lain.
Saya tertawa melihat salah
tingkahnya.
Masih dengan arah wajah ke tempat
lain, ia berkata, “Gak usah mikir yang tidak-tidak.”
“Seperti?”
“Seperti----“
“Lo suka sama gue?”
“Nah! Itu! Gak usah mikir aku bakal
suka sama kamu.”
“Emangnya lo yakin?”
Ia menengok arah saya. “Maksudnya?”
“Emangnya lo yakin bakal gak suka
sama gue?”
“Yakin!” jawabnya percaya diri.
Percaya sama saya, kalian akan tertawa melihat bagaimana raut wajahnya saat
mengatakan yakin.
“Dah, aku pulang!”
“Ya udah. Gue anterin.”
“Kenapa dianterin?”
“Lo tuh lagi kesel sama gue,
khawatirnya pikiran lo ke mana-mana. Nanti diculik baru tau rasa.”
“Ya masa aku dianterin sama orang yang
lagi aku keselin.”
“Daripada lo dianter sama orang yang
lo sayangin.”
“Maksudnya kamu? Hhhh!!!”
“Katanya gak bakal suka gue.”
“Au ah!” jawab Afina sambil berlalu.
Saya hanya tersenyum sendiri melihat tingkahnya. Entah alasan apa saya mau
mengantarnya pulang. Yang saya tau, saya tidak ingin hari itu cepat selesai.
***
“Udah sampai.”
Saya sudah memberhentikan motor di
depan rumah Afina. Yang diantar tidak merespond apa-apa. Hingga saya merasa
bahu saya mulai basah. Saya menengok dan melihat ia tertidur lelap dengan
cairan mengalir dari sudut mulutnya. Orang-orang biasanya menyebut itu iler.
“Uy, bangun, uy,” saya menepuk-nepuk
pelan pipinya. Perlahan-lahan ia membuka matanya, melihat sekelilingnya.
“Ini di mana?”
“Di mana lagi kalo bukan di rumah
lu.”
Ia manggut-manggut, mencoba
memahami. Dasar aneh, rumah sendiri aja lupa. Dengan pelan ia turun dari motor.
Merasakan ada yang membercak di pipinya, ia mengusap ilernya dengan punggung
tangan dan yap… tanpa merasa berdoa ia mengusap ilernya di baju saya.
Astagfirullah! Ini cewek jorok
banget sih! Saya menggerutu dalam hati. Tapi, sikapnya yang lepas seperti ini
yang membuat saya tertawa. Ia tampak tidak malu untuk menjadi dirinya sendiri.
“Ya, udah. Aku masuk, ya. Bye!”
“Fin!” panggil saya.
Dengan wajah mengantuk, ia memandang
saya dan mengangkat kedua alisnya seolah bertanya ada apa.
“Maaf buat hari ini. Dan… makasih,
ya,” ucap saya pelan namun jelas.
Afina hanya mengacungkan jempol dan
kembali berjalan memasuki pekarangan rumahnya. Saya tidak langsung pergi
meninggalkan tempat itu. Saya malah tersenyum sendiri seperti orang gila, tidak
menyangka saya akan mengucapkan maaf dan terima kasih secara tulus dan ikhlas.
Terlebih lagi lawan bicara saya adalah Afina. Entah kenapa, saya mulai
merasakan kebahagiaan saat melihat dan mendengar suara Afina. Meskipun ia
seringkali membuat saya kesal, tapi saya tidak bisa berbohong bahwa itu membuat
hidup saya mulai ada warna.
***
Setelah menulis cerita pendek, saua
segera merapihkan buku dan laptop saya di atas meja. Suasana restoran pinggir
jalan malam ini cukup ramai. Pasti karena malam ini malam minggu. Saya tidak
terlalu mengerti, kenapa malam minggu selalu menjadi malam yang istimewa bagi
sebagian orang, dan menjadi malam yang menakutkan bagi yang lainnya, atau lebih
tepatnya menjadi malam yang suram untuk sebagian yang lain. Berbagai macam
pasangan memposting kebersamaan mereka di malam minggu dengan caption yang
puitis bak penyair Rendra. Saling berpelukan seolah tidak ingin saling
melepaskan. Saling mengumbar kemesraan.
