PSH-PART NINE-2021




Source: pinterest.com

Sembilan

Jawaban


“Masih ragu?”

Hendra bertanya perihal hubungan saya dengan Afina. Pertanyaan itu seharussnya tidak ditanyakan pada saya karaena sejauh ini Hendra pun tahu jawabannya. “Emang ragu itu salah, Hend?”

“Tidak. Yang salah itu tidak menghilangkan keraguan.”

“Terus gue harus apa, Hend?”

“Cepat selesaikan apa yang seharusnya diselesaikan. Laut, jangan biarin Afina kebingungan. Jangan tempatkan dia di ambang pintu. Kalo lo cinta sama dia, ya biarin dia masuk. Kalo tidak, persilakan dia pergi.”

“Bagaimana kalau ketika gue mempersilakan dia pergi, lalu gue nyesel?”

“Kan penyesalan selalu datang belakangan.”

Kini saya yang termenung. Benar kata Hendra, saya harus memberikan jawaban. Saya memang mempunyai alasan untuk mempersilakan Afina masuk ke ruang hati saya, tapi saya juga punya alasan untuk memintanya pergi. 

Sambil merapihkan tumpukan buku yang berantakan di atas meja. Hendra menyalakan sebatang rokok dan beberapa detik kemudian mulutnya memproduksi kepulan asap.

“Udah siap?”

Saya mengangguk. Hari ini saya akan bertemu Om Rama untuk membahas lebih lanjut perihal tawaran yang ia tawarkan. Untuk persoalan ini, saya belum membicarakannya dengan Bapak. Toh hal ini tidak ada hubungannya dengan Bapak. Ini urusan saya dan masa depan saya. 

Saya tahu suatau saat nanti Bapak akan tahu hal ini. Hanya saja saya belum siap beradu mulut dengannya. Saya memutuskan untuk menerima tawaran Om Rama karena merasa ini adalah langkah baru saya untuk menerbangkan lebih tinggi kegemaran saya menulis. Saya ingin Ibu melihat saya dengan bangga. Pun saya akan mengatakan dengan bangga bahwa Ibu adalah sumber dari bakat menulis yang mengalir dalam darah saya. 

Decitan pintu terdengar ketika saya dan Hendra memasuki sebuah ruangan. Ruangan itu memiliki rak-rak yang dipenuhi buku. Om Rama melihat kedatangan kami, namun ia sedang menghubungi seseorang lewat ponselnya. Ia meminta saya dan Hendra untuk duduk di sebuah sofa hitam panjang.

“Maaf, ya. Saya ada urusan barusan. Jadi..... bagaimana?” Om Rama bertanya sambil duduk di depan kami. 

“Sebelumnya,” saya mulai berbicara, “maaf karena membuat Om Rama menunggu dalam satu minggu belakangan ini. Sudah satu minggu saya memikirkan tawaran Om dan inshaAllah, saya bersedia bekerja sama.”

Om Rama tersenyum lebar. Tidak bisa ia sembunyikan kesenangannya. Ia bangkit dan menjabat tangan saya. Saya menyambutnya senang dengan harapan ini adalah keputusan yang benar. 

“Kapan saya bisa baca cerpen-cerpen kamu?”

“Secepatnya, Om. Sejauh ini saya sudah menulis lima belas cerpen. Apa itu sudah cukup?”

“Mmm.... saya kira cukup, tapi saya pikir akan lebih baik lagi jika kamu menulis lima lagi. Kamu sanggup?”

Saya mengangguk dengan tegas. 

“Oh ya, saya dengar dari Hendra, kamu ingin kuliah di Jogja, betul?”

“Maunya seperti itu, Om. Tapi saya belum terlalu yakin.”

“Kenapa?”

“Ada beberapa hal yang perlu saya selesaikan di sini.”

“Baik. Saya tidak ingin terlalu ikut campur. Kalau nanti kamu jadi berkuliah di Jogja, saya hanya ingin mengabari tim saya di sana. Jadi kamu bisa berdiskusi banyak hal tentang buku di sana.”

Saya tersenyum tipis lalu mengangguk berterima kasih. 

***

Afina tidak henti-hentinya bergerak, lompat dari satu titik ke titik lain, bahkan beberapa kali kakinya menendangi udara. Saya lihat telinganya tersumbat earphone yang mengalirkan sebuah lagu. Saya berdiri tidak jauh darinya, memandanginya sambil menahan tawa karena melihat tingkah lakunya. 

Beberapa orang yang sedang berjalan lalu-lalang di dalam mall di daerah Depok hanya memperhatikannya dengan tatapan lucu dan aneh.  Saya terkagum-kagum sendiri melihat tingkahnya. Tingkahnya berhenti saat ia melihat saya tengah memandanginya. 

Ia melepas earphonenya sambil cengegesan malu. Saya mendekatinya dan bertanya, “Sudah selesai dangdutannya?” 

Pipinya terlihat kemerahan. Ia membalas, “Daritadi kamu lihat aku?”

Saya mengangguk. Afina menutup wajahnya dengan telapak tangannya. “Aduhhh, malu.”  

“Tidak apa-apa. Lucu, ko.”

“Lucu doang?”

“Iya, iya. Cantik juga.”

“Yang ikhlas, dong!”

Saya memutar badan dan berjalan pergi. Afina mengikuti dari belakang dengan wajah cemberut. Ia menselaraskan langkahnya. Dan tanpa ia sangka, saya mengambil tangannya, menggandengnya dengan erat. 

Afina tidak melepas gandengan saya sampai saya mengatakan, “Gue habis cebok.”

