Bagian Dua - Can I Be A Normal Person?
Pemakaman Diana akan dilakukan hari ini. Para keluarga dan kerabat sudah mengelilingi liang kubur, tempat peristirahatan terakhir untuk Diana. Ibu Hanggini tidak henti-hentinya menangis dalam pelukan suami. Melihat putri pertamanya harus dikebumikan terlebih dahulu adalah satu hal yang mampu menyayat hati seorang ibu. Seorang kiai berkhutbah tentang kematian. Para hadirin menyimak dengan seksama meskipun bagi mereka kematian adalah suatu yang tidak perlu dikhawatirkan. Toh, semua orang akan mati, hanya di mana dan kapan yang tidak diketahui.
Hanggini berdiri menundukkan wajah.
Pipinya sudah basah dengan air mata saat ia melihat kakaknya tidak lagi
mengenakan gaun mewah kesayangannya, riasan cantik di wajahnya. Air matanya
mengalir saat ia sadar bahwa ia tidak lagi bisa melihat canda dan tawa
kakaknya. Ia tidak bisa lagi mendengar omelan-omelan kakaknya. Ia tidak bisa
lagi kesal pada kakaknya karena mengganggunya saat belajar. Ia tidak bisa lagi
bercerita pada kakaknya tentang sekolah maupun kekasih.
Kini yang dilihat hanyalah kakak
yang mengenakan kain kafan putih. Pakaian yang akan menemaninya tidur di liang
kubur. Pakaian yang akan menjaganya dari hewan-hewan ganas yang ingin mengoyak
daging kakanya.
Di sampingnya, Iqbaal berdiri
sembari merangkulnya. Beberapa orang mulai turun ke liang kubur, bersiap
menerima jasad Diana. Beberapa yang lainnya mengangkat Diana dari keranda dan
dengan pelan memberikannya pada orang-orang yang berada di liang kubur. Setelah
jasad Diana terbaring di tanah, orang-orang mulai menimbunnya dengan tanah.
Inilah waktu terakhir bagi Hanggini
untuk mengucapkan kata pisah. Ia melihat bagaimana gemburan tanah itu menutupi
kaki dan perut Diana hingga akhirnya tanah itu menutupi wajah cantik Diana.
Beberapa murid SMAN 13 Depok hadir
di pemakaman tersebut, termasuk Salma dan Nathan. Proses pemakaman selesai di
sore hari. Kiai, orangtua Hanggini dan para kerabat sudah angkat kaki. Yang
tersisa di sana hanyalah Hanggini dan Iqbaal serta Salma dan Nathan.
Salma menghampiri Hanggini yang
tengah berlutut di depan pusaran kakaknya. Salma memeluk Hanggini sebelum
berkata, “Lo yang kuat ya, Ha. Gue dan Nathan pamit dulu.”
Dan kini yang tersisa hanyalah
Iqbaal dan Hanggini. Sudah hampir dua jam Hanggini berlutut sembari mengepal
sebongkah tanah merah milik Diana. Iqbaal berkali-kali mengajaknya pulang
karena hari sudah semakin petang. Hanggini menolak dan bersikeras tetap ada di
sini.
Ponsel Iqbaal bergetar. Ia mengambil
ponselnya dari sakunya dan melihat sebuah pesan dari ayahnya. Ia menghela nafas
sebelum berkata pada Hanggini, “Ha, gue pulang duluan, ya.” Hanggini tidak
menjawab apa-apa. Iqbaal pun pergi meninggalkan Hanggini sendirian.
Di depan gundukan tanah Diana,
Hanggini berkata, “Kak, Kakak kenapa ninggalin aku? Aku tau kakak orang baik,
tapi kenapa Kakak memilih bunuh diri?! Aku kangen Kakak.” Matanya sembap
kehitaman. Ia tidak peduli bila ia harus buta karena menangisi kepergian
kakaknya seperti Nabi Yaqub yang menangisi kepergian Nabi Yusuf.
Langit berubah gelap. Mata burung
hantu terbuka lebar. Tempat kuburan hanya diterangi beberapa lentera yang sudah
hampir mati. Beberapakali Hanggini mendengar decitan tikus. Ia melihat layar
ponselnya. Sudah pukul 9 malam. Sebelum pergi meninggalkan kakaknya, ia mencium
batu nisannya dan berkata, “Aku janji akan sering ke sini buat nemenin kakak.”
Kakinya terasa lemas. Hanggini
bersusah payah untuk berjalan ditemani cahaya yang memancar dari ponsel. Belum
sampai di pintu masuk pemakaman, Hanggini merasa dirinya tidak kuat lagi
berjalan. Ia baru sadar bahwa perutnya belum menerima makan semenjak pagi tadi.
Pandangannya mulai kabur dan tubuhnya bisa saja ambruk ke tanah jika seseorang
tidak memegang tangannya.
Tanpa meminta izin, orang itu jongkok
di depan Hanggini dan menggendongnya. Kedua tangan Hanggini memeluk leher orang
itu sedangkan kedua tangan orang itu mengangkat kedua kaki Hanggini.
Orang itu menggendong Hanggini ke
luar pemakaman dan memasukkannya ke dalam kursi belakang. Ia membaringkan
kepala Hanggini di pangkuan seseorang. Selepas itu, ia duduk di kursi kiri
sebelah pengemudi.
“Ngapain lo ngeliatin gue kaya
gitu?” tanya Zee saat Nathan yang duduk di belakang kemudi melihatnya dengan
tatapan aneh.
“Gue cuman heran aja sama lo.
Tumben-tumbenan lo ngelakuin hal kaya gini,” jawab Nathan.