Sedangkan orang-orang yang tidak
memiliki pasangan, hanya bisa bergelut dengan dunia game atau mengejek
orang-orang yang memiliki pasangan.
Saya tidak dua-duanya. Saya merasa
malam minggu sama seperti malam-malam yang lain. Tidak ada yang spesial.
Di dalam restoran, saya mendengar
beberapa remaja perempuan berusia 16 tahun tengah berbisik diselingi tawa.
Awalnya saya tidak peduli, tapi ternyata beberapa dari mereka menatap say
seolah saya adalah topik pembicaraan mereka.
Salah satu dari mereka akhirnya
mendekati saya. Perlahan ia berjalan mendekati saya dengan senyuman genit. “Hi,
Ka.”
Saya tidak menjawab. Saya hanya
memandanganya datar.
“Boleh kenalan?”
Lagi. Ucapannya saya tidak tanggapi.
Ia mulai kebingungan, tidak tahu harus bersikap apa lagi. Hingga ucapan
selanjutnya mengagetkan saya.
“Kakak penulis cerita pendek Si
Anjing dan Si Bangsat, kan? Aku dan teman-teman aku sudah baca ceritanya.
Mungkin Kakak ngira kita ngetawain Kakak, tapi kita gak bermaksud, ko. Kita
hanya gak nyangka bisa ketemu penulisnya di sini. Makanya kita mau minta
fo----“
“Wait, lo tau dari mana itu
tulisan gue?” sela saya.
Dari raut wajahnya, ia terkejut
dengan pertanyaan saya barusan. Ya… gimana tidak terkejut, saya sendiri saja
tidak pernah mempost tulisan saya di media umum. Selama ini saya hanya
menulisnya di mading sekolah.
“Aku baca cerpen itu di media
Rakyat. Kakak gak tau? Cerpen Kakak jadi cerpen paling banyak dibaca bulan
ini,” ungkapnya semangat.
“Gue gak pernah posting apa-apa di
media itu.”
“Aku yang ngeposting,” ucap
seseorang. Saya menoleh. Ya tidak lain tidak bukan adalah Afina.
“Afina?”
“Hi, jadi minta foto bareng penulis
ini?” Afina bertanya pada remaja tadi.
“Emangnya boleh?”
“Ya boleh, lah. Ya udah, sekarang
kamu berdiri di samping dia.” Afina mengambil ponsel remaja tadi dan
menuntunnya untuk berdiri di samping saya. Ia mengambil foto saya, bahkan tanpa
izin saya. Harga diri saya sudah turun di depan Afina.
“Sebentar,” ucap Afina setelah
memotret saya beberapa kali. Ia menghampiri saya dan tiba-tiba jari telunjuk
dan ibu jarinya sudah berada di mulut saya. “Senyum,” serunya.
Dengan senyuman dipaksa, ia kembali
memotret saya. Setelah sesi pemotretan yang tidak diniatkan itu selesai. Saya
menatap Afina dengan kesal. Yang ditatap hanya senyum-senyum kegilaan.
Tadinya saya ingin bertanya kenapa
ia memposting tulisan saya tanpa izin. Tapi itu percuman. Selama saya bertanya,
selama itu pula jawaban ia akan membuat panas isi kepala. Karena saya mulai
tahu, ada beberapa hal yang semestinya dibiarkan berjalan tanpa perlu
dipertanyakan.
“Lo laper?”
Ia menoleh dan berhenti menjadi
orang gila.
“Kenapa? Lo mau ngajak gue makan?”
“Gak. Gue mau ngajak lo sapu jalan
tol,” ucap saya kesal.
Ia tertawa. Dan mendadak ia sudah
memeluk tangan saya dan berkata, “Yuk.”
Saya sempat terkejut dengan apa yang
ia perbuat. Saya berbisik ke telinga Afina. “Fin, gue belum mandi seminggu.”
“Hah?! Jorok!” Dia memukul keras
bahu saya.
“Auch! Ko dipukul?”
“Ya lagian! Jorok banget sih!”
“Bodo.”
Saya tidak lagi menghiraukannya. Pun
lantas keluar restoran. Afina mengikuti dari belakang. Sembari menunggu saya
menyalakan motor, ia bertanya, “Kita mau makan apa?”
“Apa aja yang bisa dimakan,” jawab
saya sekenanya.
