Rekam Kelam Masa Lalu

Di sebuah apartemen di daerah Jakarta Timur, tepatnya di kamar bernomor 69, seorang lelaki tua dengan rambut yang sudah tipis di atas kepala dan kumis tebal dan rata tengah membuat penghuni apartemen lain merasa terganggu. Tidak jarang pihak apartemen mendapatkan keluhan dari penghuni lain karena desahan lelaki tua itu yang melengkik tinggi.

“Bahkan desahan kambing saat bercinta pun kalah oleh desahan lelaki tua itu!” protes salah satu penghuni apartemen lain.

Lelaki tua yang sering dipanggil si Besar tidak mempedulikan omelan-omelan para tetangga tentang dirinya. Pihak apartemen pun segan untuk menegurnya.

“Sekali lagi kami minta maaf atas ketidaknyamanan ini. Tapi---“ panggilan itu diputus sepihak oleh lawan bicara. Ato, karyawan apartemen Kalibata yang bekerja menerima panggilan-panggilan itu mengumpat di tengah teman-temannya.

“Bangsat! Kalo bukan karena dia orang kaya, sudah kubunuh dia! Meskipu aku belum pernah melihat wajahnya, aku tahu bahwa dia itu lelaki hidung belang!” maki Ato kesal. Sudah lima botol bir bintang Ato minum bersama teman-temannya di salah satu warung kecil yang menyediakan minuman keras. Teman-temannya tertawa mendengar keluhan Ato. Bagi mereka keluhan Ato adalah hiburan terbaik setelah hiburan malam.

“Memangnya kamu tidak bisa membunuh orang kaya?” tanya salah satu temannya dengan mata mulai tertutup.

“Tai! Kalo kamu membunuh satu orang kaya, maka kamu akan dibunuh seratus orang miskin. Karena orang miskin hidup dibiayai orang kaya!” balas Ato sembari tertawa. Pikirannya kini melayang hingga tubuhnya ambruk di lantai.

Melihat Ato ambruk, teman-temannya malah tertawa lebih keras. “Hahaha, orang miskin lagi tiduran di lantai,” timpal temannya yang lain, yang tidak kalah mabuk.

Mata Ato terbuka secara perlahan saat dirinya menangkap seorang perempuan tengah berjongkok di depannya. “Bangun, Mas,” ucap perempuan itu lembut sembari sesekali mengusap pipi Ato yang bontos karena jerawat serta bulu-bulu kasar hasil obat bhewok yang tidak berhasil.

“Bangun, Mas,” kembali perempuan itu mengusapnya. Kini jari-jari lembut nan putih itu meraba dada Ato. Seketika Ato merasa lemas, tidak mampu menggerakkan badannya. Jari-jari itu semakin nakal. Mereka serempak turun menyentuh hutan hitam yang mengelilingi seekor burung coklat.

Merasa tertantang, perempuan itu tanpa permisi menyentuh burung coklat itu dan mencekiknya. Bersamaan dengan itu Ato bangun dengan nafas tersengal-sengal dan badan yang terasa pegal. Azan subuh terdengar dari toa musholla terdekat. Lelaki berumur 50 tahun-an, pemilik warung kecil itu, keluar dari rumah kecilnya mengenakan baju koko abu-abu dan sarung coklat bermotif kotak-kotak.

Ia melemparkan sebuah handuk tepat di wajah Ato seraya berkata, “Cepat mandi lalu sholat. Burungmu muntah tadi malam. Aku pun harus tobat karena telah menjual miras pada kalian.”

Ato tidak mengerti maksud dari burung itu sampai ia merasakan ada sesuatu yang lengket di daerah celana dalamnya, membuatnya tidak nyaman. Ato mengintip ke dalamnya lalu berkata, “Tai! Untung yang keluar hanya sedikit.”