Zee membuang pandangannya ke luar
jendela. “Kita bisa jalan sekarang nggak?” ucap Salma yang duduk di belakang
sembari memangku kepala Hanggini.
Roda mobil sedan putih Nathan
berputar, menerbangkan kerikil-kerikil kecil di belakangnya. Mobil itu pergi ke
rumah Salma di daerah Cibubur. Salma sudah meminta izin pada orangtua Hanggini
untuk menemani Hanggini malam ini di rumahnya. Orangtua Hanggini pun setuju
dengan alasan Hanggini butuh teman yang mendukungnya di masa berkabung.
Salma membiarkan Hanggini terlelap
dalam tidurnya setelah memberinya makan malam. Sementara di luar rumah, Nathan
tengah bersender di dinding gerbang dan Zee duduk di jok mobil dengan pintu
terbuka. Kali ini Zee tidak merokok karena Nathan memaksa untuk tidak merokok.
Nathan khawatir orangtua Salma melihat Zee merokok. Hal ini bisa membuat
pandangan orangtua Salma pada Nathan buruk.
“Zee,” panggil Nathan setelah
meneguk air putih pemberian Salma.
“Hmmm,”
“Lo udah tahu kalo polisi yang
nyelidikin kematian kakaknya Hanggini itu bokap lo?”
Zee mengangguk. Inilah sebabnya ia
tidak bisa mendekat di pemakaman hari ini dan memilih untuk menghadiri
pemakaman dari jauh. Itu karena ia melihat ayahnya hadir di pemakanan tersebut.
Ia merasakan sesuatu yang buruk jika ia mendekat.
Salma datang membawa beberapa
cemilan dan meletakkannya di atas kursi plastik. Melihat Nathan dan Zee
menampilkan wajah serius, Salma bertanya, “Kalian kenapa? Ko serius banget?”
Nathan buru-buru tersenyum. “Lagi
latihan acting. Siapa tau keterima jadi pilot,” jawab Nathan yang mampu membuat
Salma tertawa. Zee melihat mereka berdua dengan pandangan aneh. Seperti ada
sesuatu yang baru ia sadari.
“Sebentar, kalian sejak kapan deket
gini?” tanya Zee.
Salma dan Nathan serempak tersenyum.
Tanpa basa-basi, Nathan merangkul bahu Salma dan menjawab, “Semenjak kita
pacaran.” Rangkulan itu dibalas cubitan oleh Salma. “Aduh, nih cewek kenapa
demen banget nyubit dah?”
“Malu dilihat orang-orang,” jawab
Salma.
“Malu? Kan cuman ada nih kampret,”
Nathan heran sembari menunjuk Zee dengan telunjuknya. Zee menggelengkan kepala
karena heran. Salma memegang dagu Nathan dan mengarahkannya ke belakang. Nathan
terkejut tatkala ia melihat Ayah Salma sudah berdiri tegak di depan pintu
rumah.
Perlahan Nathan menurunkan
rangkulannya dari Salma dan manggut-manggut sembari tersenyum pada Ayah Salma.
Nathan tiba-tiba menciut.
“Tenang aja, ayah aku nggak galak
ko,” ucap Salma pada Nathan.
“Cuman?”
“Cuman horror aja,” lanjut Salma.
Saat Nathan, Salma dan Zee
menghabiskan malam dengan duduk ditemani cemilan, Zee tiba-tiba diam karena
matanya menangkap seseorang berdiri di balik punggung Salma. Mengenakan baju
tidur milik Salma, Hanggini berdiri dan menghampiri mereka.
“Ko lo bangun?” tanya Nathan.
“Kamu sih kalo ketawa nggak bisa
pelan,” Salma menepuk bahu Nathan keras.
“Hah? Ko aku?” Nathan meringis
kesakitan sembari menepuk bahunya.
“Nggak ko. Gue cuman nggak bisa
tidur aja,” jawab Hanggini pelan. Matanya mengarah pada Zee yang menatap ke
arah lain. Hanggini bisa merasakan itu. Bahkan dinginnya malam kalah oleh
dinginnya sikap Zee.
Tiba-tiba Salma memegang perut dan
mengatakan pada Nathan bahwa ia lapar. Nathan mengernyitkan alis. “Bukannya
kamu udah makan?” tanya Nathan yang tidak berhasil menangkap maksud dari Salma.
Salma melototi Nathan dan berkata, “Tapi aku laper lagi. Ya udah, Ha, Zee. Gue
sama Nathan cari makan dulu, ya.”
Burung hantu yang bertengker di
pohon besar dekat rumah Salma mengamati Zee dan Hanggini tanpa henti. Baru kali
ini ia merasakan ada sesuatu yang menarik ketimbang pocong atau kuntilanak.
Sesuatu yang menarik itu adalah dua insan yang tengah berperang menggunakan
diam.
“Siapa mereka?” tanya seekor
kekelawar pada burung hantu sembari melihat Zee dan Hanggini.
“Dua remaja yang tengah diselimuti
diam,” jawab burung hantu.
“Mereka sepasang kekasih?”
“Sepertinya,” jawab burung hantu.
Seperti jawaban burung hantu itu.
Diam menyelimuti Zee dan Hanggini. Selimut itu disingkap tatkala Hanggini
berkata, “Thanks, ya.”
Zee menoleh, “Buat?”
“Karena udah nolong gue waktu di
lapangan parkir. Sekaligus gue minta maaf karena udah nepis tangan lo waktu
itu. Gue cuman-----“
“Nggak usah dibahas. Gue nggak mood,”
“Lo marah sama gue?”
“Karena?”
“Karena gue udah bikin lo repot?
