Bab Dua - Kenapa Harus Kenapa.
Kamu datang dengan segenap hati, membuat diri membuka kembali pintu yang sudah lama terkunci. Aku kira kamu akan membenahi apa yang seharusnya dibenahi, nyatanya kamu menghancurkan apa yang seharusnya dihargai.
********************
“Apaan, Dik?” tanya Rendi sesampai mereka di kelas.
“Tadi ada kaka kelas nyariin Reza,” lapor Andika.
“Cowo?” tanya gue memastikan.
“Cewe.”
“Cantik?” tanya Rendi penasaran memasang wajah harapan.
“Lumayan, Ren,” jawab Andika dengan senyum jahat.
“Bodynya gimana?”
“Mirip Caitlin Halderman, pemeran starla,” jelas Andika.
“Wah, cakep banget itu mah,” balas Rendi bersemangat sampai menepuk
keras pundak Andika. Andika hanya bisa mengusap sakit pundaknya tanpa berani
membalas pukulan temannya yang dikenal jagoan ribut itu.
“Lu berdua kenapa malah bahas itu sih?” celetuk gue sebelum
pembicaraan Rendi dan Andika pergi ke pembahasan yang semakin serius. “Dik, tuh
cewe enggak kasih apa-apa ke lu?” tanya gue.
“Enggak, Za. Bahkan dia aja enggak kasih gue uang jajan.”
“Yahhhhhhh… udang busuk! Lu fikir dia nyokap lu?!” balas
Rendi.
Cewe? Siapa? Ini hari pertama gue di sekolah, enggak
mungkin ada cewe nyariin gue. Lagipula, gue juga enggak ada masalah sama
siapa-siapa kecuali kaka kelas, itupun mereka cowo. Kalo cewe yang dimaksud
Andika adalah cewe yang tadi di ruang guru, ada apaan dia nyariin gue? Bahkan,
barusan saja dia berjalan melewati gue tanpa melihat gue. apa secepat itu
manusia berubah dari cuek menjadi perhatian?
*******************
Gue mencoba mengingat-ngingat dengan siapa saja gue
berurusan hari ini sembari duduk di dekat jendela menghadap langit bersandar
pada dinding kelas.
Udah 30 menit berlalu dan nggak ada tanda-tanda kaka kelas
itu kembali.
"Sial!!" Rendi memukul meja dengan telapak tangan
memecahkan lamunan gue. "Gue laper banget,” lanjut Rendi sambil
mengusap-ngusap perutnya.
Detik
ini, Rendi memang terlihat seperti orang-orang yang berhak diberi nafkah pada
saat ini. Gue yakin, kalo ada pembagian sembako hari ini, Rendi bakal ngambil
tuh sembako, enggak peduli panjang antriannya dari Monas ke Gedung sate. Rasa
laparnya membuat perut dan mulutnya enggak berhenti berbunyi.
"Za,
lu ga laper?” tanyanya pada gue.
"Ga,"
jawab dengan wajah yang masih menatap langit-langit.
“Yakin
lu? Badan lu aja lebih kurus dari gue, nyet, masa enggak laper?”
Gue
tidak menggubris pertanyaan Rendi dan memilih untuk merubah posisi duduk gue
dengan bersender pada tembok dan menaikkan kaki diatas kursi sebelah gue. Gue
merogoh handphone di saku celana gue, menyalakan layarnya, memasang headset di
telinga dan memilih lagu di playlist gue. Lagu Garis waktu karya Fiersa
Besari menjadi pilihan gue saat ini sembari memejamkan mata.
"Aduh,
bego banget dah gue. Kenapa gue tuangin tuh kuah bakso ke kepala si kampret,” keluh
Rendi sembari menjambak rambutnya sendiri. "Aduuuhhh! Ya Allah! Hambamu yang
sholeh dan tidak sombong ini laper, Ya Allah.”
"Ssssst,
berisik tau gak!!" teriak beberapa siswi yang lain karena merasa terganggu
dengan suara keras Rendi. “Kalo laper, makan. Kalo enggak punya uang, minta.
Kalo masih punya malu, tahan. Kalo lo cowo, traktir!” dercak siswi-siswi itu
berbarengan.