Di bilik kamar mandi umum, Ato melakukan mandi wajib yang sempat dipelajarinya dari guru agamanya. Ia masih rada-rada ingat. Maklum, guru agama yang dia maksud adalah guru agama sekolah dasar. Ato harus menerima keadaan bahwa dirinya hanya bisa lulus SD. Orangtuanya tidak mampu membiayainya untuk melanjutkan ke jenjang SMP. Padahal semenjak kelas satu SD, keluarganya adalah keluarga yang terbilang mampu.

Ibunya adalah pelacur tingkat dewi. Mula-mula memang hanya sebatas pengamen dan tukang ojek yang ingin menidurinya, namun kehebatannya di ranjang membuat orang-orang mengantri untuk berperang. Tarif ibunya semakin menanjak. Puncaknya adalah saat seseorang mengenakan jas hitam dan kemeja putih datang ke rumahnya lalu mengaku bahwa ia bekerja di gedung daerah Senayan, Orang itu berani membayar ibunya berapapun yang ia minta.

Awalnya ibunya mencoba menguji keseriusan orang-orang itu dengan mengatakan, “Kamu bisa memasukkan burungmu jika kamu membayar satu milliar.” Tanpa diduga oleh ibunya, orang itu bersedia membayar satu milliar di depan muka. Itulah salah satu penyesalan yang ibunya rasakan. Sembari melayani burung orang itu, ibunya berkata dalam hati, “Kalau tau seperti ini, akan kupinta sepuluh kali lipat. Sial!”

Kepopuleran ibu Ato sebagai pelacur tidak lepas dari usaha ayah Ato sebagai pedagang. Iya, ayah Ato berperang penting mendagangkan istrinya kepada lelaki hidung belang yang tengah mengalami masalah rumah tangga. Tidak jarang ayahnya berjalan-jalan di sekitar rumah dan membagian secarik kertas pada para lelaki. Di kertas itu terdapat tulisan;

Punya masalah dengan istrimu atau burungmu? Butuh bantuan dan hiburan? Hubungi nomor di bawah ini:

080001110*****

Merasa Tuhan tidak juga memberikan bantuan, para lelaki yang putus asa memilih mendatangi rumah Ato. Bernego dengan ayahnya. Jika harga pas, maka ayahnya dengan khidmat menunjukkan ruangan yang akan menyelesaikan masalah pelanggan.

Ato mendengar dari ibunya, satu jam setelah ibunya melayani lelaki tua kaya berumur 80 tahun-an yang sudah ditinggal mati istrinya sepuluh tahun lalu, bahwa usaha ini ia rintis saat Ato berumur 6 tahun. Gagasan ini muncul di benak ibunya saat melihat seekor kucing jantan berjalan lesu seakan tidak memiliki tujuan hidup. Kucing itu mendadak bahagia saat melihat kucing betina tengah menganggur di pinggir jalan dengan mata yang menggoda. Dan dari kedua kucing itu lahir kucing-kucing kecil yang manis dan lucu namun haram. Haram karena anak-anak kucing itu lahir dari perzinahan.

“Tenang saja, kamu bukan hasil perzinahan. Kamu murni anak halal secara agama dan negara,” ucap ibunya sembari merapihkan rambut pendek Ato. Hingga detik ini Ato percaya pada perkataan ibunya meski beberapakali dirinya dilanda keraguan.

“Aku keluar dari perempuan yang suci namun memiliki pekerjaan yang najis,” maki Ato setelah mengingat masa lalunya. Ato menggelengkan kepala sembari membiarkan air membasahi rambutnya. Yang paling membuatnya dendam saat dirinya mengingat masa lalu adalah saat-saat di mana ia baru pulang bermain di sore hari, sendirian tentunya karena para ibu melarang anaknya bermain dengannya, dan mendengar ibunya mendesah tinggi. Desahan yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Entah apakah itu tanda ketika seseorang mencapai kenikmatan atau kesakitan? Ato tidak tahu jawabannya.