Bahkan tadi lo gendong gue dari pemakaman. Kalo nggak ada lo, mungkin gue
udah---“
Zee bangun dari duduknya dan
menghampiri Hanggini. Kini mereka saling berhadapan dan bertatapan. Hanggini
merasakan pipinya mendadak merah. Jantungnya pun berdegup lebih kencang.
Pandangan Zee menusuknya tajam. “Denger, gue nolong lo karena Salma dan Nathan
yang minta.”
Seperti dijatuhkan dari pesawat dan
dibiarkan hancur, Hanggini merasakan sesuatu yang sakit saat mendengar Zee
mengatakan itu. Nyatanya dugaannya tidak sesuai kenyataan. Zee masih menjadi
bintang dan dirinya masih menjadi manusia yang seharusnya sadar bahwa ia tidak
bisa menggapai bintang itu.
Mendadak mata Hanggini berkaca-kaca.
Ia merasakan air matanya akan jatuh. Sembari menunduk, Hanggini berkata, “Gue
ke toilet dulu.” Ia berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan Zee yang
melihatnya dari belakang.
Si kekelawar kembali bertanya pada
burung hantu, “Apa yang terjadi?”
Burung hantu itu memutar kepalanya
terlebih dahulu sebelum menjawab, “Sepertinya si perempuan hendak buang tai.”
********
Selepas Zee dan Nathan pergi.
Hanggini duduk di ranjang Salma ditemani lagu instrumental series Defending
Jacob. Salma yang baru saja membasuh muka menatap bingung temannya.
Khawatir Hanggini kesambet setan, Salma menyentuh pundak Hanggini dan berkata,
“Istirihat, Jeha. Lo udah banyak pikiran hari ini.”
Hanggini kembali sadar setelah
beberapa menit melamun. Entah apa yang ia pikirkan, hanya Tuhan yang tahu.
Merasa ditemani di masa-masa berkabung, Hanggini tersenyum pada Salma.
“Makasih, ya, Sal. Lo udah mau nemenin gue.”
“Tenang aja, Ha. Gue tersedia 24 jam
buat lo,” balas Salma tersenyum lebar.
“Eh, Sal. Gue mau nanya deh. Kata
lo, dulu Azril anak yang berprestasi di SMP. Tapi kenapa sekarang jadi pendiam
dan suka berantem? Lo tau penyebabnya?”
Mendengar pertanyaan itu
dilontarkan, Salma tampak ragu-ragu untuk menjawabnya. Ia khawatir Zee akan
marah padanya. Hanggini menangkap keraguan di raut wajah Salma. “Nggak apa-apa,
Sal. Kalo lo takut Zee marah sama lo karena lo cerita ke gue tentang dia, lebih
baik lo nggak usah cerita. Gue paham, ko.”
Salma merasakan kelegaan saat
Hanggini mengerti ketakutannya. Meskipun di sisi yang lain, Hanggini merasakan
cerita besar yang dimiliki Zee yang tidak diketahui banyak orang. Ia harus
mencari tahu cerita itu.
********
Lapangan parkir dikerumuni para
siswa pagi ini. Mereka berbondong-bondong menyaksikan pertengkaran antara Zee
dan beberawa siswa kelas XII yang dipimpin oleh Alpha. Pertengkaran itu bermula
saat Zee mengetahui bahwa Alpha dan teman-temannya lah yang membocorkan ban
motornya.
“Rasain nih. Anjing!” umpat salah
satu teman Alpha saat hendak menendak perut Zee.
Zee berhasil menghindar. Tanpa ragu
ia membalas seragan itu. Zee menghantam rahang dua teman Alpha. Beberapa
sobekan dialami yang lainnya. Sedangkan untuk Alpha, Zee menghadiahi pukulan
keras di pipi kirinya. Wajah Zee pun mendapatkan serangan. Ia harus membiarkan
pukulan Alpha merobek kecil sudut bibirnya.
Zee bisa lebih brutal jika Nathan
dan Ricky tidak menariknya menjauh dari Alpha dan teman-temannya yang sudah
dulu berjatuhan di lapangan parkir. “Azril!!!!” teriakan Bu Endang memenuhi
satu sekolah.
“Serasa gempa, anjir,” komentar
Ricky.
“Azril! Kamu ini doyannya berantem
terus. Kamu nggak capek hidup kaya gini? Bisanya cuman bikin masalah aja.
Sekarang kamu ikut saya ke ruang BP,” kata Bu Endang sembari membalikkan badan
dan berjalan. Zee mengekor dari belakang.
Di ruang BP, Zee diceramahi
habis-habisan oleh Bu Endang. Kalo bukan demi gaji dan tugas, bu Endang tidak
akan mau memarahi dan memberitahu Zee tentang dampak-dampak membuat pelanggaran
di sekolah. Hingga mulutnya berbusa, bu Endang tahu Zee tidak akan
mendengarnya. Hingga hari ini ia mendapatkan gagasan baru.
Pintu ruang BP diketok seseorang
dari luar.
“Masuk,” seru Bu Endang.
Zee tidak menoleh sampai telinganya
mendengar bu Endang menyebut nama Hanggini. “Hanggini, Akhirnya kamu dateng
juga. Gimana kabar kamu, Manis?”
“Membaik, Bu,” jawab Hanggini
sembari sesekali melihat Zee yang tengah duduk dengan meletakkan satu kakinya
di atas kursi.
“Azril! Duduk yang bener!” teriak Bu
Endang. Kini Hanggini duduk di depan bu Endang dan di samping Zee.
