Bagian Satu - Can I Be A Normal Person?
Dilansir dari berita Kompas TV, 8
Mei 2020;
Telah ditemukan
seorang tubuh perempuan tanpa busana yang diduga bernama Diana di sebuah gudang
beras. Ia ditemukan tanpa nyawa. Menurut kabar yang kami tangkap, Diana bunuh
diri dengan cara menyayat lehernya menggunakan cutter berwarna hitam. Hal itu
diketahui karena polisi menemukan alat bukti di tangan Diana. Lebih dari itu, polisi juga menemukan potongan
lidah korban melekat dan tersumpal di kemaluan korban.
Belum jelas apa
motif dari bunuh diri tersebut, tapi polisi berjanji akan menyelidikinya lebih
lanjut. Saya Wati, sekian yang bisa saya kabarkan, kembali ke studio.
Di depan telivisi berukuran 64 inci,
seorang perempuan mengenakan daster merah bermotif batik tengah menyiapkan sarapan
untuk keluarganya. Usianya masih muda. Tahun ini usianya menginjak umur 27
tahun meski wajahnya masih menunjukkan umur dua puluh tahun. Rambut hitam pendeknya
terjun menyentuh pundaknya, melengkung-lengkung tersibak ea ra pelan.
Sinar pagi menyeruak masuk lewat
hordeng dan ventilasi, menyinari tepian ruang makan. Memberikan sedikit cahaya
di atas meja.
“Kejahatan bisa terjadi di mana saja.
Kita harus hati-hati,” tutur seorang laki-laki berambut cepak tentara dengan
brewok tipis di area mulutnya dan lehernya setelah mendengar berita itu. Ia
keluar dari kamar menggunakan seragam kepolisian daerah Depok sembari
merapihkan kerahnya.
Tanpa permisi ia menyentuh bagian
belakang kepala istrinya, mengarahkan wajahnya menghadap wajahnya, mengelus
pipinya lalu mengecup bibir istrinya yang tipis dengan balutan warna pink.
Kecupan itu pelan namun ganas. Ia merasa jatahnya tadi malam tidaklah cukup. Ia
bisa lebih ganas pagi ini jika istrinya mau.
“Mas, nanti bisa dilihat Azril,”
balas istrinya memperingatkan seraya meraung, menikmati sekaligus khawatir.
“Memangnya kenapa? Toh kamu ini
memang istriku,” balas si suami seraya memeluk istrinya dari belakang dan
meraba perutnya dengan pelan. Jemari telunjuknya dengan lincah menarik pelan
bagian bawah daster itu, menyingkapnya hingga paha putih nan mulus itu
terlihat. Istrinya membalas. Ia meletakkan piring yang sempat ia pegang di meja
dan tangan kirinya menjalar perut suami hingga sampailah tangan itu di depan
resletingnya. Jemarinya dengan lihai membuka ikat pinggang dan resletingnya.
Tangan istrinya menyentuh bulu-bulu kasar. Sang suami tidak ingin kalah, ia
juga menekan paha si istri.
Sebelum mereka berdua larut dalam
permainan panas, seorang remaja laki-laki berusia enam belas tahun keluar dari
kamarnya mengenakan seragam sekolah abu-abu. Di seragam tersebut, tertera name-tag
bertuliskan Azril Mahendra dan badge kelas X. Melihat remaja itu, suami-istri
itu dengan canggung dan linglung merapihkan pakaian mereka. Azril melihat
mereka dengan tatapan tidak peduli.
Si istri langsung menuangkan susu
coklat di gelas. Sedangkan Azril mengambil sepatu converse hitamnya di
loker sepatu dekat pintu rumah dan memakainya. Merasa harus menjadi ibu rumah
tangga yang baik, perempuan bernama Lauren itu membuka suara.
“Kamu nggak sarapan dulu, Zee?”
tanya Lauren dengan hati-hati. Zee adalah nama panggilan Azril. Hanya
orang-orang yang Zee anggap ada yang berhak memanggilnya seperti itu.
Zee menengok, memandang Lauren
dengan tatapan dingin. Lauren tahu ia sudah mendapatkan jawaban dari tatapan
itu. Setelah mengikat tali sepatunya, Zee mengambil kunci motor beatnya yang
menggantung di dekat kulkas dan berkata pelan pada Lauren di depan Ayahnya,
Zaki. “Nggak usah manggil gue dengan nama itu.”
Lauren merasakan aura kebencian yang
tersimpan dalam ucapan Zee, aura yang hampir dua tahun ia coba padamkan. Sebelum
langkah kaki Zee keluar dengan sempurna, tiba-tiba telinganya menangkap sebuah
gebrakan.
Zaki bangun dari kursinya lalu
berteriak, “Zee! Jaga ucapan kamu!”
Zee tidak mengindahkan teriakan
ayahnya. Ia hanya menggelengkan kepala tanda tidak peduli lalu menyalakan
motornya dan melaju pergi ke sekolah. Asap putih membumbung tinggi sebelu
hilang ditelan udara.
Kekesalan tertinggal di hati Zaki.
Selama dua tahun ini pula hubungan Zaki dan Zee tidak berjalan baik, bahkan
memburuk. Semenjak kejadian ‘itu’, kejadian yang tidak pernah Zee harap terjadi
dalam hidupnya, Zee sudah menyatakan perang dingin dengan ayahnya, bahkan tidak
jarang ia meminta pada apa yang orang-orang sebut Tuhan untuk mencabut nyawa ayahnya. Sebut saja ia
sebagai anak durhaka, karena Zee sendiri tidak peduli dengan sebutan itu.
Baginya, kematian ayahnya mungkin adalah obat dukanya.
Sembari mendengarkan lagu How Deep Is Your Love milik Calvin Harris
& Disciples, Zee menarik gas melebih batas wajar, ia tidak peduli
dengan umpatan-umpatan pengendara lain. Ia seperti kerasukan setan saat ini.
Pikirannya berkecamuk mengutuk buruknya hubungan antara dirinya dan ayahnya. Untuk
saat ini, menjaga jarak adalah cara terbaik untuk melupakan kejadian ‘itu’.
Kejadian yang memaksanya menjadi pribadi yang aneh bagi sebagian orang.
Sesampainya di SMA 13 Depok, ia
memarkirkan motornya di lapangan parkir. Jam 06.55 WIB. Masih ada lima menit
sebelum bel pertama berbunyi. Ia pergi ke kantin belakang sekolah, kantin yang
menjadi tempat para siswa merokok, menonton porno, tidur, dan bolos. Tempat
ideal alias surge yang tidak terjangkau tangan dan mata para guru.
Di sana, sudah ada Rizki dan Nathan,
dua sahabatnya. Selama berseragam SMA 13 Depok, Zee hanya mempunyai dua sahabat.
Bukan karena dirinya tidak ingin bersahabat dengan orang lain selain Rizki dan
Nathan, ia hanya tidak ingin terlalu membagi cerita hidupnya pada semua orang.
Baginya, berbagi cerita pada sembarang orang adalah bunuh diri. Semakin
tertutup semakin baik.
“Woi, Zee!!” pekik Ricky, saat
melihat kedatangan Zee.
“Baru sampe lo?” tanya Nathan,
sambil memakan nasi uduk Mbok Ina.
Zee mengangguk tanpa menatap mereka
lalu ia menarik satu kursi ea rah dan duduk di atasnya. Melihat segelas es
jeruk dingin menganggur di atas meja, Zee menyambar dan meneguknya tanpa peduli
dan permisi. Pandangan Nathan mengikuti tangan Zee, menyorot minumannya dengan
pandangan tidak rela. ea rah boleh buat jika yang meminumnya adalah Zee. Dengan
ikhlas ia akan memberikannya.
“Ketahuan nih kalo udah gini,” ucap Ricky
memelas sambil menunjuk raut wajah Zee, “Pasti lagi ada masalah sama bokap?
Iya, kan? Belum selesai juga masalah lo sama bokap.”
Ketimbang menjawab pertanyaan Ricky
yang malah membawanya ke pembahasan yang tidak ia inginkan, Zee lebih memilih
mengeluarkan satu bungkus rokok magnum dari kantongnya, menarik satu
batang rokok dan membakar ujungnya setelah menjempitnya di bibirnya. Sedetik kemudian
mulutnya memproduksi asap tebal. Sesekali asap itu keluar dari hidungnya.
Di sekitar mereka, ada gerombolan
siswa dua belas yang juga tengah merokok dan sarapan. Sebagian dari mereka
memang tidak mempermasalahkan keberadaan Ricky dan Nathan, terutama keberadaan
Zee. Itu terjadi semenjak mereka tahu apa yang Zee lakukan saat MOS.
Masih membekas di benak para siswa
SMA 13 Depok saat-saat MOS. Lebih tepatnya saat para murid baru berbaris di
tengah lapangan mendengarkan pidato ketua OSIS yang baru, Hanggini Widyanto.
Pandangan murid dan guru teralihkan
dengan kedatangan seorang siswa yang tidak mengenakan dasi dan topi. Seragam
yang tidak dimasukkan. Lebih dari itu, siswa itu merokok sembari berjalan
melewati barisan para murid baru yang sedang mendengar pidato. Semua orang
dibuat mematung dengan tindakannya. Siswa itu bernama Azril Mahendra.
Dengan satu ucapan tegas, Hanggini
menyuruh Zee berhenti. Zee menurut, mengalihkan pandangannya ke Hanggini
meskipun Zee tidak mematikan rokoknya. Pandangan mereka bertemu dalam satu
titik. Mereka berjarak tiga meter namun hembusan nafas keduanya seakan
mendekatkan mereka.