"Waduh,
dibentak calon emak-emak. Ya, maaf-maaf," balas Rendi sembari merapatkan
kedua telapak tangannya seperti halal bihalal. “Gue kasih tahu sama lo pada,
udah enggak jaman, kalo cowo yang selalu harus traktir cewe. Kalo menjalin
hubungan itu harus saling menguntungkan,” bela Rendi pada diri sendiri.
“Dasar
cowok pelit! Kalo cewenya jelek, nanti malu. Kalo cewenya cantik, nanti
cemburu. Cowo emang ribet!” balas siswi-siswi itu tidak mau kalah.
Sejenak
ketika mata gue sudah terpejam, bayang-bayang cewek misterius yang berhasil
bikin gue penasaran datang menghampiri. Bahkan suara teriakan Rendi nggak
membuyarkan gambaran cewek tersebut dibenak gue. Malahan sebaliknya, wajah dan
gerak-gerik cewek tersebut makin jelas di benak gue. Rasa penasaran tentang
dirinya makin menjadi. Entah, kenapa rasa ingin mengetahui tuh cewek semakin
besar?
Tok tok!!
Suara
ketukan pintu terdengar di telinga gue namun tidak membuat gue membuka mata gue
dan memerhatikan siapa yang datang karena fikiran gue masih saja membayangkan
cewek misterius tadi."Ada yang namanya Reza enggak disini?” tanya
seseorang dengan lembut. Dari suaranya, gue mengetahui bahwa suara ini suara cewek,
entah suara cewek haqiqi atau cewek jadi-jadian.
"Ada
tuh, Ka. Tuh orangnya yang lagi dengerin lagu sambil senderan di tembok,"
jawab Randayani, ketua kelas gue sembari menunjuk ke arah gue.
Cewek
tadi melangkah pelan menghampiri gue, melewati beberapa teman laki-laki gue
yang daritadi matannya udah aotu fokus ke cewek tersebut, mata cctv
memang sulit ditandingi.
"Lo
yang namanya Reza?” tanyanya sembari mengajak berjabat tangan.
Gue yang
daritadi malas untuk berinteraksi dengan manusia karena lapar enggan untuk
membuka mata.
Cewek
tadi berdeham sedikit, memberi isyarat
agar gue membuka mata. Tapi usaha dia tidak berhasil. Gue masih asik dengan
dunia gue sendiri. Tiba-tiba jidat gue ditepok pelan, Plak, dan headset
gue ditarik. Gue membuka mata dan mendapati Rendi melirikkan matanya ke arah
cewek tadi. Tatkala mata gue melihat ke arah cewek ini, mata gue sedikit
membelalak karena mengetahui kalo ini cewek adalah cewek yang ketemu gue di
kamar mandi hari ini.
"Hei,”
sapanya sembari menjulurkan tangannya, mengajak bersalaman.
Gue
menyambutnya. Kulitnya benar-benar halus. “Hei,” balas gue dengan nada datar.
“Gue ke
sini mau ngasih surat. Ini dari temen gue,” lanjutnya sembari meletakkan sebuah
surat di dalam amplop di meja gue.
Dari
temennya? Siapa? Gue aja gak kenal siapa nih orang. Kenapa tiba-tiba nih cewek
kasih surat ke gue. Jangan2 surat utang? Atau kredit pulsa? Bon belanja
pendatang hadiah? Semoga Bukan. Fikir gue.
"Thanks
ya," balas gue sambil menerima surat itu. Beberapa detik kemudian, gue
melihat ke arah cewek tersebut. Ia membalas pandangan gue dengan senyum tipis
terbentuk dari wajahnya indah.
"Gue
boleh duduk?” tanyanya.
Gue
mengangguk dan menurukan kaki yang sedang asik-asiknya diistirahatkan. Gue
kaget ketika ia duduk bersebelahan dengan gue. Wangi aroma Eau de parfumnya
benar-benar menyengat.
“Lo
punya waktu buat ngobrol?” tanyanya lagi.
“Enggak
ada,” balas gue sekenanya.
“Kalo
besok?”
“Enggak
tau,”
“Ya
udah, besok gue tunggu lo di depan gerbang sekolah.”
"InshaAllah
kalo gue ada umur panjang," balas gue sembari menatapnya.
Cewek
tersebut berdiri dan pergi meninggalkan kelas. Rendi yang daritadi memerhatikan
dengan detail cewek tadi langsung menghampiri dan duduk di samping gue sembari
memasang wajah penasaran tentang isi kertas tersebut. Gue melirik ke arahnya
dan berkata, “Kenapa lu? Kesambet setan?”