Sudah hampir sepuluh menit Hanggini
berada di ruangan itu, namun dirinya belum mendapatkan alasan kenapa dirinya
dipanggil guru BP. “Maaf, Bu. Ibu kenapa manggil saya?” tanya Hanggini setelah
menunggu bu Endang menghabiskan satu mangkok baksonya.
“Oh ya. Hampir aja saya lupa. Jadi
gini, sebagaimana yang kamu tahu, siswa yang berada di samping kamu ini,” Bu
Endang berkata sembari menunjuk Zee dengan tatapannya, “…adalah siswa yang
berprestasi dalam masalah keributan dan kekacauan. Oleh karena itu, saya
memerintahkan kamu untuk membimbingnya agar nilainya membaik.”
“Tapi, Bu. Saya punya---“
“Tidak ada tapi-tapi. Saya akan
meminta beberapa murid kelas sepuluh dan sebelas untuk membantu tugas kamu di OSIS.
Jadi… selamat membimbing.”
*****
Hanggini duduk di kursinya dengan
lemas. Sudah satu bulan semenjak kepergian kakaknya, namun bayangan kakaknya
masih saja menghantui dirinya. Sudah satu bulan juga tidak ada perkembangan
yang signifikan dari kasus kakaknya. Raut wajahnya terlihat lebih kusut
ketimbang benang. Salma yang sedaritadi melihat Hanggini hanya bisa tertawa.
“Kenapa lagi, Ha? Kayanya lagi mumet
banget,”
“Kayanya gue stress deh,”
“Oh ya, gue denger-denger. Lo dan
Azril dipanggil sama Bu Endang. Kenapa?”
“Bu Endang nyuruh gue buat
ngebimbing Azril,” jawab Hanggini melas. Sontak saja jawaban itu membuat siswi
kelas Hanggini menghampirinya dan mengerumuni mejanya. Hanggini kaget melihat
itu semua. “Kalian kenapa?”
“Nggini, gue nitip coklat ya buat
Azril,” sahut salah satu siswi.
“Gue nitip kue hati buat dia, ya,”
timpal yang lain.
Kerumunan itu bubar saat guru
matematika masuk. Pelajaran berjalan lancar meskipun Hanggini tidak merasa
otaknya berjalan lancar. Beberapakali ia ditegur guru karena tidak
memperhatikan papan tulis. Salma buru-buru bertanya saat pelajaran telah
selesai. “Kenapa, Ha? Kepikiran, ya?” Salma menggoda Hanggini.
“Kepikiran apa?”
Salma mendekatkan mulutnya di
telinga Hanggini dan membisikkan, “Kepikiran Azril.” Hanggini mendorong jauh
wajah Salma. “Ihh! Ko lo malah bikin gue kesel sih, Salma,” balas Hanggini.
Saat Hanggini dan Salma tengah
tertawa, tiba-tiba Iqbaal duduk di depan mereka dan berkata, “Lagi ngomongin
apa, sih? Seru banget kayanya.” Iqbaal menatap mata Hanggini dalam sebelum
suara perut Salma berbunyi.
“Hehehe. Kantin yuk,” Salma menarik
tangan Hanggini.
Di kantin, Hanggini dan Salma sudah
ditunggu Nathan. Berusaha menjadi kekasih idaman, Nathan bahkan sudah
menyiapkan satu mangkuk ketoprak untuk Salma dan segelas es jeruk. “Untuk eneng
Salma tercinta,” ujar Nathan dengan nada romantis.
“Udah deh, Nath. Enek gue
dengernya,” balas Salma.
“Ko gue nggak dipesenin, Nath?”
tanya Hanggini memandang tajam Nathan dan berpura-pura kesal.
“Gue aja nggak tau makanan favorit
lo apa, Nggi. Emang makanan favorit lo apaan?” Nathan malah balik bertanya.
Hanggini mematung saat Zee tiba-tiba
datang dan duduk di depannya. Belum sampai situ, Zee juga menyodorkan satu
mangkuk somay dan segelas air putih pada Hanggini. Tanpa berbicara apa-apa, Zee
kembali membaca novelnya. Di depannya, Hanggini menatapnya dengan kebingungan.
“Zril,” panggil Hanggini.
“Makan aja,” balas Zee.
Salma dan Nathan saling memandang
dan memberikan kode keberhasilan karena satu jam sebelum jam istirahat. Berita
perihal Hanggini akan membimbing Zee sudah menyebar ke penjuru sekolah. Banyak
dari siswi iri dengan posisi Hanggini. Melihat kesempatan baik, Salma mengirim
pesan pada Nathan untuk menemuinya di kantin nanti. Tak hanya itu, Salma juga
menyuruh Nathan untuk membujuk Zee memesan somay dan memberikannya pada
Hanggini.
“Makasih,” ucap Hanggini pelan,
sangat pelan bahkan Salma dan Nathan tidak mendengarnya. Tapi tidak dengan Zee.
Meskipun matanya fokus membaca novel, telinga menangkap ucapan terima kasih itu
dengan jelas. Dan tanpa ia sadari ada seuntas senyum yang mengembang di
wajahnya.
******
Di lapangan parkir, Nathan pamit
terlebih dahulu pada Zee dan Ricky karena hari ini ia akan malam mingguan
dengan Salma. “Gue nganter ibu negara dulu, ya,” seru Nathan pada Zee dan Ricky
sebelum helmnya ditepak oleh Salma yang sudah duduk di jok belakang.
Ricky melihat jam tangannya. Ia
mengangguk. “Zee, gue balik dulu, ya,” pamit Ricky pada Zee tanpa berani
memandang wajah Zee. Zee mengangguk dan membiarkan Ricky ditelan keramaian
kendaraan yang lalu lalang. Zee menyadari sudah beberapa hari ini Ricky
terlihat gelisah.
