Bagian Satu - Can I Be A Normal Person?


Langit terlihat cerah hari ini. Burung-burung Gereja berterbangan saling melindungi satu sama lain. Cuaca saat ini sangat kontradiksi dengan berita yang mengejutkan warga Kota Depok. Berita tentang kematian seorang pelacur bernama Diana.

Dilansir dari berita Kompas TV, 8 Mei 2020;

Telah ditemukan seorang tubuh perempuan tanpa busana yang diduga bernama Diana di sebuah gudang beras. Ia ditemukan tanpa nyawa. Menurut kabar yang kami tangkap, Diana bunuh diri dengan cara menyayat lehernya menggunakan cutter berwarna hitam. Hal itu diketahui karena polisi menemukan alat bukti di tangan Diana.  Lebih dari itu, polisi juga menemukan potongan lidah korban melekat dan tersumpal di kemaluan korban.

Belum jelas apa motif dari bunuh diri tersebut, tapi polisi berjanji akan menyelidikinya lebih lanjut. Saya Wati, sekian yang bisa saya kabarkan, kembali ke studio.

Di depan telivisi berukuran 64 inci, seorang perempuan mengenakan daster merah bermotif batik tengah menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Usianya masih muda. Tahun ini usianya menginjak umur 27 tahun meski wajahnya masih menunjukkan umur dua puluh tahun. Rambut hitam pendeknya terjun menyentuh pundaknya, melengkung-lengkung tersibak ea ra pelan.

Sinar pagi menyeruak masuk lewat hordeng dan ventilasi, menyinari tepian ruang makan. Memberikan sedikit cahaya di atas meja.

“Kejahatan bisa terjadi di mana saja. Kita harus hati-hati,” tutur seorang laki-laki berambut cepak tentara dengan brewok tipis di area mulutnya dan lehernya setelah mendengar berita itu. Ia keluar dari kamar menggunakan seragam kepolisian daerah Depok sembari merapihkan kerahnya.

Tanpa permisi ia menyentuh bagian belakang kepala istrinya, mengarahkan wajahnya menghadap wajahnya, mengelus pipinya lalu mengecup bibir istrinya yang tipis dengan balutan warna pink. Kecupan itu pelan namun ganas. Ia merasa jatahnya tadi malam tidaklah cukup. Ia bisa lebih ganas pagi ini jika istrinya mau.

“Mas, nanti bisa dilihat Azril,” balas istrinya memperingatkan seraya meraung, menikmati sekaligus khawatir.

“Memangnya kenapa? Toh kamu ini memang istriku,” balas si suami seraya memeluk istrinya dari belakang dan meraba perutnya dengan pelan. Jemari telunjuknya dengan lincah menarik pelan bagian bawah daster itu, menyingkapnya hingga paha putih nan mulus itu terlihat. Istrinya membalas. Ia meletakkan piring yang sempat ia pegang di meja dan tangan kirinya menjalar perut suami hingga sampailah tangan itu di depan resletingnya. Jemarinya dengan lihai membuka ikat pinggang dan resletingnya. Tangan istrinya menyentuh bulu-bulu kasar. Sang suami tidak ingin kalah, ia juga menekan paha si istri.

Sebelum mereka berdua larut dalam permainan panas, seorang remaja laki-laki berusia enam belas tahun keluar dari kamarnya mengenakan seragam sekolah abu-abu. Di seragam tersebut, tertera name-tag bertuliskan Azril Mahendra dan badge kelas X. Melihat remaja itu, suami-istri itu dengan canggung dan linglung merapihkan pakaian mereka. Azril melihat mereka dengan tatapan tidak peduli. 

Si istri langsung menuangkan susu coklat di gelas. Sedangkan Azril mengambil sepatu converse hitamnya di loker sepatu dekat pintu rumah dan memakainya. Merasa harus menjadi ibu rumah tangga yang baik, perempuan bernama Lauren itu membuka suara.

“Kamu nggak sarapan dulu, Zee?” tanya Lauren dengan hati-hati. Zee adalah nama panggilan Azril. Hanya orang-orang yang Zee anggap ada yang berhak memanggilnya seperti itu.

Zee menengok, memandang Lauren dengan tatapan dingin. Lauren tahu ia sudah mendapatkan jawaban dari tatapan itu. Setelah mengikat tali sepatunya, Zee mengambil kunci motor beatnya yang menggantung di dekat kulkas dan berkata pelan pada Lauren di depan Ayahnya, Zaki. “Nggak usah manggil gue dengan nama itu.”

Lauren merasakan aura kebencian yang tersimpan dalam ucapan Zee, aura yang hampir dua tahun ia coba padamkan. Sebelum langkah kaki Zee keluar dengan sempurna, tiba-tiba telinganya menangkap sebuah gebrakan.

Zaki bangun dari kursinya lalu berteriak, “Zee! Jaga ucapan kamu!”

Zee tidak mengindahkan teriakan ayahnya. Ia hanya menggelengkan kepala tanda tidak peduli lalu menyalakan motornya dan melaju pergi ke sekolah. Asap putih membumbung tinggi sebelu hilang ditelan udara.

Kekesalan tertinggal di hati Zaki. Selama dua tahun ini pula hubungan Zaki dan Zee tidak berjalan baik, bahkan memburuk. Semenjak kejadian ‘itu’, kejadian yang tidak pernah Zee harap terjadi dalam hidupnya, Zee sudah menyatakan perang dingin dengan ayahnya, bahkan tidak jarang ia meminta pada apa yang orang-orang sebut Tuhan  untuk mencabut nyawa ayahnya. Sebut saja ia sebagai anak durhaka, karena Zee sendiri tidak peduli dengan sebutan itu. Baginya, kematian ayahnya mungkin adalah obat dukanya.

Sembari mendengarkan lagu How  Deep Is Your Love milik Calvin Harris & Disciples, Zee menarik gas melebih batas wajar, ia tidak peduli dengan umpatan-umpatan pengendara lain. Ia seperti kerasukan setan saat ini. Pikirannya berkecamuk mengutuk buruknya hubungan antara dirinya dan ayahnya. Untuk saat ini, menjaga jarak adalah cara terbaik untuk melupakan kejadian ‘itu’. Kejadian yang memaksanya menjadi pribadi yang aneh bagi sebagian orang.

Sesampainya di SMA 13 Depok, ia memarkirkan motornya di lapangan parkir. Jam 06.55 WIB. Masih ada lima menit sebelum bel pertama berbunyi. Ia pergi ke kantin belakang sekolah, kantin yang menjadi tempat para siswa merokok, menonton porno, tidur, dan bolos. Tempat ideal alias surge yang tidak terjangkau tangan dan mata para guru.

Di sana, sudah ada Rizki dan Nathan, dua sahabatnya. Selama berseragam SMA 13 Depok, Zee hanya mempunyai dua sahabat. Bukan karena dirinya tidak ingin bersahabat dengan orang lain selain Rizki dan Nathan, ia hanya tidak ingin terlalu membagi cerita hidupnya pada semua orang. Baginya, berbagi cerita pada sembarang orang adalah bunuh diri. Semakin tertutup semakin baik.

“Woi, Zee!!” pekik Ricky, saat melihat kedatangan Zee.

“Baru sampe lo?” tanya Nathan, sambil memakan nasi uduk Mbok Ina.

Zee mengangguk tanpa menatap mereka lalu ia menarik satu kursi ea rah dan duduk di atasnya. Melihat segelas es jeruk dingin menganggur di atas meja, Zee menyambar dan meneguknya tanpa peduli dan permisi. Pandangan Nathan mengikuti tangan Zee, menyorot minumannya dengan pandangan tidak rela. ea rah boleh buat jika yang meminumnya adalah Zee. Dengan ikhlas ia akan memberikannya.

“Ketahuan nih kalo udah gini,” ucap Ricky memelas sambil menunjuk raut wajah Zee, “Pasti lagi ada masalah sama bokap? Iya, kan? Belum selesai juga masalah lo sama bokap.”

Ketimbang menjawab pertanyaan Ricky yang malah membawanya ke pembahasan yang tidak ia inginkan, Zee lebih memilih mengeluarkan satu bungkus rokok magnum dari kantongnya, menarik satu batang rokok dan membakar ujungnya setelah menjempitnya di bibirnya. Sedetik kemudian mulutnya memproduksi asap tebal. Sesekali asap itu keluar dari hidungnya.

Di sekitar mereka, ada gerombolan siswa dua belas yang juga tengah merokok dan sarapan. Sebagian dari mereka memang tidak mempermasalahkan keberadaan Ricky dan Nathan, terutama keberadaan Zee. Itu terjadi semenjak mereka tahu apa yang Zee lakukan saat MOS.

Masih membekas di benak para siswa SMA 13 Depok saat-saat MOS. Lebih tepatnya saat para murid baru berbaris di tengah lapangan mendengarkan pidato ketua OSIS yang baru, Hanggini Widyanto.

Pandangan murid dan guru teralihkan dengan kedatangan seorang siswa yang tidak mengenakan dasi dan topi. Seragam yang tidak dimasukkan. Lebih dari itu, siswa itu merokok sembari berjalan melewati barisan para murid baru yang sedang mendengar pidato. Semua orang dibuat mematung dengan tindakannya. Siswa itu bernama Azril Mahendra.