Saat mendengar desahan itu, tiba-tiba dirinya menyadari bahwa ayahnya tidak ada di teras rumahnya. Biasanya ayahnya akan berjaga di teras rumah sementara ibunya melayani pelanggan. Namun hari itu sangat berbeda. Desahan ibunya dan ayahnya yang tidak ada.

Kerumunan lalat dari arah selokan menarik perhatian Ato. Kakinya berjalan mendekat. Dengan pelan ia melirik ke selokan. Badannya mematung serta matanya membelalak saat mendapati kepala ayahnya berada di sana, berteman dengan cacing-cacing, tikus dan lalat. Darah kental masih mengalir dari urat nadi leher ayahnya. Darah itu terlihat masih segar.

Ato mundur beberapa langkah dan berlari masuk ke rumah. Saat tangannya hendak menggapai pegangan pintu ruangan ibunya melayani pelanggan, telinganya mendengar sesuatu yang memukul gendang telinga itu sangat kencang.

Krok… Krokk… suara itu sering ia dengar saat ia melihat seorang kiai memotong leher seekor kambing atau sapi. Tangan Ato gemetar. Kakinya seketika lemas. Satu menit kemudian ia sadar bahwa ibunya telah bergabung bersama kambing atau sapi yang pernah ia lihat itu. Langkah kakinya mundur saat pegangan itu berputar pelan, memperlihatkan setengah wajah seorang lelaki yang memiliki luka di bawah mata kanannya. Pandangan Ato bertemu dengan mata kanan itu sebelum mata Ato turun melihat punggung ibunya yang berlumurkan darah.

Tanpa memperdulikan apapun, Ato berlari tidak kenal arah. Ia membiarkan kakinya mengajaknya pergi ke mana saja. Ia hanya ingin pergi jauh, atau lebih tepatnya kabur.

Dan kini, sudah hampir 20 tahun semenjak tragedi itu terjadi, bayangan mata kanan itu, desahan tinggi itu, dan onggok kepala itu masih menghantuinya. Mereka seperti noda abadi untuk Ato. Noda yang tidak pernah bisa dibersihakan, bahkan jika dirinya sudah menggosoknya dengan deterjen paling mahal sekalipun.

Kekesalannya berubah secepat kilat saat ia mengingat perempuan yang berada di mimpinya tadi. Perempuan dengan jari-jari putihnya yang menyentuh dada dan…

“Sial! Aku tidak mau mandi dua kali hanya karena mengingat dia!” umpat Ato.

Seekor ayam nyatanya lebih rajin ketimbang manusia. Itu karena ia bangun lebih pagi. Tidak hanya itu, seekor ayam juga lebih baik ketimbang manusia. Itu karena ayam itu mempedulikan manusia dengan kokokannya. Dasar manusia, apa tujuannya hidup jika hanya menyusahkan mahluk lain?

Selepas mengaji bersama warga lain, pemiliki warung kecil itu pulang meski dengan telinga yang cukup panas karena mendengar beberapa jamaah mencibirnya dengan mengatakan, “Untuk apa dia sholat jika masih menjual miras? Saya tidak bisa mengerti alur pikirannya.”

Pemiliki warung itu menanggapinya dalam hati dengan mengatakan, “Jika aku tidak menampakkan kebatilan, tidak ada yang namanya kebenaran. Alur pikir mereka terlalu rendah.”

Ato tengah duduk meminum segelas kopi yang ia buat sendiri saat pemiliki warung datang dengan wajah lesu. “Kenapa? Tuhan tidak juga mengabulkan doamu?” tanya Ato ceplos.

“Jaga mulutmu, Ato. Tuhah hanya sedang sibuk mengurus orang-orang pendosa seperti dirimu,” balas pemiliki warung itu.

“Apa buktinya bahwa aku pendosa?”

“Untuk apa kamu mandi besar jika tidak pernah sholat,” jawab pemiliki warung itu seraya melangkah memasuki rumah.

Merasa dikalahkan, Ato bergumam kesal, “Semoga Tuhan sibuk mengurus orang-orang yang hendak mati sepertimu.”