Selepas perginya Ricky, Zee
mendapatkan pesan dari Nathan.
Nathan: Ketemuan jam 7 ya. See u nyet.
Saat dirinya hendak memasukkan
kembali ponsel ke dalam saku, ponsel itu kembali memberi tanda pesan masuk.
Nathan: Oh, ya. Kata Salma jangan lupa.
Zee memutar bola matanya lalu
menghela nafas. Setelah menunggu hampir satu jam di lapangan parkir. Orang yang
ditunggu Zee muncul juga. Hanggini melangkah menjinjing tasnya yang terasa
berat oleh tumpukan tugas OSIS yang harus ia selesaikan besok. Dampak menjadi
ketua OSIS sudah Hanggini sadari dari awal ia mencalonkan diri. Salah satunya
adalah tugas yang menyita waktu malam liburnya.
Langkah kakinya terhenti saat motor
Zee mencegatnya. Tanpa basa-basi, Zee melemparkan satu helm berwarna kuning
bergambar minion ke arahnya. Hanggini menangkapnya meski wajahnya
terlihat sebal.
“Lo ngapain sih, Zril?!”
“Ikut gue,” balas Zee tidak menoleh.
“Ke mana?”
“Nggak usah banyak tanya,” ketus
Zee.
“Nggak! Gue nggak mau ikut kalo
nggak jelas ke mana.” Hanggini mengembalikan helm itu pada Zee dan berjalan
keluar gerbang sekolah. Kini Hanggini hanya tinggal menunggu angkot untuk
sampai di rumah. Melihat ada angkot yang datang, Hanggini mengangkat tangan
hingga mendadak seseorang memegang tangan itu dan menurunkannya.
Angkot biru itu berhenti tepat
tangan itu diturunkan. Sopir angkot itu berkata, “Neng, jadi naik nggak?”
Zee menjawab, “Maaf, Mas. Dia ikut
saya.”
Hanggini membeku melihat tangannya
digenggam erat Zee. Sopir angkot itu melaju pergi meski melemparkan omelan
kesal. Setelah melihat angkot itu pergi, Zee menoleh ke arah cewek di
sampingnya dan berkata, “Maaf kalo bikin lo kesel. Gue mau lo nemenin gue ke
satu tempat.”
Untuk pertama kalinya Hanggini
mendengar kata maaf keluar dari mulut Zee. Maaf itu terdengar tulus. Hiruk
pikuk kendaraan yang melaju tidak mampu mengalahkan adu pandang yang terjadi di
antara Zee dan Hanggini saat ini.
Tiba-tiba Zee menarik tubuh Hanggini,
memegang kepalanya dan membenamkan wajah Hanggini di pelukannya. Kepulan asap
hitam metro mini yang baru saja lewat masuk ke hidung Zee tanpa bisa ia cegah.
Di dalam pelukan itu, Hanggini bisa
mendengar jelas bagaimana jantung Zee bekerja. Pompa kencang itu menghasilkan
aliran darah yang deras. Untuk beberapa detik, Zee dan Hanggini larut dalam
kenyamanan yang diberikan semesta. Hanggini bisa merasakan pipinya terasa
terbakar saat ini.
Dari kejauhan, tentara semut hitam
yang tengah berjalan di tembok kusam sejenak berhenti. Semut paling belakang
menyentuh semut yang berada di depannya dan bertanya kenapa barisan berhenti
mendadak. Hingga semut itu mendengar pimpinannya berkata, “Kalian lihat itu!”
perintahnya pada pasukan sembari menunjuk dua insan yang tengah berpelukan
dengan antenanya. Pasukannya menoleh. Pemimpin itu pun melanjutkan, “Begitulah
jika dua insan saling jatuh cinta. Dunia berputar pun tidak terasa.”
Pasukan semut itu mengangguk mencoba
memahami perkataan pimpinan mereka meski isi kepala mereka tidak bisa
mencernanya.
Merasa ada yang salah, Zee melepas
pelukannya dan langsung salah tingkah. Zee menggaruk tengkuk kepalanya dan
bingung harus berkata apa. Melihat Zee salah tingkah, Hanggini tersenyum tipis.
Dia lucu juga kalo lagi bingung, pikir Hanggini.
“Kalo lo mau, kita langsung pergi
aja,” ajak Zee sembari menundukkan kepala. Hanggini mengangguk dan mengikuti
Zee yang lebih dulu menyalakan motor. Mata Zee menangkap bagaimana tas Hanggini
terasa berat. Ia pun kembali mematikan motornya.
“Ko dimatiin lagi?”
Tangan Zee mendadak terjulur ke
depan dan tanpa permisi mengambil tas Hanggini yang memang terasa berat.
“Bisa-bisa badan lo pegel semua kalo bawa tas seberat ini,” komentar Zee. Ia
pun meletakkan tas itu di antara kemudi dan jok motornya. Lagi-lagi Hanggini
dibuat senyum dengan perilaku Zee.
Di perjalanan, ditemani puluhan
kendaraan lainnya, Hanggini berpegangan tas Zee yang menjadi pembatas antara
dirinya dan Zee. Sesekali ia melihat Zee dari spion motor hingga tiba-tiba Zee berkata,
“Ada yang pengen lo tanyain?”
“Maksudnya?”
“Daritadi lo ngelihatin gue terus.
Ada yang mau lo tanyain?”
Motor Zee melaju ke arah Cilangkap.