“Ihhh! Jorok!” 

***

Saya dan Afina berhenti di depan pedagang kaki lima daerah Margonda. Saya mempersilakan Afina masuk dan saya mengikutinya dari belakang. Kami berdua duduk di sebuah bangku dekat beberapa orang yang sedang memainkan lagu akustik.

Seorang pelayan menghampiri kami dan memberikan menu. 

“Dua es susu coklat, ya, Mas,” ucap saya.

“Baik.”

Saya menoleh ke depan, mendapati Afina tengah memasang wajah kesal. “Astaga! Lo masih marah?”

“Menurut kamu?”

“Ya udah, gue harus apa supaya lo bisa maafin?”

“Beneran?”

“Iya.”

“Jadiin aku pacar?”

Saya tidak menjawab. Pelayan tadi membawakan pesanan kami. Terlintas di benak saya satu hal. “Mas,” panggil saya.

Pelayan tadi menoleh dan menyahut, “Iya? Butuh yang lain?”

“Mas mau nggak jadi pacarnya Mba ini?”

Afina berdecak kesal sambil menepuk bahu saya. Pelayan tadi terkekeh malu. “Maaf, Mas. Saya maunya jadi pacar Mas aja,” ucapnya lembut.

Bulu kidik saya langsung berdiri. Afina melepas tawanya terbahak-bahak. Kini saya yang malu bukan main. 

“Iya, Mas. Nanti aku kasih nomornya, ya, “ Afina mengompori.

Pelayan itu tersenyum sumringah lalu kembali ke tempatnya. Afina tidak juga berhenti tertawa. “Kasihan deh lo,” ejeknya. 

“Selamat, ya.”

Setelah mengobrol tentang kegiatannya Afina hari ini, ia bertanya alasan saya mengajaknya untuk bertemu. 

“Gue udah terima kerja sama yang ditawarin Om Rama, salah satu penerbit buku. Dia bersedia menerbitkan kumpulan cerpen gue.”

Afina melongo. “Beneran?”

“Iya.”

“Aku ikut seneng dengernya.”

“Fin,” saya meraih tangan Afina, “ini semua berkat lo. Sejak lo publish cerpen gue di media Rakyat, gue makin berani untuk nulis. Makasih, ya.”

“Aku cuma bantu apa yang bisa aku bantu, Laut. Semua keputusannya ada di kamu.”

Saya tersenyum tanpa menjawab.

“Terus gimana dengan kuliah kamu?”

“Hari ini gue akan ngobrol lagi sama Bapak. Semoga Bapak bisa lebih mengerti.”

“Ohh, gitu.”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa.”

“Takut ditinggalin?”

“Tidak. Untuk apa aku takut ditinggalin, kan kamu bukan siapa-siapa aku.”

“Kalo sudah jadi siapa-siapa, kamu takut?”

“Memangnya kamu mau jadiin aku siapa-siapa?”

Saya diam. Saya tahu ini kode keras untuk saya. Namun Afina malah tersenyum tipis. “Bercanda, Laut. Lagipula, hati kan tidak bisa dipaksa.”

“Gue hanya belum siap, Fin.”

“Belum siap atau belum yakin?”

“Mungkin keduanya.”

“Hei,” Afina meletakkan telapak tangannya di atas tangan saya, mengusapnya, “semua memang butuh waktu. Jangan terlalu dipikirkan.”

Saya tidak mengerti dengan alur pikiran Afina. Dalam kebanyakan kasus, seharusnya saya lah orang yang mengemis atau memperjuangkan cinta seorang perempuan. Tapi, dalam kasus ini malah sebaliknya. Afina dengan penuh sabar menunggu jawaban saya. Sosok yang ada di depan saya ini sulit sekali saya mengerti, tapi mudah saya maknai. Mungkin kalian, yang sedang membaca ini, akan menilai saya buruk. Tapi, percayalah, banyak pertimbangan yang saya lakukan. 

“Kenapa, Fin?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa lo suka sama gue?”

“Aku bukan hanya suka, Laut, tapi cinta.” 

“Lalu kenapa lo cinta sama gue?”

“Kenapa cinta selalu disandingkan dengan pertanyaan kenapa, Laut?”

“Lalu atas dasar apa lo mencintai gue?”

“Laut, aku tidak pernah memaksa kamu untuk mencintaiku balik. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan. Aku tidak butuh jawabanmu karena bagiku mencintai adalah hakku. Entah kamu mencintaiku balik atau tidak, itu urusanmu.”

“Bagaimana kalau gue tidak bisa mencintai lo, Fin?”

Wajah Afina berubah gelap. Saya tahu ada kekecewaan yang ia dapatkan ketika mendengar pertanyaan saya barusan. Saya tidak berniat untuk menyakitinya, hanya saja pertanyaan itu keluar tanpa bisa saya larang. 

“Bisa kita ngobrolin hal yang lain?” Afina membuang pandangannya dari saya dan mendengar lantunan lagu yang dinyanyikan. Saya diam, tidak meminta maaf atau juga kembali mempertanyakan. Saya takut hari ini adalah hari terakhir saya bertemu dengannya. Saya takut pertanyaan tadi malah memunculkan kebencian di dirinya. 

Afina memang orang baru dalam hidup saya. Kami bahkan belum mengenal lebih dalam satu sama lain. Saya khawatir, ketika Afina mengenal saya lebih dalam, itu hanya akan membuat ia kecewa. 

Selama hampir tiga puluh menit, kami saling diam. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut kami berdua. Saya tahu saya telah menyakiti hatinya. Lantas saya harus apa? Saya hanya ingin ia sadar bahwa mungkin saja ia mencintai orang yang salah. 

