Bab Dua - Kenapa Harus Kenapa.

 




Kamu datang dengan segenap hati, membuat diri membuka kembali pintu yang sudah lama terkunci. Aku kira kamu akan membenahi apa yang seharusnya dibenahi, nyatanya kamu menghancurkan apa yang seharusnya dihargai.

********************

“Apaan, Dik?” tanya Rendi sesampai mereka di kelas.

“Tadi ada kaka kelas nyariin Reza,” lapor Andika.

“Cowo?” tanya gue memastikan.

“Cewe.”

“Cantik?” tanya Rendi penasaran memasang wajah harapan.

“Lumayan, Ren,” jawab Andika dengan senyum jahat.

“Bodynya gimana?”

“Mirip Caitlin Halderman, pemeran starla,” jelas Andika.

“Wah, cakep banget itu mah,” balas Rendi bersemangat sampai menepuk keras pundak Andika. Andika hanya bisa mengusap sakit pundaknya tanpa berani membalas pukulan temannya yang dikenal jagoan ribut itu.

“Lu berdua kenapa malah bahas itu sih?” celetuk gue sebelum pembicaraan Rendi dan Andika pergi ke pembahasan yang semakin serius. “Dik, tuh cewe enggak kasih apa-apa ke lu?” tanya gue.

“Enggak, Za. Bahkan dia aja enggak kasih gue uang jajan.”

“Yahhhhhhh… udang busuk! Lu fikir dia nyokap lu?!” balas Rendi.

Cewe? Siapa? Ini hari pertama gue di sekolah, enggak mungkin ada cewe nyariin gue. Lagipula, gue juga enggak ada masalah sama siapa-siapa kecuali kaka kelas, itupun mereka cowo. Kalo cewe yang dimaksud Andika adalah cewe yang tadi di ruang guru, ada apaan dia nyariin gue? Bahkan, barusan saja dia berjalan melewati gue tanpa melihat gue. apa secepat itu manusia berubah dari cuek menjadi perhatian?

*******************

Gue mencoba mengingat-ngingat dengan siapa saja gue berurusan hari ini sembari duduk di dekat jendela menghadap langit bersandar pada dinding kelas.

Udah 30 menit berlalu dan nggak ada tanda-tanda kaka kelas itu kembali.  

"Sial!!" Rendi memukul meja dengan telapak tangan memecahkan lamunan gue. "Gue laper banget,” lanjut Rendi sambil mengusap-ngusap perutnya.

Detik ini, Rendi memang terlihat seperti orang-orang yang berhak diberi nafkah pada saat ini. Gue yakin, kalo ada pembagian sembako hari ini, Rendi bakal ngambil tuh sembako, enggak peduli panjang antriannya dari Monas ke Gedung sate. Rasa laparnya membuat perut dan mulutnya enggak berhenti berbunyi.

"Za, lu ga laper?” tanyanya pada gue.

"Ga," jawab dengan wajah yang masih menatap langit-langit.

“Yakin lu? Badan lu aja lebih kurus dari gue, nyet, masa enggak laper?”

Gue tidak menggubris pertanyaan Rendi dan memilih untuk merubah posisi duduk gue dengan bersender pada tembok dan menaikkan kaki diatas kursi sebelah gue. Gue merogoh handphone di saku celana gue, menyalakan layarnya, memasang headset di telinga dan memilih lagu di playlist gue. Lagu Garis waktu ­karya Fiersa Besari menjadi pilihan gue saat ini sembari memejamkan mata.  

"Aduh, bego banget dah gue. Kenapa gue tuangin tuh kuah bakso ke kepala si kampret,” keluh Rendi sembari menjambak rambutnya sendiri. "Aduuuhhh! Ya Allah! Hambamu yang sholeh dan tidak sombong ini laper, Ya Allah.”

"Ssssst, berisik tau gak!!" teriak beberapa siswi yang lain karena merasa terganggu dengan suara keras Rendi. “Kalo laper, makan. Kalo enggak punya uang, minta. Kalo masih punya malu, tahan. Kalo lo cowo, traktir!” dercak siswi-siswi itu berbarengan.

"Waduh, dibentak calon emak-emak. Ya, maaf-maaf," balas Rendi sembari merapatkan kedua telapak tangannya seperti halal bihalal. “Gue kasih tahu sama lo pada, udah enggak jaman, kalo cowo yang selalu harus traktir cewe. Kalo menjalin hubungan itu harus saling menguntungkan,” bela Rendi pada diri sendiri.

“Dasar cowok pelit! Kalo cewenya jelek, nanti malu. Kalo cewenya cantik, nanti cemburu. Cowo emang ribet!” balas siswi-siswi itu tidak mau kalah.

Sejenak ketika mata gue sudah terpejam, bayang-bayang cewek misterius yang berhasil bikin gue penasaran datang menghampiri. Bahkan suara teriakan Rendi nggak membuyarkan gambaran cewek tersebut dibenak gue. Malahan sebaliknya, wajah dan gerak-gerik cewek tersebut makin jelas di benak gue. Rasa penasaran tentang dirinya makin menjadi. Entah, kenapa rasa ingin mengetahui tuh cewek semakin besar?

Tok tok!! Suara ketukan pintu terdengar di telinga gue namun tidak membuat gue membuka mata gue dan memerhatikan siapa yang datang karena fikiran gue masih saja membayangkan cewek misterius tadi."Ada yang namanya Reza enggak disini?” tanya seseorang dengan lembut. Dari suaranya, gue mengetahui bahwa suara ini suara cewek, entah suara cewek haqiqi atau cewek jadi-jadian.

"Ada tuh, Ka. Tuh orangnya yang lagi dengerin lagu sambil senderan di tembok," jawab Randayani, ketua kelas gue sembari menunjuk ke arah gue.

Cewek tadi melangkah pelan menghampiri gue, melewati beberapa teman laki-laki gue yang daritadi matannya udah aotu fokus ke cewek tersebut, mata cctv memang sulit ditandingi.

"Lo yang namanya Reza?” tanyanya sembari mengajak berjabat tangan.

Gue yang daritadi malas untuk berinteraksi dengan manusia karena lapar enggan untuk membuka mata.

Cewek tadi berdeham  sedikit, memberi isyarat agar gue membuka mata. Tapi usaha dia tidak berhasil. Gue masih asik dengan dunia gue sendiri. Tiba-tiba jidat gue ditepok pelan, Plak, dan headset gue ditarik. Gue membuka mata dan mendapati Rendi melirikkan matanya ke arah cewek tadi. Tatkala mata gue melihat ke arah cewek ini, mata gue sedikit membelalak karena mengetahui kalo ini cewek adalah cewek yang ketemu gue di kamar mandi hari ini.

"Hei,” sapanya sembari menjulurkan tangannya, mengajak bersalaman.

Gue menyambutnya. Kulitnya benar-benar halus. “Hei,” balas gue dengan nada datar.

“Gue ke sini mau ngasih surat. Ini dari temen gue,” lanjutnya sembari meletakkan sebuah surat di dalam amplop di meja gue.

Dari temennya? Siapa? Gue aja gak kenal siapa nih orang. Kenapa tiba-tiba nih cewek kasih surat ke gue. Jangan2 surat utang? Atau kredit pulsa? Bon belanja pendatang hadiah? Semoga Bukan.­ Fikir gue.

"Thanks ya," balas gue sambil menerima surat itu. Beberapa detik kemudian, gue melihat ke arah cewek tersebut. Ia membalas pandangan gue dengan senyum tipis terbentuk dari wajahnya indah.

"Gue boleh duduk?” tanyanya.

Gue mengangguk dan menurukan kaki yang sedang asik-asiknya diistirahatkan. Gue kaget ketika ia duduk bersebelahan dengan gue. Wangi aroma Eau de parfumnya benar-benar menyengat.

“Lo punya waktu buat ngobrol?” tanyanya lagi.

“Enggak ada,” balas gue sekenanya.

“Kalo besok?”

“Enggak tau,”

“Ya udah, besok gue tunggu lo di depan gerbang sekolah.”

"InshaAllah kalo gue ada umur panjang," balas gue sembari menatapnya.

Cewek tersebut berdiri dan pergi meninggalkan kelas. Rendi yang daritadi memerhatikan dengan detail cewek tadi langsung menghampiri dan duduk di samping gue sembari memasang wajah penasaran tentang isi kertas tersebut. Gue melirik ke arahnya dan berkata, “Kenapa lu? Kesambet setan?”

Dia melirik ke arah surat tersebut dan menaikkan alisnya sebagai isyarat untuk membuka surat tersebut. Beberapa anak lainnya pun sama. Mereka menghampiri gue sembari berkata, "Buka dong, Za!" teriak Ridho, salah satu teman gue yang gila instagram.”Gue mau bikin instastory nih.”

"Jangan! Itukan surat pribadinya Reza. Kalian gak boleh kepo,” kata Afifah, salah satu cewek sholehah dikelas gue.

"Buka aja buka. Saik banget nih Reza dapet surat dari kaka kelas," teriak beberapa anak dengan maksud mengompori.

"Minggir-minggir!” ucap Dewi sambil menepuk kepala teman-temannya dengan buku tulis kecil miliknya tanpa merasa berdosa, kepala teman-temannya sudah seperti nyamuk baginya. “Za! Lu gak tau tadi tuh siapa?” tanya Dewi, salah satu cewek tomboy kelas gue, sembari melotot ke arah gue seperti ingin marah karena gue sepertinya sudah melakukan kesalahan fatal.

Gue menengok ke Dewi, menelan ludah karena takut dia bakal mukul kepala gue juga. Gue menggelengkan kepala tanda nggak tahu.

"Itu tuh Kak Laras! Salah satu cewek famous di kelasnya, kaka kelas kita! Gila! Bisa-bisanya lu cuekin tuh cewek," serunya dengan nada memperingatkan dan menunjuk ke arah gue.

Ka Laras? Jadi namanya Laras. Jujur, gue enggak pernah denger dia sebelumnya, entah karena dia yang enggak hadir saat teman-temannya melaksanakan kegiatan MOS, atau guenya aja yang enggak sadar tentang keberadaan dia hingga gue ketemu dia di kamar mandi hari ini. Yang pasti gue rasa, dia sedang punya masalah.

“Woi! Pak Sumarno dateng!!” teriak Bima berlari masuk ke dalam kelas dan dengan sigap duduk di kursinya. Seketika para murid berhamburan ke kursi mereka masing-masing sedangkan gue langsung mengambil surat tersebut dan menaruhnya di kolong meja.

Surat tadi, apa maksudnya ya? Siapa pengirimnya pun enggak gue kenal, apa gue buang aja ya? Tapi, entah kenapa, ada sisi dari diri gue yang berharap bahwa surat tadi adalah dari cewek misterius tadi, berharap bahwa dia dapat memberi kata-kata yang bermakna dan bersifat bahagia. Di sisi lain, ada diri gue yang memaksa gue untuk tidak terlalu berharap tinggi, karena berharap tinggi pada manusia akan memberikan kemungkinan besar untuk jatuh yang sangat sakit.

Ketika para murid sudah duduk sigap di kursi dan buku-buku yang sudah siap di atas meja, wajah-wajah serius sudah kembali terlihat. Tiba-tiba, Bima melontarkan pernyataan yang memancing seluruh emosi murid-murid.

“Tapi bohong, hahahaha,” canda Bima sambil tertawa terbahak-bahak, merasa puas telah berhasil membohongi semua teman-temannya.

“Si bego! Kirain gue beneran,” ucap Rendi kesal. Ia merobek selembar kertas dari buku tulis Andika, meremukkannya dan melemparkannya ke Bima. “Gue lagi asik-asik ngepoin si Reza, lu dateng bawa kabar hoax, mau gue jadiin lutung kasarung lu?!”

Bima masih saja tertawa terbahak-bahak mendapati teman-temannya tertipu. “Sorry-sorry, lagian gue lihat lu pada serius banget sama isi surat Reza.” Bima berdiri lalu merobek selembar kertas dari buku tulisnya, meremukkanya dan membalas lemparan Rendi. Alhasil, suara riuh kelas kembari menggema karena tingkah Rendi dan Bima hingga salah satu lemparan Bima mengenai jidat hitam milik Pak Sumarno yang baru saja masuk ke dalam kelas.

“Astagfirullah!” Bima terkejut ketika mengetahui hal itu. Rendi dengan cepat duduk sambil menunduk dan pura-pura membaca buku.

“Bima!” seru Pak Sumarno dengan keras sambil melintir-lintir kumisnya yang panjang sebelah. “Maneh, hayang abdi hukum?!”

Bima menggeleng sambil menunduk gemetaran.

“Ya udah, duduk!”

Setelah pelajaran bahasa Sunda Pak Sumarno dimulai, fikiran gue terbang entah kemana. Lama kelamaan, rasa penasaran isi surat tersebut mulai datang. "Sial!" teriak gue tanpa sengaja.