Dengan satu ucapan tegas, Hanggini menyuruh Zee berhenti. Zee menurut, mengalihkan pandangannya ke Hanggini meskipun Zee tidak mematikan rokoknya. Pandangan mereka bertemu dalam satu titik. Mereka berjarak tiga meter namun hembusan nafas keduanya seakan mendekatkan mereka.  

“Kamu! Kenapa kamu nggak pakai atribut yang kami suruh?!” Suara Hanggini terdengar tegas. Bagi murid-murid baru dan murid-murid lama, Hanggini memang terlihat tegas bak singa yang lapar. Tapi tidak dengan Zee, ia malah melemparkan senyum menantang ke Hanggini.

“Kalo orang nanya tuh dijawab!”

Zee memutar bola matanya, kembali melanjutkan langkahnya sebelum cowok-cowok OSIS menghadangnya. Bahkan salah satu dari mereka tanpa permisi menarik rokok Zee dari bibirnya, menjatuhkan rokok itu dan menginjaknya.

Anjing! Rokok gue, batin Zee mengumpat. Ia menatap cowok-cowok itu yang memiliki postur tubuh tinggi yang sama dengannya.

Salah satu dari mereka membaca name-tag Zee. “Oohhh, jadi ini yang namanya Azril.” Ia mengangguk-ngangguk memahami apa yang baru ia dapati dan mencocokkannya dengan apa yang ia pikirkan.

Cowok bernama Geri itu membalikkan badannya, menghadap puluhan murid baru dan murid kelas dua belas yang tengah bersantai di beranda kelas mereka. Hanggini tidak tahu apa yang Geri bicarakan. Dengan deheman pelan, Geri angkat suara, “Sekedar info buat kalian semua. Tahun ini sekolah kita kedantangan murid spesial. Sebelum itu, mungkin kalian pernah mendengar seorang pria bernama Yazid Mahendra?”

Zee membeku sekaligus panas saat nama itu disebut di hadapan para murid dan guru.  

“Yang belum tahu, Yazid Mahendra adalah tersangka pembunuhan sepuluh tahun lalu. Di mana Yazid dengan teganya membantai satu keluarga di daerah Cibubur. Padahal ia sudah bekerja dengan keluarga itu sebagai tukang kebun hampir 15 tahun. Bukan cuman sampai situ, Yazid juga memotong tubuh-tubuh korban dan menjadikan potongan-potongan itu santapan bagi anjing liar. Dan siswa yang berdiri di hadapan kita sekarang…” Geri menunjuk Zee dengan telunjuknya, “….tiada lain adalah cucu tunggal dari Yazid Mahendra, seorang pembunuh.”

Geri menekankan suaranya di kata pembunuh, agar semua orang sadar dengan apa yang ia ucapkan.

Apa yang Geri ucapkan adalah kebenaran dan kini Yazid harus mendekam di penjara seumur hidup. Jika kalian mengira guru akan memarahi Geri, kalian salah. Karena mereka pun menyesali keputusan kepala sekolah yang tidak lain adalah ayah Geri untuk menerima Zee sebagai murid. Bahkan hampir semua guru mempertanyakan alasan dibalik kepala sekolah menerima Zee.

Para siswa SMA 13 menganga dan menutup mulut mereka dengan tangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Gemuruh berisik terdengar dari para murid. Mereka berbisik satu sama lain sembari sesekali melemparkan pandangan pada Zee.

Hanggini pun terkejut mendengar berita itu. Namun ia mampu menahan raut wajah kagetnya dan tetap terlihat tenang. Melihat situasi mulai tidak kondusif, Hanggini membuka mulut hendak bersuara menghentikan perbuatan Geri. Bersamaan dengan itu Zee sudah terlebih dahulu mengambil tindakan. Ia berlari ea rah Geri dan menghantam rahang Geri dengan satu pukulan keras.

Geri tersungkur jatuh tanpa persiapan. Para siswa mengabadikan moment itu menggunakan ponsel mereka. Mereka tidak menyangkan bahwa hari pertama MOS mereka akan dibuka dengan perkelahian antara cucu pembunuh dan anak kepala sekolah.

Saat Geri hendak bangkit, kaki Zee sudah lebih dulu mengayun membentur pipi Geri. Muncratan darah kental keluar dari gigi Geri. Zee seakan berubah wujud menjadi setan. Tanpa belas kasihan, ia menginjak hidung Geri dengan keras dengan sepatunya. Sedetik kemudian terdengar suara retakan. Hidung Geri bengkok, bahkan ujung hidungnya hampir menyentuh pipi kirinya. Lengkikan suara Geri terbang ke udara.

“Gila! Sadis banget tuh anak!” komentar salah satu murid kelas dua belas, Rio.

Zee kembali menendang kepala Geri lebih keras. Teman-teman Geri yang tadi menghadang Zee ikut campur. Mereka mengerumuni Zee dan menyerangnya dari segala arah. Untuk beberapa saat Zee mampu menangkis pukulan mereka dan mendaratkan serangan di perut mereka, wajah mereka bahkan titit mereka. Zee tidak sepenuhnya lepas. Ia pun mendapatkan pukulan keras di bibirnya hingga mengakibatkan bibirnya sedikit robet. Kepalanya pun seperti dibenturkan ke dinding. Punggungnya di tendang dari belakang.

Zee bisa saja menghancurkan wajah Geri dan teman-temannya jika beberapa guru tidak melerai mereka. Satpam sekolah menarik kerah baju Zee dari belakang dan membantingnya ke tanah serta mengunci tangannya. Wajahnya penuh debu bercampur darah. Bersamaan dengan itu, Zee mengarahkan tatapannya ke seorang cewek yang tengah menutup mulut dengan tangannya, seakan kehilangan kata-kata untuk berkata. Zee menyimpan nama cewek itu dalam ingatannya. Hanggini Widyanto.

Perbuatan Zee menjadi perbincangan serius di antara para guru. Hampir semua guru sepakat mengusulkan agar Zee dikeluarkan dari sekolah. Yogi Heriawan, kepala sekolah SMA 13, sekaligus ayah Geri, terdiam untuk beberapa detik. Benaknya bernostalgia ke 30 tahun lalu hingga ia tersenyum tipis seakan ia baru saja mendapat ide.

“Baiklah. Saya putuskan bahwa Zee tidak akan saya keluarkan dari sekolah ini,” tegas Yogi yang mendapatkan sejuta keheranan di raut para guru. “Namun, untuk menjaga nama baik sekolah ini, Zee harus mendapatkan skors satu minggu.”

Para guru mengangguk, menerima keputusan Pak Yogi. Meski isi kepala mereka masih dipenuhi pertanyaan.

“Baik, kalian semua boleh melanjutkan kegiatan kalian,” sambung Pak Yogi kepada para guru. Para guru itu bangun dari kursinya dan keluar dari ruangan kepala sekolah.

Di ruangan penuh lukisan Jawa itu, Yogi duduk di kursinya sendirian. Rambut putihnya tidak membuatnya terlihat tua. Kerutan di sudut matanya malah membuat tatapannya semakin menusuk. Ia mengangguk-ngangguk sendirian. “Permainan kita mulai,” bisiknya pada diri sendiri.

Semenjak perbuatan gila yang dilakukan Zee, namanya meroket dan dikenal satu sekolah, bahkan para orangtua murid pun mendengar kabar itu. Termasuk Zaki. Ia baru mendapat kabar bahwa Zee diskors setelah lima hari dari keputusan itu. Ia mendobrak kamar Zee dan melihat Zee sedang duduk di ranjangnya, membaca novel The Girl On The Train karya Paula Hawkins. Keinginannya menjadi penulis thriller-mistery memang tidak bisa digoyahkan oleh siapapun. Baginya menulis adalah caranya hidup abadi meski suatu saat nanti Tuhan akan memanggilnya.

Zee akan melakukan apapun untuk membaca novel yang ia butuhkan. Seperti novel yang saat ini sedang ada di tangannya, ia mendapatkan novel itu dari seorang mahasiswi jurusan sastra di Universitas Indonesia. Ia bertemu dengan mahasiswi itu di Pondok Cina dan tidak sengaja matanya mendapati novel itu tergeletak di samping mahasiswi itu. Tanpa berpikir, Zee berkenalan dengan mahasiswi itu dan mengutarakan niatnya untuk meminjam novel itu. Bukannya dipinjamkan, mahasiswa itu malah akan memberikan novel itu dengan satu syarat.

Dengan melihat tubuh Zee yang tidak terlalu kurus dan gemuk, serta otot-otot yang ideal, mahasiswi itu meminta Zee untuk menghajar kekasihnya yang telah menyelingkuhinya. Zee mengangguk setuju. Dan esoknya, mahasiswi itu mendapat kabar bahwa kekasihnya telah masuk rumah sakit dengan leher patah serta gigi yang hancur.

Mahasiswi itu menggelengkan kepala serta menelan ludah, ia seakan telah salah meminta Zee melakukan itu. Namun nasi sudah menjadi bubur dan Zee tidak peduli dengan apa yang telah ia lakukan. Yang terpenting baginya adalah novel itu.

“Kamu udah gila?!” teriak Zaki seraya menarik novel itu dan membantingnya ke lantai.

Zee mendongak, melihat ke Zaki dan tidak menjawab pertanyaannya. Ia malah turun dari ranjang dan mengambil novel itu kembali lalu keluar. “Tunggu!” Zaki kembali berteriak. Zee membalikkan badan dan menatap Zaki.