“Kamu! Kenapa kamu nggak pakai
atribut yang kami suruh?!” Suara Hanggini terdengar tegas. Bagi murid-murid
baru dan murid-murid lama, Hanggini memang terlihat tegas bak singa yang lapar.
Tapi tidak dengan Zee, ia malah melemparkan senyum menantang ke Hanggini.
“Kalo orang nanya tuh dijawab!”
Zee memutar bola matanya, kembali
melanjutkan langkahnya sebelum cowok-cowok OSIS menghadangnya. Bahkan salah
satu dari mereka tanpa permisi menarik rokok Zee dari bibirnya, menjatuhkan
rokok itu dan menginjaknya.
Anjing! Rokok
gue, batin Zee mengumpat. Ia menatap
cowok-cowok itu yang memiliki postur tubuh tinggi yang sama dengannya.
Salah satu dari mereka membaca name-tag
Zee. “Oohhh, jadi ini yang namanya Azril.” Ia mengangguk-ngangguk memahami
apa yang baru ia dapati dan mencocokkannya dengan apa yang ia pikirkan.
Cowok bernama Geri itu membalikkan
badannya, menghadap puluhan murid baru dan murid kelas dua belas yang tengah
bersantai di beranda kelas mereka. Hanggini tidak tahu apa yang Geri bicarakan.
Dengan deheman pelan, Geri angkat suara, “Sekedar info buat kalian semua. Tahun
ini sekolah kita kedantangan murid spesial. Sebelum itu, mungkin kalian pernah
mendengar seorang pria bernama Yazid Mahendra?”
Zee membeku sekaligus panas saat
nama itu disebut di hadapan para murid dan guru.
“Yang belum tahu, Yazid Mahendra
adalah tersangka pembunuhan sepuluh tahun lalu. Di mana Yazid dengan teganya
membantai satu keluarga di daerah Cibubur. Padahal ia sudah bekerja dengan
keluarga itu sebagai tukang kebun hampir 15 tahun. Bukan cuman sampai situ,
Yazid juga memotong tubuh-tubuh korban dan menjadikan potongan-potongan itu
santapan bagi anjing liar. Dan siswa yang berdiri di hadapan kita sekarang…”
Geri menunjuk Zee dengan telunjuknya, “….tiada lain adalah cucu tunggal dari
Yazid Mahendra, seorang pembunuh.”
Geri menekankan suaranya di kata pembunuh,
agar semua orang sadar dengan apa yang ia ucapkan.
Apa yang Geri ucapkan adalah
kebenaran dan kini Yazid harus mendekam di penjara seumur hidup. Jika kalian
mengira guru akan memarahi Geri, kalian salah. Karena mereka pun menyesali keputusan
kepala sekolah yang tidak lain adalah ayah Geri untuk menerima Zee sebagai
murid. Bahkan hampir semua guru mempertanyakan alasan dibalik kepala sekolah
menerima Zee.
Para siswa SMA 13 menganga dan
menutup mulut mereka dengan tangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja
mereka dengar. Gemuruh berisik terdengar dari para murid. Mereka berbisik satu
sama lain sembari sesekali melemparkan pandangan pada Zee.
Hanggini pun terkejut mendengar
berita itu. Namun ia mampu menahan raut wajah kagetnya dan tetap terlihat
tenang. Melihat situasi mulai tidak kondusif, Hanggini membuka mulut hendak bersuara
menghentikan perbuatan Geri. Bersamaan dengan itu Zee sudah terlebih dahulu
mengambil tindakan. Ia berlari ea rah Geri dan menghantam rahang Geri dengan
satu pukulan keras.
Geri tersungkur jatuh tanpa
persiapan. Para siswa mengabadikan moment itu menggunakan ponsel mereka. Mereka
tidak menyangkan bahwa hari pertama MOS mereka akan dibuka dengan perkelahian
antara cucu pembunuh dan anak kepala sekolah.
Saat Geri hendak bangkit, kaki Zee
sudah lebih dulu mengayun membentur pipi Geri. Muncratan darah kental keluar
dari gigi Geri. Zee seakan berubah wujud menjadi setan. Tanpa belas kasihan, ia
menginjak hidung Geri dengan keras dengan sepatunya. Sedetik kemudian terdengar
suara retakan. Hidung Geri bengkok, bahkan ujung hidungnya hampir menyentuh
pipi kirinya. Lengkikan suara Geri terbang ke udara.
“Gila! Sadis banget tuh anak!”
komentar salah satu murid kelas dua belas, Rio.
Zee kembali menendang kepala Geri
lebih keras. Teman-teman Geri yang tadi menghadang Zee ikut campur. Mereka
mengerumuni Zee dan menyerangnya dari segala arah. Untuk beberapa saat Zee
mampu menangkis pukulan mereka dan mendaratkan serangan di perut mereka, wajah
mereka bahkan titit mereka. Zee tidak sepenuhnya lepas. Ia pun mendapatkan
pukulan keras di bibirnya hingga mengakibatkan bibirnya sedikit robet.
Kepalanya pun seperti dibenturkan ke dinding. Punggungnya di tendang dari
belakang.
Zee bisa saja menghancurkan wajah
Geri dan teman-temannya jika beberapa guru tidak melerai mereka. Satpam sekolah
menarik kerah baju Zee dari belakang dan membantingnya ke tanah serta mengunci tangannya.
Wajahnya penuh debu bercampur darah. Bersamaan dengan itu, Zee mengarahkan
tatapannya ke seorang cewek yang tengah menutup mulut dengan tangannya, seakan
kehilangan kata-kata untuk berkata. Zee menyimpan nama cewek itu dalam
ingatannya. Hanggini Widyanto.
Perbuatan Zee menjadi perbincangan
serius di antara para guru. Hampir semua guru sepakat mengusulkan agar Zee dikeluarkan
dari sekolah. Yogi Heriawan, kepala sekolah SMA 13, sekaligus ayah Geri,
terdiam untuk beberapa detik. Benaknya bernostalgia ke 30 tahun lalu hingga ia
tersenyum tipis seakan ia baru saja mendapat ide.
“Baiklah. Saya putuskan bahwa Zee
tidak akan saya keluarkan dari sekolah ini,” tegas Yogi yang mendapatkan sejuta
keheranan di raut para guru. “Namun, untuk menjaga nama baik sekolah ini, Zee
harus mendapatkan skors satu minggu.”
Para guru mengangguk, menerima
keputusan Pak Yogi. Meski isi kepala mereka masih dipenuhi pertanyaan.
“Baik, kalian semua boleh
melanjutkan kegiatan kalian,” sambung Pak Yogi kepada para guru. Para guru itu
bangun dari kursinya dan keluar dari ruangan kepala sekolah.
Di ruangan penuh lukisan Jawa itu,
Yogi duduk di kursinya sendirian. Rambut putihnya tidak membuatnya terlihat
tua. Kerutan di sudut matanya malah membuat tatapannya semakin menusuk. Ia
mengangguk-ngangguk sendirian. “Permainan kita mulai,” bisiknya pada diri
sendiri.
Semenjak perbuatan gila yang
dilakukan Zee, namanya meroket dan dikenal satu sekolah, bahkan para orangtua
murid pun mendengar kabar itu. Termasuk Zaki. Ia baru mendapat kabar bahwa Zee
diskors setelah lima hari dari keputusan itu. Ia mendobrak kamar Zee dan
melihat Zee sedang duduk di ranjangnya, membaca novel The Girl On The Train karya
Paula Hawkins. Keinginannya menjadi penulis thriller-mistery
memang tidak bisa digoyahkan oleh siapapun. Baginya menulis adalah caranya
hidup abadi meski suatu saat nanti Tuhan akan memanggilnya.
Zee akan melakukan apapun untuk
membaca novel yang ia butuhkan. Seperti novel yang saat ini sedang ada di
tangannya, ia mendapatkan novel itu dari seorang mahasiswi jurusan sastra di
Universitas Indonesia. Ia bertemu dengan mahasiswi itu di Pondok Cina dan tidak
sengaja matanya mendapati novel itu tergeletak di samping mahasiswi itu. Tanpa
berpikir, Zee berkenalan dengan mahasiswi itu dan mengutarakan niatnya untuk
meminjam novel itu. Bukannya dipinjamkan, mahasiswa itu malah akan memberikan
novel itu dengan satu syarat.
Dengan melihat tubuh Zee yang tidak
terlalu kurus dan gemuk, serta otot-otot yang ideal, mahasiswi itu meminta Zee
untuk menghajar kekasihnya yang telah menyelingkuhinya. Zee mengangguk setuju.
Dan esoknya, mahasiswi itu mendapat kabar bahwa kekasihnya telah masuk rumah
sakit dengan leher patah serta gigi yang hancur.
Mahasiswi itu menggelengkan kepala
serta menelan ludah, ia seakan telah salah meminta Zee melakukan itu. Namun
nasi sudah menjadi bubur dan Zee tidak peduli dengan apa yang telah ia lakukan.
Yang terpenting baginya adalah novel itu.
“Kamu udah gila?!” teriak Zaki
seraya menarik novel itu dan membantingnya ke lantai.
Zee mendongak, melihat ke Zaki dan
tidak menjawab pertanyaannya. Ia malah turun dari ranjang dan mengambil novel
itu kembali lalu keluar. “Tunggu!” Zaki kembali berteriak. Zee membalikkan
badan dan menatap Zaki.
“Bukan urusan lo,” ucap Zee yang
diikuti kemarahan Zaki. Ingin rasanya ia menghajar anak tunggalnya itu. Namun
keinginannya selalu saja terhalang sesuatu.