"Kunaon maneh teh Reza?!” tanya Pak Sumarno sambil memandang gue tajam.

"Enggak ada apa-apa, Pak. Maaf-maaf, pak. Silahkan lanjutkan," jawab gue malu karena udah memecahkan suasana. Beberapa teman melihat gue sembari menahan tawa, apalagi Rendi yang daritadi tidur dan terbangun karena teriakan gue.

"Maneh, lamun aya masalah teh. Ntong mawa-mawa kadieu! Ngarti?!" teriaknya.

"Ya, Pak." Gue mengangguk pelan.

Setelah jam pelajaran terakhir selesai. Para siswa-siswi berlarian keluar gerbang sekolah. Gue dan Rendi pergi ke lapangan parkir. Hari ini Rendi mengajak gue untuk nongkrong di salah satu café yang ia temui di explore Instagram hari ini. Guepun mau aja karena cacing perut udah berdemo meminta jatah makanan. Gue membututi Rendi dari belakang. Ketika sedang berjalan menuju lapangan parkir, seseorang menabrak bahu gue hingga beberapa buku yang dibawa olehnya terjatuh. Guepun ikut membereskan buku-buku tersebut, tetapi ketika gue mendanga sedikit ke arah wajahnya, gue terkejut karena yang menabrak bahu gue adalah cewek misterius yang gue temuin di ruang guru hari ini.

“Lu?”

Cewek misterius itu tetap menunduk. Ia tidak mau melihat gue dan berkata pelan, “Maaf.” Dia berdiri, memeluk buku-bukunya dan hendak melanjutkan jalannya. Gue dengan cepat menggenggam pergelangan tangannya. Dia berhenti dan melihat ke arah dimana gue memegang tangannya dengan pandangan risih, sepertinya dia enggak merasa nyaman. Melihatnya merasa enggak nyaman seperti itu, gue melepaskan pegangan gue sambil berkata, “Sorry-sorry. Gue enggak ada maksud apa-apa.”

Dia mengangguk pelan memberi isyarat bahwa dia tidak mempermasalahkan pegangan gue barusan.

“Udah selesai puasa ngomongnya?” tanya gue tersenyum lebar memperlihatkan gigi putih gue.

Tanpa bicara sepatah katapun, ia melihat gue dengan pandangan yang tidak pernah dia berikan sebelumnya. Pandangan kami beradu, saling mengait tidak berhenti memberi kesempatan pada detik menghalanginya. Gue menelan ludah karena gugup, darah mengalir lebih cepat dari biasanya. Dia tersenyum tipis kemudian membalikkan badannya dan pergi berjalan.

“Sebentar.” Gue menahannya untuk ke dua kalinya.

Dia melirik ke arah gue sambil menaikkan alis memberi isyarat tanya.

“Kita belum kenalan,” ucap gue lembut.

Mata dia berkeliling seakan memastikan keadaan bahwa tidak ada yang melihat dan mendengar hingga matanya terhenti pada satu titik di belakang gue. Matanya melebar kaget seperti melihat hantu.

“Maaf, aku buru-buru,” balasnya menarik tangannya dengan kasar dan pergi dengan langkah yang lebih cepat dari sebelumnya.

“Enggak usah terlalu cuek. Kalo terlalu cuek sama orang, orang itu bisa pergi tanpa memberi kabar. Kalo udah pergi, nanti jadi kangen. Kalo udah kangen, bahaya. Enggak ada obatnya keculai ketemu,” ucap gue sedikit kencang. Ini memang cara gue untuk berkenalan dengan teman yang menurut gue pantas dijadikan teman. Jadi enggak usah kaget kalo gue ngelontarin perkataan seperti ini.

Ini cewe ngapa misterius banget ya. bikin penasaran. Lucu banget. Oh ya, kenapa pandangannya tadi berubah gitu ya. Gue membalikkan badan berusaha melihat apa yang dilihat oleh cewek tadi. Tidak ada siapa-siapa kecuali para penjemput murid-murid dan para penjual kaki lima. Gue menaikkan bahu guna menghilangkan sangkaan-sangkaan aneh dalam benak gue lalu berjalan menghampiri Rendi yang sudah menyalakan motornya.

“Lama banget, Za. Kemana aja lo? Beol dulu?” tanya Rendi sembari memberikan helm ke gue.

Gue menggeleng. “Ayo dah cabut,” ajak gue.

Sebuah kedai bernama Kedai Locale menjadi pilihan Rendi dan gue. Beberapa menu disarankan oleh pegawai café., Rendi memilih untuk memesan mie goreng double dengan es teh pelengkapnya, sedangkan gue memilih untuk memesan roti bakar coklat kacang dengan es coklat pelengkapnya. Gue melihat sekeliling kedai, kedai yang memiliki desain interior yang didominasi dengan kayu dan dinding yang terbuat dari batu bata Putih ini memang membuat suasana menarik, ditambah lagi dengan pencahayaan yang cukup membuat suasana makin menarik.

Motor Rendi terparkir cantik di lapangan parkir. Beberapa motor dan mobil pun sama. Kamipun masuk ke dalam dan memilih tempat. Disana gue melihat beberapa murid lainnya, mahasiswa, karyawan, serta orang-orang lainnya sedang bercengkrama, berpacaran dan bernegosiasi bisnis. Beberapa dari mereka juga melakukan foto karena tema kedai yang instagramble. Gue melirik jam tangan gue. Pukul 3 sore lewat 30 menit. Kedai masih terlihat ramai dan bertambah ramai. Sebuah lagu dari Luav berjudul I like me better diPutarkan guna membuat para pengunjung lebih nyaman.

“Nih kedai wangi banget ya,” ujar Rendi. “Beda banget wanginya sama ketek lu, Za.”

Perasaan gue tenang ketika udara dingin dari ac mulai menghampiri kulit gue. Gue memilih kedai yang terletak di daerah Rawamangun ini Bukan karena ingin sok kaya. Untuk orang seperti gue, dompet gue tebal Bukan karena uang, melainkan catatan kecil penuh arti. Dan hari ini, Rendi berinisiatif baik untuk mentraktir, hitung-hitung ganti makan pagi yang tertunda karena para kampret itu datang.

"Za, lu ada masalah sama kaka kelas?” tanya Rendi setelah menenggak es teh manis dingin miliknya.

"Enggak, gue gak ada masalah,” jawab gue sambil memotong roti bakar berlapis coklat dan mesis itu. Rasa gurih dan manis roti itu langsung bercampur dengan lidah gue.

“Terus kenapa tuh surat bisa nyamperin lu?”

Gue mengangkat bahu.”Salah kirim mungkin.”

“Gue tau lu tuh orangnya enggak terlalu mikirin sama masalah percintaan atau semacamnya. Tapi, kalo lu ada masalah sama kaka kelas, lu bisa cerita sama gue.”

"Thanks, Ren.”

"By the way, Lu pernah ngerasain jatuh cinta nyet?"

“Ya pernahlah, gue nih masih normal, Ren.”

Kami bercerita tentang masa-masa gila MOS kami sembari menyantap hidangan kami, dari cara kami menghindari tugas kaka kelas, menjahili kaka kelas dengan menaruh permen karet di bangku mereka dan sepatu mereka, mengempesi ban-ban mereka. Lagu Marron 5 berjudul Payphone mulai terdengar, Adam Levine memang memiliki suara yang khas. Ketika sedang menyantap makan, perut gue berbunyi memaksa gue untuk pergi ke toilet.

“Oh ya, Ren. Pas gue tadi lagi pergi ke ruang guru, gue ketemu cewek,” gue mulai bercerita, “Nah, pas gue ketemu tuh cewek, gue lihat pandangan guru-guru ke dia tuh beda, Ren. Aneh gitu.”

“Aneh gimana?”

“Ya, kaya pandangan enggak suka.”

“Namanya siapa?”

“Gue enggak tau, tapi yang pasti gue tau, tuh cewek pendiem, Ren. Gue ngerasa kaya dia itu punya sejarah aneh gitu sama guru-guru.”

Rendi yang sedang mengunyah makanannya, tiba-tiba terdiam. Pandangannya lurus entah kemana. Wajahnya berubah menjadi tegang. Seakan seuntas nama telah melewati fikirannya.

“Ren, lo enggak apa-apa? Lo kenal sama dia?”

Mata Rendi terangkat sedikit demi sedikit hingga matanya lurus memandang gue. Kepalanya bergerak kanan-kiri. “Eng--- enggak, Za. Gue enggak kenal,” jawabnya.

“Kirain gue lo kenal dia. Ya udah, gue ke toilet dulu.” Gue bangkit dari kursi sembari memegang perut dan berjalan melangkah cepat ke arah toilet yang terletak di pojok café dekat dengan ruangan khusus para pegawai café.

Ketika gue sedang berjalan ke toilet, lagi-lagi bahu gue enggak sengaja menabrak bahu seorang cewek hingga ia terjatuh.

Prang!! Beberapa piring yang tadi ia pegang terjatuh. Alhasil, piring yang terbuat dari kaca tersebut harus pecah dan berserakan.

"Sorry-sorry," kata gue sembari jongkok dan merapihkan pecahan kaca piring.

Tanpa melihat gue, cewek itu berdiri dan menunduk. Dia mencengkram jemari telunjuknya. Gue mendanga melihat ke arahnya kemudian berdiri memperhatikan jemarinya yang berdarah.

"Jari lu berdarah tuh. Sebentar,” ucap gue sembari menggaruk ujung alis mata karena bingung harus apa.

Ia meringis kesakitan menahan perih karena terkenan goresan pecahan kaca.

“Duduk dulu,” ucap gue sembari menuntunnya ke kursi kosong dengan niat agar dia tetap tenang. Meskipun yang lebih terlihat nggak tenang adalah gue. Gue menelan ludah sembari berkeliling mencari pegawai café tersebut.

“Mas!” panggil gue pada salah satu pegawai café sembari mengangkat tangan gue. Pegawai café itu datang menghampiri gue dan cewek ini.

“Ada apa, Mas?”

“Bisa minta tisu dan obat merah?”

Pegawai itu mengangguk setelah melihat jari telunjuk cewek yang sedang duduk di depan mengeluarkan darah.

Rambut hitam sebahu cewek tersebut terurai dan terjatuh ke depan, menutupi wajahnya.

Sebentar, sepertinya gue kenal nih cewe. Dari gerak-geriknya, caranya berjalan dan menunduk.

Tidak butuh waktu lama untuk pegawai café itu kembali dan membawa tisu serta obat merah lalu menaruhnya di atas meja. “Nih, Mas. Ada lagi?”

“Enggak ada, Mas. Terima kasih. Oh ya, saya minta maaf buat piringnya, nanti saya bersihin.”

“Enggak usah, Mas. Nanti saya yang bersihin aja, obatin aja dulu pacarnya.”

Karyawan itu kemudian pergi meninggalkan rasa canggung di antara gue dan cewek ini. Pacar? Apa seperti itukah orang lain menangkap perbuatan gue hari ini? Padahal gue hanya mengobatinya, itu sebagai bentuk tanggung jawab, bukan bentuk yang lain.

“Kita obatin dulu ya,” tutur gue lembut.

Gue mengambil jemarinya pelan. Ada rasa canggung saat memegang tangan cewek asing yang enggak gue kenal. Gue membersihkan lukanya dengan air putih terlebih dahulu, membuka tutup obat merah tersebut dan menuangkan beberapa tetes di atas tisu, dan menempelkannya di luka tadi.

“Auh,” jerit cewek itu sedikit menarik tangannya karena meringis kesakitan.

“Sorry-sorry.”

Gue kembali menarik jemarinya dan mendekatkan wajah gue di lukanya lalu meniupnya pelan agar mengurangi sedikit rasa nyerinya. Lalu menggulung lukanya dengan tisu kecil dan berdiri seraya berkata, “Semoga enggak ada bekas pecahan yang nyangkut ke dalam. Sekali lagi maaf ya.”

Ia mengangkat wajahnya dan menyangkutkan rambut pendeknya di tepi telinganya.

Siapa yang menduga bahwa hari ini adalah hari yang paling absurd buat gue, enggak bakal terbayang bakal ketemu dia dalam keadaan yang canggung gini, ditambah dengan keributan hari ini dengan Brian, ini akan semakin memperburuk suasana. Cewek yang entah kenapa bisa masuk dalam otak gue dan enggak mau keluar, atau lebih tepatnya, diri gue enggak mau mengeluarkan dia dari otak gue. Sekarang dia ada tepat di dekat gue. Cewek yang gue gonceng tadi. Ini cewek yang menghantui fikiran gue hari ini.

“Lu?” Gue membuka mata lebih lebar karena terkejut ketika mendapati cewek misterius itu ada di sini. Iya, didekat gue.

