Prolog - Can I Be A Normal Person?
Decitan suara gerombolan tikus malam
yang tengah mencari hidangan malam tidak mengganggu pandangan seorang lelaki
tua. Orang-orang kampong mengenalnya dengan nama Martono. Ia seorang penjual
kopi keliling. Tatkala sedang mencuci gelas-gelas kaca, ia membatu diam dengan
mulut menganga karena melihat seorang perempuan berlari ketakutan. Perempuan
itu hanya mengenakan beha hitam yang membungkus payudaranya serta celana dalam
berwarna merah kemudaan.
Perempuan itu berlari tanpa arah.
Kakinya menelurkan darah karena tergesek-gesek butiran batu tajam. Sesekali ia
menengok ke belakang. Malam memberikan warna sepekat kopi hitam, tanpa ada
bulan atau bintang yang menemani. Suasana sepi. Tidak ada satu pun lampu teras
rumah yang menyala. Perempuan itu terus berlari ditemani lampu jalan yang
bahkan tidak bisa menerangi karena nyatanya lampu itu sudah sekarat.
Perempuan itu meratapi dan merutuki
keputusannya untuk berkenalan dengan seseorang lewat applikasi Tinder. Aliran
darah dalam tubuhnya mengalir deras saat dirinya menduga bahwa hari ini mungkin
adalah hari terakhirnya bernapas. Dan dugaannya serasa diperkuat saat ia
terjebak di gang buntu. “Bangsat!” makinya.
Butiran keringatnya mengucur deras
dari dahinya, tubuhnya bahkan selangkangannya. Napasnya terengah-engah seperti
ia baru saja berlari mengelilingi lapangan sepuluh kali, bahkan lebih. Ia
merasa seperti sedang adulari dengan malaikat maut. Riasan raut yang satu jam
sebelumnya mempercantik wajahnya kini luntur tidak tersisa. Kecemasan terukir
jelas di sana.
Sunyi. Perempuan itu tidak bisa
mendengar apapun kecuali detakan jantungnya sendiri. Dadanya naik-turun.
Detakan yang memberikan irama menakutkan. Pandangannya terburai mencari pertolongan.
Apa malaikat maut adalah pelanggan terakhirku? Pikirnya.
“Tidak! Aku belum mau mati,”
rutuknya.
Saat mulutnya terbuka hendak
berteriak, tiba-tiba dari arah belakang seseorang menyumpal mulutnya dengan
pembalut perempuan bernoda merah di bagian tengahnya. Si perempuan memberontak,
menggeliat dan mencoba mengayunkan pukulan ke arah belakang. Melihat usaha si
perempuan, orang itu memukul tengkuk kepala si perempuan dengan keras.
Dengan sekali gerakan, orang itu
menyayat punggung si perempuan dengan cutter bergagangkan warna hitam
hingga punggung mulus terbuka. Sebutir demi butir darah kental keluar hingga
mengalir membasahi punggung dan bokong si perempuan. Bersamaan dengan itu, si
perempuan berusaha menjerit kencang meski suara itu hanya mampu keluar di ujung
mulutnya.
Aroma darah itu memberikan rangsangan
hebat bagi si penyayat tatkala bau darah itu menghantam hidungnya. Ia menghirup
aroma darah itu dengan kenikmatan sembari memejamkan matanya. Lidahnya menjulur
mendekati punggung itu sementara kedua tangannya masih mengikat tubuh si
perempuan.
Kulit putihnya memberikan sengatan serta
suntikan tersendiri bagi siapa pun yang melihatnya. Orang itu menjilat dan
menyedot darah yang keluar sebelum mengecupnya dengan hangat. Lidah basah itu
mampu dirasakan si perempuan. Benang air mata tidak bisa lagi ia tahan. Air itu
mengalir membasahi pipinya sebelum menggantung di ujung dagunya dan terjatuh.
Raungan kecil terdengar, namun tidak
ada yang mendengar kecuali si penyayat. “Ssstttt. Saya enggak akan sakitin
kamu. Saya hanya ingin sedikit bersenang-senang sama kamu, bukannya itu juga
yang kamu inginkan?”
Seperti sepasang kekasih yang
dimabuk asmara, si penyayat dengan pelan mengusap air mata yang terus keluar
dari ujung mata si perempuan. “Cup… cup… cup. Jangan nangis, saya enggak bisa
lihat perempuan nangis. Seharusnya kamu bahagia malam ini. Seharusnya kita
bahagia.”
Perempuan itu berusaha memberontak
meskipun ia tahu usahanya tidak membuahkan hasil karena dengan mudah orang itu
mematahkan usahanya. Mata si penyayat melihat jam tangan dan jarum jam pendek
menunjukkan angka satu malam. Tanpa berkata apapun, si penyayat menyeret si
perempuan ke sebuah gudang kecil yang dipenuhi dengan karung beras. Gudang itu
gelap. Bahkan hampir tidak ada cahaya yang menerobos masuk.