Menggenggam status cucu pembunuh
menjadikan Zee cukup ditakuti, terlebih dengan apa yang dilakukannya pada Geri.
Namun para siswi seakan dibuat buta dengan ketampanan Zee. Mereka tidak peduli
dengan status itu. Yang terpenting bagi mereka adalah Zee tetap ada di sekolah
ini dan menjadi pemandangan indah yang mereka bisa lihat setiap harinya.
Bukan rahasia umum jika Zee
seringkali mendapatkan surat cinta, bunga, coklat dan ajakan untuk berkencan
dari para siswi SMA 13. Mereka saling berkompetisi untuk mendapatkan cinta
pentolan SMA 13. Namun Zee yang selalu dingin seperti kulkas tidak sama sekali
mempedulikan itu semua. Bahkan, Natasha, primadona kelas dua belas sekaligus
cewek tercantik di sekolah SMA 13 telah menunjukkan ketertarikannya pada Zee.
Itu terbukti dengan tiket menonton konser Tulus yang Natasha titipkan
pada Nathan pagi hari ini.
Nathan merogoh tiket itu dari tasnya
dan menempelkannya di kening Zee. Zee mengambilnya lalu melihatnya. Membacanya
sedetik sebelum berkata, “Nggak tertarik.”
Nathan melongo tidak percaya bahwa sahabatnya baru saja menolak ajakan cewek yang diincar cowok satu sekolah. “Nyet! Lo nolak ajakannya Natasha? Seriusan?”
“Ada apaan sih?” tanya Ricky yang
baru saja datang membawa tiga gelas es jeruk.
“Ini nih, Zee nolak ajakan Natasha
nonton konser Tulus,” Nathan menjelaskan dengan wajah heran dengan jalur
pikiran Zee.
“Hah?”
Ricky kaget, “Natasha Heriawan? Kakaknya si Geri? Putrinya Pak Yogi?”
Nathan
mengangguk tegas.
“Wah!
Gila! Ini sih mubazir namanya. Buang-buang rezeki,” ucap Ricky.
Yang
diherankan malah diam menikmati sebatang rokok yang mulai habis. Para murid
yang tengah nongkrong di kantin belakang merasa terganggu dengan teriakan
seorang siswi.
Teriakan
itu terdengar dari arah kamar mandi dekat lapangan parkir. Beberapa siswa kelas
dua belas tidak menghiraukan suara itu karena mereka tahu alasan kenapa siswi
itu berteriak meminta tolong. Bahkan pentolan SMA 13, Rio memilih diam daripada
ikut campur. Mbok Ina yang ikut mendengar teriakan tersebut juga hanya diam meskipun
ia geram sekali dengan tingkah laku anak jaman sekarang.
“Kayanya gue kenal sama tuh suara,”
ucap Ricky seraya memasang wajah mengingat. Ricky yang memiliki kekepoan
tinggi, bergegas mencari sumber suara.”Nyet, lo ikut nggak?” Nathan menepuk
pundak Zee dan pertanyaannya hanya dijawab dengan gelengan kepala. Alhasil, Nathan
mengikuti Ricky dari belakang sedangkan Zee memilih
untuk diam tidak ikut campur.
Melihat Zee sendirian, Rio
menghampirinya dan duduk di sampingnya. Zee menoleh sesaat sebelum kembali
membuang muka. “Sorry, gue minta rokok, boleh?” Rio menjulurkan tangannya dan
disambut oleh Zee dengan meletakkan sebatang rokok di atasnya.
“Thanks.”
Rio menyalakan pemantik apinya dan
membakar ujung rokoknya. Sesekali ia melihat Zee yang memilih untuk membaca
novelnya.
“Lo Azril kan?”
Merasa waktu bacanya terganggu, Zee
menutup novelnya, menjatuhkan rokoknya dan bangkit dari kursinya. Lalu
meninggalkan Rio tanpa permisi. Di belakangnya, Rio tersenyum penuh kemenangan,
seakan ia sudah mendapat senjata baru guna melancarkan misinya.
Gerombolan para siswa tengah
berkumpul seakan menonton adu ayam. Bahkan kali ini bukan ayam jantan,
melainkan manusia jantan melawan manusia betina. Tidak ada satu pun dari mereka
yang berniat melerai. Hampir semua sibuk merekam.
Plak! Suara tamparan keras terdengar.
“Kalo lo gak suka, gak usah ikut
campur urusan gue!! Lo tuh cuman ketua OSIS di sini!” bentak seorang siswa.
Langkah Zee yang tadinya hendak
masuk ke kelas mendadak berhenti tanpa keinginannya saat ia mendengar siswa itu
menyebut-nyebut ketua OSIS. Ia teringat seseorang jika gelar ketua OSIS itu
disebut.
“Tapi yang lo lakuin itu salah,”
bela Hanggini sembari mengusap-ngusap pipinya yang panas. Bahkan tamparan itu
langsung meninggalkan bekas merah di sana.
Tangan siswa itu kembali terangkat.
Ia mengayunkan tangan itu sembari berkata, “Tai! Kaya lo nggak pernah aja
jadi---“
Pandangan
siswa-siswi berganti berganti ke arah yang lain. Mata mereka melihat Zee tengah
menahan tangan siswa itu. Suara berisik tiba-tiba hilang ditelan bumi.
Kedatangan Zee menghadirkan aura baru, aura yang berbeda.
Zee
mencengkram tangan siswa itu dengan keras. Siswi-siswi sekolah itu tidak bisa
melepaskan pandangan mereka dari tampang Zee saat ini. Tampang yang terlihat
dingin namun berkarisma. Mereka berdecap kagum saat Zee menatap cowok di
depannya dengan mata kucingnya yang tajam. Dihadapan Zee saat ini berdiri siswa
kelas XII bernama Alpha, salah satu biang rusuh SMA 13 Depok.
“Lepasin gue!” perintah Alpha pada
Zee sekaligus memuncratkan cairan bening di wajah Zee. Zee menghela napas,
mencoba tenang. Ia melepaskan cengkramannya dan mendorong tubuh Alpha dengan
bahunya. Saat Zee hendak membalikkan badan dan pergi, Alpha mencengkram bahu Zee.
“Eh cucu pembunuh! Lo mau jadi
pahlawan kesiangan?” Alpha berdecak kesal melihat bagaimana Zee menjadi pusat
perhatian semua orang.
Nathan dan Ricky menepuk kening
mereka berbarengan. “Aduh, si tolol Alpha, kenapa dia malah ngomong gitu,”
kutuk Ricky. Zee menoleh ke belakang, melihat Alpha dengan tatapan dinginnya.
Belum sempat Alpha memasang
kuda-kuda atau pertahanan, Zee sudah menghantam hidungnya dengan keras. Pukulan
itu menghasilkan buah. Hidung Alpha terlihat bengkok dan darah merah mengalir
deras dari lubang hidungnya.
“Anjing!!” umpat Alpha tidak terima.
Badannya sempoyongan dan hampir jatuh jika saja teman-temannya tidak
menahannya. Perkelahian tidak bisa dihentikan, dan dengan mudah Zee membuat
Alpha babak belur. Suasana kembali memanas.
Melihat Alpha sudah tersungkur
dengan darah menyelimuti wajah serta membekas di seragamnya, Zee menghentikan
perbuatannya. Ia membalikkan badan dan berdiri di depan Hanggini.
Hanggini mendongak, melihat ke wajah
Zee dengan sedikit ketakutan. “Bangun,” ucap Zee dingin.
“Hah?”
“Bangun!”
Hanggini mengangguk. Saat Hanggini
hendak berdiri, tiba-tiba Alpha menepuk pundak Zee dari belakang. Zee
membalikkan badan. “Urusan lo belum
selesai,” ucap Alpha diiringi dengan pukulan keras yang mendarat di mata kanan
Zee, merobek sedikit kulit matanya. Darah mengalir dari ujung matanya.
Pandangannya sedikit kabur. Pukulan Alpha menciptakan rasa perih yang sangat
bagi orang yang melihat mata Zee, tapi tidak bagi Zee. Dia tidak merasakan
apapun.
Dengan wajah datar, Zee berdiri
menghadap Alpha. Mata kanannya memicing karena luka. Ia melangkah mendekati
Alpha seraya mengepalkan jemarinya membuat tinju. Sesuatu yang selama ini ia
penjara mendadak memberontak meminta keluar.
Zee tersenyum, menampilkan senyum
jahat yang hanya disadari oleh Alpha. Seketika bulu kuduk Alpha bergidik ngeri.
Belum pernah ia melihat senyum semengerikan itu. Ia mengambil langkah mundur
beberapa langkah. Ketika Zee berniat lebih dekat, otaknya melukiskan gambar
seseorang. Karena gambar itu, sesuatu yang tadinya memberontak hanya bisa diam
dan menunduk selayaknya anjing galak yang bertemu dengan majikannya.
Tanpa
banyak bicara, Zee pergi meninggalkan Hanggini dan para murid. Hanggini
kebingungan. Belum pernah ia menemukan cowok dengan kepribadian seperti Zee.
Dingin dan misterius.
Karena pukulan Alpha tadi, Zee
terpaksa mengobati lukanya di UKS. Meskipun pukulan Alpha tidak membuatnya
merasa sakit, tetap saja Zee harus mengobati lukanya. Kedatangan Zee disambut
dengan Hanggini yang terbaring lemas di ranjang UKS.