“Ya tau. Tapi apa?”
Tanpa menjawab lagi, saya memintanya
untuk berdiri dan jangan pergi ke mana- mana. Saya pun pergi lalu kembali
membawa helm hitam tanpa kaca. Ia memperhatikan helm itu dan bertanya, “Punya
siapa?”
“Satpam restoran.”
“Hah?” Dia kebingungan sendiri.
“Kenapa?”
“Ko kamu bisa minjem?”
“Ya pinjem tinggal pinjem. Lagian
tuh satpam kenal sama gue.”
Dia memeriksa helmnya lalu berbisik
ke telinga saya dengan wajah sedikit ragu. “Laut, maaf, ya, tapi helmnya....”
Saya memahami apa yang ia ingin
katakan. Tanpa banyak bicara, saya menukar helm itu dengan helm saya. “Pakai yang
ini aja,” ucap saya.
Ia menerima dan memakainya. Pun saya
yang langsung memakai helm satpam itu meski bau helm itu cukup menyengat.
Setelah kami berdua memakai helm, kami pun pergi bergabung dengan puluhan
kendaraan lain.
Selama perjalanan, saya lihat
tangannya berada di pahanya sembari sesekali mencengkram lutut sebagai
pegangan. Saya tersenyum sendiri. Ketika lampu lalu lintas berwarna merah, saya
lihat wajahnya sedikit terkejut ketika saya menarik kedua tangannya dan
melilitkannya di tubuh saya. “Kalo takut, pegangannya sini aja.”
Ia menerima tanpa memberontak atau
memukul karena saya melakukannya tanpa izin. Ketika kita sampai di warung nasi
goreng, saya segera duduk disusul Afina yang melipat tangannya di atas meja.
“Lo mau apa? Nasi goreng biasa atau
spesial?”
“Yang spesial tuh kaya gimana?”
“Yang spesial tuh kaya cintanya Mba
ke Masnya,” ucap penjual nasi goreng secara tiba-tiba. Ia memperlihatkan senyum
lebar hingga rentetan giginya terlihat.
“Gak usah bikin ribut, Gung,” kata
saya pada si penjual bernama Agung yang memang sudah dekat dengan saya.
Agung langsung merubah mimik
wajahnya dan berbisik pada Afina meski suaranya masih keras dan bisa saya
dengar. “Hati-hati, Mba. Cowok di depan Mba ini sensitif. Kalo disentuh, Mba
harus bayar.”
“Gue denger, Gung...”
“Ya udah, karena ini hari bahagia
buat teman saya, Laut, saya akan masak dengan sepenuh hati untuk Mbanya.”
Sembari menunggu masakan Agung jadi,
Afina berkata, “Ternyata kamu punya banyak temen juga, ya.”
“Ya menurut lo?”
“Aku kira teman kamu cuman Hendra
dan novel-novel.” “Gue ini masih mahluk sosial.”
“Itu artinya kamu masih membutuhkan
orang lain?”
Saya mengangguk.
“Berarti suatu saat nanti kamu butuh
aku?”
Saya menoleh ke arahnya dengan wajah
heran. Sial, kenapa mulut ini mendadak kaku?
“Hahahaha. Canda, ko,” lanjutnya
sambil memukul pundak saya. Bercanda si bercanda, tapi bisa gak mukul juga,
kan? Ucap saya dalam hati sambil menggosok- gosok pundak.
Nasi gorengnya datang tepat ketika
perut saya sudah berbunyi pelan.
“Silakan dicoba, direview dan
diuploud di Instagram,” kata Agung. Ia pun meninggalkan kami berdua setelah
melemparkan kedipan geli dan jempol yang bermaksud sebagai kode setelah mencuri
pandang ke arah Afina.
Saya mulai memakan nasi goreng. Pun
dengan Afina. Tapi, baru satu suap, Afina memanggil saya dan memandangi mata
saya tanpa bicara apa-apa. Saya tidak mengerti apa yang ia maksud sampai ia
melirik ke arah nasi gorongnya. “Pedes,” ucapnya lembut dengan nada lucu
seperti anak kecil yang tengah ngambek.
“Lo gak suka pedes?”
Dia menggeleng sambil mengigit bibir
bawahnya. Ketika itu juga saya menukar nasi goreng saya dan berkata, “Ya udah,
lo makan yang ini aja. Ini gak pedes, ko.”