Dia
melirik ke arah surat tersebut dan menaikkan alisnya sebagai isyarat untuk
membuka surat tersebut. Beberapa anak lainnya pun sama. Mereka menghampiri gue
sembari berkata, "Buka dong, Za!" teriak Ridho, salah satu teman gue
yang gila instagram.”Gue mau bikin instastory nih.”
"Jangan!
Itukan surat pribadinya Reza. Kalian gak boleh kepo,” kata Afifah, salah satu cewek
sholehah dikelas gue.
"Buka
aja buka. Saik banget nih Reza dapet surat dari kaka kelas," teriak beberapa
anak dengan maksud mengompori.
"Minggir-minggir!”
ucap Dewi sambil menepuk kepala teman-temannya dengan buku tulis kecil miliknya
tanpa merasa berdosa, kepala teman-temannya sudah seperti nyamuk baginya. “Za!
Lu gak tau tadi tuh siapa?” tanya Dewi, salah satu cewek tomboy kelas gue,
sembari melotot ke arah gue seperti ingin marah karena gue sepertinya sudah
melakukan kesalahan fatal.
Gue
menengok ke Dewi, menelan ludah karena takut dia bakal mukul kepala gue juga.
Gue menggelengkan kepala tanda nggak tahu.
"Itu
tuh Kak Laras! Salah satu cewek famous di kelasnya, kaka kelas kita!
Gila! Bisa-bisanya lu cuekin tuh cewek," serunya dengan nada memperingatkan
dan menunjuk ke arah gue.
Ka
Laras? Jadi namanya Laras. Jujur, gue enggak pernah denger dia sebelumnya,
entah karena dia yang enggak hadir saat teman-temannya melaksanakan kegiatan
MOS, atau guenya aja yang enggak sadar tentang keberadaan dia hingga gue ketemu
dia di kamar mandi hari ini. Yang pasti gue rasa, dia sedang punya masalah.
“Woi!
Pak Sumarno dateng!!” teriak Bima berlari masuk ke dalam kelas dan dengan sigap
duduk di kursinya. Seketika para murid berhamburan ke kursi mereka
masing-masing sedangkan gue langsung mengambil surat tersebut dan menaruhnya di
kolong meja.
Surat
tadi, apa maksudnya ya? Siapa pengirimnya pun enggak gue kenal, apa gue buang
aja ya? Tapi, entah kenapa, ada sisi dari diri gue yang berharap bahwa surat
tadi adalah dari cewek misterius tadi, berharap bahwa dia dapat memberi
kata-kata yang bermakna dan bersifat bahagia. Di sisi lain, ada diri gue yang
memaksa gue untuk tidak terlalu berharap tinggi, karena berharap tinggi pada
manusia akan memberikan kemungkinan besar untuk jatuh yang sangat sakit.
Ketika
para murid sudah duduk sigap di kursi dan buku-buku yang sudah siap di atas
meja, wajah-wajah serius sudah kembali terlihat. Tiba-tiba, Bima melontarkan
pernyataan yang memancing seluruh emosi murid-murid.
“Tapi
bohong, hahahaha,” canda Bima sambil tertawa terbahak-bahak, merasa puas telah
berhasil membohongi semua teman-temannya.
“Si
bego! Kirain gue beneran,” ucap Rendi kesal. Ia merobek selembar kertas dari
buku tulis Andika, meremukkannya dan melemparkannya ke Bima. “Gue lagi
asik-asik ngepoin si Reza, lu dateng bawa kabar hoax, mau gue jadiin lutung
kasarung lu?!”
Bima masih
saja tertawa terbahak-bahak mendapati teman-temannya tertipu. “Sorry-sorry, lagian
gue lihat lu pada serius banget sama isi surat Reza.” Bima berdiri lalu merobek
selembar kertas dari buku tulisnya, meremukkanya dan membalas lemparan Rendi.
Alhasil, suara riuh kelas kembari menggema karena tingkah Rendi dan Bima hingga
salah satu lemparan Bima mengenai jidat hitam milik Pak Sumarno yang baru saja
masuk ke dalam kelas.
“Astagfirullah!”
Bima terkejut ketika mengetahui hal itu. Rendi dengan cepat duduk sambil menunduk
dan pura-pura membaca buku.