Melihat gue kaget, dia menarik tangannya dari genggaman gue, berdiri dan pergi berlari keluar café tanpa mempedulikan siapa yang ada di depannya hingga menabrak bahu Rendi yang kebetulan datang menghampiri gue. Cewek tersebut hampir jatuh jika ia tidak berpegangan pada sebuah kursi pengunjung yang lain. Rendi dengan sigap memegang ke dua pundaknya juga.

Rendi melihat heran cewek tersebut, namun cewek tadi hanya bisa menunduk dan melepaskan paksa pegangan Rendi dan pergi keluar lalu hilang ditelan kejauhan.

Gue menghampiri Rendi. “Ren, itu cewek yang gue temuin di ruang guru. Lo enggak kenal? ucap gue memastikan kembali.

Rendi memandang ke langit-langit seakan mengingat-ngingat sesuatu. “Enggak,” jawabnya datar.

“Yakin lu?” tanya gue penasaran karena kalau Rendi mengenal cewek tadi, jalan menuju silaturahmi-pun akan semakin mudah dan terbuka. Iya, silaturahmi, ada yang salah dengan kata itu?

“Dibilang gue enggak kenal,” jawab Rendi. Jawaban yang menghancurkan harapan.

“Kampret!” seru gue karena tidak berhasil mendapatkan namanya untuk kesekian kalinya.

“Udah, enggak usah mikirin dia. Lu udah ke toilet belom? Lu mau berak atau bersihin toilet sih ,nyet?"

"Belom-belom, bawel lu ah. Sebentar, Ndi," balas gue. Gue kembali memandang ke arah perginya cewek tadi. Entah kenapa, ada rasa ingin mengejarnya dan kembali bertanya sebab dia tertutup seperti itu. Ya mungkin karena gue adalah orang baru dalam hidupnya, namun gerak-geriknya tidak seperti orang yang ingin menerima orang baru. Gerak-geriknya memberi kabar akan hal yang seharusnya tidak perlu gue ketahui.

“Hoi! Lu kenapa, Za?” Rendi melihat ke arah dimana gue melihat cewek itu keluar tanpa alasan jelas meninggalkan gue.

Gue menggeleng.

“Cabut yuk, gue enggak jadi ke toilet.”

Kami keluar dari café tersebut menuju lapangan parkir di depan café tersebut. Riuk piuk kendaraan menjadi irama kebisingan di telinga, beberapa dari pengendara membunyikan klaksonnya. Lagi-lagi macet. Udara bersih yang sudah tercampur oleh polusi memberikan ruang tersendiri di paru-paru. Gue melirik jam tangan. Sudah pukul 5 sore.

Rendi mendatangi tukang parkir. “Berapa, Mas?” tanya Rendi ke tukang parkir café tersebut sembari menyalakan motornya.

“5000, Bang,” balas tukang parkir tadi sembari tersenyum dan menaik dan menurunkan alisnya.

“Buset, cuman 1 jam nih. Jangan ngaco lu, Mas,” balas Rendi kaget dan nada yang tinggi.

“Buset, engak usah ngegas gitu dong. Ini tuh daerah Ibukota, jangan kaget kalo semua hal bisa mahal.”

“Mahal si mahal, mahalnya yang masuk otak juga dong. Nih 5000-nya. Kalo kaya gini terus, bisa bangk----“

“AAAAAAAAAHHHHHHH!!!!”

Tiba-tiba teriakan keras terdengar dari dalam café. Sontak aja teriakan itu menjadi pusat perhatian para pengunjung, termasuk gue dan Rendi. Beberapa pengunjung keluar berlarian dari café sembari menutup mulutnya dan melebarkan mata seakan baru aja melihat sesuatu yang janggal. Rendi turun dari motornya dan kembali melepas helmnya. Gue dan Rendi mendanga dan berjinjit berusaha melihat apa yang terjadi di dalam seraya menerka-nerka. Ketika salah satu pengunjung café tersebut keluar, Rendi menahan lengannya. Pembuluh darah tampak tegang di leher pengunjung café tersebut, bulu-bulu kaki dan tangannya naik.

“Kenap, Bang?”

“Ada---- ada---- ada jasad bayi terbungkus kain sarung di toilet kamar mandi, Bang.”

“Hah?? Serius lu?” Rendi menganga kaget.

“Sumpah! Gue enggak boong,” ujarnya sembari mengangkat tangan dan membentuk huruf dengan jemarinya, isyarat peace. Dia menelan ludah dan pergi.

Bau busuk yang menyengat mulai tercium. Baunya seperti daging yang sudah didiamkan berhari-hari. Gue dan Rendi kembali masuk ke dalam karena penasaran sambil menutup hidung  kami dengan kerah baju. Para pengujung kedai yang lain juga udah menutup hidung dengan kerah baju mereka dan tangan mereka. Gue dan Rendi mencoba menerobos kerumunan para pengunjung yang sedang asik merekam kejadian tadi. Hitung-hitung menambah followers bukan? Bau busuknya benar-benar bertambah. Puluhan mata terfokus pada toilet café.

Tidak lama kemudian, seorang pria berpakaian hitam keluar dari toilet tersebut memakai masker hitam dan kacamata hitam, menggendong kain sarung putih dengan bercak-bercak darah di kain tersebut. Ketika sedang menggendong kain tersebut, kaki pria itu tersandung kaki meja dan membuatnya terjatuh. Sontak saja, kain bercak darah yang ia pegang harus terjatuh. Seketika jasad bayi itu keluar dari kain sarung putih tadi dan menggelinding di lantai café seperti botol minuman. Tali pusarnya masih terburai, terdapat luka merah di bagian kepala yang sepertinya bayi itu dapat karena sebuah benturan keras, beberapa jahitan yang sudah hampir menyatu dengan kulit terlihat, namun masih kendur di perut, jenis kelamin bayi itu laki-laki meski alat kelaminnya harus terpotong, rambutnya hitam tipis dan panjang tubuhnya sekitar 30 cm. Para pengunjung berteriak histeris dan tak kuasa menahan mual yang semakin menjadi. Membuat isi dalam perut kembali harus dikeluarkan. Mereka berbondong-bondong keluar cafe sambil menutup mulut mereka yang seakan sudah dipenuhi oleh makanan yang kembali naik ke atas.

“Za, gue mau muntah.” Rendi menutup mulutnya dan berlari keluar menuju pintu café.

Gue menelan ludah menahan agar tidak muntah seperti Rendi. Baru kali ini gue melihat kejadian mengerikan yang membuat bulu kuduk gue berdiri menegang. Siapa yang tega membunuh bayi mungil tersebut, menghilangkan nyawa mahluk bersih tanpa dosa. Meskipun gue seringkali melihat dan mendengar kasus pembunuhan bayi seperti pembunuhan yang dilakukan oleh Amelia EliZabeth Dyer atau yang lebih dikenal dengan nama Amelia Dyer, dia adalah seorang nenek tua yang terkenal karena membunuh ratusan bayi di Inggris pada abad 19, meski beberapa surat kabar terpercaya mencatat bahwa dia telah membunuh 400 bayi. Hingga kini, ia dijuluki sebagai Angel Maker. Dia sendiri membuka sebuah rumah penampungan untuk wanita yang hamil di luar nikah pada akhir tahun 1860-an, rumah tersebut digunakan sebagai tempat ia melaksanakan perbuatan kejinya. Biasanya, ia akan membunuh para bayi menggunakan Laudanum atau Opium yang membunuh para bayi secara perlahan.

“Panggil 118!! Cepat hubungi ambulans,” teriak salah satu pegawai café.

Beberapa saat kemudian ambulans datang dan mengambil jasad bayi tersebut. Salah satu suster ambulans tersebut berlari masuk membawa peralatan medis dan bertanya pada beberapa orang mengenai ketersediaan salah satu dari mereka untuk ikut ke rumah sakit guna memberi keterangan. Mereka semua menggeleng tidak ingin terlibat dalam kasus barusan. Mereka berfikir pasti akan ada banyak tahap-tahap yang harus mereka lalui.

“Siapa yang membawa jasad bayi ini keluar?” tanya suster itu.

Para pengunjung merapatkan bibir mereka seraya kembali menggeleng. Mereka saling melirik mencari pria berpakaian hitam tadi, termasuk gue. Mata gue berkeliling mencari pria berpakaian hitam yang menggendong bayi tersebut. Ia hilang tidak berjejak.

***********************

Setelah polisi menutup café tersebut dengan garis kuning bertuliskan ‘Dilarang melintas’, Gue masih tercengang dengan kejadian barusan lalu pergi mencari Rendi di area lapangan parkir dan mendapati dia sudah duduk menjolorkan kakinya sembari memegang perut.

“Udah mendingan lu, nyet?” tanya gue menahan tawa melihat wajah Rendi yang kaku dengan warna wajah yang merah seperti itu.

“Gila lu ya?! Kita baru ngelihat jasad bayi dan lu masih bisa nahan ketawa gitu? Sakit emang lu!” balas Rendi ketus geleng-geleng.

Senja sudah mulai muncul, warna merah memberikan lukisan terbaik karya Tuhan. Setelah dari café tersebut, Rendi mengajak gue untuk ke rumahnya. Guepun mengiyakan, lagipula untuk apa berlama-lama di rumah sendiri jika rumah terasa bukan seperti rumah. Kami kembali melawan beratnya rasa penat terhadap kemacetan.

Sesampainya di rumah Rendi. Kami masuk dan bergegas pergi ke kamar Rendi. Gue merebahkan badan di kasurnya dan menghadap langit-langit di kamar Rendi yang ia dekorasi menjadi tampilan luar angkasa. Gue memutuskan untuk memejamkan mata sebentar.

“Za, lu mau minum apaan?” tanya Rendi berdiri di dekat pintu.

“Apa aja. Asal jangan air kencing.”

“Gue bawain bensin, lu mau?”

Seriously?

“Gue masih enggak habis fikir sama pembunuh itu bayi, enggak ada otak atau otaknya otak ikan,” ungkap Rendi sembari membawa nampan berisikan es Jeruk dan beberapa cemilan.

“Ren, lu lihat pria yang gendong jasad bayi itu keluar?” tanya gue heran masih bertanya-tanya tentang siapa pria itu.

“Lihat. Cuman gue enggak terlalu fokus ke dia. Jasad bayi itu lebih menarik perhatian gue dan isi perut gue. Kenapa emangnya?” balas Rendi sembari membuka seragamnya dan menggantinya dengan kaos hitam bertuliskan Supreme di bagian tengahnya.

“Setelah lu keluar, salah satu suster nanya sama para pengunjung tentang siapa yang udah bawa tuh baik kelaur dari toilet. Para pengunjung cuman diam. Sedangkan gue melirik keliling mencari tuh pria. Tapi hasilnya nihil, pria itu hilang gitu aja, Ren. Gue ngerasa ada yang janggal, Ren.”

“Halah! Paling dia juga muntah. Lagian siapa sih yang enggak mau muntah kalo lihat bayi gelinding kaya bola. Nih minum dulu,” ucap Rendi memberikan segelas minuman.

Gue menerimanya, meminumnya sedikit. Di saat-saat seperti ini, kenapa gue masih aja memikirkan tuh cewe misterius.

Cewek yang tadi? Oh ya, kenapa dia bisa ada di sana? Ya maksud gue, dia bukan seperti tipe cewek yang suka nongkrong di café atau mall seperti kebanyakan cewek SMA jaman sekarang. Dia terlihat lebih masuk dalam kategori anak rumah. Ditambah dengan gerak-geriknya yang membuat penasaran, raut mukanya yang menegang dan memberi tanda ketakutan. Dia seperti benar-benar sedang merasa tertekan. Sepertinya dia Bukan cewek yang mudah bergaul dengan lingkungan. Atau, memang lingkungannya yang tidak cocok dengannya?, Bukankah lingkungan memang memiliki peranan penting dalam membentuk sebuah karakter seseorang?

“Tadi lo bilang kaya ada yang janggal? Janggal gimana, Za?” tanya Rendi sembari duduk di kursi dekat komputernya dan menaikkan kedua kakinya, matanya memandang gue penasaran.

“Enggak tau, Ren. Gue ngerasa gue kaya kenal sama tuh orang.”

“Mungkin cuman perasaan lo doang, Za.”

“Tapi, ini beda, Ren.”

“Beda gimana?”

“Kaya ada ikatan emosi antara gue dan dia,” ungkap gue.

“Perasaan memang suka mengaduk-ngaduk emosi, Enggak usah lu khawatirin.”

Benar apa kata Rendi. Mungkin itu hanya perasaan gue saja, tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Lagian, ini hari pertama gue di sekolah, rasa canggung untuk bertemu banyak orang pasti masih ada, apalagi berkenalan dengan berbagai macam karakter. Setidaknya gue sudah punya banyak teman di kelas saat ini. Dan untuk cewek tadi, gue tidak perlu memikirkannya. Esok atau lusapun, bayangnya akan hilang.  