“Kamu suka pedes?”
Saya mengangguk dan memintanya untuk
melanjutkan makan. Dengan lahap ia mengunyah. Saya juga kembali melanjutkan
makan, meski tanpa saya sadari, saya terus saja memandangi wajah Afina.
Entahlah, mungkin melihat bola
matanya akan menjadi satu hal yang saya sukai.
Seolah tidak ingin membuang waktu,
saya ingin memandangi wajahnya terus- menerus. Saya melihat ada keindahan yang
tidak dimiliki semesta, namun tertanam di wajah Afina. Setiap garis yang
terukir di wajahnya, seakan menandakan air sungai sebuah ketulusan dan
keberanian. Pemandangan yang tidak bisa saya dapatkan di tempat manapun, karena
saya yakin Tuhan sedang bahagia ketika menciptakan Afina. Bahkan sangat
bahagia, sangat dan sangat. Saya yakin itu.
Fin, terima kasih, kata saya dalam
hati.
***
“Laut, apa hal di dunia ini yang
paling kamu suka?”
Saya tengah meneguk teh hangat ketika
ia melontarkan pertanyaan itu. Masih di warung nasi goreng, saya menengok
kanan-kiri, masih banyak pengunjung yang datang.
“Sejauh ini hanya baca dan nulis.”
“Apa yang kamu lakuin kalo suatu
saat nanti hal yang paling kamu suka pergi dari dunia ini? Ya, contohnya kalo
kamu gak bisa baca atau nulis lagi. Ini contoh, yaaaaa.”
“Fin, setiap yang pergi, pasti punya
alasan kenapa ia pergi.”
“Lalu?”
“Gue gak bisa menahan sesuatu untuk
menetap. Kalo sesuatu itu pergi dari dunia ini, gue akan coba untuk mengikhlaskan.”
“Coba?”
“Ikhlas juga butuh proses, Fin.”
Itulah yang sedang saya usahakan. Mencoba untuk ikhlas ketika Ibu memilih untuk
pergi ke dimensi lain.
“Tapi, kenapa banyak orang gak bisa
ikhlas?”
“Mungkin bukan tidak, tapi belum.
Setiap orang punya cara dan waktunya sendiri untuk mengikhlaskan. Beberapa dari
mereka lambat. Itu karena luka yang mereka rasakan terlalu dalam dan perih.”
“Terus, gimana caranya orang itu
untuk mengikhlaskan?”
“Ikhlas itu dari hati, Fin. Tidak
bisa ada aturan tertulisnya.”
“Kamu pernah terluka?”
Pertanyaan Afina membawa saya
kembali pada masa lalu. Sosok yang ingin sekali saya ikhlaskan kepergiannya.
Sosok yang percaya pada mimpi-mimpi saya.
“Pernah.”
“Berarti kamu pernah mengikhlaskan?”
“Bukan pernah, tapi sedang.”
Sekilas saya melihat Afina agak
terkejut. Tapi saya tidak terlalu yakin, mungkin hanya salah lihat.
***
“Lo mau gue antar pulang?”
“Nggak usah. Aku bisa pulang
sendiri, ko.”
Saya melirik jam dinding di warung nasi goreng
Agung. Sudah jam setengah sepuluh malam.
“Udah terlalu malam. Gak baik buat
lo.”
“Tenang aja, Laut. Aku baik-baik
aja, ko. Lagian kamu kelihatan capek.” “Nggak cape kok. Kalo lo mau gue anter,
gue anter.”
“Aku yang cape lihat kamu
beraktivitas, Laut. Kamu butuh istirahat.” “Makasih, Fin. Tapi gue nggak—-“
“Tuh, ojek online aku sudah sampai.”
Ia menunjuk ke tukang ojek dengan seragam khas yang sudah menunggu di depan
gerobak nasi goreng. Sebelum pergi, ia tersenyum tipis dan berkata, “Makasih ya
buat malam ini.”
Saya mengangguk meski ada hal yang
menjanggal di hati saya. Tapi saya belum tahu itu apa. Saya masih berdiri di
pinggir jalan ketika mata saya melihat Afina pergi ditelan keramaian. Sebelum
Afina pergi, ada bagian dari diri saya yang berusaha memutar otak supaya bisa
mencegah Afina pergi, atau setidaknya saya yang mengantar ia pulang. Walau hal
itu tidak terjadi.