“Bima!”
seru Pak Sumarno dengan keras sambil melintir-lintir kumisnya yang panjang
sebelah. “Maneh, hayang abdi hukum?!”
Bima
menggeleng sambil menunduk gemetaran.
“Ya
udah, duduk!”
Setelah
pelajaran bahasa Sunda Pak Sumarno dimulai, fikiran gue terbang entah kemana. Lama
kelamaan, rasa penasaran isi surat tersebut mulai datang. "Sial!" teriak
gue tanpa sengaja.
"Kunaon
maneh teh Reza?!” tanya Pak Sumarno sambil memandang gue tajam.
"Enggak
ada apa-apa, Pak. Maaf-maaf, pak. Silahkan lanjutkan," jawab gue malu karena
udah memecahkan suasana. Beberapa teman melihat gue sembari menahan tawa,
apalagi Rendi yang daritadi tidur dan terbangun karena teriakan gue.
"Maneh,
lamun aya masalah teh. Ntong mawa-mawa kadieu! Ngarti?!" teriaknya.
"Ya,
Pak." Gue mengangguk pelan.
Setelah
jam pelajaran terakhir selesai. Para siswa-siswi berlarian keluar gerbang
sekolah. Gue dan Rendi pergi ke lapangan parkir. Hari ini Rendi mengajak gue
untuk nongkrong di salah satu café yang ia temui di explore Instagram hari ini.
Guepun mau aja karena cacing perut udah berdemo meminta jatah makanan. Gue
membututi Rendi dari belakang. Ketika sedang berjalan menuju lapangan parkir,
seseorang menabrak bahu gue hingga beberapa buku yang dibawa olehnya terjatuh.
Guepun ikut membereskan buku-buku tersebut, tetapi ketika gue mendanga sedikit
ke arah wajahnya, gue terkejut karena yang menabrak bahu gue adalah cewek
misterius yang gue temuin di ruang guru hari ini.
“Lu?”
Cewek
misterius itu tetap menunduk. Ia tidak mau melihat gue dan berkata pelan,
“Maaf.” Dia berdiri, memeluk buku-bukunya dan hendak melanjutkan jalannya. Gue
dengan cepat menggenggam pergelangan tangannya. Dia berhenti dan melihat ke
arah dimana gue memegang tangannya dengan pandangan risih, sepertinya dia
enggak merasa nyaman. Melihatnya merasa enggak nyaman seperti itu, gue melepaskan
pegangan gue sambil berkata, “Sorry-sorry. Gue enggak ada maksud apa-apa.”
Dia
mengangguk pelan memberi isyarat bahwa dia tidak mempermasalahkan pegangan gue
barusan.
“Udah
selesai puasa ngomongnya?” tanya gue tersenyum lebar memperlihatkan gigi putih
gue.
Tanpa
bicara sepatah katapun, ia melihat gue dengan pandangan yang tidak pernah dia
berikan sebelumnya. Pandangan kami beradu, saling mengait tidak berhenti
memberi kesempatan pada detik menghalanginya. Gue menelan ludah karena gugup,
darah mengalir lebih cepat dari biasanya. Dia tersenyum tipis kemudian
membalikkan badannya dan pergi berjalan.
“Sebentar.”
Gue menahannya untuk ke dua kalinya.
Dia
melirik ke arah gue sambil menaikkan alis memberi isyarat tanya.
“Kita
belum kenalan,” ucap gue lembut.
Mata dia
berkeliling seakan memastikan keadaan bahwa tidak ada yang melihat dan
mendengar hingga matanya terhenti pada satu titik di belakang gue. Matanya
melebar kaget seperti melihat hantu.
“Maaf,
aku buru-buru,” balasnya menarik tangannya dengan kasar dan pergi dengan
langkah yang lebih cepat dari sebelumnya.
“Enggak
usah terlalu cuek. Kalo terlalu cuek sama orang, orang itu bisa pergi tanpa
memberi kabar. Kalo udah pergi, nanti jadi kangen. Kalo udah kangen, bahaya.
Enggak ada obatnya keculai ketemu,” ucap gue sedikit kencang. Ini memang cara
gue untuk berkenalan dengan teman yang menurut gue pantas dijadikan teman. Jadi
enggak usah kaget kalo gue ngelontarin perkataan seperti ini.