Zee berjalan mendekati loker meja,
mengambil obat merah serta kapas putih. Dengan pelan Zee mengobati lukanya
sendiri. Anehnya, saat ini ada yang lebih menganjal ketimbang lukanya.
Zee menoleh ke Hanggini. Zee menyadari
bahwa ia hampir tidak pernah berbicara dengan Hanggini setelah hampir satu
tahun ia bersekolah di SMA 13 Depok. Terlepas dari Zee yang pendiam dan dingin,
Hanggini pun tahu bahwa dirinya tidak bisa merobohkan dinding pertahanan Zee
sehingga ia mau berteman dengannya. Apalagi semenjak kejadian MOS waktu itu.
Zee duduk di sudut ruang UKS sembari
menyandarkan punggungnya di dinding dan memegangi novelnya. Biasanya, ia akan tenggelam
dalam kata-kata yang diutarakan oleh sang penulis. Namun kali ini berbeda, ia
merasa dirinya tidak sedang ingin membaca novel itu. Ada sesuatu yang lebih
menarik saat ini.
Sesuatu yang lebih menarik itu kini
sedang terbaring di ranjang UKS. Zee memandang wajah Hanggini dari jauh. Wajah
bulat serta bulu matanya yang lentik. Matanya menangkap sedikit luka di sudut
bibir Hanggini.
“Mah…,” ucap Hanggini parau. Berulangkali
Hanggini memanggil mamahnya. Zee hanya diam, tidak tahu harus apa, atau lebih
tepatnya ia berusaha tidak peduli. Zee menghela nafas sebelum ia bangun dari
kursinya dan berjalan mendekati Hanggini. Ia mengambil kursi lipat di sudut
ruangan dan menaruhnya di samping ranjang.
Hanggini membuka matanya perlahan.
Ia terkejut saat melihat Zee sudah duduk di sampingnya, menatapnya dalam. “Lo
mau ngapain?” tanya Hanggini kebingungan sekaligus khawatir.
“Gue mau nolong lo,” jawab Zee
datar.
“No… nolong gue? Maksudnya? Auh,”
Hanggini merasakan sakit saat ia membuka mulutnya lebih besar. Ia menyentuh
sudut bibirnya dengan ibu jari dan mendapati darah di sana. Sedetik kemudian ia
mengalihkan pandangannya ke Zee yang masih menatapnya.
“Gue bisa sendiri,” ucap Hanggini
sembari meminta obat merah dan kapas pada Zee. Zee menyerahkannya dengan senang
hati, lalu menyandarkan punggungnya di badan kursi dan melipat kedua tangannya
lalu menaruhnya di dada. Matanya masih memandang Hanggini.
Hanggini yang mulai kebingungan
harus apa mencoba membuang pandangannya dari Zee.
“Cepatan obatin luka lo,”
Hanggini membuka obat merah,
menuangkan beberapa tetes di kapas putih dan menggerakan tangannya ke arah
sudut bibirnya. Beberapa kali ia memejamkan matanya, meraung sakit saat kapas
itu menyentuh lukanya dan tiba-tiba ia tidak merasakan sakit itu. Matanya
terbuka dan melihat Zee memegang pergelangan tangannya.
“Biar gue aja,” ucap Zee.
Seakan dihipnotis, Hanggini
membiarkan Zee duduk di sampingnya dan mengobati lukanya. Beberapa kali
pandangan mereka beradu dan beberapa kali juga Hanggini dibuat salah tingkah.
Mungkin posisinya saat ini adalah posisi yang diinginkan semua siswi SMA 13
Depok. Namun Hanggini bisa meyakinkan mereka bahwa posisinya saat ini adalah
posisi yang paling membuatnya ketakutan. Hanggini baru menyadari bahwa iris
mata Zee berwarna kebiruan. Jadi ini wajah cowok dingin itu? Hanggini bertanya
pada diri sendiri saat matanya bisa melihat struktur wajah Zee dengan dekat.
“Lo kenapa?” tanya Zee tiba-tiba.
Hanggini menoleh, mengernyitkan
alis, “Kenapa gimana?”
“Pipi lo merah,” jawab Zee.
“Hah? Pipi gue merah? Ko bi---“
Suara pintu terbuka memutus ucapan
Hanggini. Seorang dokter datang bersama kepala sekolah. Mereka berdua cukup
terkejut mendapatkan Zee dan Hanggini duduk bersebalahan. Tanpa banyak bicara,
dokter meminta Zee pindah agar ia bisa memerika Hanggini.
Kepala sekolah, Yogi Heriawan, mengatakan
bahwa Hanggini dipersilakan pulang jika ia butuh istirahat. Dan Hanggini
mengangguk berterima kasih atas perhatianya. Bersamaan dengan itu, Pak Yogi menoleh
ea rah Zee yang hendak angkat kaki dari UKS karena merasa ia tidak punya urusan
di sini. Namun tangan Pak Yogi menggenggam lengan Zee, menahannya untuk tidak
keluar.
“Mau ke mana kamu, Zee?” tanyanya
dengan nada tinggi.
“Ke kelas,” balas Zee dingin.
“Bapak mau minta tolong sama kamu.”
Belum sempat Zee bertanya, Pak Yogi melanjutkan bicaranya, “Saya minta tolong
kamu anter Hanggini pulang.”
“Nggak bisa. Saya banyak urusan.”
“Zee, urusan kamu belesai dengan
saya!” tegas Pak Yogi.
“Terserah,”
ketus Zee. Zee melepaskan genggaman Pak
Yogi. Ia membuka pintu UKS dan pergi. Pak Yogi mendengus kesal mendapati ia
memiliki murid seperti Zee, namun ia harus sabar jika rencananya ingin
berhasil. Di sudut lain, Hanggini hanya mendengar penolakan itu.
“Bal, si Hanggini masuk UKS!” lapor
Rudi, siswa kelas XI. Muhammad Iqbaal Ibrahimi, wakil ketua OSIS SMA 13 Depok
langsung bergegas pergi ke ruang UKS saat mendengar kabar tersebut. Ia berlari
di lorong sekolah meskipun beberapa siswi menghadangnya untuk meminta foto.
Bukan rahasia lagi jika di SMA 13 Depok memang ada dua siswa yang diincar oleh
hampir semua murid siswi. Mereka berdua adalah Iqbaal dan Azril.
“Maaf, gue sedang buru-buru,” ucap Iqbaal
sembari melepaskan genggaman sisiwi-siswi itu. Hingga tiba-tiba kakinya terjungkal
dan menabrak cewek. Mereka berdua jatuh ke lantai dan untungnya tangan Iqbaal
dengan sigap ia letakkan di belakang kepala orang tersebut sehingga kepalanya
tidak terbentur. Akan panjang urusannya jika cewek itu pingsan, pikir Iqbaal.
Iqbaal buru-buru berdiri dan
menjulurkan tangannya, membantu cewek itu berdiri seraya berkata, “Maaf, gue
enggak seng---“ pembicaraanya terputus saat ia tahu siapa yang berada di
hadapannya. Name-tagnya memperlihatkan jelas nama cewek tersebut. Putri
Ayunda.
Siswi yang sering kali dijadikan
korban bully oleh siswa-siswi lainnya karena badannya yang gendut, dan
pendek.
“Lo gak pa-pa, Put?” tanya Iqbaal dengan
nada yang terdengar khawatir.
Putri mengangguk cepat sembari
membersihkan seragamnya yang kotor karena terkena permen coklat yang baru ia
beli dari kantin. Usahanya sia-sia karena noda coklat itu sulit dibersihkan.
Saat Putri menunduk guna membersihkan noda itu, Iqbaal membuka seragam putihnya
dan memberikannya pada Putri. Dan kini siswi-siswi termasuk Putri mampu dengan
jelas melihat bentuk badan Iqbaal yang ditutupi oleh kaos hitam polos. Badannya
tidak terlalu berotot, namun cukup berisi, sangat ideal untuk memeluk
seseorang.
“Pake aja, Put. Sorry, gue harus
buru-buru,” pamit Iqbaal meninggalkan Putri bersama seragamnya. Tiba-tiba para
siswi merebut seragam itu dari tangannya.
“Ini punya cowok gue!” bentaknya.
“Apa-apaan, lo! Ini tuh punya cowok
gue!” timpal yang lain.
Putri hanya bisa geleng-geleng
melihat tingkah laku siswi-siswi tadi. Mereka seperti mendapat harta karun yang
telah tersimpan jutaan tahun lamanya. Putri meninggalkan mereka bersama seragam
Iqbaal meskipun kini tugasnya bertambah; memberitahu Iqbaal bahwa seragamnya
menjadi bahan rebutan siswi-siswi.
Iqbaal membuka pintu UKS. Ia
mendapati Hanggini tengah duduk di ranjang, bersiap untuk berdiri. Saat
Hanggini mengambil langkah pertamanya, tubuhnya tidak mendukungnya. Ia goyang
dan kepalanya hampir membentur ujung ranjang jika Iqbaal tidak dengan sigap
menahannya.
“Lo nggak sarapan lagi?” tanya
Iqbaal.
Hanggini tersenyum beberapa detik
sebelum mengangguk.
“Sekarang mending lo istirahat aja,”
ucap Iqbaal lembut.
“Enggak, Bal. Gue nggak pa-pa.
Lagian kita masih punya rapat hari ini,” balas Hanggini dengan suara lemas dan
wajah yang tertunduk.
Iqbaal dengan tegas berkata,
“Enggak. Kita batalin rapat hari ini.”
Hanggini mendongakkan kepala,
menatap Iqbaal. “Bal, di sini gue ketuanya. Gue mau acara OSIS tahun ini
sukses.”