Agung mendekati saya, lengkap dengan
pisau di tangannya. Saya mendadak menjauhi diri, waspada kalo dia khilaf. Agung
melihat saya dengan wajah kebingungan, “Kenapa lo?” tanyanya polos.
“Lo yang kenapa. Ngapain lo
bawa-bawa pisau?”
“Gue mau motong bawang.”
“Ya terus?”
“Sekalian mau nanya aja. Lo kenal
tuh cewek dari mana?”
“Gak tau. Mendadak aja tuh cewek ada
di hidup gue.”
“Hah?”
“Hah, hoh, hah, hoh.”
“Lo emang gak bisa ngerasain?”
“Ngerasain apa?”
Agung menggelengkan kepala mendengar
balasan saya. Langkah kakinya pun mendekat. Tangan kirinya yang bau bawang dan
terasi itu menyentuh bahu kanan saya. Saya membuang pandangan ke arah lain,
menjauhkan hidung saya. Ia pun berkata, “Gue tau lo doyan baca, tapi gue baru
tau kalo lo bodoh masalah cinta.”
Saya tidak mengerti apa yang Agung
bicarakan. Terlepas dari bau tangannya yang membuyarkan fokus, kata-katanya pun
sulit saya cerna. Saya rasa ia keracunan jus bawang putih.
“Terus kenapa lo gak ngantar dia
pulang?”
“Gue udah tawarin, Gung. Dianya mau
pulang sendiri.”
“Fix!”
“Fix apaan?!”
“Fix lo tuh cowok gak peka. Cewek
itu gengsinya besar.
Kalo dia bilang mau pulang sendiri,
itu artinya dia mau ditemenin pulang.”
“Ko bisa gitu? Kontradiksi banget,
anjir!”
“Semua hal yang berkaitan dengan
cewek itu memang sulit dipahami pakai otak, Laut. Bisanya cuman pakai ini.”
Agung mengusap-ngusap dada saya.
“Pantesan lo jomblo,” ucap gue
lepas.
“Si kampret! Kalo gue lagi khilaf,
udah gue racunin lo pakai jus bawang,” balasnya kesal. “Lagian lo tuh juga
jomblo. Udah ah, gue masih layanin yang lain.” Sebelum ia kembali ke arena
kekuasaannya, ia kembali mengusap-ngusap dada saya dan mengingatkan, “Ingat!
Pakai ini!”
Sejenak saya terhipnotis oleh
kalimatnya. Seolah ia adalah pakar cinta yang handal. Namun, kesadaran saya
kembali datang ketika hidung saya mencium bau tidak sedap di baju saya, tepat
di bagian di mana ia mengusap dada saya. Kambing! Ternyata dia meper! Hardik
saya dalam hati.
***
Saya membuka pintu rumah. Lampu
kamar Bapak sudah redup. Saya mendekati kamarnya dan membuka pintu kamarnya
pelan-pelan. Sedikit terdengar decitan bunyi pintu itu. Saya memasukkan kepala
hanya untuk memastikan Bapak sudah tidur dan benar, Bapak sudah tenggelam dalam
mimpinya.
Sudah lima kali saya bulak-balik
kamar mandi karena perut saya mendadak sakit. Saya sebenarnya tidak suka
makanan pedas. Tapi entah kenapa ada sesuatu dalam diri saya yang mendorong
saya untuk menukar nasi goreng saya tadi. Sesuatu yang memaksa saya untuk
sedikit berkorban.
Ketika merasa lebih lega, saya
menuangkan minyak kayu putih di tangan saya dan menggosokkannya di perut. Apa
yang selalu dilakukan Ibu ketika ia masih hidup. Setelah selesai, saya tidak
langsung tidur. Mata saya belum mau diajak kerja sama.
Saya pun pergi ke teras rumah sambil
membawa laptop dan segelas air mineral. Ada satu cerita pendek yang saya ingin
tulis malam ini.
Sudah mencapai lima ratus kata
ketika pikiran saya tiba-tiba berlari ke berbagai tempat lalu berhenti di depan
sebuah papan bertuliskan nama Afina. Puluhan kata yang siap dihidangkan
seketika buyar berserakan. Kembali saya pikir hal apa yang menjanggal malam
ini.