Hari mulai gelap. Zee melampirkan motornya di tempat buah. Setelah mematikan
motornya, Zee turun dan membiarkan Hanggini menunggu di motor. Dari kejauhan,
Hanggini melihat bagaimana Zee berbincang dan tertawa bersama penjual buah
dengan lepas. Ia dengan jelas melihat Zee tersenyum hingga menampilkan barisan
giginya di hadapan penjual itu.
Melihat Zee tidak sendirian, penjual
buah bernama Sobar itu menepuk bahu Zee dan berkata pelan, “Pinter lo nyari
cewek.” Zee hanya menanggapi itu dengan tawa. Sobar melemparkan senyum pada
Hanggini dan Hanggini pun membalasnya dengan senyuman canggung. Beberapa menit
kemudian, Zee kembali membawa dua kantong plastic putih berisikan buah-buahan.
“Buat siapa?” tanya Hanggini
tiba-tiba.
Zee tidak menjawab. Ia malah
celingak-celinguk seperti mencari seseorang. Dan tatkala ia menemukan orang
yang dicari, ia meminta Hanggini memegangi satu kantong plastic dan
menunggunya. Hanggini heran dengan apa yang Zee maksud. Matanya mengikuti ke
mana Zee melangkah hingga ia mendapati Zee memberikan satu kantong plastik pada
seorang kakek dan nenek yang tengah menyandarkan punggungnya di gerobak besar
berisikan seng dan botol-botol bekas.
Dengan anggukan terima kasih, kakek
itu tersenyum, menerima pemberian Zee. Selepas itu, Zee membalikkan badannya
dan berjalan kembali ke arah Hanggini sebelum langkahnya sempat terjeda karena
matanya merekam Hanggini sedang mengobrol dengan seseorang yang tidak asing di
telinganya. Iqbaal.
Zee menghampiri mereka.
Kedatangannya disambut oleh Iqbaal, “Zril, lo lagi ada urusan sama Hanggini?”
Iqbaal bertanya dengan nada menginterogasi, semacam ada kekhawatiran saat
melihat Hanggini bersama Zee. Sebelum Zee menjawab, Iqbaal melanjutkan, “Kalo
lo nggak keberatan, gue mau ngajak Hanggini pergi.”
“Iqbaal?” Hanggini mempertanyakan
maksud Iqbaal.
Ponsel Zee berdering. Tertera nama
Nathan di sana. Tanpa perlu membaca isi pesannya, Zee sudah tahu kalo Nathan
pasti mempertanyakan keberadaannya sekarang. Zee menoleh ke arah Iqbaal dan
berkata, “Silakan. Lagian dia juga bukan siapa-siapa gue.”
Hanggini masih berdiri di samping
Iqbaal saat telinganya mendengar ucapan Zee barusan. Dari seribu rasa yang ada,
kini Hanggini merasa dadanya sesak. Ucapan Zee seakan berubah menjadi anak
panah yang menancap tepat di dadanya. Dan tanpa mempedulikan Hanggini dan
Iqbaal, Zee mengambil kantong plastik yang dipegang Hanggini, menaiki motornya
dan melaju pergi.
*******
Rumah sakit Harapan Bunda masih
ramai dikunjungi penjenguk. Nathan dan Salma sudah berdiri di depan pintu utama
ketika mereka melihat Zee datang sendirian. Tangan Salma menjalar ke pinggang
Nathan sebelum jemarinya mencubit Nathan. “Auh, sakit,” raung Nathan.
“Kata kamu Zee datang sama
Hanggini,” ucap Salma dengan mata melototi Nathan.
“Aku pikir juga gitu. Nggak tau kalo
mendadak tuh anak datang sendirian.”
Zee datang dengan wajah datar dan
dingin. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Melihat Nathan dan
Salma menatapnya dengan bahasa wajah yang aneh, Zee membuka mulutnya, “Lo
berdua kenapa? Kesambet?”
Nathan menggeleng sedangkan Salma
dengan lugas bertanya, “Lo nggak dateng sama Hanggini?”
“Dia lagi ada urusan sama
mantannya,”
“Iqbaal?”
Tanpa mengidahkan ucapan Salma, Zee
melongos masuk ke lorong rumah sakit. Nathan dan Salma mengekor dari belakang
sembari berbisik-bisik, menebak-nebak alasan Hanggini tidak datang. Langkah
kaki mereka bertiga berhenti di depan pintu sebuah ruangan dan tanpa melihat
kondisi, Nathan memegang kenop pintu dan membukanya sembari berteriak, “Happy
Birthday Ibu Ricky!!!”
Ricky yang tengah menyuapi ibunya
yang sedang terbaring di ranjang tersontak kaget. Bukan hanya mereka yang
kaget, beberapa pasien dan penjenguk yang lain pun sama. Hasilnya Nathan, Salma
dan Zee menjadi pusat perhatian karena berisik di ruang pasien. Dan tanpa
peduli apapun, Salma menjewer telinga Nathan sembari mengedarkan senyuman lebar
pada orang-orang.
Salma sedang berbincang dengan ibu
Ricky di dalam. Sedangkan Zee, Nathan dan Ricky duduk di kursi di lorong rumah
sakit.
“Nyokap gue cuman kelelahan aja. Dia
perlu dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari. Untuk membayar biaya rumah
sakitnya, gue perlu cari kerjaan,” cerita Ricky sembari bersandar di punggung
kursi.
“Lo tenang aja, Ky. Gue udah bayar
administrasinya,” ucap Nathan yang disambut Ricky dengan terkejut. Sebelum
Ricky mengeluarkan suara, Nathan mengusap mukanya sembari berkata, “Udah, nggak
usah terima kasih. Banyakin sholat dan tobat aja.”