Sampai es susu coklat kami habis, tidak juga kami membuka obrolan. 

“Aku mau pulang,” ucap Afina tanpa memandang saya.

“Aku antar.”

“Tidak perlu,” terekam nada kesal dari suaranya.

“Ini bukan tawaran, tapi keputusan.”

Di perjalanan, Afina masih memilih untuk diam. Hingga kami tiba di satu lampu merah, yang entah kenapa seolah dirancang lebih lama daripada lampu hijau. Mungkin hal itu untuk memperingati manusia tentang istirahat, berhenti sejenak dari lalu lalang kehidupan, di mana dunia menjadi tempat saling bergesekan, berlomba mencapai garis finish yang sebenarnya tidak jelas tepatnya di mana.

Saat lampu merah masih memundurkan waktunya di detik seratus, seorang pengamen dengan gitarnya melantunkan sebuah lagu. Bak penyanyi papan atas, pengamen itu mulai memetik senar gitarnya. 

“Kala malam bersihkan wajahnya dari bintang-bintang... dan mulai turun setetes air langit... dari tubuhnya. Tanpa sadar nikmatnya alam karena kuasa-Mu yang takkan habis sampai di akhir waktu... perjalanan ini.”

Para pengendara lain menikmti suaranya yang terbilang merdu.

“Terima kasihku pada-Mu Tuhanku, tak mungkin dapat terlukis oleh kata-kata, hanya diri-Mu yang tahu, besar cintaku pada-Mu. Oh Tuhan anugerah——“

Pengamen itu memberhentikan suaranya ketika saya mengangkat tangan dan memintanya untuk mendekat. Afina yang sedang diselimuti rasa kesal tidak peduli dengan apa yang saya lakukan. Saya berbisik sesuatu di telinga pengamen itu, lalu mengeluarkan selembaran lima puluh ribu. 

Setelah memahami apa yang saya bisikkan, pengamen itu tersenyum lebar, kemudian kembali ke posisinya semula dan berkata, “Ya, terima kasih atas perhatian bapak dan ibu. Sebelum lampu hijau menyala, izinkan saya menyanyikan sebuah lagu yang spesial.”

Kembali ia memetik senar gitarnya, sedikit berdeham mempersiapkan suaranya.

“Terjadi satu ikatan.... Lebih dari persahabatan... Ku hanya beri isyarat, agar kau merasa... apa yang aku rasakan di dalam dada...” Pengamen itu lantas mengajak orang-orang untuk menaikkan kedua tangannya sesaat sebelum ia melanjutkan dan seketika itu juga orang-orang ikut bernyanyi, “Kita tumbuh dan bersenyewa, mendekap dan mendekat dalam jawa... sampai tua...”

“Untuk Mba yang bernama Afina Hanifansha,” lanjut pengamen itu.

Afina yang mendengar namanya disebut langsung menoleh, mendapati orang-orang tengah memandangnya dengan senyuman. 

“Tolong, Mba. Tolong maafin Mas Lautnya, ya. Sayang, Mba, cowok setampan itu dikeselin, nggak baik buat kesehatan.”

Dan detik selanjutnya lampu merah berubah menjadi lampu hijau. Dan tiba-tiba Afina mencubit pinggang saya. 

“Aduh, Fin. Sakit!”

“Lagian! Ngapain pakai acara gituan.”

Saya tidak menjawab, meskipun lewat spion kaca motor, saya melihatnya tersenyum tipis. Sepertinya marahnya sudah mereda. 

Sesampainya di depan rumah Afina, saya tidak membiarkannya langsung masuk. Saya duduk di jok motor, menarik tangannya dan memintanya untuk berdiri di depan saya. Saya menatap matanya indah. 

“Fin, gue minta maaf, ya. Gue tahu pertanyaan gue tadi nyakitin lo.”

“Laut, aku mencintaimu.”

“Gue tahu, Fin. Gue hanya nggak tahu apa yang gue rasain sekarang.”

“Aku nggak pernah minta Tuhan ngasih perasaan ini, Laut. Aku juga nggak tahu kenapa Tuhan mempertemukan aku sama kamu. Tapi, yang aku tahu, aku bahagia sama kamu dan itu udah cukup buat aku.”

saya memandangi wajahnya, hanyut dalam ketulusan yang ia berikan. Sejenak saya merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri saya. 

“Lo nyaman sama gue?”

“Lebih dari nyaman.”

“Fin, gue pernah jatuh cinta sama seseorang yang buat bikin gue nyaman. Begitu juga sebaliknya. Gue tidak pernah merasa kesepian saat dia ada di samping gue. Awalnya gue kira dia mencintai gue, hingga suatu hari gue menyatakan perasaan gue padanya. Dan ternyata dia nggak bisa balas perasaan gue. Kata dia, nyaman aja nggak cukup buat dia. Gue nggak mau hal itu terjadi pada lo, Fin.”

Afina mendekatkan wajahnya ke wajah saya dan dengan lembut dia berkata, “Aku bukan dia, Laut. Aku cinta sama kamu.”

Saya hanya tersenyum, tidak menanggapi perkataanya. Saya tahu dia mencintai saya. Sekarang persoalannya bukan di dia, tapi di saya. “Bagiamana kalo gue belum bisa memberi jawabannya, Fin?”

“Aku nggak butuh jawabanmu, Laut. Aku hanya butuh kamu ada di samping aku.”

***

“Semua terserah kamu. Bapak nggak mau lagi ikut campur.”