Setelah bermain lama di rumah Rendi. Gue melirik jam tangan gue. Sudah pukul 9 malam, gue harus pulang. Gue enggak mau buat Om Edy terlalu khawatir dengan keponakan tunggalnya ini.

“Ren, gue cabut pulang, yak,” ucap gue sembari memasukkan seragam gue ke dalam tas.

“Lu mau bawa motor gue enggak?” tawarnya.

“Enggak usah. Gue naik metro mini aja.”

Gue keluar dari rumah Rendi dan berjalan beberapa menit agar sampai di jalan raya. Gue berdiri tepat di dekat halte metro mini bersama beberapa karyawan yang menampilkan rasa lelah. Entah lelah karena kerjaan yang menumpuk hari ini, atau karena masalah yang datang silih berganti tanpa henti. Manusia memang punya cara tersendiri mengekspresikan kelelahan, dan Tuhan punya cara tersendiri memberi mahluknya tantangan. Gue menyebutnya tantangan karena bagi gue mindset kita harus kita didik agar memandang Tuhan dengan pandangan positif. Tuhan selalu punya rencana baik dan hasil baik yang seringkali disalah artikan oleh mahluknya. Termasuk kepergian Ayah dan Ibu yang pergi entah kemana. Kepergian mereka adalah tantangan buat gue untuk tetap bertahan hidup, mungkin kepergian mereka adalah cara lain Tuhan untuk mengatakan, ‘Mereka bukan orang tua yang baik.’ Namun, semua ini masih saja bertentangan dengan kebencian gue terhadap mereka. Tidak ada salahnya gue menganggap bahwa Tuhan baik pada gue, kebaikannya ia kirimkan dengan membuat ayah dan ibu pergi.

Gue merogoh kantong guna mengambil handphone gue, menyalakannya dan memilih menyetel lagu dengan headset sembari menunggu metro mini datang Lagu dari Justin Bieber berjudul What do you mean menjadi pilihan gue. Entah atas dasar apa gue memilih lagu itu. Mungkin lagu itu mengekspresikan beribu-ribu pertanyaan yang ingin gue lontarkan kepada cewek misterius hari ini.

Sembari mendengarkan lagu, gue memandang ke arah langit. Langit malam ini terlalu gelap hingga menutupi bintang-bintang. Ia berhasil membuat penasaran dengan apa yang ingin ia sampaikan. Cuma ada bulan yang memberi cahaya di bagi bumi. Apakah langit hanya berpihak pada Bulan dan meninggalkan bintang-bintang? Atau hanya karena langit lebih memilih berdua dengan Bulan yang memberi kesetiaan pada bumi?

Lampu-lampu jalan mulai kedap-kedip. Metro mini yang gue tunggu hampir 15 menit akhirnya datang melipir ke halte. Gue naik dan mendapati metro mini tersebut penuh dengan para karyawan, mahasiswa dan yang lainnya. Beberapa dari mereka duduk dan beberapa dari mereka berdiri memegang kursi. Keneck metro mini terlihat manggut-manggut kelelahan. Jakarta, kamu memang benar-benar memaksa para manusia bekerja lebih keras daripada biasanya. Apa karena ini kamu terlihat kejam? Atau ini hanya sebagai pembalasanmu bagi manusia-manusia yang tidak menghargai dirimu? Metro mini ini bergerak dengan cepat dan memberi goncangan yang cukup besar. Goncangan metro mini memaksa gue menggenggam salah satu kursi. Lagu gue berpindah menjadi Its you karya Zayn Malik. Ia memang memiliki suara khas.  

Ketika sedang memerhatikan jalan, gue memindahkan pandangan gue ke arah depan dekat supir. Di sana, gue melihat seorang nenek berusia 70 tahun dengan rambut penuh uban terlihat duduk santai di kursi tepat dibelakang supir sembari memeluk tas anyaman berisikan kucing kecil. Ia terlihat lemas. Itu terlihat dari kepalanya yang ia sandarkan di jendela.

Beberapa detik kemudian, suara ketukan kecil dari jendela terdengar dari dekat pintu metro mini, ketukan kecil yang memberi isyarat untuk berhenti. Supir metro mini memberhentikan metro mininya di tepi jalan, beberapa dari penumpang turun.

“Lanjut!” seru kenelk tersebut pada supir.

Supir itu kembali menginjak gas kendaraanya. Dengan turunya beberapa penumpang, akhirnya gue bisa duduk di kursi kosong dan menyadarkan kepala dekat jendela sembari melihat langit-langit Jakarta yang semakin malam semakin terang karena lampu-lampu gedung pencakar langit.

“Meong.” Suara lemah kucing tersebut mengagetkan gue. Kucing nenek tadi keluar dari tas anyaman dan mengeong-ngeong dengan suara pelan dan lemas sembari mengeluskan kepalanya di sepatu gue. Gue melirik ke bawah dan mendapati kaki kiri depan kucing tersebut patah. Hal itu membuatnya berjalan terseok-seok. Kucing itu mengangkat kepalanya melihat gue. Matanya berkilau melebar seperti memberi gue suatu isyarat. Ia menengok ke arah kanan dan kiri sebelum berjalan kembali ke arah pemiliknya. Sebelum sampai, keneck metro mini itu dengan sigap menunduk, mengambil kucing kecil tersebut dan menghampiri nenek tersebut yang nggak sadar kucingnya telah keluar dari tasnya. Gue memperhatikan keneck tersebut sembari mencabut headset gue.

“Nek, kucingnya keluar nih,” ujar keneck tersebut sembari memegang pundak nenek tersebut dan menggerak-gerakkannya sedikit. “Nek?” Keneck tadi melihat lebih dekat wajah nenek tersebut dan mendapati nenek tersebut memakai masker bermotif Bunga mawar dan mengenakan headset di telinganya. Keneck tadipun mendekatkan tangannya ke headset tersebut dengan gemetar. Ia menelan ludah dan menarik headset tersebut lepas dari telinga nenek tadi kemudian membuka masker nenek tersebut.

“Astagfirullah!!!” teriak keneck itu melebarkan matanya sembari menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Kucing kecil yang tadi ia pegang terlepas dari pegangannya. Sontak aja para penumpang yang tadinya lelah kembali melebarkan mata mereka. Supir metro mini yang ikut kaget menengok ke belakang sembari sesekali masih memperhatikan ke depan.

“Kenapa, No?” tanya supir mengencangkan mukanya karena kaget bercampur emosi.

“Anu bang--- anu--- mulut nenek ini, Bang,” jawab keneck tadi dengan gugup.

“Ya kenapa mulutnya?” tanya kembali supir tersebut dengan nada keras seakan menunggu jawaban yang jelas.

“Mulutnya sobek, Bang!” teriak kenek itu.

“Serius lu?”

“Sumpah! Tatapannya kosong dan kaya udah mati, Bang.”

Gue dan para penumpang yang mendengar penyataan tersebut kaget bukan kepalang. Apa bener nenek tersebut sudah mati? Kalo benar, berarti sudah 2 kali gue melihat jasad hari ini.

“Bang! Kucingnya!” salah satu penumpang berteriak histeris sembari melihat ke arah bawah pintu metro mini. Ia melihat kucing kecil tersebut berjalan menyeret kakinya yang patah mendekat ke pintu metro mini yang masih berjalan. Salah satu penumpang berinisiatif berdiri dan mendekat kucing tersebut. Namun, celaka, kucing kecil tersebut sudah loncat dari metro mini tersebut.

“Aaaaaaa!” teriak salah satu mahasiswa  karena melihat kucing mungil yang nekat loncat dari metro mini tadi. Beberapa detik setelah kucing tadi loncat, terdengar bunyi gencetan, seperti ada yang terlindas.

Supir metro mini tersebut akhirnya melipirkan kendaraannya dan meminta para penumpang turun karena ia akan menghubungi polisi dan ambulance. Para penumpang termasuk gue turun dari metro mini dengan segera. Gue menjauh beberapa langkah dari metro mini tadi. Lagi-lagi rasa penasaran dengan apa yang terjadi memaksa gue untuk berdiri dan mempehatikan apa yang akan terjadi.

Malam itu benar-benar aneh. Aneh karena ada beberapa hal yang masih saja menjanggal dalam benak gue yang meminta gue untuk memecahkannya. Gue melirik jam tangan. Sudah pukul 9.45 malam. Gue menyalakan kembali handphone gue yang daritadi bergetar.

Om Edy: Ada dimana kamu, Za? sudah malam. Kenapa masih belum pulang?

Reza: Iya, Om. Maaf, sehabis pulang sekolah, aku pergi ke café sama Rendi. Setelah itu aku mampir ke rumah Rendi dan sekarang sedang menuju rumah.

Om Edy: Jangan terlalu malam. Bahaya.

Gue mematikan layar handphone dan memasukkannya ke dalam kantong celana. Beberapa menit kemudian suara sirine mobil polisi datang diikuti mobil ambulance. Beberapa masyarat mengumpul berkeliling ingin tahu tentang apa yang baru aja terjadi. Beberapa polisi meminta agar masyarakat menjaga jarak dari tempat kejadian agar mempelancar urusan polisi dan pihak rumah sakit. Gue masih setia melihat apa yang terjadi. 5 menit kemudian, dua orang polisi memakai seragam dan masker turun dari metro mini tadi sembari mengangkat jasad nenek tersebut seperti mengangkat pemain bola yang cedera di lapangan. Gue sempat melihat leher nenek tersebut. Ada goresan cukup dalam di bagian dekat dagunya. Sepertinya ia baru saja digorok dengan benda tajam seperti golok. Mata nenek tadi tidak sengaja beradu dengan mata gue. Pandangannya masih dalam dan tajam. Ia menimbulkan sebilah senyum sabit di raut wajahnya. Entah apa dia meninggal dalam keadaan seperti itu atau tidak, yang pasti pandangannya membuat gue takut. Bulu kuduk kembali berdiri. Gue menelan ludah. Kaki gue lemas seketika seperti tidak bisa beranjak pergi dari tempat tersebut. Ini benar-benar creepy Buat gue.

Gue membuang pandangan gue dari pandangan nenek tadi dan menarik nafas dan menghelanya pelan-pelan.

Akhirnya gue memutuskan untuk tidak melanjutkan menonton bagaimana para polisi dan pihak rumah sakit tadi mengeksekusi jasad nenek tersebut. Haduh, pulang pakai apaan nih? kata gue pada diri sendiri. Gue menengok ke arah kanan-kiri, mencari siapapun yang bisa membantu gue. Seorang karyawan yang juga tadinya salah satu penumpang, memakai kemeja abu-abu dan celana bahan hitam, layaknya beribu-ribu manusia yang menggantungkan hidup di dalam gedung-gedung tinggi, masuk pagi pulang malam, hidup yang membosankan dan lebih mirip robot, karyawan itu berdiri di samping gue sambil menunduk dan memakai headset di telinganya.

“Mas,” panggil gue sambil menepuk bahu kanannya.

Ia menengok ke arah gue dan melepas headsetnya, “Iya?”

“Saya mau minta tolong,”

Ia mengangguk pelan seraya melihat gue dengan pandangan curiga.

“Bisa tolong pesenin saya ojek online enggak? Saya enggak punya applikasinya.”

Ia mengangguk pelan, masih dengan airmuka yang curiga, ia mengutak-ngatik handphonenya lalu bertanya tentang alamat gue. Gue menjawab dengan detail alamat rumah gue.

“Sudah, nama ojeknya Chris.”

“Chris? Chris Martin? Chris John?”

“Christiano Ronaldo,” jawabnya kesal.

Giliran gue yang mengangguk takut. “Makasih, Mas.”

Tak lama menunggu, ojek yang dipesan datang dan menepikan motornya di samping trotoar, 10 meter dari tempat gue berdiri. Ia membuka helmnya, mengedarkan pandangannya mencari-cari si pemesan. Dengan feeling yang kuat, gue memanggilnya, “Mas Chris!”

Telinganya menangkap suara gue, dia menoleh, menggantungkan helmnya di lengannya dan mendekati gue. “Mas Lionel?” tanya dia.

Gue menggeleng dan menengok ke arah si pemesan, memasang raut wajah heran karena nama si pemesan dan si ojek udah mirip nama dua pemain sepak bola dunia. “Bukan,” kata gue, “saya Reza. Yang mesen tuh mas itu tuh.”

Si ojek mengangguk seakan memahami kebingungan yang baru saja terjadi. “Ya udah, Mas. Nunggu apa lagi?” tanya gue pada si ojek.

“Nunggu masnya naik,” jawabnya polos-polos ngeselin.

Gue menarik nafas sembari geleng-geleng kepala. Hari ini benar-benar gila! Sumpah gue dalam hati. 