“Kambing lo!” Ricky menepuk pundak
Nathan lalu berkata, “Gue bakal lakuin apapun untuk keselamatan nyokap gue. Gue
nggak mau kehilangan dia.”
Perkataan Ricky dibalas dengan
tatapan tajam dari Nathan seakan memberikan kode padanya untuk berhenti
berbicara. Untuk beberapa detik Ricky tidak sadar hingga Nathan menginjak
kakinya. Ricky memalingkan wajahnya ke arah Zee dengan raut wajah takut. “Zee,
gue nggak ada maksud buat---“
Zee melemparkan senyum tipis,
“Tenang aja.”
“By the way, lo udah dapet kabar terbaru tentang nyokap lo?” tanya Nathan ragu.
Zee menghela napas. Membenarkan
posisinya sebelum menggelengkan kepala. Pencarian ibunya yang sudah ia lakukan
sejak lama belum menghasilkan hasil. Sedangkan di sisi lainnya, Zaki selalu
menekankan padanya bahwa ibunya telah mati. Sampai kapan pun, Zee tidak akan
percaya dengan kabar itu hingga ia melihat sendiri jasad ibunya dengan mata
kepalanya sendiri. Berbagai macam tempat yang disinyalir mampu memberikan
informasi tentang ibunya telah ia kunjungi dan hasilnya sama; tidak ada yang
tahu di mana ibunya, bahkan beberapa di antaranya mengatakan tidak pernah
mendengar nama ibunya dan tidak mengenal ibunya.
Langit menjelang sore. Mega merah
telah menyala jelas. Ibu Ricky pun sudah terlelap tidur. Nathan dan Salma sudah
pulang duluan, tidak lain karena Salma sudah dihubungi oleh ayahnya dan sebagai
pacar yang bertanggung jawab Nathan pun pamit untuk mengantar kekasihnya.
Tersisa Zee dan Ricky. Ricky pamit
pada ibunya sebelum mengantar Zee ke lapangan parkir. Selama perjalanan, Ricky
melontarkan pertanyaan yang sudah lama sekali Zee tidak dengar dari
orang-orang. “Lo udah kunjungin dia minggu ini, Zee?” tanya
Ricky.
Mengerti siapa yang Ricky maksud,
Zee menjawab, “Belum, Ky.”
Jawaban itu mendapat respond kaget
dari Ricky. Belum pernah ia dengar Zee absen mengunjungi dia. Setiap
minggu Zee selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dia, meski sekedar untuk menyapa.
“Kenapa? Lo udah dapat pengganti?”
“Sampai kapanpun nggak akan ada yang
bisa gantiin dia, Ky.”
“Zee, udah tiga tahun! Tiga tahun
dan lo belum bisa buat lupain dia?”
Tidak menghiraukan ucapan Ricky, Zee
menepuk pundak temannya seraya berkata, “Semoga nyokap lo cepet sehat.” Setelah
itu ia menyalakan motornya dan pergi.
******
Ponsel Hanggini berdering saat dirinya
tengah bersiap pergi ke sekolah. Nama Iqbaal tertera di sana. Hanggini
menggeser lampu hijau dan menempelkan ponselnya di telinganya. Suara di sebrang
memanggilnya, “Ha. Gue udah di depan rumah lo nih.”
“Hah?” Hanggini kaget sembari
berlari menuju jendela kamarnya, mengintip gerbang dan menemukan Iqbaal sudah
melambaikan tangan padanya. Hanggini membalasnya dengan senyuman hangat. Tak
lama kemudian Hanggini turun dari kamar. Pandangannya terlempar ke arah
orangtuanya yang sedang duduk di meja makan. Sibuk dengan ponselnya
masing-masing. Hanggini menghampiri mereka. “Mah, Pah. Hanggini pamit dulu,”
ujarnya sembari mengambil tangan orangtuanya dan mencium punggungnya.
“Kamu nggak sarapan?” tanya
Mamahnya.
“Nggak, Mah. Aku sarapan di sekolah
aja.”
“Ya udah. Bareng Iqbaal, kan?”
Hanggini mengangguk. Lalu
membalikkan badan dan pergi. Saat ini rumah baginya hanya tempat beristirahat,
bukan untuk melepaskan penat. Hanggini menarik pintu rumah. Di depan gerbang
Iqbaal sudah duduk di jok motornya. “Pagi,” sapanya manis. Bagi semua cewek
dijemput Iqbaal dan disambut dengan sapaan manis seperti itu adalah keberkahan
tersendiri atau penyemangat di pagi hari.
Namun bagi Hanggini hal itu tidak
lagi berlaku baginya. Dulu sapaan itu memang sapaan yang membuatnya bersemangat
bangun pagi dan bersekolah, namun kini sapaan itu hanya sebatas sapaan antar
teman.
“Pagi,” balas Hanggini dengan
seringai kecil. Iqbaal memberi helmnya pada Hanggini. Hanggini pun menerima dan
memakainya di kepala. Mengalami sedikit kesulitan pada ikatannya, Iqbaal
berdiri di depan Hanggini, membantunya hingga helm itu terpasan dengan benar. Wajah
mereka saling berhadapan. Mata mereka pun saling melemparkan pandangan dalam
radius yang sama. Sudah cukup lama Hanggini tidak menatap iris mata Iqbaal yang
kebiruan, bukan karena Iqbaal memakai lensa tambahan, tetapi iris mata itu ada
sejak ia lahir. Dagu lancip serta bulu mata yang lentik itu menambah kesan
maskulin di wajah Iqbaal.