Saya pun inisiatif untuk mengambil
kertas yang tercantum nomor Afina di belakangnya. Ketika ibu jari ini hendak
bersentuhan dengan layar ponsel guna mengirim pesan ke Afina lewat Whatsapp,
ada yang menghalangi saya seolah berkata, “Yakin mau chat? Gak takut ganggu?
Udah malam loh.”
Dalam hati saya menjawab pertanyaan
yang saya tanya sendiri. Ko lo jadi khawatir gini, sih, Laut? Kenapa lo ngerasa
takut kalo lo udah bikin kesalahan ke Afina? Kenapa?
Dengan keberanian yang bulat, saya
mengirimnya pesan.
“Hai, Fin. Ini gue, Laut. Sudah
tidur?”
Seperti orang gila, kepala saya juga
belum merasa tenang. Saya menunggu balasan darinya. Tidak tahu pasti apa yang
terjadi pada saya. Saya menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal. Ditemani
dengungan pasukan nyamuk, saya bangkit dari kursi dan berjalan mundar-mandir di
teras rumah dan meletakkan ponsel di samping laptop.
Langkah kaki saya terhenti ketika
saya melihat sebuah notif di ponsel saya. Buru- buru saya melihat.
Sial! Ternyata pengumuman promo
applikasi belanja online.
Sudah hampir setengah jam dan tidak
ada balasan. Kemungkinan terbesarnya Afina sudah tidur. Maka dari itu, saya
kembali berinisiatif untuk mengirim pesan.
“Fin, sorry kalo ganggu waktu tidur
lo. Gue cuman mau minta maaf kalo ada ucapan atau sikap gue yang nyakitin lo
hari ini. Apa pun kesalahannya, gue minta maaf.”
Pesan tersebut tidak jadi saya
kirim. Saya menghapus isinya dan menggantinya dengan, “Fin, sorry kalo ganggu
waktu tidur lo. Lo gak papa?”
Selanjutnya saya matikan ponsel itu
dan duduk di hadapan laptop saya, berharap kepala saya sudah kembali seperti
semula sehingga saya bisa melanjutkan menulis. Namun, pikiran saya masih tetap
tidak fokus. Saya sungguh tidak tahu apa yang menghancurkannya. Saya pun
memilih untuk menutup laptop dan kembali ke kamar. Mungkin benar kata Afina,
saya terlalu kelelahan. Saya butuh istirahat.
***
Sore ini saya sudah memiliki janji
bertemu dengan Hendra. Ia meminta saya untuk menemaninya mencuci motornya
sekaligus bertemu pamannya.
Saya tidak tahu pamannya siapa,
tapi, Hendra memaksa saya. Kebetulan sore ini saya tidak memiliki kegiatan
setelah lari pagi.
Saya pun bergegas pergi menuju
tempat yang sudah disepekati. Dan setibanya di sana, Hendra menghampiri saya.
“Ya udah, yuk, langsung cabut aja.”
“Janjian di mana?”
“Di salah satu restoran di daerah
JakSel.”
“Iya, di mananya?”
“Banyak ngemeng nih anak. Ikut aja.”
Dengan sedikit jengkel, saya
membiarkan Hendra menggonceng saya. Lima belas menit kemudian kami sudah sampai
di restoran dengan suasana Turki. Saya dan Hendra memasuki restoran itu.
Seketika itu juga harum wangi restoran yang tidak pernah saya cium memasuki
hidung saya. Saya tidak tahu parfum atau pewangi apa ini, yang pasti wanginya
sangat enak.
Hendra menyebarkan pandangan ke
semua arah hingga tangannya melambai ke satu arah. Saya mengikutinya dari
belakang. Di sana sudah duduk seorang lelaki tua berusia lima puluh tahunan
memakai jas hitam, kemeja abu-abu dan celana bahan. Persis gambaran direktur
yang saya lihat di televisi. Saya menjabat tangannya dan memperkenalkan diri.
“Silakan duduk,” ucap lelaki yang
saya tahu bernama Rama.