“Bukan urusan lo,” ucap Zee yang diikuti kemarahan Zaki. Ingin rasanya ia menghajar anak tunggalnya itu. Namun keinginannya selalu saja terhalang sesuatu.

Menggenggam status cucu pembunuh menjadikan Zee cukup ditakuti, terlebih dengan apa yang dilakukannya pada Geri. Namun para siswi seakan dibuat buta dengan ketampanan Zee. Mereka tidak peduli dengan status itu. Yang terpenting bagi mereka adalah Zee tetap ada di sekolah ini dan menjadi pemandangan indah yang mereka bisa lihat setiap harinya.

Bukan rahasia umum jika Zee seringkali mendapatkan surat cinta, bunga, coklat dan ajakan untuk berkencan dari para siswi SMA 13. Mereka saling berkompetisi untuk mendapatkan cinta pentolan SMA 13. Namun Zee yang selalu dingin seperti kulkas tidak sama sekali mempedulikan itu semua. Bahkan, Natasha, primadona kelas dua belas sekaligus cewek tercantik di sekolah SMA 13 telah menunjukkan ketertarikannya pada Zee. Itu terbukti dengan tiket menonton konser Tulus yang Natasha titipkan pada Nathan pagi hari ini.

Nathan merogoh tiket itu dari tasnya dan menempelkannya di kening Zee. Zee mengambilnya lalu melihatnya. Membacanya sedetik sebelum berkata, “Nggak tertarik.”

Nathan melongo tidak percaya bahwa sahabatnya baru saja menolak ajakan cewek yang diincar cowok satu sekolah. “Nyet! Lo nolak ajakannya Natasha? Seriusan?”

“Ada apaan sih?” tanya Ricky yang baru saja datang membawa tiga gelas es jeruk.

“Ini nih, Zee nolak ajakan Natasha nonton konser Tulus,” Nathan menjelaskan dengan wajah heran dengan jalur pikiran Zee.

“Hah?” Ricky kaget, “Natasha Heriawan? Kakaknya si Geri? Putrinya Pak Yogi?”

Nathan mengangguk tegas.

“Wah! Gila! Ini sih mubazir namanya. Buang-buang rezeki,” ucap Ricky.

Yang diherankan malah diam menikmati sebatang rokok yang mulai habis. Para murid yang tengah nongkrong di kantin belakang merasa terganggu dengan teriakan seorang siswi.

Teriakan itu terdengar dari arah kamar mandi dekat lapangan parkir. Beberapa siswa kelas dua belas tidak menghiraukan suara itu karena mereka tahu alasan kenapa siswi itu berteriak meminta tolong. Bahkan pentolan SMA 13, Rio memilih diam daripada ikut campur. Mbok Ina yang ikut mendengar teriakan tersebut juga hanya diam meskipun ia geram sekali dengan tingkah laku anak jaman sekarang.

“Kayanya gue kenal sama tuh suara,” ucap Ricky seraya memasang wajah mengingat. Ricky yang memiliki kekepoan tinggi, bergegas mencari sumber suara.”Nyet, lo ikut nggak?” Nathan menepuk pundak Zee dan pertanyaannya hanya dijawab dengan gelengan kepala. Alhasil, Nathan mengikuti Ricky dari belakang sedangkan Zee memilih untuk diam tidak ikut campur.

Melihat Zee sendirian, Rio menghampirinya dan duduk di sampingnya. Zee menoleh sesaat sebelum kembali membuang muka. “Sorry, gue minta rokok, boleh?” Rio menjulurkan tangannya dan disambut oleh Zee dengan meletakkan sebatang rokok di atasnya.

Thanks.

Rio menyalakan pemantik apinya dan membakar ujung rokoknya. Sesekali ia melihat Zee yang memilih untuk membaca novelnya.

“Lo Azril kan?”

Merasa waktu bacanya terganggu, Zee menutup novelnya, menjatuhkan rokoknya dan bangkit dari kursinya. Lalu meninggalkan Rio tanpa permisi. Di belakangnya, Rio tersenyum penuh kemenangan, seakan ia sudah mendapat senjata baru guna melancarkan misinya.  

Gerombolan para siswa tengah berkumpul seakan menonton adu ayam. Bahkan kali ini bukan ayam jantan, melainkan manusia jantan melawan manusia betina. Tidak ada satu pun dari mereka yang berniat melerai. Hampir semua sibuk merekam.

Plak! Suara tamparan keras terdengar.

“Kalo lo gak suka, gak usah ikut campur urusan gue!! Lo tuh cuman ketua OSIS di sini!” bentak seorang siswa.

Langkah Zee yang tadinya hendak masuk ke kelas mendadak berhenti tanpa keinginannya saat ia mendengar siswa itu menyebut-nyebut ketua OSIS. Ia teringat seseorang jika gelar ketua OSIS itu disebut.

“Tapi yang lo lakuin itu salah,” bela Hanggini sembari mengusap-ngusap pipinya yang panas. Bahkan tamparan itu langsung meninggalkan bekas merah di sana.  

Tangan siswa itu kembali terangkat. Ia mengayunkan tangan itu sembari berkata, “Tai! Kaya lo nggak pernah aja jadi---“ 

Pandangan siswa-siswi berganti berganti ke arah yang lain. Mata mereka melihat Zee tengah menahan tangan siswa itu. Suara berisik tiba-tiba hilang ditelan bumi. Kedatangan Zee menghadirkan aura baru, aura yang berbeda.

Zee mencengkram tangan siswa itu dengan keras. Siswi-siswi sekolah itu tidak bisa melepaskan pandangan mereka dari tampang Zee saat ini. Tampang yang terlihat dingin namun berkarisma. Mereka berdecap kagum saat Zee menatap cowok di depannya dengan mata kucingnya yang tajam. Dihadapan Zee saat ini berdiri siswa kelas XII bernama Alpha, salah satu biang rusuh SMA 13 Depok.

“Lepasin gue!” perintah Alpha pada Zee sekaligus memuncratkan cairan bening di wajah Zee. Zee menghela napas, mencoba tenang. Ia melepaskan cengkramannya dan mendorong tubuh Alpha dengan bahunya. Saat Zee hendak membalikkan badan dan pergi, Alpha mencengkram bahu Zee.

“Eh cucu pembunuh! Lo mau jadi pahlawan kesiangan?” Alpha berdecak kesal melihat bagaimana Zee menjadi pusat perhatian semua orang.

Nathan dan Ricky menepuk kening mereka berbarengan. “Aduh, si tolol Alpha, kenapa dia malah ngomong gitu,” kutuk Ricky. Zee menoleh ke belakang, melihat Alpha dengan tatapan dinginnya.

Belum sempat Alpha memasang kuda-kuda atau pertahanan, Zee sudah menghantam hidungnya dengan keras. Pukulan itu menghasilkan buah. Hidung Alpha terlihat bengkok dan darah merah mengalir deras dari lubang hidungnya.

“Anjing!!” umpat Alpha tidak terima. Badannya sempoyongan dan hampir jatuh jika saja teman-temannya tidak menahannya. Perkelahian tidak bisa dihentikan, dan dengan mudah Zee membuat Alpha babak belur. Suasana kembali memanas.  

Melihat Alpha sudah tersungkur dengan darah menyelimuti wajah serta membekas di seragamnya, Zee menghentikan perbuatannya. Ia membalikkan badan dan berdiri di depan Hanggini.

Hanggini mendongak, melihat ke wajah Zee dengan sedikit ketakutan. “Bangun,” ucap Zee dingin.

“Hah?”

“Bangun!”

Hanggini mengangguk. Saat Hanggini hendak berdiri, tiba-tiba Alpha menepuk pundak Zee dari belakang. Zee membalikkan badan.  “Urusan lo belum selesai,” ucap Alpha diiringi dengan pukulan keras yang mendarat di mata kanan Zee, merobek sedikit kulit matanya. Darah mengalir dari ujung matanya. Pandangannya sedikit kabur. Pukulan Alpha menciptakan rasa perih yang sangat bagi orang yang melihat mata Zee, tapi tidak bagi Zee. Dia tidak merasakan apapun.

Dengan wajah datar, Zee berdiri menghadap Alpha. Mata kanannya memicing karena luka. Ia melangkah mendekati Alpha seraya mengepalkan jemarinya membuat tinju. Sesuatu yang selama ini ia penjara mendadak memberontak meminta keluar.

Zee tersenyum, menampilkan senyum jahat yang hanya disadari oleh Alpha. Seketika bulu kuduk Alpha bergidik ngeri. Belum pernah ia melihat senyum semengerikan itu. Ia mengambil langkah mundur beberapa langkah. Ketika Zee berniat lebih dekat, otaknya melukiskan gambar seseorang. Karena gambar itu, sesuatu yang tadinya memberontak hanya bisa diam dan menunduk selayaknya anjing galak yang bertemu dengan majikannya.

Tanpa banyak bicara, Zee pergi meninggalkan Hanggini dan para murid. Hanggini kebingungan. Belum pernah ia menemukan cowok dengan kepribadian seperti Zee. Dingin dan misterius.  

Karena pukulan Alpha tadi, Zee terpaksa mengobati lukanya di UKS. Meskipun pukulan Alpha tidak membuatnya merasa sakit, tetap saja Zee harus mengobati lukanya. Kedatangan Zee disambut dengan Hanggini yang terbaring lemas di ranjang UKS.