“Tapi sekali gue bilang enggak, ya
enggak.”
Hanggini tersenyum manis. “Lo siapa
gue?”
“Gue memang wakil lo tapi sekarang
gue bersikap sebagai mantan lo,” tegas Iqbaal seraya menatap mata Hanggini.
Hanggini menoleh saat Iqbaal berkata seperti itu. Mata mereka beradu.
Beberapa minggu yang lalu, hampir
semua murid SMA 13 Depok membicarakan gossip mengenai putusnya Hanggini dan
Iqbaal. Padahal, sudah hampir dua tahun mereka menjalin hubungan. Bahkan mereka
dianggap pasangan yang serasi atau goal couple. Iqbaal dengan
ketampanan, kelembutan dan kepintarannya serta Hanggini dengan kecantikan,
ketegasannya dan tentu kecerdasannya. Banyak yang mengira kabar itu hanya hoax
semata hingga mereka mempercayai kabar itu saat Hanggini mengatakan bahwa
kini ia dan Iqbaal hanyalah sebatas partner dalam OSIS. Hingga saat ini, banyak
yang belum tahu alasan kenapa Iqbaal dan Hanggini memilih mengakhiri hubungan
mereka.
“Gue tahu gue itu mantan lo. Tapi
gue masih temen lo. Jadi gue berhak untuk ngasih tau lo mana yang baik dan
buruk. Dan sekarang gue ngasih tahu lo kalo istirahat adalah apa yang lo
butuhin sekarang.”
Hanggini melukiskan seuntas senyum
di sudut bibirnya. Hanggini mengangguk pelan. Ia tahu Iqbaal memang keras kepala.
“Ya udah, sekarang gue anter lo
pulang,” lanjut Iqbaal sambil jongkok dan meminta Hanggini untuk naik ke
punggungnya.
Saat Hanggini naik, Pak Yogi membuka
pintu dan memasang ekspresi kaget melihat kehadiran Iqbaal. “Iqbaal! Kamu
ngapain di sini?“
“Saya… anu, Pak. Saya mau an—“
Belum selesai Iqbaal berbicara, Pak
Yogi memotongnya dan berkata, “Saya butuh kamu sekarang. Ada data siswa yang
harus saya periksa. Sudah, biarin Hanggini istirahat.”
“Tapi, Pak. Saya mau an---“
“Iqbaal!”
Iqbaal
mengangguk dan berdiri. “Nggi, gue cabut sebentar.” Hanggini hanya tertawa
melihat Iqbaal memasang wajah takut ketika Pak Yogi menyebut namanya dengan
keras. Wajah gemasnya tidak pernah hilang ketika sedang salah tingkah.
Zee tengah merokok bersama
siswa-siswa kelas XII lainnya sembari melanjutkan bacaan novelnya. Dua
sahabatnya, Rizki dan Nathan memilih masuk kelas biologi karena ada kuis
berhadiah bensin gratis hari ini. Siswa-siswa kelas XII yang sedang nongkrong
bareng Zee bukanlah gerombolan Alpha. Bagi Zee, mereka ini hanya siswa-siswa
yang tidak tahu caranya mengatasi kebosanan selain dengan merokok atau main
kartu.
“Azril!” panggil Bram, salah satu
siswa XII yang tengah bermain kartu.
“Hmm,” saut Zee.
“Gimana mata lo?”
“Baik,”
“Minta Mbok Ina ngompresin lo tuh.
Daripada ngerokok. Mana sembuh tuh mata sama ngerokok,” canda Bram.
“Males gue,”
“Karena?”
“Ngedenger lo ngebacot,”
“Si kampret!” Bram melemparkan
bungkus rokok sembari tertawa.
Setelah lima belas menit berkumpul,
siswa-siswa kelas XII itu pergi ke kelas mereka masing-masing, meninggalkan Zee
sendirian. Ini adalah situasi paling nyaman untuk Zee. Baginya, kesendirian
mampu memberikan kebahagian. Tidak perlu ramai karena sering kali keramaian
hanya menimbulkan kekacauan. Lebih dari itu, bagi Zee, kesendirian adalah waktu
di mana ia bisa berbincang dengan Tuhan. Dari hati ke hati.
Dua rokok telah habis dan kini Zee
mencari Mbok Ina. Bukan sekedar untuk membayar, tapi memberikan sedikit bantuan
untuknya. Mbok Ina adalah janda yang ditinggal suaminya pergi entah ke mana.
Kabarnya suaminya adalah penjual kopi hitam keliling. Mereka berdua tidak
dikaruniai anak karena mbok Ina divonis mandul. Inilah alasan kenapa suami mbok
Ina memilih kabur.
Tidak menemukan mbok Ina, Zee
mengeluarkan dompetnya dan menaruh dua lembar seratus ribu di laci kantin.
Ketika keluar dari kantin, Zee
melihat seorang siswi tengah dikerumuni tiga preman. Ia menoleh kanan-kiri guna
mencari orang lain selain dirinya. Pada dasarnya, Zee memang tidak senang ikut
campur, namun kali ini kakinya seakan memaksanya untuk mendekat saat
matanya melihat siswi itu adalah Hanggini.
Tiga preman itu sedang memalak
Hanggini. Bahkan salah satu dari mereka tidak segam menyolek dagu Hanggini.
Memandang tubuhnya dengan pandangan menggoda. “Kalo kamu enggak ada duit, kamu
bisa ikut abang sebentar,” goda salah satu dari mereka. Hanggini menepis
tangan-tangan mereka, mencoba kabur namun tidak bisa karena tubuh mereka lebih
besar.
Berkisaran dua meter dari Hanggini,
benak Zee memutar kembali waktu, saat Pak Yogi memintanya untuk mengantar
Hanggini pulang. Zee membuang nafas, kesal dengan dirinya sendiri tanpa sebab.
“Lo?” Hanggini memandang ke belakang
punggung salah satu preman. Seketika itu juga para preman itu mengikuti
pandangan Hanggini dan mendapati Zee tengah berdiri memandangi mereka.
“Anjing! Ketemu lagi kita,” ujar
salah satu preman bernama Jarwo. Ia kesal sekaligus dendam pada Zee karena
dirinya sempat dibuat babak belur oleh Zee beberapa minggu lalu.
“Eh, Jarwo! Lo kenal dia?” tanya
preman yang lain.
“Kenal, Bang. Ini bocah yang pernah
gue ceritain,” balas Jarwo.
“Ohhh ini bocah yang bikin lo
mampus? Boleh juga nyalinya.”
Zee menyimak tanpa bicara. Sesekali
menguap karena merasa bosan dengan pembicaraan para preman itu.
“Mumpung lo di sini, kita bayar
utang dulu aja,” kata salah satu preman yang memiliki tato kampak di lehernya.
Dengan serempak, tiga preman itu
menyerang Zee dengan brutal. Mereka mengayunkan pukulan dan tendangan dari
berbagai arah. Merasa sedang bosan, Zee menyambut serangan mereka dengan tenang
dan senang. Saat ini dirinya memang tengah butuh samsak gratis. Para penjual
kaki lima tidak ada yang berani mendekat.
Zee mendadak marah tatkala melihat
salah satu preman tanpa sengaja menendang perut Hanggini yang berusaha
mendekat, melerai pertengkaran. Leher preman itu tidak lepas dari cengkraman
Zee. Bogem mentah Zee daratkan di mulut preman itu hingga beberapa gigi dari
preman itu rontok.
Kedua temannya tidak lebih baik.
Mereka berdua sama-sama harus membiarkan Zee menghantam rahang mereka. Sepuluh
menit kemudian ketiga preman itu tergelak dengan wajah bersimbah darah di
tanah.
Hanggini meringis kesakitan memegang
perutnya. Zee mendekat, menjulurkan tangannya, menawarkan bantuan. Namun siapa
yang menyangkan tangan itu ditepis oleh Hanggini. Keributan di lapangan parkir
itu mengundang para murid dan guru.
“Astagfirullah, Azril!!!” teriak Bu
Endang, guru BK saat melihat Zee tengah berdiri di depan Hanggini dan dengan
ketiga preman yang tergulai di tanah.
Bu Endang berlari mendekati Hanggini
dan membantunya berdiri. “Salma!” Bu Endang memanggil Salma, teman sebangku
Hanggini. Salma yang sedaritadi ikut datang saat mendengar keributan itu
langsung menghampiri Bu Endang meski matanya tidak lepas dari paras tampan Zee
saat berkeringat.
“Salma, tolong antarkan Hanggini
pulang,” ucap Bu Endang tanpa memandang Salma.
Merasa tidak ada jawaban, Bu Endang
menoleh ke Salma dan mendapatinya tengah melihat wajah Zee.
“SALMA!” teriak Bu Endang tepat di
samping telinga Salma.
“Inallilahi,” Salma kaget bukan
main.
“Kamu
dengerin nggak? Anter Hanggini pulang,” seru Bu Endang. Salma mengangguk dan
menuntun Hanggini ke motornya. Hanggini menunduk meski telinganya mendengar bu
Endang memarahi Zee karena kembali berkelahi. Yang dimarahi hanya diam, seakan
ucapan bu Endang adalah sesuatu yang tidak perlu didengar. Masuk kuping kanan
dan keluar kuping kiri.
Roda motor itu berhenti saat lampu
merah menyala. Tanpa Hanggini sadari, mata Salma beberapa kali memandang
Hanggini dari spion motor. Wajah pucat pasi terukir di wajah Hanggini. Matanya
sayu. Ponsel Salma bergetar. Sembari menunggu lampu hijau, Salma merogoh
ponselnya dan membaca satu pesan yang masuk.