Ini cewe
ngapa misterius banget ya. bikin penasaran. Lucu banget. Oh ya, kenapa
pandangannya tadi berubah gitu ya. Gue membalikkan badan berusaha melihat apa yang
dilihat oleh cewek tadi. Tidak ada siapa-siapa kecuali para penjemput
murid-murid dan para penjual kaki lima. Gue menaikkan bahu guna menghilangkan sangkaan-sangkaan
aneh dalam benak gue lalu berjalan menghampiri Rendi yang sudah menyalakan
motornya.
“Lama
banget, Za. Kemana aja lo? Beol dulu?” tanya Rendi sembari memberikan helm ke
gue.
Gue
menggeleng. “Ayo dah cabut,” ajak gue.
Sebuah
kedai bernama Kedai Locale menjadi pilihan Rendi dan gue. Beberapa menu
disarankan oleh pegawai café., Rendi memilih untuk memesan mie goreng double
dengan es teh pelengkapnya, sedangkan gue memilih untuk memesan roti bakar
coklat kacang dengan es coklat pelengkapnya. Gue melihat sekeliling kedai,
kedai yang memiliki desain interior yang didominasi dengan kayu dan dinding
yang terbuat dari batu bata Putih ini memang membuat suasana menarik, ditambah
lagi dengan pencahayaan yang cukup membuat suasana makin menarik.
Motor Rendi
terparkir cantik di lapangan parkir. Beberapa motor dan mobil pun sama. Kamipun
masuk ke dalam dan memilih tempat. Disana gue melihat beberapa murid lainnya,
mahasiswa, karyawan, serta orang-orang lainnya sedang bercengkrama, berpacaran
dan bernegosiasi bisnis. Beberapa dari mereka juga melakukan foto karena tema
kedai yang instagramble. Gue melirik jam tangan gue. Pukul 3 sore lewat 30
menit. Kedai masih terlihat ramai dan bertambah ramai. Sebuah lagu dari Luav
berjudul I like me better diPutarkan guna membuat para pengunjung
lebih nyaman.
“Nih
kedai wangi banget ya,” ujar Rendi. “Beda banget wanginya sama ketek lu, Za.”
Perasaan
gue tenang ketika udara dingin dari ac mulai menghampiri kulit gue. Gue memilih
kedai yang terletak di daerah Rawamangun ini Bukan karena ingin sok kaya. Untuk
orang seperti gue, dompet gue tebal Bukan karena uang, melainkan catatan kecil
penuh arti. Dan hari ini, Rendi berinisiatif baik untuk mentraktir,
hitung-hitung ganti makan pagi yang tertunda karena para kampret itu datang.
"Za,
lu ada masalah sama kaka kelas?” tanya Rendi setelah menenggak es teh manis
dingin miliknya.
"Enggak,
gue gak ada masalah,” jawab gue sambil memotong roti bakar berlapis coklat dan
mesis itu. Rasa gurih dan manis roti itu langsung bercampur dengan lidah gue.
“Terus
kenapa tuh surat bisa nyamperin lu?”
Gue
mengangkat bahu.”Salah kirim mungkin.”
“Gue tau
lu tuh orangnya enggak terlalu mikirin sama masalah percintaan atau semacamnya.
Tapi, kalo lu ada masalah sama kaka kelas, lu bisa cerita sama gue.”
"Thanks,
Ren.”
"By
the way, Lu pernah ngerasain jatuh cinta nyet?"
“Ya pernahlah,
gue nih masih normal, Ren.”
Kami
bercerita tentang masa-masa gila MOS kami sembari menyantap hidangan kami, dari
cara kami menghindari tugas kaka kelas, menjahili kaka kelas dengan menaruh
permen karet di bangku mereka dan sepatu mereka, mengempesi ban-ban mereka.
Lagu Marron 5 berjudul Payphone mulai terdengar, Adam Levine
memang memiliki suara yang khas. Ketika sedang menyantap makan, perut gue
berbunyi memaksa gue untuk pergi ke toilet.
“Oh ya,
Ren. Pas gue tadi lagi pergi ke ruang guru, gue ketemu cewek,” gue mulai
bercerita, “Nah, pas gue ketemu tuh cewek, gue lihat pandangan guru-guru ke dia
tuh beda, Ren. Aneh gitu.”
“Aneh
gimana?”
“Ya,
kaya pandangan enggak suka.”
“Namanya
siapa?”