“Pak, ini mimpi Laut, Pak. Laut sudah dapat jawaban dari pihak kampusnya, Pak. Laut diterima di UGM, Pak. Apa Bapak nggak bangga?”

“Laut! Kamu tuh nggak tahu apa-apa tentang hidup!”

“Bilang sama Laut, Pak! Kasih tahu sama Laut apa itu hidup.”

Kami saling memandang dengan api permusuhan. Saya sudah tahu obrolan ini akan memanas. Bapak menatap saya, matanya memerah. Entah karena dia marah atau terluka. Suara Bapak mulai terdengar, tapi kalimatnya seperti bom yang meledakkan. 

“Kalo kamu mau pergi, silakan pergi.”

Malam itu saya biarkan diri saya tergeletak di tempat tidur, membiarkan pikiran dan perasaan saya berperang. Perkataan Bapak seperti kaset usang yang terus mengulang. Kalau saja Bapak menanggapi ucapan saya dengan logika dan perasaan yang jernih, saya tidak akan sesakit ini. Tapi, kali ini Bapak sudah kelewatan. 

Saya harus mengambil keputusan sendiri. Dan keputusan saya untuk melanjutkan kuliah di Jogja sudah bulat. Saya tidak bisa mengelak bahwa perkataan Bapak tadilah yang meyakinkan saya untuk angkat kaki dari rumah ini. Ucapan Bapak tadi membuat telinga saya membusuk. Meskipun tanpa sadar air mata saya sudah mengambang dan beberapa detik kemudian mengalir membentu air sungai. 

Di tengah malam, saya menatap langit-langit. Apa yang orang-orang sebut insomnia sepertinya mendera saya. Tuhan, kenapa banyak sekali hal-hal tentang hidup yagn tidak bisa saya pahami. 

Kenapa hidup seolah menyuruh saya duduk di sebuah kursi, menatap diri saya sendiri di depan cermin, lalu tanpa pemberitahuan, ia menampar keras pipi saya, mencengkeram bahu saya dengan kasar dan mengatakan, “Sadar, Laut! Inilah yang kami sebut hidup! Ini semua tidak sama dengan cerita-cerita konyol yang kamu buat!”

Butir-butir keringat sebesar kelereng memenuhi kening saya. “Laut! Sampai kapan kamu akan mengeluh, mengeluh dan mengeluh?!”

Ya ampun. Saya tidak bisa melawan. Seolah ada tali tebal yang mengikat tangan dan kaki saya serta benang yang menjahit mulut saya. Selama satu jam penuh saya merasa menderita.  Saya menunduk dan membiarkan tubuh saya ambruk ke tepi tempat tidur. Kepala saya terasa berat. Ingin saya berteriak keras, mengeluarkan semua keresahan dan kelelahan saat ini. 

Tuhan! Apa mau-Mu?!

***

Minggu ini Hendra sibuk menemani saya ke mana-mana. Ke toko baju dan celana dan ke toko baju. Hendra mengikuti tanpa bertanya apa-apa. Mungkin ia sudah lelah mencoba menjadi penengah antara saya dan Bapak. Selama perjalanan, wajahnya tidak luput dari kekesalan. 

Saya sempat mengutarakan masalah saya pada Hendra. Ia hanya membalas dengan nada kesal, “Terus lo mau pergi gitu aja?”

“Bapak udah mempersilakan gue pergi.”

“Lo tahu Bapak nggak bermaksud seperti itu, Laut.”

“Terlepas dari itu semua. Intinya gue udah nggak ada urusan lagi di rumah itu.”

“Laut...”

“Dra, gue tahu lo punya itikad baik buat gue dan Bapak. Tapi gue nggak bisa hidup kaya gini terus. Kuliah di Jogja adalah keputusan terakhir gue.”

“Lo udah pamit sama almarhumah?”

Mendengar pertayaan itu, tangan dan kaki saya tidak kuasa berdiri tegak. Seolah sendi-sendi saya copot. Saya duduk di sebuah bangku dekat sebuah restoran, menyandarkan punggung saya dan memejamkan mata saya. Seketika itu juga sosok Ibu hadir dalam kepala saya. 

Saya mulai menyadari kegelisahan saya, kekhawatiran perihal apakah Ibu meridhoi langkah saya ini atau tidak. Paling tidak dia tahu bahwa menulis adalah dunia yang ia wariskan pada saya. 

“Laut, kalo lo yakin dengan keputusan lo ini, gue bakal dukung,” Hendra memegang bahu saya, mencoba menguatkan. Meski saya sudah mengambil keputusan ini, namun beberapa kali ragu mampir, menciptakan kegundahan dalam dada saya, mencoba menimbun diri saya dengan berbagai macam pertanyaan. 

“Thanks, Hend.” 

“Lo udah ngabarin ini ke Afina?”

Saya menggelengkan kepala. Saya tidak tahu bagaimana reaksi Afina nanti. Tapi saya belum tahu cara memberitahu hal ini padanya. Saya sadar betul, tak mungkin bagi saya pergi tanpa salam perpisahan. Sulit membayangkan perbuatan tolol seperti itu saya lakukan. Saya tidak ingin Afina merasakan apa yang saya rasakan ketika Zia pergi dan hanya menitipkan sebuah surat, seolah surat itu sudah cukup mengobati luka hati. 

Sesuatu yang begitu dalam menahan saya untuk pergi sebelum bertemu Afina. Saya tidak bisa menolak. Saya tidak ingin berpisah dengan cara yang tidak baik-baik. 

“Persiapan lo di Jogja gimana?” Hendra kembali bertanya.