Dengan helaan nafas yang panjang, Ato duduk di kursi hitam yang empuk ditemani satu buah telefon. Telefon yang sudah menemaninya hampir satu tahun. Telefon yang sudah membuat telinganya seakan terbakar tatkala mendengar keluhan-keluhan penghuni kamar. Telefon yang seringkali mengajaknya bertengkar.

Sudah hampir jam tiga sore dan tidak ada satu pun penghuni kamar yang mengeluh. Seuntam senyum terlukis di wajah Anto sebelum senyum itu sirna begitu saja saat ia menyadari bahwa keluhan-keluhan itu biasanya datang di atas jam delapan malam.

Tubuh Ato membeku saat ia melihat seorang perempuan cantik mengenakan rok mini hitam dan kemeja putih dengan dua kancing yang terbuka di bagian dada serta kacamata yang menutupi matanya tengah berjalan menghampirinya. Hidung perempuan itu mancung, kulitnya putih serta bibir bawahnya cukup tebal. Ato tidak membiarkan matanya mengedip, itu agar ia tidak kehilangan satu pun keindahan dari perempuan ini.

Ato hampir dibuat gila saat ia mendengar suara lembut nan basah perempuan itu. “Kamar nomor 69 ada di mana, ya?” tanya perempuan itu sembari tersenyum tipis.

“Ada di… lantai em…pat,” jawab Ato terbata-bata.

Perempuan itu mengucapkan terima kasih dan membalikkan badan, membiarkan Ato melihat bokong indahnya dan…jari-jemarinya yang halus. Seakan ditampar mahluk halus, Ato baru sadar bahwa perempuan itu mirip perempuan yang ada di mimpinya. Dugaan Ato diperkuat dengan celananya yang mendadak terasa sempit.

Hari terasa cepat saat Ato memikirkan perempuan itu. Ia tidak menyangka bahwa Tuhan sangat baik padanya, memberinya kesempatan untuk bertemu langsung dengan si perempuan.

Tatkala sedang mengoleskan rambut hitamnya menggunakan minyak rambut yang sangat lengket, telinganya bergerak mendengar panggilan pertama masuk. Ato melirik jam dinding apartemen. Ia menghela nafas saat mengetahui jarum pendek sudah menunjuk angka delapan lewat sepuluh menit.

Ato mengangkat panggilan itu dengan ucapan, “Halo, ada yang bisa saya ban---“

“Bangsat! Sudah kubilang untuk menutup mulut lelaki tua itu! Bayiku tidak berhenti menangis mendengar decitan ranjang lelaki tua itu!”

“Baik, saya akan mencoba berbica----“ tidak ada yang tersisa kecuali suara tut-tut-tut. Panggilan dimatikan sepihak. Belum setengah menit Ato menarik nafas, telefon itu kembali berdering, Ato menyambutnya dengan ucapan, “Halo, ada yang bisa----“

“Kamu tidak tahu saya?! Saya ini orang penting di negeri ini! Cepat keluarkan lelaki tua itu jika apartemen ini tidak mau saya tuntut! Dasar bajingan!”

Selepas itu hampir sepuluh panggilan keluhan masuk ke telinga Ato dan hampir semuanya diakhiri dengan kata-kata kasar. Hingga emosinya sudah tidak bisa tertahan. Ato mendatangi kamar bernomor 69 itu, mengetuknya berkali-kali bahkan terlihat seperti ia menggedornya. Seperti yang para penghuni keluhkan, dari kamar ini memang terdengar decitan ranjang dan desahan panjang. Ato mencoba mengusir pikiran kotor namun benar dari otaknya.

Satu menit sebelum ia mengetuk kembali pintu itu, decitan ranjang dan desahan itu berhenti. Ato menghembuskan nafas panjang dan mengetuk pintu itu. Pintu itu terbuka dan betapa terkejutnya Ato saat ia melihat yang membuka itu pintu itu adalah perempuan yang ada di mimpinya, perempuan yang tadi ia lihat. Bodoh! Bukankah tadi ia menanyakan letak kamar nomor 69?! Ato berdecak kesal dalam hati.