“Gue
enggak tau, tapi yang pasti gue tau, tuh cewek pendiem, Ren. Gue ngerasa kaya
dia itu punya sejarah aneh gitu sama guru-guru.”
Rendi
yang sedang mengunyah makanannya, tiba-tiba terdiam. Pandangannya lurus entah
kemana. Wajahnya berubah menjadi tegang. Seakan seuntas nama telah melewati
fikirannya.
“Ren, lo
enggak apa-apa? Lo kenal sama dia?”
Mata
Rendi terangkat sedikit demi sedikit hingga matanya lurus memandang gue. Kepalanya
bergerak kanan-kiri. “Eng--- enggak, Za. Gue enggak kenal,” jawabnya.
“Kirain
gue lo kenal dia. Ya udah, gue ke toilet dulu.” Gue bangkit dari kursi sembari
memegang perut dan berjalan melangkah cepat ke arah toilet yang terletak di
pojok café dekat dengan ruangan khusus para pegawai café.
Ketika
gue sedang berjalan ke toilet, lagi-lagi bahu gue enggak sengaja menabrak bahu seorang
cewek hingga ia terjatuh.
Prang!!
Beberapa piring yang tadi ia pegang terjatuh. Alhasil, piring yang terbuat dari
kaca tersebut harus pecah dan berserakan.
"Sorry-sorry,"
kata gue sembari jongkok dan merapihkan pecahan kaca piring.
Tanpa
melihat gue, cewek itu berdiri dan menunduk. Dia mencengkram jemari
telunjuknya. Gue mendanga melihat ke arahnya kemudian berdiri memperhatikan
jemarinya yang berdarah.
"Jari
lu berdarah tuh. Sebentar,” ucap gue sembari menggaruk ujung alis mata karena
bingung harus apa.
Ia
meringis kesakitan menahan perih karena terkenan goresan pecahan kaca.
“Duduk
dulu,” ucap gue sembari menuntunnya ke kursi kosong dengan niat agar dia tetap
tenang. Meskipun yang lebih terlihat nggak tenang adalah gue. Gue menelan ludah
sembari berkeliling mencari pegawai café tersebut.
“Mas!”
panggil gue pada salah satu pegawai café sembari mengangkat tangan gue. Pegawai
café itu datang menghampiri gue dan cewek ini.
“Ada apa,
Mas?”
“Bisa
minta tisu dan obat merah?”
Pegawai
itu mengangguk setelah melihat jari telunjuk cewek yang sedang duduk di depan
mengeluarkan darah.
Rambut hitam
sebahu cewek tersebut terurai dan terjatuh ke depan, menutupi wajahnya.
Sebentar,
sepertinya gue kenal nih cewe. Dari gerak-geriknya, caranya berjalan dan menunduk.
Tidak butuh
waktu lama untuk pegawai café itu kembali dan membawa tisu serta obat merah
lalu menaruhnya di atas meja. “Nih, Mas. Ada lagi?”
“Enggak
ada, Mas. Terima kasih. Oh ya, saya minta maaf buat piringnya, nanti saya
bersihin.”
“Enggak
usah, Mas. Nanti saya yang bersihin aja, obatin aja dulu pacarnya.”
Karyawan
itu kemudian pergi meninggalkan rasa canggung di antara gue dan cewek ini.
Pacar? Apa seperti itukah orang lain menangkap perbuatan gue hari ini? Padahal
gue hanya mengobatinya, itu sebagai bentuk tanggung jawab, bukan bentuk yang
lain.
“Kita
obatin dulu ya,” tutur gue lembut.
Gue
mengambil jemarinya pelan. Ada rasa canggung saat memegang tangan cewek asing
yang enggak gue kenal. Gue membersihkan lukanya dengan air putih terlebih
dahulu, membuka tutup obat merah tersebut dan menuangkan beberapa tetes di atas
tisu, dan menempelkannya di luka tadi.
“Auh,” jerit
cewek itu sedikit menarik tangannya karena meringis kesakitan.
“Sorry-sorry.”
Gue
kembali menarik jemarinya dan mendekatkan wajah gue di lukanya lalu meniupnya
pelan agar mengurangi sedikit rasa nyerinya. Lalu menggulung lukanya dengan
tisu kecil dan berdiri seraya berkata, “Semoga enggak ada bekas pecahan yang
nyangkut ke dalam. Sekali lagi maaf ya.”
Ia
mengangkat wajahnya dan menyangkutkan rambut pendeknya di tepi telinganya.