“Helmnya, Bang,” ucap ojek tersebut seraya memberikan helmnya.

“Iya, Bang.” Gue mengangguk dan memasang helm tersebut.

Sepanjang jalan, gue fikir gue akan lupa dengan kejadian barusan karena terkena angin malam yang menabrak ke wajah gue. Nyatanya, ojek tersebut penasaran dengan apa yang terjadi.

“Saya enggak tahu persis, Bang. Yang pasti, nenek itu meninggal dengan gorokan di lehernya dan sobekan di mulutnya.”

“Aduh, serem amat ya. Kaya kasus-kasuh pembunuhan.”

Pembunuhan? Kenapa gue enggak kefikiran ke sana? Sangat kecil kemungkinannya jika nenek tadi Bunuh diri menggorok lehernya sendiri. Meskipun hal itu bisa saja terjadi karena beberapa tekanan dalam hidup. Namun, pembunuhan lebih masuk akal bagi gue. Apa jadinya jika memang nenek tadi benar-benar dibunuh? ini benar-benar menandakan bahwa manusia sudah tidak lagi memiliki kasih sayang. Sebentar, bukankah para pembunuh juga tidak 100% harus disalahkan? Maksud gue, mereka pasti memiliki motif tersendiri kenapa mereka berani melakukan hal keji seperti itu.

“Ini Mas rumahnya?”

Tanpa disadari, gue sudah sampai di rumah. Kemungkin pembunuhan tadi benar-benar menyita fikiran gue untuk melamun memikirkan sesuatu yang tidak semestinya difikirkan.

“Iya, Bang.”

Gue turun dari motor dan memberikan upah melebihi semestinya. Hitung-hitung berbagi kebaikan sebelum akhirnya akan tenggelam dalam gelapnya mimpi. Siapa tahu gue tidak bangun besok. Terlebih lagi, semoga kebaikan barusan mengurangi dosa yang telah orang tua gue lakukan.

Sesampainya di depan rumah, gue membuka gerbang dan menutupnya kembali. Lalu berjalan mendekati pintu rumah dan mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban hingga beberapa kali. Gue melihat sekeliling rumah tetangga. Lampu-lampu rumah sudah padam. Yang tersisa hanya beberapa lampu tiang listrik dan segelintir lampu taman milik tetangga. Suara Burung hantu terdengar beberapa kali. Begitupun suara jangkrik. Gue kembali mengetuk pintu dengan lebih kencang seraya melihat jalan yang sepi.

Tidak lama kemudian Om Edy membuka pintu rumah dan mendapatkan wajah gue yang pucat dingin seperti sehabis melihat hantu.

Gue menengok ke arah wajah Om Edy dan berteriak.

“Astagfirullah! Setan!” teriak gue melebarkan mata sambil memegang dada yang sudah kembang kempis gini.

“Heh! Sembarang kamu kalo ngomong. Om lagi buat kue, makanya wajah Om penuh sama tepung gini. Lagian, kamu tuh kenapa, Za? mukanya dingin pucat gitu?”

Gue diam tak menggubris dan terlihat benar-benar lemas. Beberapa kali menelan ludah dan menghela nafas. Om Edy memegang pundak gue dan menuntun gue duduk di kursi ruang tamu. Rahang gue menegang. Lalu pergi ke dapur.

“Ko tegang gitu, Za?” tanya Om Edy sembari membawakan gue segelas air Putih dan memberikannya pada gue.

Gue menenggak habis air putih tersebut. Sedang Om Edy hanya melihat heran sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi pada keponaakannya ini.

“Aku enggak bisa cerita sekarang, Om. Aku ke kamar.” Gue berdiri dan pergi masuk ke kamar.

"Tapi kamu udah makan?” tanya Om Edy saat gue sudah memegang gagang pintu.

“Udah, Om. Tadi sore makan sama Rendi di café.”

Gue membuka pintu kamar, menutupnya kembali dan melemparkan tas gue ke atas kasur lalu melepas seragam sekolah dan menggantinya dengan celana jeans hitam dan sweater Putih. Tanpa fikir panjang, gue merebahkan diri gue di tempat ternyaman di kamar gue. Kasur. Gue melepaskan lelah dan penat gue hari ini.

Kenapa hari ini benar-benar jadi hari paling absurd dalam hidup gue? Sudah dua kali gue melihat jasad hari ini. Dari jasad bayi yang mungil hingga jasad nenek yang keriPut. Semuanya meninggal dalam keadaan tragis dan terbilang sadis. Huft, anehnya, kenapa semua kejadian ini memberi gue rasa penasaran dan isyarat akan sesuatu yang buruk. Ada sisi dari diri gue yang mengatakan bahwa ini ada hubungannya dengan pertemuan gue dengan cewek misterius itu, memaksa gue mencari tahu dan mengungkapkannya. Namun, sisi diri gue yang lain mengatakan bahwa ini semua hanya halusinasi belaka.

Oh ya, ngomong-ngomong tentang tuh cewek misterius. Kenapa tuh cewe pergi gitu aja ya? Ini udah dua kali pertemuan gue dengannya. Semenjak pertama gue ketemu dengannya, ada rasa dari diri gue untuk menjadi pelindung dia, ada rasa ingin menjadi kulitnya agar jika ia terluka maka gue yang akan merasakannya, ada rasa ingin menjadi payung agar dia tidak kepanasan dari terik sinar matahari dan perkataan beberapa orang yang panasnya melebihi api, ada rasa ingin memeluknya dan menjadikan diri ini sebagai tempatnya berkeluh kesah dan bercerita.

Sebentar, gue aja engak tahu namanya, rumahnya di mana, asal darimana, umur berapa, anak ke berapa. Enggak-enggak, itu cuman pertanyaan bohongan aja dari gue, gue cuman mau tahu nama dia aja. Jika pertanyaan yang lain dijawab, maka itu sebuah bonus Buat gue. Baru satu hari gue di sekolah sebagai anak SMA dan gue udah harus ngadepin situasi seperti ini.

Rasa bosan menghampiri gue. Beberapa menit bergerak kesana-kemari agar rasa ngantuk datang. Gue memutuskan untuk membaca novel karya Fiersa Besari berjudul Konspirasi alam semesta sembari memainkan lagu Let Me Go – Haille Steinfeld, Alesso. Benar saja, tidak lama kemudian, rasa ngantuk datang. Gue tenggelam dalam gelapnya mimpi.

“Za, kalo kamu memang peduli sama aku, kenapa kamu enggak baca surat itu? Kalo kamu memang ada rasa sama aku, kenapa kamu ngebiarin aku hidup dalam kegelapan? Kalo kamu memang kamu diutus Tuhan untuk jadi malaikatku, kenapa kamu melepas aku hidup bersama iblis? Kenapa, Za? kenapa?!”

Beberapa pertanyaan dari suara yang tidak gue kenal membuat mata gue berkeliling mencari asal suara tersebut. Gelap. Yang ada hanya beberapa pohon beringin dengan batang-batang yang sudah tergores-gores dan bergerak-gerak pelan karena tergoyangkan oleh angin dingin. Gue merapatkan tangan gue menahan kedinginan.

”Aku kira kamu dikirim Tuhan untuk jadi bagian terindah dalam hidupku yang terburuk, Za, aku kira kamu bisa menjaga rasa percayaku sama kamu, nyatanya kamu malah merubah rasa percayaku menjadi keraguan, nyatanya kamu malah merusak semua catatan hidupku, nyatanya kamu menggoresakan tinta hitam pekat di Buku yang sudah aku siapkan untuk kita berdua, nyatanya kamu membuatku hilang, nyatanya kamu menjatuhkan aku dari ketinggian setelah kamu terbangkan aku bersama sayap-sayapmu, nyatanya kamu tidak sebaik yang aku kira dan harapkan. Kamu tidak akan pernah bisa memecahkanku.”

Lagi-lagi suara tersebut mengeluarkan kalimat-kalimat yang membuat gue kebingungan. Gue terus berkeliling mencari asal suara tersebut. Gue bertanya siapa dia dengan berteriak, namun, gue tidak mendengar suara apapun yang keluar dari mulut gue. Gue kembali berteriak dan hasilnya sama: tidak ada suara. Gue memegang tenggorokan gue dan menggerakkannya sembari berteriak. Hasilnya masih sama. Gue menekan keras tenggorokan gue dengan maksud mengeluarkan sedikit suara, apapun itu. Tidak ada hasil kecuali rasa sakit karena tekanan tersebut.

Sebuah cahaya terang dari depan memaksa gue menutup pandangan gue dengan telapak tangan gue sembari sesekali mengintip cahaya tersebut. Cahaya tersebut memberi gue sebuah jalan kecil bebatuan. Udara kembali datang, kali ini udara tersebut kencang mendorong gue mendekat ke arah jalan kecil tadi. Sepertinya udara ini ingin gue menapaki jalan kecil tersebut. Gue menengok ke arah kanan dan kiri, memeriksa apakah ada orang lain. Nyatanya tidak. Semua masih terlihat sepi. Hidung gue menghirup bau menyan yang menyengat dari arah kanan dan kiri. Gue berjalan pelan menyusuri jalan kecil bebatuan tadi. Tanpa sadar, ternyata gue tidak mengenakan alas kaki apapun hingga darah mulai mengucur dari alas kaki. Bebatuan tadi berhasil membuat alas kaki gue lecet. Dengan pelan gue masih menyusuri jalan tersebut sembari sesekali melirik berharap menemukan seseorang.

Lama sudah gue berjalan hingga rasa lelah sudah menghampiri. Keringat berkucuran di kening gue, gue menunduk memegang kedua lutut gue. Rambut yang sudah mulai gondrong ini basah membuatnya turun mengenai mata gue. gue merapihkannya sembari berdiri tegak kembali melihat sekeliling.

Sial! Gue mendapati pohon beringin yang pertama kali gue lihat. Ternyata gue hanya berputar-putar tanpa tujuan yang jelas. Apa maksud dari ini semua?! Gue mendekati pohon tersebut dan memukulnya dengan keras lalu menabrakkan kepala gue ke batang pohon tersebut sembari memejamkan mata.

“Za, kamu kenapa?”

Suara yang tidak asing menghampiri masuk ke dalam telinga gue. Gue membuka mata pelan dan mendapati wajah Om Edy melongo khawatir.

“Hei, udah jam 6 pagi. Kamu enggak sekolah?”

Gue menengok ke kanan dan kiri memastikan apa yang terjadi. Ternyata tadi hanya mimpi. Keringat membuat kuyup kaos gue.

“Waduh, mimpi apa tuh sampai keringat gitu,” ucap Om Edy melirik jahat.

Tanpa memedulikan lirikan Om Edy, gue bangkit dari kasur dan mengambil peralatan mandi dan masuk ke kamar mandi.

Pagi ini terlihat cukup cerah. Beberapa anak dengan seragam merah Putih berlarian bersama teman-temannya. Beberapa ibu mengikuti mereka sembari berjalan berbincang. Hari ini gue memilih untuk berjalan kaki menuju sekolah sembari mendengarkan lagu-lagu karya One Direction, entahlah, sepertinya suara grup vocal Inggris-Irlandia yang terdiri dari, Zayn Malik, Liam Payne, Niall Horan, Louis Tomlinson dan Harry Styles itu mampu membuat hati gue sedikit lebih tenang.

Ternyata butuh waktu hampir 30 menit untuk berjalan menuju sekolah jika tidak menggunakan kendaraan. Sesampainya di sekolah, gue bergegas pergi ke kelas daripada meladeni siulan-siulan ejekan dari beberapa kaka kelas. Sepertinya mereka masih menyimpan kesal atas perbuatan gue dan Rendi kemarin.

“Ren, lo kenapa nunduk gitu?” tanya gue heran karena mendapati Rendi membenamkan wajahnya di tas hitamnya.

Beberapa dari teman gue yang lain memperlihatkan raut wajah yang membuat gue curiga.

“Ren? Lo enggak apa-apa?” tanya gue sambil duduk di sampingnya.

Rendi mengangkat tangannya dan memberi menunjukkan jempolnya sebagai isyarat bahwa semua baik-baik saja.

“Lu enggak perlu bohong sama gue, Nyet. Lo kenapa?!” Gue kembali bertanya, kali ini dengan nada yang sedikit naik.

Andika mendekati gue sembari memasang wajah takut. Gue mengerinyitkan alis sambil melirik ke Rendi, memberi isyarat bertanya apa yang terjadi dengan Rendi. Andika menarik telinga gue dengan pelan dan membisikkan sesuatu.

“Serius lu?!” gue menarik kepala gue dari Andika. Tidak percaya apa yang baru saja Andika katakan.

Andika mengangguk pelan.