Kini perempuan itu hanya mengenakan handuk yang dililit tubuhnya. Ato yakin bahwa tidak ada pakaian yang menempel di tubuh perempuan itu selain handuk itu. Seakan ada daya tarik yang kuat, mata Ato turun ke bawah dan melihat kaki mulut serta paha putih perempuan itu.

“Ada apa, Mas?” tanya perempuan itu dengan nafas yang sedikit tidak beratur.

Ato menjawab, “Saya ingin bertemu dengan yang memesan kamar ini. Ada beberapa keluhan yang dilontarkan penghuni lain. Oleh karena itu, saya harus berbicara dengannya.”

Perempuan itu mengangguk sembari sesekali memandang mata Ato. Ato menelan ludah dan membuang pandangannya. Ia tidak kuat memandang mata indah perempuan itu.

“Silakan masuk,” ujar perempuan itu. Ato mengangguk dan masuk. Hidung Ato serasa dihantam saat ia menghirup aroma parfum segar yang menyeruak dari tubuh perempuan itu.

Ato kembali berjalan hingga ia tiba di ruang tamu.

“Sebentar, saya panggilkan lelaki itu dulu,” kata perempuan itu. Lagi-lagi Ato tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bokong indah perempuan itu. Apakah benar perempuan itu manusia? Ato bertanya pada diri sendiri.

Berselang sepuluh menit, Ato serasa ditusuk malaikat maut saat matanya menatap mata kanan lelaki tua itu, terlebih luka di bawah mata itu. Mata kanan yang menjadikan dirinya seperti kelinci di tengah kerumunan singa. Mata kanan yang berusaha Ato lupakan. Mata kanan yang lebih seram ketimbang setan. Mata kanan yang beradu pandang dengannya di ruangan ibunya.

Merasa Ato mengenalinya, lelaki tua yang kerap dipanggil si Besar itu menyengir tipis namun menakutkan. “Apa kabar, Ato?” tanyanya sambil tertawa pelan. “Kamu masih ingat saya?” lanjutnya.

Kini malaikat maut tidak menusuk Ato, tapi memerintahkan Ato untuk mencabut nyawa si Besar. Melihat sebilah pisau dapur menganggur di samping buah-buahan, Ato mengambilnya dan berlari ke arah si Besar. Si Besar tersenyum, seakan tahu malaikat mautnya sudah datang, lalu berkata, “Kemarilah.”

Crot! Dengan sekali tusukan, Ato mampu membenamkan hampir pisau itu di dada kiri si Besar. Ato menekannya hingga si Besar tidak mampu lagi bersuara. Darah mengucur deras hingga membasahi wajah Ato tatkala dirinya mencabut pisau itu dari dada si Besar.

“Belum. Saya belum puas,” ucap Ato. Ia pun membaringkan tubuh si Besar di lantai dan mulai menggorok leher si Besar hingga berbunyi, Krok…krok.. Sama seperti apa yang dilakukan si Besar pada ibunya. Ato tetap menggorok leher itu hingga putus seperti apa yang dilakukan si Besar pada ayahnya. Bedanya, Ato menjambak kepala yang sudah terputus itu dan melemparkannya dari lantai empat. Biarkan orang berpikir itu adalah pot yang jatuh, ucap Ato dalam hati.

Setelah menghabisi si Besar, Ato merasakan kejanggalan. Ia menoleh ke si perempuan dan bertanya, “Kenapa kamu tidak berteriak atau kabur?”

“Kenapa aku mesti berteriak dan kabur?” jawab si perempuan tersenyum dengan nada menantang.

“Aku pikir aku telah jatuh cinta padamu. Siapa namamu?”

Dengan mata menggoda, perempuan itu menjawab, “Adinda Larasati.”

“Sepertinya aku pernah membaca nama itu di koran.”

 


Komentar

Postingan Populer