Mereka berdua ditemani sebuah
pemutar musik yang melantunkan lagu lawas tahun tujuhpuluhan dengan volume yang
kecil. Beberapa kali perempuan itu mendengar cicitan tikus, hewan yang paling
ia benci. Sementara telinganya masih menangkap lantunan lagu yang tidak ia
kenal, air matanya belum berhenti mengalir membasahi dagunya.
“Udah dong nangisnya. Saya jadi
nggak tega, nih,” si penyayat berkata sembari tersenyum gila memperlihatkan
rentetan giginya.
Si perempuan menatapnya benci, kesal
dan dendam. Rambutnya tergurai ke depan, menutupi sebagian wajahnya. Si
penyayat membalas tatapan itu dengan tajam. Lalu merapihkan rambut panjang
perempuan itu, menyisihkannya dan menyelipkannya ke telinganya.
Warna blonde rambutnya semakin
memperindah tubuhnya. “Kamu tahu bahwa semua perempuan itu tidak cantik? Ada
sebagian dari mereka yang jelek, ada sebagian dari mereka yang cantik. Tapi
mereka semua punya persamaan, kamu tahu? Mereka semua bisa dientot,” ucap si
penyayat terkagum dengan ucapannya sendiri.
Sekejap kemudian, si penyayat
mengeluarkan lakban hitam dari kantong plastik yang telah ia selipkan di antara
dua karung beras. Seakan ia telah mempersiapkan semuanya dengan matang. Perempuan itu menggelengkan kepala, meminta
ampun dan kebebasan.
“Tenanglah, Sayang. Saya enggak akan
menyakitimu seperti orang lain menyakitimu. Malah sebaliknya, saya akan
memberikan kepuasan yang tidak pernah kamu dapat dari mereka. Hitung-hitung
saya juga membantumu menghapus dosa,” bisik si penyayat.
Dengan satu tarikan dan robekan, lakban
hitam dengan panjang sepuluh cm telah mendarat di mulut si perempuan. Belum
Sampai situ, ia mengikat kedua tangan si perempuan dengan tali rapia. Ia
membalikkan badan si perempuan. Kini wajah mereka saling berhadapan.
Tangan si penyayat mulai menyentuh
pinggang si perempuan. Mulutnya mulai mendekat dan menciumi lehernya. Setelah
meraba bagian perut si perempuan, jari-jari nakal itu bergerak menyusuri bagian
belakangnya hingga menemukan sebuah pengait. Pengait beha hitam itu dilepas
dengan dua jarinya hingga beha hitam itu dibiarkan jatuh.
Setelah itu si penyayat mundur satu
langkah. Matanya terbuka sempurna ketika melihat karya Tuhan tengah berdiri di
depannya hanya mengenakan celan dalam. Lekukan tubuh perempuan memang menjadi
obat bius bagi para manusia. Tidak henti-hentinya si penyayat menjamah
perempuan tersebut dengan pandangannya. Matanya menyidik seluruh bagian
tubuhnya, mulai dari wajahnya, leher, dada hingga yang ada di antara kedua
pahanya.
Ia sangat kagum pada perempuan ini,
ia pasti merawat tubuhnya dengan baik. Aroma lavendel yang menyeruak
dari tubuh perempuan ini membangkitkan ‘sesuatu’ di dalam diri si penyayat.
Membakarnya dan memberikannya sedikit kehangatan. Payudara yang menggantung
dengan ketat semakin membuat ‘sesuatu’ itu memberontak.
Si penyayat menggelengkan kepala
tidak percaya sekaligus gembira. Tidak-tidak, ini belum semuanya, pikir si
penyayat. Tiba-tiba ia menarik tubub si perempuan mendekat, memeluknya dan
kembali menciumi lehernya. Si perempuan menggeliat, merasakan panas dalam
tubuhnya hingga ia mengetahui bahwa ciuman itu turun hingga pinggang dan
pahanya. Dan dengan sekali tarikan, si penyayat merobek celana dalam si
perempuan.
“Inilah yang aku tunggu,” ucap si
penyayat saat ia melihat bulu tipis di bagian kemaluan si perempuan seakan
memberikan ucapan sambutan yang hangat. Bulu tipis itu menutupi lipatan daging
kemerahan.
Untuk kesekian kalinya, si penyayat
tersebut memeluk tubuh si perempuan dan mengajaknya berdansa sebelum mendorongnya
jatuh di lipatan kardus yang telah ia siapkan. Semua sesuai dengan rencananya.
“Tikusku masuk jebakan,” ucapnya seraya menyeringai. Seringai yang memberikan
ketakutan bagi siapa pun yang melihatnya. Bahkan setan pun takut melihatnya.
Tubuh perempuan itu jatuh tepat di
tengah. Sebelum ia berusaha duduk dan kabur, si penyayat menarik kaki
jangkungnya lalu duduk di perutnya.
Kini kedua kakinya yang terikat. Setelah
semuanya hampir selesai, si penyayat berdiri dan tertawa beberapa detik, entah
apa yang ia tertawakan hanya dia dan Tuhan yang tahu. Seuntas memori kelam
terputar di benaknya dan membuatnya kembali tertawa. Si penyayat mengacak-ngacak
rambutnya sendiri. Si perempuan melihatnya dengan tatapan heran. Bangsat mana
dia ini?! Batin si perempuan.