Zee berjalan mendekati loker meja, mengambil obat merah serta kapas putih. Dengan pelan Zee mengobati lukanya sendiri. Anehnya, saat ini ada yang lebih menganjal ketimbang lukanya.

Zee menoleh ke Hanggini. Zee menyadari bahwa ia hampir tidak pernah berbicara dengan Hanggini setelah hampir satu tahun ia bersekolah di SMA 13 Depok. Terlepas dari Zee yang pendiam dan dingin, Hanggini pun tahu bahwa dirinya tidak bisa merobohkan dinding pertahanan Zee sehingga ia mau berteman dengannya. Apalagi semenjak kejadian MOS waktu itu.

Zee duduk di sudut ruang UKS sembari menyandarkan punggungnya di dinding dan memegangi novelnya. Biasanya, ia akan tenggelam dalam kata-kata yang diutarakan oleh sang penulis. Namun kali ini berbeda, ia merasa dirinya tidak sedang ingin membaca novel itu. Ada sesuatu yang lebih menarik saat ini.

Sesuatu yang lebih menarik itu kini sedang terbaring di ranjang UKS. Zee memandang wajah Hanggini dari jauh. Wajah bulat serta bulu matanya yang lentik. Matanya menangkap sedikit luka di sudut bibir Hanggini.

“Mah…,” ucap Hanggini parau. Berulangkali Hanggini memanggil mamahnya. Zee hanya diam, tidak tahu harus apa, atau lebih tepatnya ia berusaha tidak peduli. Zee menghela nafas sebelum ia bangun dari kursinya dan berjalan mendekati Hanggini. Ia mengambil kursi lipat di sudut ruangan dan menaruhnya di samping ranjang.

Hanggini membuka matanya perlahan. Ia terkejut saat melihat Zee sudah duduk di sampingnya, menatapnya dalam. “Lo mau ngapain?” tanya Hanggini kebingungan sekaligus khawatir.

“Gue mau nolong lo,” jawab Zee datar.

“No… nolong gue? Maksudnya? Auh,” Hanggini merasakan sakit saat ia membuka mulutnya lebih besar. Ia menyentuh sudut bibirnya dengan ibu jari dan mendapati darah di sana. Sedetik kemudian ia mengalihkan pandangannya ke Zee yang masih menatapnya.

“Gue bisa sendiri,” ucap Hanggini sembari meminta obat merah dan kapas pada Zee. Zee menyerahkannya dengan senang hati, lalu menyandarkan punggungnya di badan kursi dan melipat kedua tangannya lalu menaruhnya di dada. Matanya masih memandang Hanggini.

Hanggini yang mulai kebingungan harus apa mencoba membuang pandangannya dari Zee.

“Cepatan obatin luka lo,”

Hanggini membuka obat merah, menuangkan beberapa tetes di kapas putih dan menggerakan tangannya ke arah sudut bibirnya. Beberapa kali ia memejamkan matanya, meraung sakit saat kapas itu menyentuh lukanya dan tiba-tiba ia tidak merasakan sakit itu. Matanya terbuka dan melihat Zee memegang pergelangan tangannya.

“Biar gue aja,” ucap Zee.

Seakan dihipnotis, Hanggini membiarkan Zee duduk di sampingnya dan mengobati lukanya. Beberapa kali pandangan mereka beradu dan beberapa kali juga Hanggini dibuat salah tingkah. Mungkin posisinya saat ini adalah posisi yang diinginkan semua siswi SMA 13 Depok. Namun Hanggini bisa meyakinkan mereka bahwa posisinya saat ini adalah posisi yang paling membuatnya ketakutan. Hanggini baru menyadari bahwa iris mata Zee berwarna kebiruan. Jadi ini wajah cowok dingin itu? Hanggini bertanya pada diri sendiri saat matanya bisa melihat struktur wajah Zee dengan dekat.

“Lo kenapa?” tanya Zee tiba-tiba.

Hanggini menoleh, mengernyitkan alis, “Kenapa gimana?”

“Pipi lo merah,” jawab Zee.

“Hah? Pipi gue merah? Ko bi---“

Suara pintu terbuka memutus ucapan Hanggini. Seorang dokter datang bersama kepala sekolah. Mereka berdua cukup terkejut mendapatkan Zee dan Hanggini duduk bersebalahan. Tanpa banyak bicara, dokter meminta Zee pindah agar ia bisa memerika Hanggini.

Kepala sekolah, Yogi Heriawan, mengatakan bahwa Hanggini dipersilakan pulang jika ia butuh istirahat. Dan Hanggini mengangguk berterima kasih atas perhatianya. Bersamaan dengan itu, Pak Yogi menoleh ea rah Zee yang hendak angkat kaki dari UKS karena merasa ia tidak punya urusan di sini. Namun tangan Pak Yogi menggenggam lengan Zee, menahannya untuk tidak keluar.

“Mau ke mana kamu, Zee?” tanyanya dengan nada tinggi.

“Ke kelas,” balas Zee dingin.

“Bapak mau minta tolong sama kamu.” Belum sempat Zee bertanya, Pak Yogi melanjutkan bicaranya, “Saya minta tolong kamu anter Hanggini pulang.”

“Nggak bisa. Saya banyak urusan.”

“Zee, urusan kamu belesai dengan saya!” tegas Pak Yogi.

“Terserah,” ketus Zee.  Zee melepaskan genggaman Pak Yogi. Ia membuka pintu UKS dan pergi. Pak Yogi mendengus kesal mendapati ia memiliki murid seperti Zee, namun ia harus sabar jika rencananya ingin berhasil. Di sudut lain, Hanggini hanya mendengar penolakan itu.

“Bal, si Hanggini masuk UKS!” lapor Rudi, siswa kelas XI. Muhammad Iqbaal Ibrahimi, wakil ketua OSIS SMA 13 Depok langsung bergegas pergi ke ruang UKS saat mendengar kabar tersebut. Ia berlari di lorong sekolah meskipun beberapa siswi menghadangnya untuk meminta foto. Bukan rahasia lagi jika di SMA 13 Depok memang ada dua siswa yang diincar oleh hampir semua murid siswi. Mereka berdua adalah Iqbaal dan Azril.

“Maaf, gue sedang buru-buru,” ucap Iqbaal sembari melepaskan genggaman sisiwi-siswi itu. Hingga tiba-tiba kakinya terjungkal dan menabrak cewek. Mereka berdua jatuh ke lantai dan untungnya tangan Iqbaal dengan sigap ia letakkan di belakang kepala orang tersebut sehingga kepalanya tidak terbentur. Akan panjang urusannya jika cewek itu pingsan, pikir Iqbaal.

Iqbaal buru-buru berdiri dan menjulurkan tangannya, membantu cewek itu berdiri seraya berkata, “Maaf, gue enggak seng---“ pembicaraanya terputus saat ia tahu siapa yang berada di hadapannya. Name-tagnya memperlihatkan jelas nama cewek tersebut. Putri Ayunda.

Siswi yang sering kali dijadikan korban bully oleh siswa-siswi lainnya karena badannya yang gendut, dan pendek.

“Lo gak pa-pa, Put?” tanya Iqbaal dengan nada yang terdengar khawatir.

Putri mengangguk cepat sembari membersihkan seragamnya yang kotor karena terkena permen coklat yang baru ia beli dari kantin. Usahanya sia-sia karena noda coklat itu sulit dibersihkan. Saat Putri menunduk guna membersihkan noda itu, Iqbaal membuka seragam putihnya dan memberikannya pada Putri. Dan kini siswi-siswi termasuk Putri mampu dengan jelas melihat bentuk badan Iqbaal yang ditutupi oleh kaos hitam polos. Badannya tidak terlalu berotot, namun cukup berisi, sangat ideal untuk memeluk seseorang.

“Pake aja, Put. Sorry, gue harus buru-buru,” pamit Iqbaal meninggalkan Putri bersama seragamnya. Tiba-tiba para siswi merebut seragam itu dari tangannya.

“Ini punya cowok gue!” bentaknya.

“Apa-apaan, lo! Ini tuh punya cowok gue!” timpal yang lain.

Putri hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah laku siswi-siswi tadi. Mereka seperti mendapat harta karun yang telah tersimpan jutaan tahun lamanya. Putri meninggalkan mereka bersama seragam Iqbaal meskipun kini tugasnya bertambah; memberitahu Iqbaal bahwa seragamnya menjadi bahan rebutan siswi-siswi.

Iqbaal membuka pintu UKS. Ia mendapati Hanggini tengah duduk di ranjang, bersiap untuk berdiri. Saat Hanggini mengambil langkah pertamanya, tubuhnya tidak mendukungnya. Ia goyang dan kepalanya hampir membentur ujung ranjang jika Iqbaal tidak dengan sigap menahannya.

“Lo nggak sarapan lagi?” tanya Iqbaal.

Hanggini tersenyum beberapa detik sebelum mengangguk.  

“Sekarang mending lo istirahat aja,” ucap Iqbaal lembut.

“Enggak, Bal. Gue nggak pa-pa. Lagian kita masih punya rapat hari ini,” balas Hanggini dengan suara lemas dan wajah yang tertunduk.

Iqbaal dengan tegas berkata, “Enggak. Kita batalin rapat hari ini.”