Kami pun duduk. Ketika pantat saya menyentuh
kursi itu, saya merasakan kenyamanan yang hebat. Saya tidak pernah merasakan
kursi senyaman ini. Apakah semua restoran daerah sini memiliki kursi seperti
ini? Ini pasti kursi mahal, kata saya pada diri sendiri.
“Gimana kabar kamu, Dra?”
“Baik, Om. Om Rama sendiri gimana?”
“Alhamdulillah. Ya... meskipun
pendapatan akhir-akhir ini tidak sesuai target.”
“Nah! Hendra bawa solusinya, Om!”
Hendra mengalungkan tangannya di leher saya lalu melepasnya beberapa detik
kemudian.
Om Rama tertawa mendengar perkataan
Hendra. “Laut, saya sudah dengar tentang kamu dari Hendra. Saya juga sudah baca
cerita kamu di media Rakyat.” Seketika itu juga Hendra melirik saya seolah
bertanya, ko bisa Om Rama sudah baca cerita lo?
“Ceritanya sangat menarik. Plot twist yang kamu
hadirkan juga membuat saya kagum. Saya seolah diingatkan oleh karya Eka
Kurniawan atau Ayu Utami.”
“Saya tidak bisa disandingkan dengan
mereka, Om.”
“Saya memang tidak ingin
menyandingkanmu dengan mereka. Karena saya yakin kamu punya jalannya sendiri
dan secepatnya itu akan menjadi nyata.”
Mendengar itu, saya melongo dan
tidak mengerti. Hendra menepuk bahu saya. “Om Rama ini punya penerbitan buku.”
“Betul,” Om Rama membenarkan, “saya
memang punya sebuah penerbitan. Oleh karena itu, saya akan sangat senang jika
kamu mau menjadi salah satu penulis yang menaiki perahu kami. Dengan kata lain,
saya ingin menerbitkan kumpulan cerpen kamu. Kamu pasti berminat, kan?”
Suasana hati saya mendadak senang.
Tidak ubahnya ini adalah mimpi yang sedikit lagi menjadi kenyataan. Saya ingin
sekali berlari menuju pusaka Ibu dan mengatakan dengan bangga anaknya sebentar
lagi akan menjadi penulis hebat.
“Tenang aja, Om. Laut pasti—“
“Saya pikir-pikir dulu, ya, Om. Saya
gak bisa kasih jawabannya sekarang.”
Hendra melongo ke arah saya.
Sesekali kakinya menginjak kaki saya, menisyaratkan kejengkelan. Saya tidak
menanggapi. Om Rama pun mengangguk dan mengatakan ia menerima ucapan saya. I
juga memberikan kartu namanya. Saya menerimanya dengan sungkan dan terima kasih
atas tawaran yang diberikan.
“Tidak apa, saya akan menunggu
jawaban kamu. Semoga kita secepatnya bisa bekerjasama.”
Setelah kepergian Om Rama, saya
menengok ke arah Hendra yang sudah memasang wajah kesal seperti gunung merapi
yang ingin meletus. Tatapannya tajam memburu.
Saya berseru, “Muka lo gak usah kaya
gitu. Tambah jelek!”
Ketika Hendra ingin membalas kesal,
saya bangun dan pergi keluar restoran. “Mau ke mana lo?”
“Nyari makan,” jawab saya.
“Lah? Kan di dalam ada, nyet.”
“Gak ada,”
“Makanan yang cocok?”
“Duitnya, panjul!”
Kami berdua pun bergegas pergi
keliling kota, mencari warung emperan yang masih buka. Setibanya di daerah
Kalibata, saya dan Hendra duduk setelah memesan bakso dan es jeruk. Hendra yang
sedaritadi tidak sabaran untuk bertanya, akhirnya buka suara.
“Ada dua hal yang mau gue tanyain
sama lo.”
“Pertama, kenapa lo nolak tawaran Om
Rama? Kedua, ko gue gak tau kalo lo udah nerbitin cerpen lo di media Rakyat?”
“Makasih, Mas,” ucap saya setelah
penjual bakso itu menghidangkan pesanan kami. Saya meneguk es jeruk itu untuk
menghilangkan dahaga di tenggorokan. Huft sudah memasuki jam tujuh malam, tapi
panasnya Jakarta tetap saja menghujani orang- orang. Seolah matahari tidak
pernah absen dari Jakarta, meskipun bulan telah menggantinya di malam hari.