Perempuan itu memberontak,
melikukkan tubuhnya di atas kasur. Dan berontakan itu seketika terhenti saat si
perempuan melihat si penyayat mengeluarkan pisau kecil yang ia gunakan tadi dan
menempelkan mata pisau itu di bibirnya sendiri, memberikan isyarat pada si
perempuan untuk diam jika ia tidak ingin merasakan sayatan di bagian lainnya.
Mata perempuan itu lembap dan perih,
ia mampu merasakan aura setan yang muncul dari orang yang tengah berdiri di
hadapannya. Pandangan mereka bertemu dalam satu orbit lurus, dan dari pandangan
itu, si perempuan seakan mampu membaca cerita kelam yang tidak pernah bisa ia
percaya. Dan tanpa sengaja perempuan itu menangkap butiran kecil yang mengalir
dari sudut mata orang itu.
Dia menangis? Tanya si perempuan pada
dirinya sendiri. Beberapakali ia memejamkan matanya untuk meyakinkan dirinya.
Tidak ada yang salah. Si penyayat benar-benar mengeluarkan air mata.
Seakan ada tamparan keras tidak
terlihat, si penyayat menyeka air matanya sendiri. Ia tidak ingin air matanya
mengurungkan niatnya, menghancurkan apa yang telah ia bangun lama. Belas
kasihan hanyalah lubang hitam baginya. Tidak ada belas kasihan untuk siapapun
yang telah menggoreskan luka dalam hidupnya.
Si penyayat menarik nafas dalam dan
menghembuskannya panjang. Ia mengangguk-nganggukkan kepala, berusaha menyakikan
dirinya sendiri. Beberapa detik kemudian, kembali ia mendekati si perempuan dan
melilit bagian matanya dengan lakban hitam, hingga pandangan perempuan gelap
tanpa cahaya. Dan setelah beberapa menit tidak ada kelanjutan, dengan pelan si
penyayat menanggalkan seluruh pakaiannya.
Si penyayat menunduk secara
perlahan, mendekatkan tubuhnya pada tubuh si perempuan, melepas ikatan di
kakinya lalu membentangkan kedua kakinya hingga matanya mampu melihat jelas lipatan
daging kecil dengan rumput-rumput halus di sekitarnya. Pintu yang selalu diingkan
laki-laki untuk memasukinya. Pintu yang memberikan kenikmatan tersendiri bagi
siapapun yang memasukinya.
Si perempuan menelan ludah berat
saat ia merasakan ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya, mendorong tubuhnya
dengan tempo yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, menciptakan kenikmatan
sekaligus rasa sakit yang tidak pernah ia dapatkan dari siapapun.
“Akan saya hapus semua dosa-dosamu.
Bukankah selama ini semua pelangganmu bersetubuh denganmu menggunakan pengaman?” ucapnya tepat setelah
menjilat telinga kiri si perempuan. “Tidak-tidak, saya tidak seperti mereka.
Saya ingin memberimu hadiah, hadiah yang selalu diinginkan semua perempuan. Benih
keturunan.”
Meskipun mulut si perempuan tertutup
lakban hitam, ia mampu mencium aroma tubuh orang yang sedang bersetubuh
dengannya. Aroma minyak kayu putih. Aroma yang tidak pernah ia sukai.
Sementara si penyayat memasuki dan
mengeluarkan sesuatu di tubuhnya, perempuan ini berada di puncak penyesalannya
ketika merasakan ada cairan lengket menyembur masuk ke dalam rahimnya. Ia
menyesal telah memilih jalan pelacuran sebagai penyambung hidupnya. Seketika
itu juga bayangan orangtuanya terlukis di benaknya.
Pertengkaran antara dirinya dan
orang tuanya yang belum sempat ia selesaikan. Bagamaimana dirinya dengan tegas
ingin menyambung hidup sendiri tanpa bantuan orangtua, bagaimana dirinya dengan
lancar menyebut mereka sebagai orang tua tidak berguna, bagaimana dirinya
bersumpah tidak akan kembali menginjakkan kaki di rumah itu. Dan di hari
terakhir di rumah itu, ia pun tidak sempat pamit pada adik perempuannya yang
hanya berdiri takut di sudut rumah dengan kaki gemetar menyaksikan pertengkaran
orangtuanya dan kakak satu-satunya. Hanya satu kata yang terlintas di benaknya
saat ini; maaf.
Sembari memberikan kenikmatan, si
penyayat kembali berbisik pada si perempuan. “Kini Tuhan telah memaafkanmu.
Kembalilah padanya dengan damai.”
Dan untuk penutup, si penyayap membuka
lakban yang menutup mulut si perempuan, lalu tersenyum mengerikan. “Selamat
tinggal,” tutur orang itu berbarengan dengan
jari telunjuk dan ibu jari yang menarik lidah si perempuan keluar dari
mulutnya.
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
BalasHapusdapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q