Lampu hijau memberikan isyarat pada
para pengendara untuk melanjutkan perjalanan. Salma menarik kembai gas
motornya. Hanggini berusaha untuk tidak menutup matanya. Kedua tangannya
memeluk tas yang menjadi pembatas antara tubuhnya dan tubuh Salma.
Mata Hanggini terbuka lebar saat
mendapati Salma memberhentikan motornya di samping gerobak bubur ayam. Salma
turun setelah mematikan mesin motor.
“Salma, ko kita ke sini?” tanya
Hanggini kebingungan.
“Kita sarapan dulu ya,” jawab Salma
meninggalkan Hanggini begitu saja. Salma duduk sembari ditemani air putih
hangat seraya menunggu bubur ayamnya datang. Hanggini duduk di sampingnya,
memilih untuk diam. Di sekitarnya, para karyawan sedang sarapan.
Uap hangat muncul dari dua mangkok
bubur ayam. “Silakan, Mba,” ucap penjual bubur ayam itu sembari meletakkan dua
mangkok itu.
“Makasih, Pak De.”
Salma mengambil satu sendok dan
mulai memakan satu mangkok bubur ayam tanpa diaduk.
“Lo makannya banyak juga ya. Sampe dua
mangkok gitu,” ucap Hanggini heran dengan temannya itu.
Bukannya jawaban yang Salma berikan,
ia malah menyodorkan satu mangkuk ke Hanggini.
“Ini… buat gue?”
“Iya,” jawab Salma.
“Tapi gue---“
“Jeha…,” Salma memanggil Hanggini
dengan nama kecilnya, “tadi ada yang nyuruh gue buat ngajak lo sarapan. Takut
lo pingsan katanya,” sambung Salma.
“Hah? Siapa?” Hanggini bertanya
serius.
“Azril,”
jawab Salma lugas.
Bubur ayam merasa menjadi
pengangguran saat Hanggini hanya menelantarkannya. Hanggini masih kebingungan
dengan ucapan Salma barusan. Sedangkan Salma sudah menghabiskan setengah jatahnya. Matanya
melirik Hanggini yang mematung.
“Lo kenapa sih? Nggak laper?” tanya
Salma heran.
“Ko Azril bisa chat lo?”
Salma mendadak tertawa saat ia
mendengar pertanyaan Hanggini. Ia meneguk segelas air putih sebelum menjawab,
“Gue sama Azril ini satu SMP. Dia itu adik kelas gue. Dan lo mau tau sesuatu?”
Salma menepuk paha Hanggini, merubah mimik wajahnya cukup serius, “Dulu, Azril
tuh baik dan pinteeeerrrr banget. Lo bayangin aja, nama dia selalu ada di
peringkat pertama di setiap ujian.”
“Ko bisa?” Hanggini menyambut
pembicaraan ini dengan serius juga, serasa ada yang menariknya ke meja bundar.
“Ya gimana nggak. Pacarannya aja
sama buku dan novel terus,” jawab Salma.
“Dia pacarannya sama buku?” Hanggini
mencoba menghilangkan ragunya. “Jadi dia nggak pernah punya pacar beneran?”
Salma mengernyit. Matanya memicing,
menebak-nebak apa maksud di balik pertanyaan Hanggini. “Kalo itu gue nggak tau.
Gue cuman nggak pernah lihat dia jalan sama cewek aja.”
“Ko bisa?”
“Ko bisa apaan sih, Jehaaaaaa.
Kenapa? Lo suka sama Azril?” Salma mendadak menembak Hanggini dengan pertanyaan
serius.
“Hah?! Ngaco lo. Gue sama dia? Aduh
nggak deh. Apa yang diharepin dari cowok yang kerjaannya cuman berantem doang.”
Salma menghela nafas. Ia mendekat ke
Hanggini dan berbisik, “Awas jatuh cinta sama Azril.”
Hanggini mendorong wajah Salma
menjauh dan berkata, “Never!!!”
Motor Hanggini kembali bergabung
dengan kendaraan lain. Sementara Salma fokus menghadap depan, fikiran Hanggini
seakan hilang entah ke mana. Mendapatkan informasi bahwa Azril adalah murid
berprestasi di SMP memunculkan pertanyaan di benaknya. Bagaimana bisa seorang
murid berprestasi tiba-tiba berubah drastis menjadi murid yang selalu menjadi
buronan para guru?
Sesampainya di gerbang rumah
Hanggini, Salma langsung pamit kembali ke sekolah menggunakan ojek online
meskipun matanya sempat melihat kerumunan polisi berdiri di depan rumah
Hanggini. Sebelum naik ojek, Salma berkata pada Hanggini, “Jeha, kalo lo ada
apa-apa, kabarin gue, ya.”
Hanggini yang juga heran dengan
kemunculan para polisi mengangguk dan tersenyum pada Salma. Setelah berpisah,
Hanggini melangkah masuk gerbang dan mendapati ayahnya tengah berbicara dengan
dua polisi di depan pintu utama. Salah satu polisi itu mencatat sesuatu tatkala
ayahnya menjawab pertanyaan-pertanyaan polisi lain.
“Yah?” Hanggini memanggil Ayahnya.
Ayahnya menengok dengan ekspresi yang sulit Hanggini pahami dan menyuruhnya
untuk masuk. Langkah kaki Hanggini terangkat masuk ke dalam rumah. Matanya membelalak
saat melihat ibunya duduk di kursi ruang tamu dengan kedua tangan menutupi
wajahnya.
Isak tangis terdengar tanpa henti
dari ibunya. Hanggini buru-buru menjatuhkan tasnya dan menghampiri ibunya,
memeluknya dari samping lalu mengusap-ngusap rambut ibunya. “Mah, Mamah kenapa,
Mah?”
Ibu Hanggini membalas pelukan
Hanggini dan membenamkan wajahnya di bahu Hanggini. Ia merasa tidak punya
kekuatan untuk berbicara. Setiapkali ia membuka mulutnya, air matanya semakin
menjadi.
Hanggini mengeratkan pelukannya,
memberitahu pada ibunya bahwa dia ada di sini. “Kenapa, Mah? Cerita sama Jeha,”
ujar Hanggini sembari mengusap-ngusap punggung ibunya.
Usapan
dan pelukan hangat yang Hanggini berikan mengisi sedikit kekuatan ibunya.
Dengan mata terpejam, ibunya berkata, “Kakakmu, Jeha. Kakakmu….”
Zee sedang membersihkan toilet
perempuan saat gerombolan siswi kelas XI datang dan berteriak terkejut melihat
Zee mengenakan kaos hitam pollo dan celana abu-abunya. Mereka berbisik satu
sama lain, melemparkan pujian karena beruntung melihat tubuh Zee yang tinggi
dan cukup berisi.
Tidak tahan dengan teriakan itu, Zee
menegakkan badannya dan berkata, “Berisik tahu nggak?”
Para siswi itu mengangguk sembari
tersenyum. Mereka tidak bergerak. Mereka bersedia berdiri di depan pintu toilet
berjam-jam hanya untuk melihat Zee. Zee yang menyadari bahwa mereka belum pergi
kembali menengok mereka, “Kalian mau gue siram pakai air pel?”
Jawaban yang tidak diduga keluar
dari mulut mereka, “MAUUU!!!”
Burrr! Seketika seragam para siswi itu basah. Zee benar-benar menyiram
mereka dengan air pel. Sedetik kemudian mereka keluar dari toilet sembari
berteriak kencang dan menangis. Rizki dan Nathan yang sedang berjalan di lorong
kelas terkejut melihat gerombolan para siswi berlarian keluar toilet dengan
seragam basah. Seragam basah itu dengan jelas membuat pakaian dalam mereka
terlihat meski masih samar.
“Wah! Jackpot nih!” seru Ricky
tertawa sembari merogoh ponselnya dan merekam.
“Bangke, otak mesum dasar!” balas
Nathan seraya menepuk pundak Ricky.
“Kaya lo nggak aja,”
“Gue mah kenal tempat dan waktu,”
“Takut dimarahin ibu negara ya?”
ejek Ricky sambil mengangkat alis dan mencolek dagu Nathan. “Hah? Takut nggak
dikasih jatah, ya? Hahaha.” Nathan menjauh sambil berusaha menjitak kepala
Ricky.
“Jatah apa?”
Ricky dan Nathan seketika mematung
saat mendengar seseorang bertanya dan berdiri di depan mereka.
“Hi, Sayang,” sapa Nathan malu-malu
takut. Ia bahkan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Salma berdiri di depan mereka dengan
berkacak pinggang. “Kalian lagi ngomongin apa?”
“Nggak ngomongin apa-apa. Jatah anu…
jatah… jatah traktiran maksudnya,” jawab Nathan terbata-bata.
Mata Salma menatap Ricky dan Nathan
bergantian. Serasa tidak percaya, Salma memasang wajah kesal. Kedua ujung
alisnya bertemu, bibirnya maju dan pandangannya tajam. “Beneran?”
“Beneran, kok,” jawab Nathan sembari
menginjak kaki Ricky agar mau diajak kerjasama. Ricky dengan gesit mengangguk.
Tidak ingin umurnya berkurang di tangan Salma. “Lo juga boleh ikut ko, Sal,”
ucap Ricky dengan cengiran palsu.
Salma mulai melenturkan uratnya. Ia
menggelengkan kepala dan menoleh ke berbagai arah. Nathan yang heran dengan
pacarnya bertanya, “Kamu kenapa? Kaya lagi nyari sesuatu gitu,”
“Iya, aku lagi nyari Azril,” jawab
Salma masih mengedarkan pandangannya.