Hanggini mendongakkan kepala, menatap Iqbaal. “Bal, di sini gue ketuanya. Gue mau acara OSIS tahun ini sukses.”

“Tapi sekali gue bilang enggak, ya enggak.”

Hanggini tersenyum manis. “Lo siapa gue?”

“Gue memang wakil lo tapi sekarang gue bersikap sebagai mantan lo,” tegas Iqbaal seraya menatap mata Hanggini. Hanggini menoleh saat Iqbaal berkata seperti itu. Mata mereka beradu.

Beberapa minggu yang lalu, hampir semua murid SMA 13 Depok membicarakan gossip mengenai putusnya Hanggini dan Iqbaal. Padahal, sudah hampir dua tahun mereka menjalin hubungan. Bahkan mereka dianggap pasangan yang serasi atau goal couple. Iqbaal dengan ketampanan, kelembutan dan kepintarannya serta Hanggini dengan kecantikan, ketegasannya dan tentu kecerdasannya. Banyak yang mengira kabar itu hanya hoax semata hingga mereka mempercayai kabar itu saat Hanggini mengatakan bahwa kini ia dan Iqbaal hanyalah sebatas partner dalam OSIS. Hingga saat ini, banyak yang belum tahu alasan kenapa Iqbaal dan Hanggini memilih mengakhiri hubungan mereka.

“Gue tahu gue itu mantan lo. Tapi gue masih temen lo. Jadi gue berhak untuk ngasih tau lo mana yang baik dan buruk. Dan sekarang gue ngasih tahu lo kalo istirahat adalah apa yang lo butuhin sekarang.”

Hanggini melukiskan seuntas senyum di sudut bibirnya. Hanggini mengangguk pelan. Ia tahu Iqbaal memang keras kepala.

“Ya udah, sekarang gue anter lo pulang,” lanjut Iqbaal sambil jongkok dan meminta Hanggini untuk naik ke punggungnya.

Saat Hanggini naik, Pak Yogi membuka pintu dan memasang ekspresi kaget melihat kehadiran Iqbaal. “Iqbaal! Kamu ngapain di sini?“

“Saya… anu, Pak. Saya mau an—“

Belum selesai Iqbaal berbicara, Pak Yogi memotongnya dan berkata, “Saya butuh kamu sekarang. Ada data siswa yang harus saya periksa. Sudah, biarin Hanggini istirahat.”

“Tapi, Pak. Saya mau an---“

“Iqbaal!”

Iqbaal mengangguk dan berdiri. “Nggi, gue cabut sebentar.” Hanggini hanya tertawa melihat Iqbaal memasang wajah takut ketika Pak Yogi menyebut namanya dengan keras. Wajah gemasnya tidak pernah hilang ketika sedang salah tingkah.

Zee tengah merokok bersama siswa-siswa kelas XII lainnya sembari melanjutkan bacaan novelnya. Dua sahabatnya, Rizki dan Nathan memilih masuk kelas biologi karena ada kuis berhadiah bensin gratis hari ini. Siswa-siswa kelas XII yang sedang nongkrong bareng Zee bukanlah gerombolan Alpha. Bagi Zee, mereka ini hanya siswa-siswa yang tidak tahu caranya mengatasi kebosanan selain dengan merokok atau main kartu.

“Azril!” panggil Bram, salah satu siswa XII yang tengah bermain kartu.

“Hmm,” saut Zee.

“Gimana mata lo?”

“Baik,”

“Minta Mbok Ina ngompresin lo tuh. Daripada ngerokok. Mana sembuh tuh mata sama ngerokok,” canda Bram.

“Males gue,”

“Karena?”

“Ngedenger lo ngebacot,”

“Si kampret!” Bram melemparkan bungkus rokok sembari tertawa.

Setelah lima belas menit berkumpul, siswa-siswa kelas XII itu pergi ke kelas mereka masing-masing, meninggalkan Zee sendirian. Ini adalah situasi paling nyaman untuk Zee. Baginya, kesendirian mampu memberikan kebahagian. Tidak perlu ramai karena sering kali keramaian hanya menimbulkan kekacauan. Lebih dari itu, bagi Zee, kesendirian adalah waktu di mana ia bisa berbincang dengan Tuhan. Dari hati ke hati.

Dua rokok telah habis dan kini Zee mencari Mbok Ina. Bukan sekedar untuk membayar, tapi memberikan sedikit bantuan untuknya. Mbok Ina adalah janda yang ditinggal suaminya pergi entah ke mana. Kabarnya suaminya adalah penjual kopi hitam keliling. Mereka berdua tidak dikaruniai anak karena mbok Ina divonis mandul. Inilah alasan kenapa suami mbok Ina memilih kabur.

Tidak menemukan mbok Ina, Zee mengeluarkan dompetnya dan menaruh dua lembar seratus ribu di laci kantin.

Ketika keluar dari kantin, Zee melihat seorang siswi tengah dikerumuni tiga preman. Ia menoleh kanan-kiri guna mencari orang lain selain dirinya. Pada dasarnya, Zee memang tidak senang ikut campur, namun kali ini kakinya seakan memaksanya untuk mendekat saat matanya melihat siswi itu adalah Hanggini.

Tiga preman itu sedang memalak Hanggini. Bahkan salah satu dari mereka tidak segam menyolek dagu Hanggini. Memandang tubuhnya dengan pandangan menggoda. “Kalo kamu enggak ada duit, kamu bisa ikut abang sebentar,” goda salah satu dari mereka. Hanggini menepis tangan-tangan mereka, mencoba kabur namun tidak bisa karena tubuh mereka lebih besar.

Berkisaran dua meter dari Hanggini, benak Zee memutar kembali waktu, saat Pak Yogi memintanya untuk mengantar Hanggini pulang. Zee membuang nafas, kesal dengan dirinya sendiri tanpa sebab.

“Lo?” Hanggini memandang ke belakang punggung salah satu preman. Seketika itu juga para preman itu mengikuti pandangan Hanggini dan mendapati Zee tengah berdiri memandangi mereka.

“Anjing! Ketemu lagi kita,” ujar salah satu preman bernama Jarwo. Ia kesal sekaligus dendam pada Zee karena dirinya sempat dibuat babak belur oleh Zee beberapa minggu lalu.

“Eh, Jarwo! Lo kenal dia?” tanya preman yang lain.

“Kenal, Bang. Ini bocah yang pernah gue ceritain,” balas Jarwo.

“Ohhh ini bocah yang bikin lo mampus? Boleh juga nyalinya.”

Zee menyimak tanpa bicara. Sesekali menguap karena merasa bosan dengan pembicaraan para preman itu.

“Mumpung lo di sini, kita bayar utang dulu aja,” kata salah satu preman yang memiliki tato kampak di lehernya.

Dengan serempak, tiga preman itu menyerang Zee dengan brutal. Mereka mengayunkan pukulan dan tendangan dari berbagai arah. Merasa sedang bosan, Zee menyambut serangan mereka dengan tenang dan senang. Saat ini dirinya memang tengah butuh samsak gratis. Para penjual kaki lima tidak ada yang berani mendekat.

Zee mendadak marah tatkala melihat salah satu preman tanpa sengaja menendang perut Hanggini yang berusaha mendekat, melerai pertengkaran. Leher preman itu tidak lepas dari cengkraman Zee. Bogem mentah Zee daratkan di mulut preman itu hingga beberapa gigi dari preman itu rontok.

Kedua temannya tidak lebih baik. Mereka berdua sama-sama harus membiarkan Zee menghantam rahang mereka. Sepuluh menit kemudian ketiga preman itu tergelak dengan wajah bersimbah darah di tanah.

Hanggini meringis kesakitan memegang perutnya. Zee mendekat, menjulurkan tangannya, menawarkan bantuan. Namun siapa yang menyangkan tangan itu ditepis oleh Hanggini. Keributan di lapangan parkir itu mengundang para murid dan guru.

“Astagfirullah, Azril!!!” teriak Bu Endang, guru BK saat melihat Zee tengah berdiri di depan Hanggini dan dengan ketiga preman yang tergulai di tanah.

Bu Endang berlari mendekati Hanggini dan membantunya berdiri. “Salma!” Bu Endang memanggil Salma, teman sebangku Hanggini. Salma yang sedaritadi ikut datang saat mendengar keributan itu langsung menghampiri Bu Endang meski matanya tidak lepas dari paras tampan Zee saat berkeringat.

“Salma, tolong antarkan Hanggini pulang,” ucap Bu Endang tanpa memandang Salma.

Merasa tidak ada jawaban, Bu Endang menoleh ke Salma dan mendapatinya tengah melihat wajah Zee.

“SALMA!” teriak Bu Endang tepat di samping telinga Salma.

“Inallilahi,” Salma kaget bukan main.

“Kamu dengerin nggak? Anter Hanggini pulang,” seru Bu Endang. Salma mengangguk dan menuntun Hanggini ke motornya. Hanggini menunduk meski telinganya mendengar bu Endang memarahi Zee karena kembali berkelahi. Yang dimarahi hanya diam, seakan ucapan bu Endang adalah sesuatu yang tidak perlu didengar. Masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri.

Roda motor itu berhenti saat lampu merah menyala. Tanpa Hanggini sadari, mata Salma beberapa kali memandang Hanggini dari spion motor. Wajah pucat pasi terukir di wajah Hanggini. Matanya sayu. Ponsel Salma bergetar. Sembari menunggu lampu hijau, Salma merogoh ponselnya dan membaca satu pesan yang masuk.