“Gue udah searching beberapa kost murah di sana. Gue juga udah kontak-kontakan sama pihak kampus. Mereka bersedia membantu gue cari kost yang murah. Tapi sejauh ini belum ketemu.”

“Lo gimana, sih?! Lo lupa?” Hendra menepuk pundak saya. Saya menoleh dengan wajah heran.

“Lupa apanya?”

“Ya kan gue punya kakek dan nenek di Jogja. Lo bisa tinggal di rumah mereka,” seru Hendra.

“Gak deh, nyet. Udah cukup lo bantu gue. Gue nggak mau ngerepotin lo.”

“Si anjing! Sok drama lo!” Kali ini Hendra tidak menepuk pundak saya, tapi menoyor kepala saya. Nih anak cita-citanya jadi penggulat atau gimana dah?!

“Lo pikir gratis? Ya kagalah!” Ia melanjutkan, “lo bisa kerja sama kakek gue di sana. Ya... paling-paling jadi pelayan di restoran kakek gue.”

“Seriusan?”

“Iya.”

“Deal, nyet! Gue terima tawaran lo!”

Kalau sudah begini, saya bertambah yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sepertinya keputusan saya tidak betul-betul keliru. Pilihan saya mengambil jurusan Sastra mulai menemukan titik cerah. Saya tahun alasan di balik semua langkah ini, dan saya harus benar-benar serius untuk impian saya. 

Meskipun tidak semua orang mendukung keinginan saya menjadi penulis, tapi saya tidak ingin komentar mereka mengubur impian saya. Saya sadar bahwa menjadi penulis memang bukanlah profesi yang diimpikan semua orang karena uang yang dihasilkan pun belum tentu bisa menghidupkan. Namun, saya tetap yakin bahwa saya bisa hidup dari menulis. 

Suatu hari nanti, saya akan membuktikan pada dunia bahwa nama saya cukup pantas disandingkan dengan nama-nama penulis hebat lainnya. 

***

Nomor Afina tidak bisa dihubungi sejak pagi tadi. Saya sudah mendatangi rumahnya pagi ini dan tidak ada satu pun orang rumahnya yang tahu di mana dia. Saya tidak tahu pasti penyebabnya apa, tapi perasaan saya mengatakan ini ada hubungannya dengan kuliah saya. 

Sekarang saya sedang berdiri di pinggir jembatan, melihat puluhan kendaraan lalu lalang memenuhi jalanan. Ketika sedang meminun satu botol air mineral, ponsel saya berdering. Saya merogohnya dari saku celana, mendapati Hendra menghubungi saya. 

“Iya, Hend.”

“Lo lagi di mana, nyet?”

“Di pinggir jembatan.”

“Anjing! Lo mau bunuh diri? Ya Allah, Laut.. Jangan gitu, nyet. Jangan putus asa gitu! Jangan karena lo—-“

“Nyet, berisik! Siapa yang mau bunuh diri?!”

“Ya bilang, dong. By the way, gue tahu lo lagi nyari Afina, kan? Gue tahu dia di mana. Gue kirim alamatnya sekarang.”

Sedetik kemudian panggilan diputus dan kemudian satu pesan. Tanpa basa-basi, saya bergegas menuju alamat yang dikirim Hendra. Dan setengah jam kemudian, saya sudah sampai di sana. Di sebuah lapangan besar yang dikelilingi pepohonan pinus dan beberapa bangku kayu panjang. 

Matahari sudah menyelam di barat. Seseorang sedang duduk di tengah lapangan, sesekali ia menunduk, lalu mendongak melihat langit. Saya mendekatinya lalu duduk di sampingnya. 

“Hai,” sapa saya. 

Afina menoleh. Saya melongo kaget melihat kedua matanya yang sembap. Saya mengangkat tangan, meletakkan di pipinya, mengusapnya. “Fin...”

“Aku tahu aku egois, Laut. Aku setuju kamu pergi ke Jogja, tapi ada satu sisi di diri aku yang nggak bisa lihat kamu pergi.”

Saya meletakkan kepalanya di bahu saya. Kini tangan saya mengelus lembut rambutnya. “Fin, lo tahu, setiap gue bangun, orang yang pertama gue ada di kepala gue adalah lo.” 

“Apa itu artinya kamu sudah jatuh cinta sama aku, Laut?”

Saya memegang dagunya dan memandang matanya lalu mengangguk. Dan tak lama kemudian saya mencium bibirnya. Secara resmi malam ini kami telah menjadi pasangan. Kami larut dalam kebahagiaan yang sebentar lagi harus kami perjuangkan. 

“Kapan kamu berangkat ke Jogja?”

“Besok pagi jam 8 dari stasiun Pasar Senen.”

“Aku ikut mengantar, ya.”

“Kalau kamu ada kerjaan, kamu nggak usah repot-repot.”

“Kamu?” Ia mengernyitkan keningnya heran. “Aku nggak salah denger?”

“Hah?”

“Barusan kamu bilang ‘kamu’?”

Untuk mengalihkan topik pembicaraan, saya menepuk-nepuk perut saya. “Aduh, laper, nih.” Saya bangkit dan berjalan meninggalkan Afina. Afina mengikuti dari belakang sambil berusaha menonjok bahu saya.

Ternyata ini yang namanya bahagia. Saat di mana kamu bisa mencintai balik orang yang mencintaimu. Tidak ada paksaan. Hubungan ini terjalin atas dasar ketulusan. Semesta, menjalin hubungan dengan Afina adalah keputusan yang berat yang berhasil saya tentukan setelah persoalan kuliah. Saya tidak tahu apakah keputusan ini tepat atau tidak. Namun, yang saya tahu adalah saya bahagia. Dan itu berkat Afina.