Siapa
yang menduga bahwa hari ini adalah hari yang paling absurd buat gue, enggak
bakal terbayang bakal ketemu dia dalam keadaan yang canggung gini, ditambah
dengan keributan hari ini dengan Brian, ini akan semakin memperburuk suasana. Cewek
yang entah kenapa bisa masuk dalam otak gue dan enggak mau keluar, atau lebih
tepatnya, diri gue enggak mau mengeluarkan dia dari otak gue. Sekarang dia ada
tepat di dekat gue. Cewek yang gue gonceng tadi. Ini cewek yang menghantui
fikiran gue hari ini.
“Lu?”
Gue membuka mata lebih lebar karena terkejut ketika mendapati cewek misterius
itu ada di sini. Iya, didekat gue.
Melihat
gue kaget, dia menarik tangannya dari genggaman gue, berdiri dan pergi berlari
keluar café tanpa mempedulikan siapa yang ada di depannya hingga menabrak bahu Rendi
yang kebetulan datang menghampiri gue. Cewek tersebut hampir jatuh jika ia
tidak berpegangan pada sebuah kursi pengunjung yang lain. Rendi dengan sigap
memegang ke dua pundaknya juga.
Rendi
melihat heran cewek tersebut, namun cewek tadi hanya bisa menunduk dan
melepaskan paksa pegangan Rendi dan pergi keluar lalu hilang ditelan kejauhan.
Gue
menghampiri Rendi. “Ren, itu cewek yang gue temuin di ruang guru. Lo enggak
kenal? ucap gue memastikan kembali.
Rendi
memandang ke langit-langit seakan mengingat-ngingat sesuatu. “Enggak,” jawabnya
datar.
“Yakin
lu?” tanya gue penasaran karena kalau Rendi mengenal cewek tadi, jalan menuju
silaturahmi-pun akan semakin mudah dan terbuka. Iya, silaturahmi, ada yang
salah dengan kata itu?
“Dibilang
gue enggak kenal,” jawab Rendi. Jawaban yang menghancurkan harapan.
“Kampret!”
seru gue karena tidak berhasil mendapatkan namanya untuk kesekian kalinya.
“Udah,
enggak usah mikirin dia. Lu udah ke toilet belom? Lu mau berak atau bersihin
toilet sih ,nyet?"
"Belom-belom,
bawel lu ah. Sebentar, Ndi," balas gue. Gue kembali memandang ke arah
perginya cewek tadi. Entah kenapa, ada rasa ingin mengejarnya dan kembali bertanya
sebab dia tertutup seperti itu. Ya mungkin karena gue adalah orang baru dalam
hidupnya, namun gerak-geriknya tidak seperti orang yang ingin menerima orang
baru. Gerak-geriknya memberi kabar akan hal yang seharusnya tidak perlu gue
ketahui.
“Hoi! Lu
kenapa, Za?” Rendi melihat ke arah dimana gue melihat cewek itu keluar tanpa
alasan jelas meninggalkan gue.
Gue
menggeleng.
“Cabut
yuk, gue enggak jadi ke toilet.”
Kami
keluar dari café tersebut menuju lapangan parkir di depan café tersebut. Riuk
piuk kendaraan menjadi irama kebisingan di telinga, beberapa dari pengendara
membunyikan klaksonnya. Lagi-lagi macet. Udara bersih yang sudah tercampur oleh
polusi memberikan ruang tersendiri di paru-paru. Gue melirik jam tangan. Sudah
pukul 5 sore.
Rendi mendatangi
tukang parkir. “Berapa, Mas?” tanya Rendi ke tukang parkir café tersebut
sembari menyalakan motornya.
“5000, Bang,”
balas tukang parkir tadi sembari tersenyum dan menaik dan menurunkan alisnya.
“Buset,
cuman 1 jam nih. Jangan ngaco lu, Mas,” balas Rendi kaget dan nada yang tinggi.
“Buset,
engak usah ngegas gitu dong. Ini tuh daerah Ibukota, jangan kaget kalo semua
hal bisa mahal.”
“Mahal
si mahal, mahalnya yang masuk otak juga dong. Nih 5000-nya. Kalo kaya gini
terus, bisa bangk----“
“AAAAAAAAAHHHHHHH!!!!”