Lampu hijau memberikan isyarat pada para pengendara untuk melanjutkan perjalanan. Salma menarik kembai gas motornya. Hanggini berusaha untuk tidak menutup matanya. Kedua tangannya memeluk tas yang menjadi pembatas antara tubuhnya dan tubuh Salma.

Mata Hanggini terbuka lebar saat mendapati Salma memberhentikan motornya di samping gerobak bubur ayam. Salma turun setelah mematikan mesin motor.

“Salma, ko kita ke sini?” tanya Hanggini kebingungan.

“Kita sarapan dulu ya,” jawab Salma meninggalkan Hanggini begitu saja. Salma duduk sembari ditemani air putih hangat seraya menunggu bubur ayamnya datang. Hanggini duduk di sampingnya, memilih untuk diam. Di sekitarnya, para karyawan sedang sarapan.

Uap hangat muncul dari dua mangkok bubur ayam. “Silakan, Mba,” ucap penjual bubur ayam itu sembari meletakkan dua mangkok itu.

“Makasih, Pak De.”

Salma mengambil satu sendok dan mulai memakan satu mangkok bubur ayam tanpa diaduk.

“Lo makannya banyak juga ya. Sampe dua mangkok gitu,” ucap Hanggini heran dengan temannya itu.

Bukannya jawaban yang Salma berikan, ia malah menyodorkan satu mangkuk ke Hanggini.

“Ini… buat gue?”

“Iya,” jawab Salma.

“Tapi gue---“

“Jeha…,” Salma memanggil Hanggini dengan nama kecilnya, “tadi ada yang nyuruh gue buat ngajak lo sarapan. Takut lo pingsan katanya,” sambung Salma.

“Hah? Siapa?” Hanggini bertanya serius.

“Azril,” jawab Salma lugas.

Bubur ayam merasa menjadi pengangguran saat Hanggini hanya menelantarkannya. Hanggini masih kebingungan dengan ucapan Salma barusan. Sedangkan Salma sudah  menghabiskan setengah jatahnya. Matanya melirik Hanggini yang mematung.

“Lo kenapa sih? Nggak laper?” tanya Salma heran.

“Ko Azril bisa chat lo?”

Salma mendadak tertawa saat ia mendengar pertanyaan Hanggini. Ia meneguk segelas air putih sebelum menjawab, “Gue sama Azril ini satu SMP. Dia itu adik kelas gue. Dan lo mau tau sesuatu?” Salma menepuk paha Hanggini, merubah mimik wajahnya cukup serius, “Dulu, Azril tuh baik dan pinteeeerrrr banget. Lo bayangin aja, nama dia selalu ada di peringkat pertama di setiap ujian.”

“Ko bisa?” Hanggini menyambut pembicaraan ini dengan serius juga, serasa ada yang menariknya ke meja bundar.

“Ya gimana nggak. Pacarannya aja sama buku dan novel terus,” jawab Salma.

“Dia pacarannya sama buku?” Hanggini mencoba menghilangkan ragunya. “Jadi dia nggak pernah punya pacar beneran?”

Salma mengernyit. Matanya memicing, menebak-nebak apa maksud di balik pertanyaan Hanggini. “Kalo itu gue nggak tau. Gue cuman nggak pernah lihat dia jalan sama cewek aja.”

“Ko bisa?”

“Ko bisa apaan sih, Jehaaaaaa. Kenapa? Lo suka sama Azril?” Salma mendadak menembak Hanggini dengan pertanyaan serius.

“Hah?! Ngaco lo. Gue sama dia? Aduh nggak deh. Apa yang diharepin dari cowok yang kerjaannya cuman berantem doang.”

Salma menghela nafas. Ia mendekat ke Hanggini dan berbisik, “Awas jatuh cinta sama Azril.”

Hanggini mendorong wajah Salma menjauh dan berkata, “Never!!!

Motor Hanggini kembali bergabung dengan kendaraan lain. Sementara Salma fokus menghadap depan, fikiran Hanggini seakan hilang entah ke mana. Mendapatkan informasi bahwa Azril adalah murid berprestasi di SMP memunculkan pertanyaan di benaknya. Bagaimana bisa seorang murid berprestasi tiba-tiba berubah drastis menjadi murid yang selalu menjadi buronan para guru?

Sesampainya di gerbang rumah Hanggini, Salma langsung pamit kembali ke sekolah menggunakan ojek online meskipun matanya sempat melihat kerumunan polisi berdiri di depan rumah Hanggini. Sebelum naik ojek, Salma berkata pada Hanggini, “Jeha, kalo lo ada apa-apa, kabarin gue, ya.”

Hanggini yang juga heran dengan kemunculan para polisi mengangguk dan tersenyum pada Salma. Setelah berpisah, Hanggini melangkah masuk gerbang dan mendapati ayahnya tengah berbicara dengan dua polisi di depan pintu utama. Salah satu polisi itu mencatat sesuatu tatkala ayahnya menjawab pertanyaan-pertanyaan polisi lain.

“Yah?” Hanggini memanggil Ayahnya. Ayahnya menengok dengan ekspresi yang sulit Hanggini pahami dan menyuruhnya untuk masuk. Langkah kaki Hanggini terangkat masuk ke dalam rumah. Matanya membelalak saat melihat ibunya duduk di kursi ruang tamu dengan kedua tangan menutupi wajahnya.

Isak tangis terdengar tanpa henti dari ibunya. Hanggini buru-buru menjatuhkan tasnya dan menghampiri ibunya, memeluknya dari samping lalu mengusap-ngusap rambut ibunya. “Mah, Mamah kenapa, Mah?”

Ibu Hanggini membalas pelukan Hanggini dan membenamkan wajahnya di bahu Hanggini. Ia merasa tidak punya kekuatan untuk berbicara. Setiapkali ia membuka mulutnya, air matanya semakin menjadi.

Hanggini mengeratkan pelukannya, memberitahu pada ibunya bahwa dia ada di sini. “Kenapa, Mah? Cerita sama Jeha,” ujar Hanggini sembari mengusap-ngusap punggung ibunya. 

Usapan dan pelukan hangat yang Hanggini berikan mengisi sedikit kekuatan ibunya. Dengan mata terpejam, ibunya berkata, “Kakakmu, Jeha. Kakakmu….”

Zee sedang membersihkan toilet perempuan saat gerombolan siswi kelas XI datang dan berteriak terkejut melihat Zee mengenakan kaos hitam pollo dan celana abu-abunya. Mereka berbisik satu sama lain, melemparkan pujian karena beruntung melihat tubuh Zee yang tinggi dan cukup berisi.

Tidak tahan dengan teriakan itu, Zee menegakkan badannya dan berkata, “Berisik tahu nggak?”

Para siswi itu mengangguk sembari tersenyum. Mereka tidak bergerak. Mereka bersedia berdiri di depan pintu toilet berjam-jam hanya untuk melihat Zee. Zee yang menyadari bahwa mereka belum pergi kembali menengok mereka, “Kalian mau gue siram pakai air pel?”

Jawaban yang tidak diduga keluar dari mulut mereka, “MAUUU!!!”

Burrr! Seketika seragam para siswi itu basah. Zee benar-benar menyiram mereka dengan air pel. Sedetik kemudian mereka keluar dari toilet sembari berteriak kencang dan menangis. Rizki dan Nathan yang sedang berjalan di lorong kelas terkejut melihat gerombolan para siswi berlarian keluar toilet dengan seragam basah. Seragam basah itu dengan jelas membuat pakaian dalam mereka terlihat meski masih samar.

“Wah! Jackpot nih!” seru Ricky tertawa sembari merogoh ponselnya dan merekam.

“Bangke, otak mesum dasar!” balas Nathan seraya menepuk pundak Ricky.

“Kaya lo nggak aja,”

“Gue mah kenal tempat dan waktu,”

“Takut dimarahin ibu negara ya?” ejek Ricky sambil mengangkat alis dan mencolek dagu Nathan. “Hah? Takut nggak dikasih jatah, ya? Hahaha.” Nathan menjauh sambil berusaha menjitak kepala Ricky.

“Jatah apa?”

Ricky dan Nathan seketika mematung saat mendengar seseorang bertanya dan berdiri di depan mereka.

“Hi, Sayang,” sapa Nathan malu-malu takut. Ia bahkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Salma berdiri di depan mereka dengan berkacak pinggang. “Kalian lagi ngomongin apa?”

“Nggak ngomongin apa-apa. Jatah anu… jatah… jatah traktiran maksudnya,” jawab Nathan terbata-bata.

Mata Salma menatap Ricky dan Nathan bergantian. Serasa tidak percaya, Salma memasang wajah kesal. Kedua ujung alisnya bertemu, bibirnya maju dan pandangannya tajam. “Beneran?”

“Beneran, kok,” jawab Nathan sembari menginjak kaki Ricky agar mau diajak kerjasama. Ricky dengan gesit mengangguk. Tidak ingin umurnya berkurang di tangan Salma. “Lo juga boleh ikut ko, Sal,” ucap Ricky dengan cengiran palsu.