Perjalanan pulang selalu terasa lebih cepat. Selama di perjalanan, Afina tidak melepaskan pelukannya. Ia menyandarkan pipinya di punggung saya. Sesekali saya menyentuh tangannya, seolah saya tidak ingin ia lepas dari saya. Hari sudah gelap. Kali ini Afina tidak membiarkan dirinya tidur dengan alasan ia ingin menghabiskan malam ini dengan sadar bahwa kini ia telah mempunyai seorang kekasih. 

Saat sudah sampai di depan gerbang rumah Afina, ia mengatakan, “Kenapa sih harus pulang? Kenapa kita tidak menghabiskan malam terakhir ini berdua?”

“Tidak bisa, Fin. Aku tidak ingin kamu sakit. Sekarang istirahat, ya. Dan... maaf, aku tidak bisa menjemputmu besok pagi. Aku akan minta Hendra menjemputmu.”

“Kenapa?” 

“Aku ada urusan.”

Afina mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Ketika ia membalikkan badan lalu berjalan memasuki halaman rumah, saya berkata dengan cukup keras meski tidak berteriak, “Good night pacar.”

Ia menoleh dengan senyuman lebar lalu membalasnya dengan lambaian tangan. Malam itu mungkin adalah malam terbaik dan terhangat yang pernah saya rasakan. Kini, ruang hati ini telah terisi orang lain. Orang lain itu adalah Afina Hanifansha. Saya bersyukur karena semesta mengirim Afina untuk menggantikan posisi Zia. Bersama Afina, saya tidak hanya merasa nyaman, tapi juga merasakan cinta dan keikhlasan. 

***

“Pagi, Bu,” sapa saya kepada Ibu. Jam di ponsel masih menunjukkan enam pagi. Saat ini saya sudah duduk di pusara Ibu, membersihkannya dan menaburinya bunga. Kurang lebih satu tahun Ibu sudah meninggalkan saya. Jasadnya mungkin sudah hancur tidak berwujud. Tapi, kenapa saya masih bisa merasakan harum khasnya? Seolah Ibu datang dan duduk di samping saya dan mengusap rambut saya. 

“Bu, sekarang Laut sudah besar, Bu. Laut sudah masuk kuliah. Aku memutuskan untuk masuk jurusan Sastra di UGM, Bu. Aku ingin menjadi penulis dan aku rasa aku membutuhkan pelajaran Sastra untuk itu. Aku ingin menciptakan duniaku sendiri, Bu, dunia yang tidak seorang pun ikut campur di dalamnya. Ibu pernah bilang padaku, bahwa hidup ibarat sebuah buku kosong yang diberikan Tuhan. Setiap manusia memilikinya. Ketika Tuhan memberikan buku itu, artinya Tuhan memberikan hak sepenuhnya padaku. Dulu, aku membiarkan semua orang mencorat-coret bukuku itu, entah dengan tragedi atau komedi. Tapi... setelah kubaca coretan mereka, aku tahu bukan itu yang aku inginkan. Maka, mulai hari ini, aku ingin menulis bukuku sendiri. Agar aku tidak pernah menyalahkan atau menyesal telah menjalani kehidupan ini. Bu, kehidupanku adalah tanggungjawabku. Biarkan ini menjadi urusanku dengan Tuhan.

“Iya, aku mengerti. Ibu pasti tidak ingin aku pergi meninggalkan Bapak. Tapi, Bapak tidak seperti Ibu, Bu. Bapak seolah tidak ingin aku menjadi penulis. Di alam sana, Ibu pasti tahu hubungan burukku dengan Bapak. Aku sudah berusaha memperbaikinya, Bu, tapi Bapak selalu saja memperburuknya dengan sikap yang tidak beralasan.

“Aku tahu Bapak mendengarkan keinginanku, namun ia bersikap seolah ia tidak terkesan, apalagi terpesona. Bahkan ia sendiri yang mempersilakanku pergi dari rumah itu. Lalu, masihkah ada alasan untukku menetap, Bu?”

Saya tersenyum memandang batu nisan Ibu, seolah saya yakin Ibu menyimak setiap kata yang keluar dari mulut ini. “Bu, apa Ibu nyaman di bawah sana? Apa Ibu tidak kelaparan atau kehausan? Bu... boleh tidak Laut bergabung dengan Ibu saja. Laut tidak tahu ingin menjalani kehidupan seperti ini, Bu.”

Mata saya mulai memanas, perlahan air mata mulai mengembang di sudut mata sebelum ia menetas jatuh. “Oh ya. Mungkin Ibu sudah kenal dengan Afina, perempuan yang waktu itu menemani Laut ke sini. Sekarang ia sudah menjadi kekasih Laut, Bu. Laut sudah mengizinkannya untuk memasuki dunia Laut. Ia yang mengajarkan Laut artinya keseriusan dan kegigihan. Ia pula yang membuat Laut tidak merasa kesepian. Tapi tenang saja, Bu, selamanya cinta pertama Laut adalah Ibu. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan Ibu di hati Laut.”

Saya mengambil segenggam tanah Ibu. Apakah saya harus hidup seperti ini selamanya? Tidakkah Tuhan memahami bahwa menjalani hidup ini sangat melelahkan. Saya mencium tanah Ibu, melumurkannya ke wajah saya berharap saya merasakan apa yang Ibu rasakan. Lalu semesta seolah mulai menghakimi saya, memutar kembali saat-saat di mana saya harus melihat jasad Ibu dikebumikan, ditimbun bagai sampah. 