Gue menghela nafas dan menarik pundak Rendi, memaksanya untuk memperlihatkan wajahnya pada gue. Gue kaget melihat wajahnya biru di beberapa bagian dekat mata kirinya. Di bawah mata kirinya bengkak membesar sebesar bola bekel. Gue memegang wajahnya dan menggerakkannya kanan-kiri memastikan bagian mana lagi yang babak belur.

“Gue baik-baik aja, nyet,” ucap Rendi lemas.

“Lu punya otak apa enggak?! Mata kiri lu bengkak gini dan lu masih bilang baik-baik aja?!” ketus gue kesal sembari melemparkan tas gue ke atas meja dan keluar dari kelas. Iya, mungkin sebagian dari kalian sudah tahu gue akan mencari siapa saat ini. Brian.

Rendi terlihat mengikuti gue dari belakang sembari berlari kecil menutupi mata kirinya. Gue berjalan menyusui lorong kelas. Para murid yang lain sepertinya sudah tahu gue mencari siapa. Mereka yang sedang mengobrol asik di lorong kelas seketika langsung memberikan gue jalan. Tanpa perlu waktu lama, gue mendapati Brian sedang asik duduk di atas meja sambil tertawa terbahak-bahak dengan teman-temannya.

“Woi! Anjing!” hardik gue sembari menendang meja dekat tempat gue berdiri.

Brian dan teman-temannya langsung melihat gue. Brian turun dari atas meja dan berjalan menghampiri gue.

“Ada apaan lu dateng-dateng marah? Lagi mens?” tanyanya sambil menyengir. Pertanyaannya membuat teman-temannya tertawa jahat.

Gue mengendus kesal. Aliran darah gue naik. Gue mengepalkan tangan gue bersiap menghajar mahluk sok tampan ini.

“Lu apain sahabat gue?” tanya gue memberatkan suara.

“Tenang, cuy.” Dia menaikkan tangannya lalu menurunkannya seakan wasit sepakbola yang sedang menenangkan dua pemain yang berselisih. “Gue cuman main-main sebentar sama curut lu,” katanya sambil berbisik di telinga kiri gue. Dia kembali menjauhkan kepalanya dari gue dan tersenyum jahat sambil menaikkan alisnya. Wajah gue mengeras ingin sekali memukul wajahnya kali ini.

Tiba-tiba Rendi datang terengah-engah dan memegang pundak gue dari belakang. “Udah, Za,” ucapnya lirih.

Gue menengok ke belakang lalu kembali menghadap Brian. “Urusan kita belum se----“

Seorang cewek lewat dan memaksa gue menghentikan ucapan gue. Cewek misterius itu lewat menunduk seperti tidak ingin melihat dan mengetahui apa yang terjadi. Dia benar-benar cewek yang tidak senang bergaul dengan orang lain. Gue melihat ke arahnya berharap dia melihat balik. Nyatanya tidak. Dia lewat tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

Bahkan di saat gue sedang berada di dekat lu saja, lu enggak menengok sedikit ke gue. bagaimana bisa gue penasaran dengan hal-hal yang bahkan tidak ingin gue dekati.

“Udah, Za. Kita balik sekarang,” ucap Rendi menarik seragam gue.

“Tuh, dengerin kalo curut ngasih nasihat,” kata Brian sembari mempersilahkan gue dan Rendi untuk pergi dari kelasnya.

Tanpa mendengar perkataan Rendi, gue melepas tarikannya, berlari menuju Brian dan menendang wajahnya. Ia tersungkur ke sela-sela kursi. Gue menarik kerah bajunya. “Berdiri lo!” perintah gue.

Brian menepis cengkraman gue, mendorong gue dan memukul kepala gue dengan tempat tulis berbahan kayu. Kepala gue terasa sakit. Pandangan gue sedikit kabur. Lagi-lagi sebuah pukulan keras mendarat di pipi kiri gue. Suara kursi dan meja yang tergeser terdengar. “Jangan jadi jagoan lo di sini!” teriak Brian. Kakinya terangkat dan menusuk perut gue.

Uhukk…

Gue terbatuk, Beberapa tetes darah keluar dari mulut gue. Tangan gue terangkat berusaha menggapai tepian meja. Namun Brian memegang tangan gue dan meletakkan jari-jari gue di kursi. Ia mengangkat kakinya dan menginjak jari-jari gue dengan sepatu kerasnya.

“Aaaaaa!” teriak gue karena tak mampu lagi menahan sakit.

“Anjing lo semua!” Rendi mengangkat sebuah kursi dan melemparkannya ke arah Brian dan teman-temannya. Suara keributan kami terdengar hingga keluar kelas. Rendi langsung mengangkat gue dan menaruh tangan kanan gue di pundaknya, melingkarinya, dan menuntun gue pergi dari kelas.

********************

Sesampainya di kelas, beberapa teman mengatakan bahwa pak Rudy, guru bahasa Inggris, pelajaran terakhir, tidak hadir hari ini karena ada sebuah urusan yang tidak bisa ditinggalkan.

Andika membawakan sebuah es teh manis dari kantin untuk gue dan Rendi sebagai tanda solidaritasnya kepada temannya. Ya, meskipun Andika membeli es teh tadi dengan uang gue. Gue dan Rendi memilih untuk beristirahat di lapangan parkir dekat pos satpam.

“Thanks, Dik,” ucap Rendi.

“Gue cabut duluan, Za, Ren,” pamit Andika sembari menyalakan motor maticnya lalu pergi menghilang di kejauhan.

“Lo tuh berani atau nekat, Za? Lo berani lawan Brian sama temen-temennya sendiri?”

“Modal nyawa aja, Ren.”

“Modal nyawa, muka lu gila!” hardiknya kesal.  “Oh ya, bukannya lo ada janjian sama kaka kelas yang namanya Laras ya?” tanya Rendi mengingatkan.

Gue mengangguk.

“Terus, lo jadi ketemu dia?”

Gue menggeleng.

“Kenapa?”

“Enggak tau. Udahlah, lupain aja.”

Mendengar bel pulang sudah berbunyi, gue dan Rendi memutuskan untuk pulang. Kali ini, Rendi meminta gue mengantarnya pulang menggunakan motor r15nya yang ia bawa hari ini, dia minta gue untuk mengantarnya karena mata kirinya enggak bisa melihat dengan jelas. Gue pun mengangguk karena berfikir bahwa Rendi tidak dalam kondisi yang baik untuk berkendara sendirian, meskipun muka gue sendiri hancur, namun mata gue masih bisa memandang jelas. Setelah mengantarnya pulang, Rendi menyuruh gue untuk membawa motornya saja ke rumah gue. Awalnya gue menolak karena merasa tidak enak. Namun Rendi memaksa, ia pun berkata bahwa dia masih memiliki kendaraan lain yang bisa ia pakai untuk pergi ke sekolah besok.

“Ya udah, gue pamit ya, Ren.”

“Sip.”

Dengan menggunakan motor r15 Rendi, hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai di rumah. Entahlah, mungkin karena mesinnya yang bagus.

Gue memarkirkan motor Rendi di halaman rumah tepat ketika Om Edy sedang asik merokok dengan kopi hitam sebagai pelengkapnya. Ia menaikkan satu kakinya di atas kursi seperti para preman di layar televisi.

“Waduh, motor siapa nih, Za?” tanya Om Edy terpukau dengan tampilan r15 Rendi.

‘Motor Rendi, Om.”

“Lu nyomot lagi? Kaya kelapa pak Acu?”

“Enggak, Om. Rendi minjemin motornya ke aku.”

Om Edy tidak henti-hentinya memerhatikan setiap inci tampilan motor r15 Rendi. Gue menarik nafas dan membuangnya agar menghilangkan rasa heran karena Om Edy berlaku seperti orang purba.

Sesampainya di kamar. Gue memilih untuk tidur dan tidak memikirkan apapun tentang kejadian hari ini. Sudah cukup banyak kejadian yang tidak seharusnya ada di dalam hidup gue. kenapa semuanya tidak bisa berjalan normal saja? Kenapa selalu saja ada masalah semenjak ‘mereka’ pergi? Tidak ada lagi tempat yang bisa gue jadikan dinding untuk bersandar dan mengeluarkan semua cerita yang semakin rumit ini.

Bunyi alarm yang gue pasang sebelum tidur dan gue taruh di atas meja kecil dekat buku-buku berbunyi. Sudah pukul 6.30 sore. Gue bangkit dari kasur dan masuk kamar mandi bersiap untuk bersembahyang.

Tuhan memang selalu menjadi tempat terbaik kala diri merasa jijik terhadap diri sendiri. Tuhan memang selalu menjadi tempat ternyaman kala diri merasa tenggelam dalam permalahan. Tuhan memang selalu menjadi tempat terindah kala diri merasa resah. Tuhan memang selalu menjadi tempat terkuat kala diri merasa sekat dan terjerat.

Setelah sembahyang, gue memutuskan untuk bertanya satu hal pada Rendi tentang hari ini lewat pesan.

Reza: Ren, Kenapa lu tadi malah bawa gue keluar kelas, harusnya kita hajar aja tuh si bangsat?

Tidak lama kemudian Rendi membalas pesan gue.

Rendi: Gue tadi lihat cewek misterius lo yang ceritain kemarin. Gue enggak mau image lo rusak di mata dia.

Sepertinya image gue sudah Buruk di matanya. Semua sudah hancur bahkan sebelum dimulai. Dari cara dia berjalan tanpa melihat gue, gue udah tahu bahwa dia engga peduli terhadap gue? peduli? Sebentar, Za, kenapa ada harapan agar dia peduli dengan lu? Memangnya lu punya posisi apa di dalam hidupnya? Kenapa sekarang seakan ada rasa yang tidak ingin hilang? Apa rasa penasaran sudah menjadi perasaan? Bukankah baik jika membiarkan Tuhan yang mengatur semuanya? Apa masih percaya pada cinta ‘mereka’meninggalkanmu tanpa cinta?

Rendi: Hoi! Kenapa lu? Lama amat jawabnya.

Reza: Enggak kenapa-kenapa.  

Rendi: Ohhhhh… kayanya gue tahu nih siapa yang ngirim lu surat.

Surat? Sudah hampir satu hari gue menaruhnya di kolong meja, apa kabarnya surat itu? apa sudah menghancurkan dirinya sendiri seperti surat yang ada di film Harry Potter? Atau dia benar-benar menghilangkan dirinya sendiri karena merasa gue cuekin? Atau dia memang seharusnya tidak pernah dibuka?

"Surat!!" ucap gue teringat sesuatu. Gue mengambil tas dan membongkar isinya hingga ingat bahwa surat tersebut gue taruh di kolong meja. "Haduh, Kenapa suratnya gue taruh di kolong meja?!” tanya gue pada diri gue sendiri seakan menyesal atas apa yang gue perbuat.

Gue keluar dari kamar mengenakan sweater hitam dan celana jeans hitam dengan sedikit robekan di bagian lutut karena jatuh. Lalu meminta izin ke Om Edy untuk pergi ke sekolah sembari berlari menuju pintu rumah.

“Om, aku pergi sebentar.”

"Mau kemana, Za?” tanya Om Edy.

"Ke sekolah sebentar om. Ada urusan penting"

Penting? Kenapa gue jadi semangat gini? Mungkin karena rasa penasaran yang udah berada di ujung kepala. Apa segitu pentingnya tuh surat sampai gue merasa bahwa tidak mau kehilangan atau dilupakan? Apa sebesar itu rasa penasaran gue terhadap isi surat itu? surat yang bahkan gue sendiri enggak tahu siapa pengirimnya.

Langit Jakarta benar-benar udah gelap hari ini. Jarum pendek jam tangan gue udah menunjuk ke angka 7 malam. Beberapa kali langit mengeluarkan suara memberi tanda bahwa ia akan mengeluarkan air malam ini. Jalanan masih terlihat ramai dengan para pengendara yang lalu lalang ingin pulang ke rumah atau pergi ke tempat kerja.

Astaga! Gue enggak mau hujan turun dan memaksa gue harus meneduh di tepi jalan sendirian dengan udara dingin dan goyangan pepohonan yang memaksa gue berfikir aneh-aneh.

Sesampainya di sekolah. Sekolah sudah gelap tanpa cahaya sedikitpun. Pak Sapri bersiap-siap mengunci gerbang sekolah dengan gembok besar seukuran bakso bogem. Gue menghampirinya, sinar motor gue menyadarkan pak Sapri. Suara motor Rendi membuatnya  menengok ke belakang.

"Pak, saya izin mau ngambil sesuatu di dalam, ya," pinta gue ke Pak Sapri dengan wajah memelas.

"Ambil apaan? saya mau tutup," balasnya ketus.

"Sebentar aja, Pak."

"Enggak bisa!"

"Rokok 2 batang mau? Saya yang beliin,"

“Kamu mau sogok saya?! Kamu kira saya kaya anggota DPR yang korupsi? Enggak bisa!"