“Ko yang dicari Azril? Bukan aku?”
Nathan sewot sendiri.
“Aku lagi ada urusan sama Azril.
Kamu lihat nggak?”
“Nggak,” jawab Nathan ketus.
Salma yang menyadari ketusan Nathan,
menipiskan jarak di antara keduanya. Kini pandangan mereka bertemu. Salma
tersenyum manis, senyuman yang membuat Nathan jatuh cinta padanya. “Nathan….
Kamu lihat Azril nggak?” Salma bertanya sembari mengedip-ngedipka matanya.
“Oke! Aku nyerah,” jawab Nathan
pasrah. Ia tidak kuat jika harus beradu mata dengan pacarnya. “Zee lagi
bersihin toilet perempuan,” lanjut Nathan.
Menyadari ada sesuatu yang janggal.
Nathan dan Ricky kompak berkata, “Jadi cewek-cewek yang tadi itu….”
Badannya terasa pegal selepas
membersihkan toilet perempuan. Untungnya Zee mengunci pintu masuk toilet dari
dalam sehingga tidak ada satu siswi yang mengganggunya. Kalo tidak, bisa-bisa
kerjaannya tidak pernah selesai.
Kini wajahnya penuh keringat. “Dasar
manusia, hidup cuman buat ngeluarin tai,” maki Zee. Gedoran pintu terdengar
dari luar. Beberapa orang memanggil namanya. Tanpa melihat, Zee sudah tahu
bahwa itu Nathan dan Ricky.
Ia membuka pintu toilet. Di luar ia
melihat Nathan, Ricky dan Salma. Salma menelan ludah saat ia melihat tubuh Zee
yang terbilang indah. Matanya tidak bisa berkedip hingga pandangannya mendadak
gelap karena Nathan menutupi matanya dengan tangannya. “Bukan muhrim, jangan
pakai nafsu,” ucap Nathan.
“Ihh! Apaan sih, Yang?!”
Zee menggelengkan kepala melihat
bagaimana Nathan dan Salma adu mulut. Sampai detik ini pun ia masih heran
kenapa Salma mau menerima Nathan sebagai pacarnya. Meskipun terbilang ganteng,
Nathan juga salah satu tukang rusuh di SMA 13 Depok, berbanding terbalik dengan
Salma yang adem ayem meski sedikit pecicilan.
“Kamu tuh yang apaan. Lihat Zee kaya
lihat mutiara,” Nathan membalas kesal.
“Bisa nggak sih lo berdua nggak usah
berantem dulu? Pusing gue dengernya!” seru Ricky tidak tahan. Mendadak Salma
melemparkan pandangan ke arahnya. Serasa ditusuk, Ricky meralat ucapannya,
“Bisa nggak sih lo, Ricky, nggak ikut campur?!” ucapnya menunjuk diri sendiri.
“Kalian mau ngapain?” tanya Zee
sembari keluar dari toilet perempuan dan duduk di beranda kelas. Pandangannya menyelidik
ke berbagai arah hingga ia memanggil seorang siswa kelas XI, Joko. Siswa
berkacamata bulat itu datang dengan sedikit menunduk, takut dirinya menjadi
samsak Zee.
“Nggak usah ketakutan gitu. Gue
cuman minta tolong beliin es teh manis mbok Ina,” minta Zee sembari
mengeluarkan uang sepuluh ribu dari sakunya. Joko mengangguk cepat dan pergi.
“Si Salma nyariin lo tuh,” Nathan
berkata sembari duduk di samping Zee dan melihat heran Ricky yang tengah duduk
di samping cewek-cewek kelas X, berusaha bersosial dengan mereka, atau lebih
tepatnya berusaha pedekate dengan mereka.
“Kenapa, Sal?” tanya Zee.
“Lo lihat Hanggini hari ini?”
Ketika nama Hanggini disebut, Zee
seakan tersadar akan sesuatu. Benar juga, ia belum melihat cewek itu semenjak
tadi pagi. Bahkan ia tidak melihatnya di kantin bersama Salma dan yang lainnya.
Zee menggeleng, “Nggak.”
“Itu dia. Gue baru dapet kabar
kalo….” Salma ragu-ragu ingin menyampaikan berita ini. Nathan yang sudah tahu
perihal kabar itu hanya diam. “Kakaknya Hanggini meninggal,” lanjut Salma.
Kakaknya Hanggini meninggal? Zee
berusaha tetap tenang. “Terus?”
“Gue, Ricky dan Salma ada rencana ke
rumah Hanggini hari ini. Lo mau ikut?”
Joko kembali membawakan es teh
pesananan Zee dan memberikannya sembari menunduk. “Nggak usah nunduk gitu, gue
nggak gigit,” ucap Zee pada Joko. Joko menegakkan tubuhnya dan mengangguk
paham. Lalu ia mengeluarkan beberapa lembar kembalian dari sakunya dan
memberikannya pada Zee.
Zee menolak dan berkata, “Ambil aja
kembaliannya buat lo.”
Joko mengangguk-ngangguk berterima
kasih lalu pergi. Nathan dan Salma tanpa sadar tersenyum melihat perlakuan Zee.
“Jadi
gimana?” Nathan kembali bertanya.
Nathan sudah duduk di motor ninja
hitamnya di depan gerbang. Salma memberitahunya lewat WA bahwa ia akan telat
beberapa menit karena ada piket kelas. Sembari menunggu, Nathan ditemani Ricky
yang tengah asik mendengarkan lagu-lagu Kodaline, band favoritnya.
Sedangkan Zee tengah duduk di kursi dekat pos satpam sambil merokok dan membaca
novel.
Satpam yang tadinya hendak menegur
Zee karena ia merokok di lingkungan sekolah mendadak menurut saat Zee berkata,
“Saya nggak merokok di sekolah, Pak. Saya merokok di luar sekolah.” Dengan
mudahnya satpam itu menurut.
Para siswa SMA 13 Depok tampak
ragu-ragu melewati gerbang sekolah. Mereka khawatir dengan gerombolan tukang
rusuh itu. Ditambah lagi, ada kabar-kabar bahwa gerombolan tukang rusuh kelas
XII, Rio dan teman-temannya sudah akrab dengan Zee, Ricky dan Nathan.
“Nyet, lihat tuh,” Nathan menepuk
bahu Ricky dan menunjuk ke arah pos satpam dengan dagunya. Ricky menengok dan
melihat Natasha tengah duduk di samping Zee. “Nggak ada capeknya tuh cewek
ngejer-ngejer Zee,” ujar Ricky.
“Lagian gue sendiri bingung sama
Zee. Tuh anak kenapa nggak nyantol sama Natasha, ya? Padahal Natasha itu udah
cantik, baik, bodynya bagus,” Tanpa sengaja Nathan berkomentar mengenai
Natasha.
“Kamu mau sama dia?”
“Mau lah!” jawab Nathan tegas tanpa
berpikir. Hingga ia menyadari bahwa pertanyaan itu muncul dari suara yang ia
kenal. Kepalanya bergerak ke samping dan mendapati Salma menekuk wajahnya
kesal.
“Ya udah. Gih pacaran sama Natasha!”
seru Salma cemburu.
Ricky menggelengkan kepala, dibuat
heran oleh dua insan beda watak ini. “Cinta bukan cuman bikin buta, tapi cinta
bisa bikin gila,” ujarnya.
“Yang, tadi tuh cuman bercanda. Buat
apa sempurna kalo nggak bisa bikin nyaman? Iya nggak?” Nathan mencoba membujuk
Salma.
“Nyaman… nyaman, emang kasur,” Ricky
malah mencoba memperkeruh suasana.
Nathan melirik ke arah Ricky dengan
lirikan dendam yang malah dibalas Ricky dengan tawa. Salma menghampiri Nathan
dan tersenyum, “Kamu emang paling bisa buat aku luluh,” ujar Salma tersenyum.
Merasa kedamaian sudah di depan mata, Nathan membalas senyuman itu dengan
tangan membentang, mencoba untuk memeluk Salma. Namun Salma malah memberinya
satu cubitan keras di perut Nathan.
“Aduh, Sal. Sakit,” kata Nathan
meringis.
“Bodo!” Salma membalas dan berjalan
menghampiri Ricky. “Ayo, Ky. Buruan. Nanti kesorean,” seru Salma sembari
menepuk pundak Ricky. Ricky menoleh Nathan dan Salma bergantian. Ia merasa
dirinya berada di tengah-tengah supporter Persib dan Persija.
“Ricky,” panggil Salma dengan nada
menekan agar ia sadar. Sementara itu, Nathan memandanginya tajam, pandangan
ingin menghajar.
“Tapi, Sal,”
“Urusan Nathan biar gue yang ngurus.
Cepetan!”
Ricky menyalakan motornya. Salma
duduk di belakangnya. Nathan yang sudah kalah hanya bisa pasrah. Sebelum melaju
pergi, Nathan dan Ricky mengangkat tangan ea rah Zee dan pamit. Zee membalas
dengan anggukan.
“Kamu nggak ke rumah Hanggini?”
tanya Natasha dengan nada lembut, mencoba menggoda. Bahkan ia mendekatkan
wajahnya ke wajah Zee sembari sesekali menyelipkan rambutnya di belakang
telinganya, membiarkan Zee mencium parfum baru yang ia beli di pusat
pembelanjaan di daerah senayan.
Bukannya tergoda, Zee malah merasa
terganggu. Kalo bukan karena ban motornya yang tiba-tiba bocor dan kini sedang
ditambal di dekat sekolah, Zee tidak akan mau berlama-lama di tempat ini.