Jari-jari saya mencengkram rambut saya. Kepala saya seolah dihantam palu keras. Saya tidak berkutik. Saya merasa jatuh tidak berdaya. “Bu, tolong Laut, Bu.” Saya mulai memeasuki teritori kefanaan. Saat itu, saya tidak bisa tersenyum. Yang bisa saya lakukan hanya menangis, menangis dan menangis. 

Beberapa menit kemudian saya terdiam. Saya kelihartan semakin yakin bahwa hidup tidak semudah apa yang saya bayangkan. Saya baru merasakan kulit kehidupan dan belum mencapai dagingnya, namun saya tidak membayangkan misteri apa lagi yang akan saya temukan.

Jarum pendek di tangan saya menunjukkan angka tujuh. Saya menyeka mata saya dengan ujung baju saya, menghela nafas lalu melemparkan senyuman tipis pada Ibu. Sembari mengusap namanya di batu nisan, saya mengatakan, “Laut pamit, Bu.”

***

Satu koper dan dua tas sudah ditaruh di bagasi mobil online yang saya pesan. Saya tidak membawa banyak pakaian. Sebagain besar barang yang saya bawa adalah buku-buku kesayangan saya. Saya menatap diri saya di cermin. Sekali lagi saya meyakinkan diri saya sendiri bahwa ini adalah keputusan yang tepat, keputusan yang saya harapkan membawa saya pada titik jelas sebuah kehidupan. Saya melangkah keluar rumah. Hingga saya masuk mobil, saya tidak melihat Bapak. Saya tahu Bapak ada di kamar. Saya ingin menemuinya, namun ada sesuatu yang menahan langkah saya menuju kamarnya, atau menahan tangan untuk mengetuk pintu kamarnya.

Dan sampai ban mobil online berputar dan menerbangkan butiran kerikil, tidak juga saya melihat Bapak keluar atau mengucapkan perpisahan. 

“Ini tujuannya Pasar Senen, ya, Mas,” seru supir online bernama Adit itu.

“Iya, Pak,” jawab saya pelan sambil menyandarkan kepala di jendela. 

Stasiun Pasar Senen terlihat ramai. Saya turun dari mobil, membantu Pak Adit menurunkan koper dan dua tas itu. Pak Adit menawarkan saya untuk membawakan koper saya sampai pintu masuk. Saya menerimanya karena di sana Hendra dan Afina sudah menunggu. 

“Terima kasih, Pak,” ucap saya setelah Pak Adit meletakkan koper di samping kaki saya. 

“Sama-sama, Mas. Saya pamit,” balasnya.

Afina mendekati saya, mengusap pipi saya dan perlahan ia bertanya, “Are you okay?”

Saya mengangguk. Jujur, hati saya berdebar. Saya seolah mengharapkan kehadiran Bapak di sini. Afina menatap mata saya, mencoba mencari kegundahan yang saya alami. Afina mengatakan saya tidak perlu menahan apa yang sedang saya rasakan. Kebohongan setipis apa pun akan mampu dirasakan oleh hati yang terbuka. Saya tersenyum tipis, merasa bahagia karena mampu membaca ketulusan yang lahir dari sinar mata Afina. Dan itu selalu menghangatkan saya. 

Sembari menunggu waktu keberangkatan yang akan tiba lima belas menit lagi, Afina mengajak saya dan Hendra duduk di kedai kopi stasiun. Kali ini Afina terlihat lebih manja, ia tidak banyak bicara. Ia hanya memeluk lengan saya seolah ia sedang mempersiapkan lemabaran kesabaran dalam hatinya. Tapi saya tahu air matanya bisa mendidih seketika lalu pecah.

Hendra pun begitu. Ia sibuk dengan rokoknya. 

Saya menyadari kebisuan ini. “So... gimana kuliah kalian? Sampai lupa gue bahasnya. Kalian udah nentuin pilihan?”

Tidak ada jawaban dari mereka. 

“Hend?”

“Gue mau break dulu satu tahun.”

“Serius?”

“Lo pikir muka gue ada tampang pembohongnya?”

“Ada sih.”

“Sial!” 

Saya menoleh ke Afina. Saya baru sadar pipinya mulai terasa berisi. Dengan lembut saya menyentuh pipinya. “Hei,”

“Mm...”

“Kamu gimana? Udah milih mau kuliah di mana?”

“Aku diterima di UI.”

“Wow! I’m so proud of you,” seru saya. 

“Biasa aja.”

Tiba-tiba Hendra batuk. Saya dan Afina memandang ke arahnya. “Buset! Lo diterima di UI dan lo bilang biasa aja?” Hendra menggelengkan kepala sebelum melanjutkan, “cewek lo kufur nikmat, Laut.”

Saya malah tertawa mendengarnya. Kalo dibilang kufur nikmat, sepertinya terlalu berlebihan. Tapi, melihat respond Afina yang biasa saja diterima di UI padahal kita semua tahu bahwa UI menjadi salah satu kampus impian banyak mahasiswa, maka tak salah kalo orang-orang yang mendengar respond Afina dibuat kaget. 

“Jurusan?”

“Kedokteran.”

Kali ini giliran saya yang batuk. Suara saya terdengar sedikit jengkel. Seolah memberi isyarat agar ia memberi kejelasan. “Bukannya kamu mau jadi psikolog?”

“Maunya gitu. Tapi untuk urusan kali ini, orangtua aku mau aku masuk kedokteran.” Kelanjutan kalimatnya membuat saya merasa khawatir. “Aku masuk kedokteran biar Naka bisa ngawasin aku.”