“Saya enggak mau sogok Bapak. Saya mau minta tolong sama bapak buat buka gerbangnya. Dan hadiahnya adalah rokok.”

“Itu namanya sogok.”

“Itu namanya hadiah, Pak.”

“Memangnya beda?”

“Beda, Pak. Mau enggak?”

"Hmm.” Pak Sapri bergumam sebentar seakan berfikir dan menimbang-nimbang tawaran gue.

“5 batang deal,” ujar Pak Sapri menjulurkan tangan tanda sepakat.

"Oke," balas gue tanpa berfikir panjang.

Habis deh duit gue. Sebenarnya gue enggak ngerokok. Tapi karena nih satpam gak bisa diajak kompromi kecuali pakai rokok. Ya mau gimana lagi, demi tuh surat.

Pak Sapri membuka kembali gerbang. “5 Menit aja,” kata Pak Sapri memperingati. Gue mengangguk dan berlari ke lorong kelas dan pergi menuju kelas. Sialnya, pintu kelas gue telah dikunci oleh pak Sapri, tapi tidak dengan jendelanya. Dengan memakai sapu ijuk yang tergeletak tidak berdosa dekat pintu kelas, gue menahannya agar jendela tetap terbuka, lalu masuk ke dalam. Gue berlari melihat ke kolong meja gue.

Apa yang gue sangka-sangka ternyata benar-benar terjadi. Iya, surat itu hilang.

"Mampus gue! Siapa nih yang ngambil!" hardik gue. Gue obrak abrik tuh kelas dan tetap aja enggak ketemu. "Gue harus tanya satpam nih."

Gue meninggalkan kelas dalam keadaan berantakan. Terserah deh gimana respond anak-anak kalo lihat kelas besok. Yang lebih penting sekarang adalah surat itu dan siapa yang ngambilnya.

"Pak! Orang yang terakhir keluar dari sekolah siapa?” tanya gue dengan nafas naik-turun karena kelelahan berlari.

"Hmmm. Yaaaaaaa banyak, Za!"

"Coba inget dulu, Pak."

"Hmmm..."

“Ya Allah, Pak. Enggak usah ‘Hmmmm-hmmm’ dulu, deh.”

“Sebentar.” Pak Sapri menggaruk kumisnya bertanda ia sedang berfikir. Itu ia lakukan karena nggak ada rambut di kepalanya, jadi enggak ada yang bisa digaruk.

Kalau nunggu pak Sapri mikir dan nginget-nginget siapa yang terakhir keluar, bisa-bisa gue udah punya cicit 7 keturunan dulu baru dapat jawaban. Tidak ada cara lain selain itu.

"Rokoknya jadi 10 deh, Pak.”

Dia tersernyum jahat seperti menunggu gue memakai cara itu. "Ok. Tadi yang keluar terakhir itu...."

*****************

Dugaan gue benar, hujan turun malam ini dan memaksa gue melipirkan motor dan meneduh di tepi jalan. Halte metro mini tua yang sudah dicoret-coret menjadi pilihan gue untuk meneduh. Gue melirik jam tangan. Sudah pukul 8 malam tapi kenapa suasana sepi banget kaya kuburan. Sendirian, nggak ada orang lain selain gue. Gue menggosok telapak tangan guna memberi kehangatan. Sialnya, nekat gue malam ini untuk mengambil surat tersebut malah memaksa gue harus berteduh dan menghadapi malam ini sendirian. Gue menengok kanan-kiri berharap ada orang lain yang menemani. Suara gemuruh hujan semakin besar. Tabrakan yang dihasilkan oleh air hujan ke tanah menghasilkan cipratan kotor mengenai sepatu gue. Gue mengambil handphone gue di kantong, memastikannya tidak terkena air hujan serta mengabari Om Edy bahwa gue terjebak hujan mala mini. Saat sedang asik bermain handphone, seorang wanita muda berpakaian minim merah diatas lutut berdiri di tepi halte yang berlawanan dengan gue, wajahnya tertunduk dan ia terdiam dengan rambutnya yang pendek. Awalnya gue tidak terlalu peduli dengan dia, namun suara isak tangis tersendu-sendu mulai terdengar. Tapi ada yang aneh dari caranya menangis. Ketika gue memperhatikannya dengan menyipitkan mata agar terlihat lebih fokus, tetes demi tetes darah pun jatuh dari telinganya. Sampai tiba-tiba dia mengangkat kepalanya dan melihat gue dengan mata yang lebam. Gue menelan ludah menahan ketakutan gue, lalu membalas pandangannya dan mencoba untuk menelfon siapapun di kontak gue. Dia cemberut sambil menggeleng seakan tahu apa yang ingin gue lakukan. Sebuah senyuman muncul di sudut mulutnya. Hidungnya kembang kempis sehabis menangis. Dia masih aja menggeleng. Wajanya memucat biru dan terlihat kotor. Dia berjalan pelan menuju gue tanpa alas kaki. Gue berlangkah pelan mundur.

“Mba?? Ada yang bisa saya bantu??” tanya gue mencoba memberanikan diri untuk menolognya jika dia memang Butuh bantuan.

Dia menggeleng. Sepertinya dia cewek yang mandiri. Dia menggarukkan jari-jarinya di tembok halte. Derasnya air hujan menambah suara berisik. Suara tawa mulai terdengar meski pelan-pelan. Gue melihatnya dari atas sampai bawah memastikan dia tetap baik-baik saja. Atau memastikan bahwa dia adalah manusia. Lampu tiang listrik dekat halte membuat dirinya memunculkan bayangan hitam di belakang. Sepertinya dia masih manusia. Hingga pandangan gue tertuju pada sesuatu yang berlendir dan jatuh dari dalam rok cewek tersebut. Gue enggak bisa memastikan apa itu. Namun bentuknya kecil dan masih diseliPuti oleh cairan-cairan.

“Dia…jahat sama aku,” ucap cewek tersebut lirih.

“Dia? Siapa?”

“Dia jahat sama anakku. Aku mau es batu.”

“Es batu? Buat?”

Ini kan lagi hujan, kenapa dia minta es batu? Bukannya nanti malah jadi flu?

“Di neraka itu panas, aku butuh es batu. Dia nggak pantas masuk surga. Dia----“

“Mba, maksud mba siapa?”

Gue masih saja berjalan ke belakang mencoba benar-benar menjauh dari dirinya yang sudah mulai bergerak tidak tegak dan sempoyang seperti orang mabuk.

“Dia udah bunuh aku!!!”

Teriakan cewek itu membuat wajahnya benar-benar terlihat nyaris jelas. Bekas besatan pisau kecil masih terlihat di tepi bibirnya. Matanya melotot mengeluarkan darah. Bibirnya merah. Sekilas wajahnya mirip seperti Oey Hui Lan, wanita keturunan China, anak dari Qey Tiong Ham, seorang pria terkaya di Asia tenggara yang sempat tinggal lama di Indonesia. Langkah gue terhenti di tiang terakhir halte tersebut. Tanpa mempedulikan tuh cewek, gue berlari menembus derasnya hujan menuju motor. Gue menepuk kantong celana gue mencari kunci motor.

Anjing! Mana lagi tuh kunci motor.

Gue melihat ke arah cewek tersebut. Dia menangis terisak sembari menggelengkan kepalanya seakan tanda tidak mau ditinggalkan. Dia masih berjalan pelan menghampiri gue. Darah mengalir dari kepalanya, membasahi rambutnya dan membuatnya menempel satu sama lain. Suara lirihnya berangin-angin ke telinga, pandangannya berbulu mata melihat gue. Raut wajahnya memancarkan darah yang mendidih.

“Dapet!” kata gue sembari mengeluarkan kunci motor dan berupaya memasukkannya ke lobang kunci. Tangan gue gemetar karena dingin dan merinding. Setelah berhasil memasukkanya, tanpa fikir panjang gue menyalakan motor gue dan menarik gas dengan cepat meninggalkan cewek tadi sendirian di tengah halte. Di waktu yang bersamaan, sebuah motor melaju dengan cepat di sebrang jalan yang lain, pengendara motor itu melihat ke arah gue meskipun ia menggunakan helm.

Kamu diam tanpa bicara

Berdiri tegak memandang mata

Bertukar rasa bukan lagi ceritanya

Saling menyakiti dengan hati dan kata

 

Kamu egois

Membiarkan hati meringis

Kamu jahat

Membiarkan diri melarat sekat

*************************

Setelah mendapatkan nama yang pak Sapri beritahu, gue menunggu waktu yang tepat untuk mengambil surat itu dari dia. Dan setelah kejadian café, metro mini dan halte tersebut. Gue mengisi hari-hari gue di rumah setelah pulang dari sekolah. Entah kenapa gue ngerasa malas bercampur rasa yang tidak bisa gue jelaskan untuk keluar rumah. Gambaran tentang cewek halte tersebut masih menyangkut di benak gue. Suara isak tangis dan ucapannya berPutar-Putar di kepala gue. Caranya melirih benar-benar terekam dalam benak gue. Gue masih tidak bisa mengerti dan memahami kenapa beberapa hari ini ada kejadian yang tidak gue bayangkan akan terjadi di dekat gue. Beberapa kali Om Edy menyuruh gue untuk pergi melepaskan kepenatan, memberi sedikit ketenangan bagi otak agar nggak terlalu cedera karena penatnya suasana rumah. Rendipun beberapa kali mengajak gue hangout tapi jawaban gue selalu sama: gue mau di rumah.

"Za! Reza! Main yuk,” panggil Rendi dari luar pintu kamar gue sembari mengetuk pintu kamar gue yang terkunci. Ia baru aja sampai di rumah gue dengan motor r15 hitamnya yang sudah gue kembalikan esok harinya setelah pertemuan gue dan cewek itu di halte.

“Udah deh, Ren. Berisik ege," balas gue sembari telungkup di kasur bermain handphone, meskipun daritadi gue cuma mendengar lagu marron 5 - girls like you dengan volume kencang. Setidaknya hal itu bisa membuat gue tidak memikirkan hal-hal gila akhir-akhir ini.

"Ayodah, nyet. Temenin gue ke taman. Laper gue," ajaknya paksa sembari mengebuk pintu kamar gue lebih keras.

"Males, Ren. Mending lu pesen pake gojek, atau tokopedia, atau bukalapak deh," balas gue.

“Lu mau gue mati kelaperan? Buka pintunya, Za.”

Gue turun dari kasur, membuka pintu kamar dan kembali ke kasur gue. Rendi masuk memasang wajah heran dengan apa yang terjadi pada sahabatnya ini.

“Lu kenapa si, Za? sokin cerita sama gue,” kata Rendi sembari mengganti lagu dengan lagu Cash-cash – I love it.

Gue menggeleng. “Enggak apa-apa, Ren.”

“Ya udah, lu mau sakit di kasur lama-lama? Lu Butuh olahraga cuy."

Untuk bergerak saja malas, apalagi berolahraga. Tapi saran Rendi sepertinya masuk akal dan bermanfaat. Ya mungkin gue memang sedang benar-benar Butuh olahraga. Mungkin dengan olahraga, bisa membuat gue sedikit melupakan hal-hal kejadian kemarin, atau setidaknya membuat diri gue sedikit tenang. Gue sendiri adalah orang yang jarang atau cukup malas untuk berolahraga. Meskipun sehat, Bukankah itu membuat kita berkeringat, membosankan dan lain-lain. Ya senggaknya itu adalah pemikiran gue. Lagipula, tumben sekali si Rendi mengajak gue untuk berolahraga. Apalagi di taman.

“Sebentar, gue siap-siap dulu,” ucap gue bangkit dari kasur dan membersihkan wajah gue yang sudah kusut seperti kabel headset.

“Nah! Gitu dong nyet. Ya udah, gue tunggu di luar.”

Beberapa menit kemudian, gue keluar dari kamar mengenakan kaos hitam dan celana jogger berwarna Putih. Rendi sedang asik duduk dengan Om Edy di meja makan sembari makan nasi uduk yang dilengkapi oleh tempe, lontong dan sambal. Hidung gue mencium bau keleZatan pagi itu. Sepertinya nasi uduknya masih hangat.

“Lah? katanya lu mau ngajak gue makan di taman, Ren,” kata gue sembari melihat Rendi yang malah makan.

“Gue juga butuh tenaga Buat olahraga. Mumpung Om Edy traktir,” celetuk Rendi.

“Kamu enggak makan, Za?” tanya Om Edy.

“Nanti aja, Om. Kalo hari minggu, males makan,” jawab Gue sembari berjalan menuju pintu rumah.

“Oh ya, Ren, Za. Om baru dapet kabar dari warga sekitar, mereka ngelihat jasad cewek di halte dekat sekolah kalian beberapa hari yang lalu. Kalian sudah denger kabarnya?”