Apalagi ditemani Natasha.
“Iya juga, sih. Lagian nggak penting
banget buat ngurusin tuh cewek. Biarin aja kakaknya mati. Mungkin itu hukuman
dari Tuhan agar kakaknya nggak sering jual kemaluan,” kata Natasha sarkastik.
Zee belum mengerti maksud dari
ucapan Natasha. Ia kembali merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu bungkus
rokok. Tinggal enam batang. Zee menarik satu batang, menjempitnya di antara
jari telunjuk dan jari tengah, menempelkannya di bibirnya lalu menyalakan
pemantik.
Beberapa detik kemudian asap keluar
dari mulut dan hidungnya. “Zee, kita bisa nongkrong di daerah Kemang kalo kamu
mau,” goda Natasha. Zee menengok ke arahnya dan melihat riasan yang terlukis di
wajah Natasha. Bibir tipis merah serta alis yang sedikit tebal itu memang
menjadi godaan sendiri bagi kaum Adam. “Gimana? Kamu bisa?” tanya Natasha.
Tukang tambal ban tiba-tiba
menghampiri Zee dan berkata bahwa semuanya sudah beres. Zee mengangguk dan
bangun dari kursinya. Ia memberikan sisa rokoknya pada satpam sekolah dan pergi
berjalan sebelum tangannya dicengkram Natasha. Ia membalikkan badan dan menatap
Natasha, menunduk, menyetarakan wajahnya pada wajah Natasha.
Badan Natasha mendadak panas tidak
karuan saat Zee mendekatkan mulutnya di telinganya lalu berbisik, “Gue nggak
suka nongkrong. Gue sukanya duduk.”
Selepas
itu Zee pergi meninggalkan Natahsa yang dibuat mematung. Baru kali ini ia bisa
menghirup wangi Zee dari dekat.
Salma, Nathan dan Ricky sudah berada
di dekat rumah Hanggini. Hanggini mengirim pesan pada Salma bahwa ia tidak bisa
bertemu di rumahnya karena terlalu banyak polisi yang tengah bertugas
menyelidiki lebih lanjut kematian kakaknya. Namun Hanggini juga berkata padanya
bahwa kita bisa bertemu di taman dekat rumahnya. Salma setuju.
Ditemani suara air mancur, Hanggini
duduk di kursi taman sembari menunduk menutupi wajahnya dengan kedua telapak
tangan. Salma yang duduk di sampingnya memeluknya, mencoba memberinya
ketenangan. Sedangkan Nathan dan Ricky hanya bisa melihat mereka berdua dalam
diam.
“Jeha, lo yang kuat, ya,” ucap Salma
sembari mengusap-ngusap rambut Hanggini.
“Gue bahkan belum ketemu lagi sama
dia, Sal,” balas Hanggini dalam tangis.
“Kakak lo orang baik, Ha. Gue
percaya dia udah bahagia di sana,” Salma kembali menguatkan.
Sembari memeluk Hanggini, Salma
memberikan kode ke Ricky untuk melancarkan aksinya. Ricky pun menangkap kode
itu. Sempat dilanda keraguan, ia pun duduk di samping Nathan. Nathan yang tidak
tahu apa-apa melonjak kaget saat Ricky memeluknya dan berkata, “Lo yang sabar,
ya, Nath. Gue tau lo banyak dosa tapi gue nggak nyangka kalo lo bakal ketemu
malaikat maut secepat ini.” Ricky mengusap-ngusap kepala Nathan sembari
sesekali menjambaknya dari belakang dan berpura-pura menangis.
“Kambing lo, Ky! Apaan sih!” Nathan
mencoba melepaskan diri dari pelukan Ricky namun gagal. Ricky memeluknya erat
meski perutnya mual. Kalo bukan karena takut sama Salma, gue mana mau kaya
gini, gerutu Ricky dalam hati.
“Gue tau lo udah booking kuburan,
Nath,” Ricky semakin menjadi-jadi. Ia berakting layaknya Jefri Nichol.
Salma yang mengetahui gilirannya
tiba langsung membentak Ricky dan Nathan, “Kalian homo?! Nathan! Jadi selama
ini kamu sama Ricky….”
Nathan menampakkan wajah kesal
karena menyadari ini adalah kerjaan Ricky dan Salma. “Nggak, Yang. Lo ngapa
sih, Ky?! Geli gue!”
Ricky sedikit melonggarkan
pelukannya, menyentuh kedua pipi Nathan dan berkata, “Aku siap mati demi kamu,
Yang,”
“Aku nggak nyangka, ya,” ujar Salma
dengan raut wajah pura-pura sedih.
Hanggini tahu ini hanya sebatas
kerjaan Salma agar dirinya merasa terhibur. Sebilah senyum tercoret di
wajahnya. Ia beruntung masih ada orang-orang yang menyayanginya. Meskipun
dirinya masih tidak terima atas kepergian kakaknya, Diana, ia pun menyadari ia
harus kuat menjalani ini semua.
“Udah-udah, misi berhasil,” ucap
Salma pada Ricky sembari tertawa. Ricky buru-buru melepas pelukannya dari
Nathan. Ia bangun dan berlari ke air mancur dan membasuh wajahnya. “Ya Allah,
ampunilah dosa hamba barusan,” kata Ricky menghayati.
Melihat kelakuan temannya itu,
Nathan, Salma dan Hanggini tertawa. Langit mulai diselimuti mega merah.
Burung-burung mulai berterbangan dan hinggap dari satu ranting ke ranting yang
lain. Merasa sudah cukup tenang, Hanggini angkat suara, “Ko gue nggak lihat
temen lo?” tanya Hanggini pada Nathan.
Nathan menunjuk ke Ricky yang tengah
merokok sembari melihat air mancur. “Itu temen gue,” jawabnya.
“Yang satu lagi maksud gue,” jelas
Hanggini.
“Ohhh, maksud lo Azril?” tanya Salma
memperjelas. Hanggini mengangguk pelan tanpa berani menatap mata Salma. “Kenapa
nih? Ko tiba-tiba nanya Azril?” Salma tersenyum sembari memandang Hanggini
dengan tatapan menyelidik.
“Nggak apa-apa, gue cuman nan---“
“Jeha,” panggil seseorang dari arah
belakang. Secara kompak Nathan, Salma dan Hanggini menoleh ke suara tersebut
dan melihat Iqbaal tengah berdiri mengenakan sweater hitam, celana hitam dan
sepatu vans abu-abunya. Aroma parfum axe berhamburan saat Iqbaal
mendekat dan duduk di samping Hanggini.
Kedatangan Iqbaal membuat Salma
otomatis berdiri dan duduk di samping pacarnya, Nathan. Iqbaal denga lembut
berkata, “Ha, gue turut berduka, ya.” Perkataan itu diselaraskan dengan Iqbaal
meletakkan telapak tangannya di atas punggung tangan Hanggini.
“Bal, gue---“
Tanpa menunggu ucapan Hanggini,
Iqbaal memeluknya dan meletakkan kepalanya di bahunya. “Gue ada di sini buat
lo, Ha. Gue janji nggak akan ke mana-mana.” Perasaan Hanggini semakin dibuat
tenang saat telinganya menangkap perkataan Iqbaal barusan. Serasa diberi
kehangatan, Hanggini membalas pelukan Iqbaal.
Nathan dan Salma dibuat terpukau
dengan perilaku Iqbaal terhadap Hanggini. Tidak salah memang mereka disebut
sebagai goal couples. Nathan dan Salma baru mengetahui bahwa Iqbaal
sangat pintar memahami perasaan seseorang, terutama Hanggini.
Kini Iqbaal menyentuh pipi Hanggini
dengan lembut, dan berkata, “Lo udah makan?”
“Nggak laper,” jawab Hanggini.
“Lo harus makan, Ha. Gue nggak mau
lo sakit,” Iqbaal membalas penuh perhatian.
Tiba-tiba Nathan menggeliat begitu
saja mendapati Salma mencubit pinggangnya tanpa dosa. Dengan pelan namun tajam,
Salma berkata, “Kamu nggak pernah nanyain aku kaya gitu.” Mata Nathan terbuka
lebar mendengar ucapan Salma barusan yang ia anggap sebagai sindiran berlapis
peringatan.
“Gue nggak laper, Baal. Gue-----“
“Loh? Ko lo ada di sini, nyet?”
Ricky mendadak berkata karena melihat kedatangan Zee. Bahkan Zee menenteng satu
kantong plastic berisikan lima bungkus nasi goreng. Kini semua mata tertuju
pada Zee, termasuk Hanggini.
Hanggini melihat Zee berdiri dan
sempat melihatnya sebelum pandangan itu mengarah ke Nathan. Zee menghampiri
Nathan dan memberikan satu kantong plastic itu. “Nih, pesesan lo,” kata Zee
dingin. Nathan yang merasa tidak memesan apapun hendak menyangkal sebelum ia
melihat mata Zee yang memandangnya tajam.
“Ohh, iya, iya. Akhirnya pesenan gue
dateng juga,” jawab Nathan sedikit kikuk.
“Azril, gue….” Hanggini hendak
mengatakan sesuatu pada Zee sebelum orang itu membalikkan badan dan pergi
begitu saja ke motornya lalu hilang ditelan kejauhan. Aneh, kenapa ada sesuatu
yang sakit saat melihatnya pergi begitu saja? Hanggini bertanya pada dirinya
sendiri. Apa mungkin Zee marah padanya soal insiden di lapangan parkir itu?
Komentar
Posting Komentar