Bom pertama yang saya khawatirkan akhirnya meledak. Hendra menginjak kaki saya, seolah bertanya siapa Naka. Saya tidak menanggapinya karena larva kekesalan mulai mengalir dari kepala saya. 

Untuk memedam kecemburuan yang bahkan saya sendiri tidak tahu apakah itu cemburu atau tidak, maka saya memilih untuk tertawa. Hendra dan Afina tidak ikut tertawa. Mereka hanya melihat saya dengan pandangan aneh seakan bertanya, “Ni orang kenapa?”

Tawa saya mulai reda. Saya sengaja tidak melanjutkan pembicaraan karena Afina sudah mulai melirik tajam. 

“Kamu cemburu?”

“Nope.”

“Beneran?” Nada suaranya mengharapkan jawaban yang berbeda. 

“Iya, Afina. Buat apa aku cemburu? Toh Naka hanya sepupu kamu. Lagipula, ini juga demi kebaikan kamu.”

Ada sedikit tidak persetujuan dari raut wajahnya. Saya menarik tangannya, “Fin, aku percaya sama kamu. Dan bagi aku, itu sudah cukup.”

Panggilan keberangkatan kereta menuju Jogja sudah terdengar. Saya, Afina dan Hendra bangkit, berjalan menuju pintu keberangkatan. Afina memandang saya dengan tatapan manjanya. Rambut saya mulai panjang sebahu. Baju oblong hitam saya ditutupi oleh jaket jins yang sedikit gombrong serta celana hitam panjang yang robek di bagian lututnya. Lautan penumpang kereta api telah melewati kami bertiga. 




Source: pinterest.com


Sebentar lagi cerita baru saya akan dimulai. Tepat saat itu juga, saya tahu bahwa ada seseorang yang saya tinggal, yang hatinya harus saya jaga. Banyak orang berkata bahwa hubungan jarak jauh tidak mudah dijalankan, tapi saya dan Afina sama-sama yakin bahwa jarak hanyalah dimensi kosong yang sebenarnya tidak ada. 

“Ya udah, aku pergi, ya. Kamu baik-baik di sini. Jaga kesehatan mental dan pikiran kamu.” 

“Kamu juga...,” sambil mengigit bibir bawahnya Afina memandangi mata saya. 

Saya menarik tubuhnya ke dalam pelukan saya, mengusap rambutnya sebelum mencium keningnya. Kemudian saya berpelukan dengan Hendra, “Thanks, sob. Gue nitip Afina dan Bapak, ya.”

Hendra menepuk punggung saya. “Tenang aja.”

Afina tidak bisa menahan kesedihannya. Tanpa ia mau, air matanya sudah mengalir. Saya mengusapnya, “Jangan nangis, dong. Aku jadi nggak tega ninggalinnya.” 

“Aku nggak nangis, ko.”

Untuk terakhir kalinya sebelum berangkat, saya memeluknya, memberinya kehangatan sekaligus keyakinan bahwa suatu hari nanti saya akan kembali padanya. Karena untuk saat ini, Afina adalah rumah saya, tempat saya kembali, berteduh dan berbagi. Saya berusaha tersenyum lebar, mengamati wajah Afina, wajah yang akan sangat saya rindukan. 

Seorang petugas kereta membantu saya mengangkat barang-barang saya, memasukkan ke dalam kereta. Saya membalikkan badan dan berjalan mengikutinya sembari sesekali mencuri pandang ke arah Afina untuk terakhir kalinya, sebelum jasad kami dipisahkan oleh ribuan langkah. Saya tidak tahu apakah saya bisa menjalani hubungan jarak jauh ini, namun, dalam hati ini saya tahu, saya harus mencintainya mulai hari ini dan seterusnya. 

Kereta berjalan sedikit demi sedikit sebelum akhirnya membawa para penumpang termasuk saya pergi meninggalkan ibukota, menyimpan sementara cerita dan orang-orang di sana. 

Sembari menatap langit dekat jendela, saya berucap pada dir sendiri, “Bu, tolong ridhoi setiap langkah Laut, Bu.” Saya mulai mengatur napas, berusaha mendamaikan keributan yang terjadi di dada saya. 

Setengah jam berlalu, ketika saya sedang membaca novel A Little Life pemberian Afina tadi, ponsel saya bergetar, memberitahu sebuah pesan telah masuk. Saya melihat nama Om Rama di sana. 

Om Rama: Laut, saya dengar dari Hendra kamu baru saja berangkat ke Jogja? Selamat! Semoga Tuhan memperlancar urusanmu. Oh ya, saya juga sudah terima beberapa cerpen baru yang kamu kirim. Saya sangat senang. Tapi, seperti yang kamu tahu, kami memiliki prosedur dalam penerbitan, salah satunya adalah pengeditan atau revisi. Nah, saya akan mengirim kontak editor saya yang juga tinggal di Jogja. Kamu bisa kontak-kontakan langsung dengannya. Sekali lagi, semoga sukses!

Tidak lama kemudian, Om Rama mengirim kontak editor yang ia maksud. Saya menyimpan nomor itu dan mengirimnya pesan. 

Laut: Selamat pagi. Benar ini dengan editornya Om Rama? Kalo iya, perkenalkan, saya Laut.

Setelah sepuluh menit tidak ada jawaban, layar ponsel saya menyala. Sebuah balasan saya dapatkan.

+628211699***: Selamat pagi. Iya. Saya Nadhifa.


Komentar

Postingan Populer