Salma mulai melenturkan uratnya. Ia menggelengkan kepala dan menoleh ke berbagai arah. Nathan yang heran dengan pacarnya bertanya, “Kamu kenapa? Kaya lagi nyari sesuatu gitu,”

“Iya, aku lagi nyari Azril,” jawab Salma masih mengedarkan pandangannya.

“Ko yang dicari Azril? Bukan aku?” Nathan sewot sendiri.

“Aku lagi ada urusan sama Azril. Kamu lihat nggak?”

“Nggak,” jawab Nathan ketus.

Salma yang menyadari ketusan Nathan, menipiskan jarak di antara keduanya. Kini pandangan mereka bertemu. Salma tersenyum manis, senyuman yang membuat Nathan jatuh cinta padanya. “Nathan…. Kamu lihat Azril nggak?” Salma bertanya sembari mengedip-ngedipka  matanya.

“Oke! Aku nyerah,” jawab Nathan pasrah. Ia tidak kuat jika harus beradu mata dengan pacarnya. “Zee lagi bersihin toilet perempuan,” lanjut Nathan.

Menyadari ada sesuatu yang janggal. Nathan dan Ricky kompak berkata, “Jadi cewek-cewek yang tadi itu….”

Badannya terasa pegal selepas membersihkan toilet perempuan. Untungnya Zee mengunci pintu masuk toilet dari dalam sehingga tidak ada satu siswi yang mengganggunya. Kalo tidak, bisa-bisa kerjaannya tidak pernah selesai.

Kini wajahnya penuh keringat. “Dasar manusia, hidup cuman buat ngeluarin tai,” maki Zee. Gedoran pintu terdengar dari luar. Beberapa orang memanggil namanya. Tanpa melihat, Zee sudah tahu bahwa itu Nathan dan Ricky.

Ia membuka pintu toilet. Di luar ia melihat Nathan, Ricky dan Salma. Salma menelan ludah saat ia melihat tubuh Zee yang terbilang indah. Matanya tidak bisa berkedip hingga pandangannya mendadak gelap karena Nathan menutupi matanya dengan tangannya. “Bukan muhrim, jangan pakai nafsu,” ucap Nathan.

“Ihh! Apaan sih, Yang?!”

Zee menggelengkan kepala melihat bagaimana Nathan dan Salma adu mulut. Sampai detik ini pun ia masih heran kenapa Salma mau menerima Nathan sebagai pacarnya. Meskipun terbilang ganteng, Nathan juga salah satu tukang rusuh di SMA 13 Depok, berbanding terbalik dengan Salma yang adem ayem meski sedikit pecicilan.

“Kamu tuh yang apaan. Lihat Zee kaya lihat mutiara,” Nathan membalas kesal.

“Bisa nggak sih lo berdua nggak usah berantem dulu? Pusing gue dengernya!” seru Ricky tidak tahan. Mendadak Salma melemparkan pandangan ke arahnya. Serasa ditusuk, Ricky meralat ucapannya, “Bisa nggak sih lo, Ricky, nggak ikut campur?!” ucapnya menunjuk diri sendiri.

“Kalian mau ngapain?” tanya Zee sembari keluar dari toilet perempuan dan duduk di beranda kelas. Pandangannya menyelidik ke berbagai arah hingga ia memanggil seorang siswa kelas XI, Joko. Siswa berkacamata bulat itu datang dengan sedikit menunduk, takut dirinya menjadi samsak Zee.

“Nggak usah ketakutan gitu. Gue cuman minta tolong beliin es teh manis mbok Ina,” minta Zee sembari mengeluarkan uang sepuluh ribu dari sakunya. Joko mengangguk cepat dan pergi.

“Si Salma nyariin lo tuh,” Nathan berkata sembari duduk di samping Zee dan melihat heran Ricky yang tengah duduk di samping cewek-cewek kelas X, berusaha bersosial dengan mereka, atau lebih tepatnya berusaha pedekate dengan mereka.

“Kenapa, Sal?” tanya Zee.

“Lo lihat Hanggini hari ini?”

Ketika nama Hanggini disebut, Zee seakan tersadar akan sesuatu. Benar juga, ia belum melihat cewek itu semenjak tadi pagi. Bahkan ia tidak melihatnya di kantin bersama Salma dan yang lainnya.

Zee menggeleng, “Nggak.”

“Itu dia. Gue baru dapet kabar kalo….” Salma ragu-ragu ingin menyampaikan berita ini. Nathan yang sudah tahu perihal kabar itu hanya diam. “Kakaknya Hanggini meninggal,” lanjut Salma.

Kakaknya Hanggini meninggal? Zee berusaha tetap tenang. “Terus?”

“Gue, Ricky dan Salma ada rencana ke rumah Hanggini hari ini. Lo mau ikut?”

Joko kembali membawakan es teh pesananan Zee dan memberikannya sembari menunduk. “Nggak usah nunduk gitu, gue nggak gigit,” ucap Zee pada Joko. Joko menegakkan tubuhnya dan mengangguk paham. Lalu ia mengeluarkan beberapa lembar kembalian dari sakunya dan memberikannya pada Zee.

Zee menolak dan berkata, “Ambil aja kembaliannya buat lo.”

Joko mengangguk-ngangguk berterima kasih lalu pergi. Nathan dan Salma tanpa sadar tersenyum melihat perlakuan Zee.

“Jadi gimana?” Nathan kembali bertanya.

Nathan sudah duduk di motor ninja hitamnya di depan gerbang. Salma memberitahunya lewat WA bahwa ia akan telat beberapa menit karena ada piket kelas. Sembari menunggu, Nathan ditemani Ricky yang tengah asik mendengarkan lagu-lagu Kodaline, band favoritnya. Sedangkan Zee tengah duduk di kursi dekat pos satpam sambil merokok dan membaca novel.

Satpam yang tadinya hendak menegur Zee karena ia merokok di lingkungan sekolah mendadak menurut saat Zee berkata, “Saya nggak merokok di sekolah, Pak. Saya merokok di luar sekolah.” Dengan mudahnya satpam itu menurut.

Para siswa SMA 13 Depok tampak ragu-ragu melewati gerbang sekolah. Mereka khawatir dengan gerombolan tukang rusuh itu. Ditambah lagi, ada kabar-kabar bahwa gerombolan tukang rusuh kelas XII, Rio dan teman-temannya sudah akrab dengan Zee, Ricky dan Nathan.

“Nyet, lihat tuh,” Nathan menepuk bahu Ricky dan menunjuk ke arah pos satpam dengan dagunya. Ricky menengok dan melihat Natasha tengah duduk di samping Zee. “Nggak ada capeknya tuh cewek ngejer-ngejer Zee,” ujar Ricky.

“Lagian gue sendiri bingung sama Zee. Tuh anak kenapa nggak nyantol sama Natasha, ya? Padahal Natasha itu udah cantik, baik, bodynya bagus,” Tanpa sengaja Nathan berkomentar mengenai Natasha.

“Kamu mau sama dia?”

“Mau lah!” jawab Nathan tegas tanpa berpikir. Hingga ia menyadari bahwa pertanyaan itu muncul dari suara yang ia kenal. Kepalanya bergerak ke samping dan mendapati Salma menekuk wajahnya kesal.

“Ya udah. Gih pacaran sama Natasha!” seru Salma cemburu.

Ricky menggelengkan kepala, dibuat heran oleh dua insan beda watak ini. “Cinta bukan cuman bikin buta, tapi cinta bisa bikin gila,” ujarnya.

“Yang, tadi tuh cuman bercanda. Buat apa sempurna kalo nggak bisa bikin nyaman? Iya nggak?” Nathan mencoba membujuk Salma.

“Nyaman… nyaman, emang kasur,” Ricky malah mencoba memperkeruh suasana.

Nathan melirik ke arah Ricky dengan lirikan dendam yang malah dibalas Ricky dengan tawa. Salma menghampiri Nathan dan tersenyum, “Kamu emang paling bisa buat aku luluh,” ujar Salma tersenyum. Merasa kedamaian sudah di depan mata, Nathan membalas senyuman itu dengan tangan membentang, mencoba untuk memeluk Salma. Namun Salma malah memberinya satu cubitan keras di perut Nathan.

“Aduh, Sal. Sakit,” kata Nathan meringis.

“Bodo!” Salma membalas dan berjalan menghampiri Ricky. “Ayo, Ky. Buruan. Nanti kesorean,” seru Salma sembari menepuk pundak Ricky. Ricky menoleh Nathan dan Salma bergantian. Ia merasa dirinya berada di tengah-tengah supporter Persib dan Persija.

“Ricky,” panggil Salma dengan nada menekan agar ia sadar. Sementara itu, Nathan memandanginya tajam, pandangan ingin menghajar.

“Tapi, Sal,”

“Urusan Nathan biar gue yang ngurus. Cepetan!”

Ricky menyalakan motornya. Salma duduk di belakangnya. Nathan yang sudah kalah hanya bisa pasrah. Sebelum melaju pergi, Nathan dan Ricky mengangkat tangan ea rah Zee dan pamit. Zee membalas dengan anggukan.

“Kamu nggak ke rumah Hanggini?” tanya Natasha dengan nada lembut, mencoba menggoda. Bahkan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Zee sembari sesekali menyelipkan rambutnya di belakang telinganya, membiarkan Zee mencium parfum baru yang ia beli di pusat pembelanjaan di daerah senayan.

