Doa Dari Sang Pendosa



source: pinterest.com


Tidak terasa kita telah sampai di hari raya. Setelah kurang lebih sebulan menjalani bulan puasa Romadhon, kini saatnya kita merayakan kemenangan. Tidaklah kita sudah menjadi pejuang untuk diri kita sendiri karena telah berhasil menahan hawa nafsu yang kerapkali berubah menjadi sosok yang menakutkan.

Di hari besar ini, tidak ada yang saya ingin ucapkan selain permintaan maaf.

Untuk luka yang belum sepenuhnya sembuh. Untuk waktu yang belum sepenuhnya hilang. Untuk diri yang belum sepenuhnya merdeka. Untuk dunia yang belum sepenuhnya kalah. Untuk ego yang belum sepenuhnya mati. Untuk kesalahan yang belum sepenuhnya diperbaiki. Untuk lidah yang belum sepenuhnya dijaga. Untuk dosa yang belum sepenuhnya disesali.

Tentu saya adalah manusia penuh dosa, yang kerapkali tidak sadar bahwa Tuhan lebih punya kuasa. Saya sadar, saya seringkali meremehkan dosa. Berlagak seperti penguasa semesta. Seolah semesta diciptakan hanya untuk saya. Tak  heran bila hari demi hari hati saya semakin mengeras seperti batu. Kaki ini sudah jarang melangkah ke rumah Tuhan, seolah rumah Tuhan hanyalah bangunan tua tanpa jiwa, seolah rumah Tuhan adalah tumpukan bata tanpa nyawa.

Tanpa sadar saya telah membunuh Tuhan dengan ucapan dan perbuatan yang menyakitkan. Tak pelak bila kesibukkan seringkali jadi alasan saya untuk kabur dari Tuhan. Padahal saya tahu Tuhan hanya meminta sedikit waktu untuk bertemu, menyapa dan mengungkapkan cinta.

Sungguh, saya hanyalah hamba yang tidak tahu diri. Saya tidak mengerti mengapa saya seperti ini, merasa Tuhan bisa dipermainkan oleh mahluk rendah seperti saya.

Dan di hari ini, saya menyerah. Saya daratkan kening saya di atas sajadah. Memohon ampun atas dosa-dosa yang pernah saya lakukan. Memohon perlindungan atas dosa-dosa yang mungkin akan saya lakukan. Tidak kiranya Tuhan adalah Yang Maha Pemaaf lagi Maha Penyayang. Sepucuk surat berisikan doa telah saya kirimkan pada-Nya. Meski saya tahu Tuhan tidak mengenal kata tidur, tak juga mengenal kata benci dan emosi.

Saya hanyalah pengelana waktu yang meminta diselematkan dari kobaran api neraka. Tidaklah cukup lautan menjadi tinta untuk menuliskan dosa-dosa yang pernah saya lakukan. Ucapan saya yang kerapkali menyakiti hati orangtua, sedangkan saya tahu bahwa air mata Ibu adalah bukti kesucian dan luka hati yang tidak bisa ditahan. Seolah saya telah menusukkan jarum di dadanya lewat kata-kata yang tidak pantas diucapkan seorang anak. Pun lewat sikap saya yang tidak tahu malu. Sikap yang seringkali membuat orang lain sakit hati.

Saya menyadari bahwa air mata ini akan mengalir deras bila ampunan dari Tuhan tidak kunjung menghampiri. Tentu saja saya tidak tahu apakah ucapan maaf saya ini cukup atau tidak. Tapi saya tahu adalah Tuhan tidak pernah menutup telinga dari suara hati seorang hamba.

Oleh karena itu, dari manusia yang tidak pantas diciptakan, saya mengetuk pintu maaf. Kali ini, tak lagi saya tinggikan diri saya di hadapan Tuhan. Tak lagi saya malu untuk meminta maaf.

Selamat hari raya Idul Fitri, semoga Tuhan menerima amalan kita dan sudi membiarkan kita menempati surga-Nya di hari nanti.



Komentar

Postingan Populer