“Untuk yang pertama, gue butuh waktu
buat mikirin tawaran ini, Hend. Gue gak bisa memberi jawaban berdasarkan
bahagia sesaat. Gue benar-benar harus memertimbangkan ini. Tapi, tenang aja,
gue bakal ngasih jawabannya dalam waktu dekat. Dan untuk yang kedua, bukan gue
yang ngirim tuh cerita ke media Rakyat.”
“Tapi?”
“Afina.”
Hendra melongo. “Ko bisa?”
Saya pun menceritakan bagaimana
cerpen itu bisa berada di tangan Afina hingga ia mengirimkannya ke media
Rakyat.
“Wah! Gokil tuh cewek. Baik banget!
Ya udah, suruh dia ke sini aja sekarang.” “Gak bisa, Hend.”
“Gak bisa? Kenapa? Lo ada nomornya,
kan?”
Saya mengangguk.
“Ya udah. Lo tinggal chat aja.”
“Gak bisa.”
“Ya gak bisanya kenapa.... parjo!
Hubungan lo sama dia baik-baik aja, kan?”
“Semoga.”
“Semoga? Maksud lo?”
Sebenarnya saya tidak ingin
menceritakan keresahan yang sedang saya alami. Tapi, saya pikir Hendra bisa
saja membantu. Mungkin saja Hendra tahu apa yang menjanggal pikiran saya.
Semenjak kejanggalan itu ada, saya merasa tidak tenang. Entahlah, mungkin ini
terlalu berlebihan, tapi ini kenyataan. Semua yang ada di dalam kepala saya
seolah bercampur aduk menjadi satu hal yang abstrak. Kini, Afina seakan menjadi
teka-teki yang sulit dipecahkan.
Hendra menyimak serius cerita saya.
Ia tidak memotong atau langsung berkomentar.
“Lo ngelihat ada ekspresi aneh gitu
dari wajahnya?” Hendra mulai bertanya setelah cerita saya selesai.
“Gue gak terlalu yakin. Tapi... gue
ngelihat dia tiba-tiba aja jadi sedikit gak mood.” “Chat lo udah dibales?”
Saya menggelengkan kepala.
“Coba lo kasih nomornya ke gue.”
“Buat?”
“Ikutin aja.”
Saya pun memberikan nomor Afina ke
Hendra, meskipun memberikan nomor orang lain tanpa izinnya termasuk melanggar
batas privasi. Kemudian Hendra bergelut pada ponselnya. Saya melihat ia sedang
mengetik sesuatu.
“Barusan gue say hello ke dia. Coba
lo chat dia.”
“Chat apaan?”
“Apaan aja.”
Untuk kali ini, saya mengikuti
kemauan Hendra yang tidak jelas tujuannya. Saya pun mengirim pesan ke Afina.
Hendra bertanya, “Lo ngirim apaan?”
“Pengumuman diskon nasi gorengnya si
Agung,” jawab saya.
“Ketahuan.”
“Ketahuan apaan?”
“Ketahuan tololnya! Ya masa lo
ngirim pesan gituan.”
“Kata lo apaan aja.”
“Ya tapi gak promo diskon juga,
nyeeeet.”
Percakapan kami terinterupsi dengan
bunyi notifikasi ponsel Hendra. Hendra melirik dan memperlihatkan balasan dari
Afina. Itu artinya Afina sedang online. Saya pun menunggu notifikasi darinya.
Secara logika, pesan saya dan Hendra tidak terpisah oleh waktu yang lama, itu
artinya Afina juga melihat pesan saya.
Tapi, balasan dari Afina untuk saya
tak kunjung datang. Ketika mengetahui itu, Hendra menyandarkan punggungnya,
mengusap dagunya seperti detektif yang sedang melihat barang-barang bukti. Tak
lama kemudian ia berkata, “Gue udah tahu penyebabnya dia tidak balas pesan lo.”
Saya menaikkan satu alis seolah
meminta jawaban. “Dia cemburu.”
“Itu artinya?”
“Dia suka sama lo, Laut.”
Rasanya seperti dibiarkan berdiri
sendirian di tengah medan peperangan. Saya mencoba menerima jawaban dari
Hendra. apa mungkin perasaan suka sudah mulai tumbuh di hati Afina?
Komentar
Posting Komentar