Mendengar kabar dari Om Edy tentang hal itu, gue kaget, langkah gue terhenti dan fikiran gue meluncur ke malam hari itu. Keringat dingin mulai keluar dari kening gue. Gue masih membelakangi Rendi dan Om Edy. Lidah gue keras tidak bisa berkata apa-apa. Gue menggeleng sembari berjalan menuju beranda rumah.

“Serius om?!” tanya Rendi kaget.

“Iya, kata warga sekita dia adalah korban pemerkosaan dan -----“

“Ren!” panggil gue memotong pembicaraan Om Edy. “Jadi enggak?!” Nada gue sedikit keras karena tidak mau Om Edy memborbardir gue dan Rendi dengan pertanyaan yang bisa saja berujung dan berkaitan pada malam dimana gue mengambil surat di sekolah.

Setelah selesai makan, Rendi dan gue beranjak ke Taman Bambu. Sebenarnya tempat ini adalah wahana rekreasi bagi masyarakat sekitar, khususnya yang tinggal di daerah Setu, Cipayung, Jakarta Timur. Jam masih menunjuk pukul 7 pagi. Anak-anak kecil berlarian memegang pistol mainan berisi air, masih ada beberapa orang berolahraga, jalan-jalan bersama keluarga, dan berpacaran sembari bersantai di bawah rindangnya rumpun bambu. Rendi memarkirkan motornya di dekat gerbang taman. Angin segar mulai membuat kulit terasa dingin meski terik sinar matahari mulai menyengat.

"Akhirnya sampai juga di taman." Rendi meregangkan tangan-tangannya.

"Mau lari kemana nih?” tanya gue.

“Kemana aja. Yang penting jangan lari dari masalah.”

“---‘

Ketika sedang berolahraga, perut gue berbunyi keras memberi isyarat untuk sarapan.

"Cari makan dulu, Ren. Cacing perut gue udah demo kaya mahasiswa.”

“Kampret lu! Tadi bilang enggak mau makan.”

Bubur ayam kang Agus yang terparkir di dekat pos satpam taman menjadi pilihan kami. Ditaburi dengan serpihan daging, sambel dan sate telor puyuh membuat rasa gue meningkat. Asap yang keluar dari tempat penyimpanan Bubur juga memberikan harum yang nggak bisa ditolak oleh hidung. Gue yang baru saja mau menyendok Bubur ayam hangat ini dikagetkan dengan kedatangan seorang cewek melihat gue sembari senyum-senyum tidak jelas.

"Reza, ya?”

"I….ya. Kenapa?" balas gue mengerinyitkan alis karena bingung.

"Gue Nadia, kaka kelas lu di sekolah. Boleh minta foto gak?"

Wangi parfum oriental tercium ketika kaka kelas itu mendekatkan wajahnya ke wajah gue. Wangi hangat gabungan rempah-rempah dan Bunga-bunga eksotis benar-benar tercium saat ini. Gue menutup mata gue merasakan harumnya wangi tersebut, dada gue mengembang ketika hidung memfokuskan diri untuk meresapi setiap wangi yang ia pancarkan.

"Sorry ya, ka. Tapi gue enggak suka difoto."

"Yah, Za. Pelit banget. Satu foto doang."

"Sorry, tapi ini bukan masalah pelit atau ga pelit. Ini masalah-----"

"Belagu lu, Za. Sombong banget. Pantesan anak-anak kelas gue enggak suka sama lu," balasnya kesal sambil menaikkan suara lalu pergi tanpa basa-basi yang baik.

Biarkan saja dia menganggap gue seperti apa. Ini Bukan masalah pelit atau nggak. Ini masalah privasi karena memang gue enggak terlalu suka difoto. Menurut gue, ada banyak cara mengabadikan suatu moment selain menggunakan foto dan mengunggahnya di media social. Terlebih lagi, gue sendiri enggak tau siapa dia.

"Freak banget tuh kaka kelas,” kata Rendi. "Mungkin dia fans lu, Za," sambungnya.

"Semoga bukan."

Beberapa menit kemudian gue dan Rendi dikagetkan oleh kedatangan Kak Laras yang menggunakan baju pendek pink se-lengan dan celana jogger hitam panjang serta sepatu sport bermerk nike. Warna hitam yang dia pakai hari ini membuat kulit Putihnya benar-benar terlihat halus ditambah dengan Bulu-bulu halus yang menempel di kulitnya. Rambut yang diikat ikatan kuda dan bibir merahnya membuat wajahnya benar-benar cantik. Ditambah dengan sinar matahari yang menabrak kulitnya. Meskipun ada keringat yang keluar dari keningnya, namun hal itu nggak mengurangi sedikitpun kecantikannya.

"Hi, Za," sapanya manis dengan lesung pipi yang menyempurnakan wajahnya.

Kini, aroma lavender memaksa hidung gue membuka lobangnya dan menariknya ke dalam. Wangi lembut yang mempunyai kekuatan untuk merelaksasika suasana hati ini benar-benar menarik perhatian. Bahkan, konon ceritanya, pada, Zaman dahulu Cleopatra menggunakan aroma wangi lavender untuk menarik hati Julius Caesar.

"Hi, Ka," balas gue tersenyum tipis.

Kedatangan Ka Laras benar-benar merubah suasana menjadi nyaman. Di saat hati sedang gundah tidak tahu harus apa, ka Laras datang dengan sebuah senyuman yang mampu meluruskan semua permasalahan.

“Udah berani lihat muka gue lebih lama?” tanyanya pada gue sembari mengingatkan gue pada kejadian pemberian surat hari itu. Iya, gue hanya memandanginya beberapa detik saat itu.

"Ya, sorry, waktu itu mata gue lagi lelah banget,” ucap gue menunduk merasa malu.

“Enggak mau minta maaf juga karena udah ninggalin gue di gerbang sekolah Beberapa hari yang lalu?” tanya Kak Laras.

“Anu..gue lagi…,”

"Its. Okay. Hahahaha. Santai aja.” Bahkan tawa kecilnya aja mampu membuat dunia sejenak berhenti. “By the way, lu Rendi ya?" tanya kak Laras sembari melihat Rendi yang daritadi memperhatikannya.

“Iya, ko kaka tahu nama gue?” tanya Rendi dengan wajah sumringah bahagia.

"Siapa yang enggak tau adik kelas yang udah numpahin kuah bakso ke Brian. Nekat juga lu."

"Dia pantes dapetin itu," balas Rendi.

Dengan inisiatif lelakinya, Rendi bangkit dari duduknya dan mempersilahkan Kak Laras duduk. “Duduk dulu ka. Kasihan kalo berdiri terus, nanti capek.”.

Gue memandangi Rendi dengan pandangan bertanya. Kenapa nih setan malah ngasih tempat Buat ka Laras duduk?, Itu malah membuatnya semakin lama ada di sini. Semakin lama dia di sini, semakin canggung juga suasana.

“Thanks,” ucap Kak Laras tersenyum manis pada Rendi.

Kak Laras ikut memesan Bubur ayam yang sama dengan gue dan Rendi.

"Ko lu bisa tahu gue disini, Ka?” tanya gue yang daritadi penasaran dengan kedatangannya.

"Barusan ada temen gue yang minta foto sama lu tapi lu nolak. Abis itu dia masukin keluh kesahnya di Instastorynya. Yaaaaa akhirnya gue tau deh."

Budak media sosial. Gue juga heran kenapa semua permasalahan yang kalian hadepin harus kalian pasang atau sebarin di media sosial. Bukannya dengan cara seperti itu, orang-orang malah tahu masalah kalian? Think smart dong.

"Budak medsos," keluh gue.

"Tenang aja, gue udah tegur ko," balas Kak Laras.

Serius? Kenapa ka Laras berinisiatif menegur temannya? Iya maksud gue, kenapa dia harus ngelakuin itu.

"Thanks, Ka. Lu enggak perlu repot-repot ngelakuin hal itu."

"Gue enggak merasa direpotin ko.”

Pembicaraan gue, Rendi dan Kak Laras cukup berwarna-warni. Kita membahas tentang politik, pendidikan, pergaulan dan lain-lainnya. Kesan pertama yang gue dapat dari pembicaraan gue dengan Kak Laras adalah Kak Laras adalah cewek yang pintar dan mudah bergaul. Beda sekali dengan temannya. Temannya? Maksud lu cewek misterius itu?, kenapa lu masih aja mikirin dia,, Za?! Dia itu sudah jelas-jelas menjauhi lu. Kenapa mesti lu fikirin? Harusnya lu sadar bahwa dia enggak mau menjalin hubungan sama lu, entah hubungan sebagai teman atau…..

"Ya udah, gue cabut dulu ya. Ada kerjaan lagi,” kata Kak Laras sembari bangkit dari kursi plastik khas gerobakan. Langkah Kak Laras terhenti ketika Rendi meminta nomornya.

“Ka, gue minta nomor lu, boleh??”

“Untuk??”

“Nanya-nanya pelajaran yang gue enggak faham,” balas Rendi dengan alasan yang aneh namun seringkali dipakai adik kelas untuk mendekati kakak kelas.

“Setahu gue, bukannya lo masuk salah satu 10 besar di SMP lo?” tanya Kak Laras sembari melirik ke Rendi dengan lirikan curiga namun menggemaskan.

Pertanyaan Kak Laras dengan cepat menampar Rendi, membuatnya mati kutu. Rendi celingak-celinguk melihat gue yang tidak kuasa menahan tawa. Sembari tersenyum Rendi menjawab, “Orang pintar juga butuh nasihat dan gandengan ko.”

“Gandengan?”

“Mak….maksudnya bimbingan.”

“Ok. Mana Handphone lu?”

Rendi memberikan iphone 6nya pada Kak Laras. Kak Laras memasukkan beberapa digit nomor ke dalamnya. Semoga itu nomor handphonenya, Bukan nomor rekeningnya. “Gue cabut dulu ya. Bye.” Lambaian tangan Kak Laras menjadi perpisahan gue dengannya hari ini.

“Kang, bubur cewek itu, biar saya yang bayar,” ucap Rendi pada kang Bubur.

“Enggak usah repot-repot, Ren.” Kak Laras menggeleng.

“Anggep aja biaya minta nomor.” Rendi membalas tersenyum manis, senyum khasnya yang mampu membuat para wanita berjatuhan mabuk bensin.

Ketika Kak Laras pergi, Pandangan Rendi enggak bisa lepas dari dia. Kayanya senyum Kak Laras membekas di benak Rendi. Semoga tidak ada hal tidak gue sesalkan nanti. Sesaat setelah Kak Laras sudah berada di dekat motornya yang terparkir di dekat gerobak Bubur ayam. Ia berteriak sesuatu pada gue sembari menengok ke gue.

"Za, suratnya udah, lu baca?” tanyanya dari jauh.

"Surat?” Gue menganga kaget karena kak Laras bertanya tentang surat tersebut.

Bagaimana bisa dibaca, surat itu aja belum ada di tangan gue. Kak Laras pasti kecewa banget nih kalau tahu gue enggak baca dan malah ngilangin tuh surat. Gue enggak mau dia menganggap gue cowo yang enggak bertanggung jawab.

“Sudah, Ka,” jawab gue berbohong. Gue tahu gue udah bohong tapi ini gue lakuin biar pertemuan gue dan Kak Laras terkesan baik.

"Ok, See u, Za, Ndi.” Pamit Kak Laras lalu pergi menghilang dari padangan gue dan tenggelam dalam kejauhan.

Sebuah tepukan mendarat di pundak gue. "Suratnya lu udah baca nyet?” tanya Rendi. "Apaan isinya? Kasih tahu gue dong!" tambahnya sembari menarik baju gue.

"Suratnya....," balas gue ragu untuk menceritakan yang sebenarnya.

"Kenapa suratnya? Ada uangnya? Apa kertas Putih doang? atau jangan-jangan tuh bon hutang ya!"

"Suratnya hilang, Ren."

"Kok bisa nyet?!" Suara Rendi cukup membuat kaget tukang Bubur sembari menoleh heran dengan cara Rendi berbicara kalimat terakhir.

“Sssstttt….” gue menutup mulutnya dengan bungkusan krupuk Putih. “Enggak usah keras-keras begitu ege. Jadi, setelah kejadian kita dihajar oleh Brian, dan setelah gue anter lu ke rumah, kita sempat chating lewat whatsapp, dan lu nyebut kata surat. Seketika itu gue langsung teringat surat yang gue tinggalin di kolong meja, alhasil gue pergi ke sekolah. Pak Sapri sudah menutup sekolah malam itu, akhirnya gue minta tolong sama Buat ngasih gue 10 menit Buat perika tuh srat. Waktu gue sampai kelas, gue enggak nemuin tuh surat. Dengan inisiatif gue, gue bertanya ke pak Sapri, karena gue fikir mungkin aja pak Sapri tahu siapa yang terakhir kali pulang dari sekolah dan jawabannya...."

Komentar

Postingan Populer