Bukannya tergoda, Zee malah merasa terganggu. Kalo bukan karena ban motornya yang tiba-tiba bocor dan kini sedang ditambal di dekat sekolah, Zee tidak akan mau berlama-lama di tempat ini. Apalagi ditemani Natasha.

“Iya juga, sih. Lagian nggak penting banget buat ngurusin tuh cewek. Biarin aja kakaknya mati. Mungkin itu hukuman dari Tuhan agar kakaknya nggak sering jual kemaluan,” kata Natasha sarkastik.

Zee belum mengerti maksud dari ucapan Natasha. Ia kembali merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu bungkus rokok. Tinggal enam batang. Zee menarik satu batang, menjempitnya di antara jari telunjuk dan jari tengah, menempelkannya di bibirnya lalu menyalakan pemantik.

Beberapa detik kemudian asap keluar dari mulut dan hidungnya. “Zee, kita bisa nongkrong di daerah Kemang kalo kamu mau,” goda Natasha. Zee menengok ke arahnya dan melihat riasan yang terlukis di wajah Natasha. Bibir tipis merah serta alis yang sedikit tebal itu memang menjadi godaan sendiri bagi kaum Adam. “Gimana? Kamu bisa?” tanya Natasha.

Tukang tambal ban tiba-tiba menghampiri Zee dan berkata bahwa semuanya sudah beres. Zee mengangguk dan bangun dari kursinya. Ia memberikan sisa rokoknya pada satpam sekolah dan pergi berjalan sebelum tangannya dicengkram Natasha. Ia membalikkan badan dan menatap Natasha, menunduk, menyetarakan wajahnya pada wajah Natasha.

Badan Natasha mendadak panas tidak karuan saat Zee mendekatkan mulutnya di telinganya lalu berbisik, “Gue nggak suka nongkrong. Gue sukanya duduk.”

Selepas itu Zee pergi meninggalkan Natahsa yang dibuat mematung. Baru kali ini ia bisa menghirup wangi Zee dari dekat.

Salma, Nathan dan Ricky sudah berada di dekat rumah Hanggini. Hanggini mengirim pesan pada Salma bahwa ia tidak bisa bertemu di rumahnya karena terlalu banyak polisi yang tengah bertugas menyelidiki lebih lanjut kematian kakaknya. Namun Hanggini juga berkata padanya bahwa kita bisa bertemu di taman dekat rumahnya. Salma setuju.

Ditemani suara air mancur, Hanggini duduk di kursi taman sembari menunduk menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Salma yang duduk di sampingnya memeluknya, mencoba memberinya ketenangan. Sedangkan Nathan dan Ricky hanya bisa melihat mereka berdua dalam diam.

“Jeha, lo yang kuat, ya,” ucap Salma sembari mengusap-ngusap rambut Hanggini.

“Gue bahkan belum ketemu lagi sama dia, Sal,” balas Hanggini dalam tangis.

“Kakak lo orang baik, Ha. Gue percaya dia udah bahagia di sana,” Salma kembali menguatkan.

Sembari memeluk Hanggini, Salma memberikan kode ke Ricky untuk melancarkan aksinya. Ricky pun menangkap kode itu. Sempat dilanda keraguan, ia pun duduk di samping Nathan. Nathan yang tidak tahu apa-apa melonjak kaget saat Ricky memeluknya dan berkata, “Lo yang sabar, ya, Nath. Gue tau lo banyak dosa tapi gue nggak nyangka kalo lo bakal ketemu malaikat maut secepat ini.” Ricky mengusap-ngusap kepala Nathan sembari sesekali menjambaknya dari belakang dan berpura-pura menangis.

“Kambing lo, Ky! Apaan sih!” Nathan mencoba melepaskan diri dari pelukan Ricky namun gagal. Ricky memeluknya erat meski perutnya mual. Kalo bukan karena takut sama Salma, gue mana mau kaya gini, gerutu Ricky dalam hati.

“Gue tau lo udah booking kuburan, Nath,” Ricky semakin menjadi-jadi. Ia berakting layaknya Jefri Nichol.

Salma yang mengetahui gilirannya tiba langsung membentak Ricky dan Nathan, “Kalian homo?! Nathan! Jadi selama ini kamu sama Ricky….”

Nathan menampakkan wajah kesal karena menyadari ini adalah kerjaan Ricky dan Salma. “Nggak, Yang. Lo ngapa sih, Ky?! Geli gue!”

Ricky sedikit melonggarkan pelukannya, menyentuh kedua pipi Nathan dan berkata, “Aku siap mati demi kamu, Yang,”

“Aku nggak nyangka, ya,” ujar Salma dengan raut wajah pura-pura sedih.

Hanggini tahu ini hanya sebatas kerjaan Salma agar dirinya merasa terhibur. Sebilah senyum tercoret di wajahnya. Ia beruntung masih ada orang-orang yang menyayanginya. Meskipun dirinya masih tidak terima atas kepergian kakaknya, Diana, ia pun menyadari ia harus kuat menjalani ini semua.

“Udah-udah, misi berhasil,” ucap Salma pada Ricky sembari tertawa. Ricky buru-buru melepas pelukannya dari Nathan. Ia bangun dan berlari ke air mancur dan membasuh wajahnya. “Ya Allah, ampunilah dosa hamba barusan,” kata Ricky menghayati.

Melihat kelakuan temannya itu, Nathan, Salma dan Hanggini tertawa. Langit mulai diselimuti mega merah. Burung-burung mulai berterbangan dan hinggap dari satu ranting ke ranting yang lain. Merasa sudah cukup tenang, Hanggini angkat suara, “Ko gue nggak lihat temen lo?” tanya Hanggini pada Nathan.

Nathan menunjuk ke Ricky yang tengah merokok sembari melihat air mancur. “Itu temen gue,” jawabnya.

“Yang satu lagi maksud gue,” jelas Hanggini.

“Ohhh, maksud lo Azril?” tanya Salma memperjelas. Hanggini mengangguk pelan tanpa berani menatap mata Salma. “Kenapa nih? Ko tiba-tiba nanya Azril?” Salma tersenyum sembari memandang Hanggini dengan tatapan menyelidik.

“Nggak apa-apa, gue cuman nan---“

“Jeha,” panggil seseorang dari arah belakang. Secara kompak Nathan, Salma dan Hanggini menoleh ke suara tersebut dan melihat Iqbaal tengah berdiri mengenakan sweater hitam, celana hitam dan sepatu vans abu-abunya. Aroma parfum axe berhamburan saat Iqbaal mendekat dan duduk di samping Hanggini.

Kedatangan Iqbaal membuat Salma otomatis berdiri dan duduk di samping pacarnya, Nathan. Iqbaal denga lembut berkata, “Ha, gue turut berduka, ya.” Perkataan itu diselaraskan dengan Iqbaal meletakkan telapak tangannya di atas punggung tangan Hanggini.

“Bal, gue---“

Tanpa menunggu ucapan Hanggini, Iqbaal memeluknya dan meletakkan kepalanya di bahunya. “Gue ada di sini buat lo, Ha. Gue janji nggak akan ke mana-mana.” Perasaan Hanggini semakin dibuat tenang saat telinganya menangkap perkataan Iqbaal barusan. Serasa diberi kehangatan, Hanggini membalas pelukan Iqbaal.

Nathan dan Salma dibuat terpukau dengan perilaku Iqbaal terhadap Hanggini. Tidak salah memang mereka disebut sebagai goal couples. Nathan dan Salma baru mengetahui bahwa Iqbaal sangat pintar memahami perasaan seseorang, terutama Hanggini.

Kini Iqbaal menyentuh pipi Hanggini dengan lembut, dan berkata, “Lo udah makan?”

“Nggak laper,” jawab Hanggini.

“Lo harus makan, Ha. Gue nggak mau lo sakit,” Iqbaal membalas penuh perhatian.

Tiba-tiba Nathan menggeliat begitu saja mendapati Salma mencubit pinggangnya tanpa dosa. Dengan pelan namun tajam, Salma berkata, “Kamu nggak pernah nanyain aku kaya gitu.” Mata Nathan terbuka lebar mendengar ucapan Salma barusan yang ia anggap sebagai sindiran berlapis peringatan.

“Gue nggak laper, Baal. Gue-----“

“Loh? Ko lo ada di sini, nyet?” Ricky mendadak berkata karena melihat kedatangan Zee. Bahkan Zee menenteng satu kantong plastic berisikan lima bungkus nasi goreng. Kini semua mata tertuju pada Zee, termasuk Hanggini.

Hanggini melihat Zee berdiri dan sempat melihatnya sebelum pandangan itu mengarah ke Nathan. Zee menghampiri Nathan dan memberikan satu kantong plastic itu. “Nih, pesesan lo,” kata Zee dingin. Nathan yang merasa tidak memesan apapun hendak menyangkal sebelum ia melihat mata Zee yang memandangnya tajam.

“Ohh, iya, iya. Akhirnya pesenan gue dateng juga,” jawab Nathan sedikit kikuk.

“Azril, gue….” Hanggini hendak mengatakan sesuatu pada Zee sebelum orang itu membalikkan badan dan pergi begitu saja ke motornya lalu hilang ditelan kejauhan. Aneh, kenapa ada sesuatu yang sakit saat melihatnya pergi begitu saja? Hanggini bertanya pada dirinya sendiri. Apa mungkin Zee marah padanya soal insiden di lapangan parkir itu?

Komentar

Postingan Populer