Suara dehaman Mbok Sumiati, pembantu
Hanggini yang sudah lama bekerja bersamanya menginterupsi mereka berdua. Hanggini
dan Iqbaal buru-buru membuang pandangan ke arah lain. “Maaf, Non. Ini Mbok
buatin roti bakar buat sarapan,” ujarnya seraya memberikan sebuah tempat makan.
“Mbok khawatir Non Hanggini nggak sarapan,” lanjut Mbok Sumiati.
Hanggini mengambilnya dan berkata, “Terima
kasih, Mbok.”
Mbok Sumiati mengangguk dan pamit
masuk ke dalam. Dahi Iqbaal mengkerut. “Lo nggak sarapan dulu?” tanya Iqbaal
dengan nada sedikit khawatir.
Hanggini menggeleng.
“Ya kalo gitu kita harus sa---“
“Udah deh, Bal. Santai aja. Lagian
gue juga belom laper.”
“Gini deh. Pas nanti jam istirahat,
lo harus makan sama gue di kantin,” tegas Iqbaal sedikit menekan, memberitahu
pada Hanggini bahwa ia tidak ingin bernego. Hanggini mengangguk dengan cepat
lalu meminta Iqbaal untuk menyalakan mesin motornya agar mereka tidak
terlambat.
Kedatangan mereka disambut dengan
gerombolan murid yang tengah berkumpul di lapangan sekolah. Iqbaal dan Hanggini
turun dari motor sebelum menahan salah satu murid dan menanyakan apa yang
terjadi. Murid itu menjawab bahwa Zee kembali bertengkar dengan Alpha dan
teman-temannya. Mendengar nama Zee disebut Hanggini bergegas pergi menuju
lapangan sekolah diikuti Iqbaal dari belakang. Benar saja apa yang dikatakan
murid itu.
Di lapangan sekolah seragam Zee sudah
kotor oleh debu dan tanah. Hidung dan sudut bibirnya pun sudah mengeluarkan darah.
Sedangkan di sudut lain, Alpha dan dua orang temannya sudah tersungkur jatuh
dengan wajah babak belur dan seragam yang robek-robek. Begitu jelas bagaimana
kepalan tangan Zee dipenuhi darah. Ternyata pertandingan belum berakhir. Alpha
masih bisa berdiri dan mengepalkan tangan. Dengan senyum jahat Alpha berkata, “Lo
masih nggak terima kalo ternyata lo itu seorang pem----“
Bukk! Zee mendaratkan tendangan keras di perut Alpha hingga Alpha
meringis kesakitan seperti cacing kepanasan. Belum sampai situ, Zee hendak
menendang wajahnya jikasanya Hanggini tidak berlari ke arahnya dan memeluknya
dari belakang. Semua murid membeku melihat itu. Yang lebih mengherankan adalah
saat mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri saat Hanggini menangis di
punggung Zee.
Zee diam tidak berkutik saat
merasakan kedua lengan melingkari pinggangnya dengan erat.
“Udah, Zril. Gue mohon…”
Dada yang tadinya dipenuhi api amarah
mendadak padam tanpa bekas. Entah kenapa, pelukan Hanggini mampu menghentikan
Zee. Zee sendiri tidak tahu apa alasannya. Lebih dari itu, Zee merasakan
pelukan yang telah lama pergi darinya telah kembali. Pelukan yang sudah ia rindukan
selama tiga tahun kini mampu ia rasakan. Zee memegang lengan tangan Hanggini
dan melepaskannya bersamaan dengan tangisan Hanggini yang mulai mereda. Ia membalikkan
badan. Hanggini sesegukan tidak karuan.
Semua mata membeliak tatkala mereka
melihat Zee mengusap air mata yang meleleh di pipi Hanggini dengan lembut. Mata
mereka beradu pandang sebelum bu Endang datang dan berteriak memanggil nama Zee
dan menariknya ke ruang guru BK.
*****
Sama seperti sebelum-sebelumnya, Zee
hanya membiarkan omelan bu Endang masuk kuping kanan keluar kuping kiri sebelum
akhirnya bu Endang menghukumnya dengan menyuruhnya membersihkan toilet sekolah.
Dan sama seperti sebelumnya, Alpha dibebaskan dari semua hukuman karena
dukungan orang dalam. Tidak ada gunanya memprotes karena memprotes hanya akan
menambah gesekan permasalahan.
Zee keluar dari ruang BK dengan raut
wajah tanpa beban. Matanya menoleh ke kiri saat ia mendengar namanya dipanggil.
Ia melihat sosok Hanggini tengah berdiri dengan raut wajah khawatir. Zee yang
tadinya hendak pergi ditahan oleh Hanggini.
“Zril, apa kata bu Endang?”
“Bukan urusan lo,” jawab Zee cuek
dan melepaskan genggaman tangan Hanggini.
Kembali dada Hanggini merasa sesak. Entah
apa maksud ini semua, namun ada sesuatu dalam dirinya yang memaksanya untuk
tetap peduli pada Zee.
Hanggini belum tahu apa itu, yang ia
tahu hanya ia tidak bisa menolak dorongan itu. Namun Hanggini juga tahu Zee
adalah manusia paling dingin dan rapat yang ia pernah temui. Kini hanya waktu
yang mampu berbicara.
Depo 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
BalasHapusmampir di website ternama I O N Q Q.ME
paling diminati di Indonesia,
di sini kami menyediakan 9 permainan dalam 1 aplikasi
~bandar poker
~bandar-Q
~domino99
~poker
~bandar66
~sakong
~aduQ
~capsa susun
~perang baccarat (new game)
segera daftar dan bergabung bersama kami.Smile
Whatshapp : +85515373217