Tiba-tiba
teriakan keras terdengar dari dalam café. Sontak aja teriakan itu menjadi pusat
perhatian para pengunjung, termasuk gue dan Rendi. Beberapa pengunjung keluar
berlarian dari café sembari menutup mulutnya dan melebarkan mata seakan baru aja
melihat sesuatu yang janggal. Rendi turun dari motornya dan kembali melepas
helmnya. Gue dan Rendi mendanga dan berjinjit berusaha melihat apa yang terjadi
di dalam seraya menerka-nerka. Ketika salah satu pengunjung café tersebut
keluar, Rendi menahan lengannya. Pembuluh darah tampak tegang di leher
pengunjung café tersebut, bulu-bulu kaki dan tangannya naik.
“Kenap,
Bang?”
“Ada----
ada---- ada jasad bayi terbungkus kain sarung di toilet kamar mandi, Bang.”
“Hah??
Serius lu?” Rendi menganga kaget.
“Sumpah!
Gue enggak boong,” ujarnya sembari mengangkat tangan dan membentuk huruf dengan
jemarinya, isyarat peace. Dia menelan ludah dan pergi.
Bau busuk
yang menyengat mulai tercium. Baunya seperti daging yang sudah didiamkan
berhari-hari. Gue dan Rendi kembali masuk ke dalam karena penasaran sambil
menutup hidung kami dengan kerah baju.
Para pengujung kedai yang lain juga udah menutup hidung dengan kerah baju
mereka dan tangan mereka. Gue dan Rendi mencoba menerobos kerumunan para
pengunjung yang sedang asik merekam kejadian tadi. Hitung-hitung menambah followers
bukan? Bau busuknya benar-benar bertambah. Puluhan mata terfokus pada
toilet café.
Tidak
lama kemudian, seorang pria berpakaian hitam keluar dari toilet tersebut
memakai masker hitam dan kacamata hitam, menggendong kain sarung putih dengan
bercak-bercak darah di kain tersebut. Ketika sedang menggendong kain tersebut,
kaki pria itu tersandung kaki meja dan membuatnya terjatuh. Sontak saja, kain
bercak darah yang ia pegang harus terjatuh. Seketika jasad bayi itu keluar dari
kain sarung putih tadi dan menggelinding di lantai café seperti botol minuman.
Tali pusarnya masih terburai, terdapat luka merah di bagian kepala yang
sepertinya bayi itu dapat karena sebuah benturan keras, beberapa jahitan yang
sudah hampir menyatu dengan kulit terlihat, namun masih kendur di perut, jenis
kelamin bayi itu laki-laki meski alat kelaminnya harus terpotong, rambutnya
hitam tipis dan panjang tubuhnya sekitar 30 cm. Para pengunjung berteriak
histeris dan tak kuasa menahan mual yang semakin menjadi. Membuat isi dalam
perut kembali harus dikeluarkan. Mereka berbondong-bondong keluar cafe sambil
menutup mulut mereka yang seakan sudah dipenuhi oleh makanan yang kembali naik
ke atas.
“Za, gue
mau muntah.” Rendi menutup mulutnya dan berlari keluar menuju pintu café.
Gue
menelan ludah menahan agar tidak muntah seperti Rendi. Baru kali ini gue
melihat kejadian mengerikan yang membuat bulu kuduk gue berdiri menegang. Siapa
yang tega membunuh bayi mungil tersebut, menghilangkan nyawa mahluk bersih
tanpa dosa. Meskipun gue seringkali melihat dan mendengar kasus pembunuhan bayi
seperti pembunuhan yang dilakukan oleh Amelia EliZabeth Dyer atau yang
lebih dikenal dengan nama Amelia Dyer, dia adalah seorang nenek tua yang
terkenal karena membunuh ratusan bayi di Inggris pada abad 19, meski beberapa
surat kabar terpercaya mencatat bahwa dia telah membunuh 400 bayi. Hingga kini,
ia dijuluki sebagai Angel Maker. Dia sendiri membuka sebuah rumah
penampungan untuk wanita yang hamil di luar nikah pada akhir tahun 1860-an,
rumah tersebut digunakan sebagai tempat ia melaksanakan perbuatan kejinya.
Biasanya, ia akan membunuh para bayi menggunakan Laudanum atau Opium yang
membunuh para bayi secara perlahan.
“Panggil
118!! Cepat hubungi ambulans,” teriak salah satu pegawai café.
Beberapa
saat kemudian ambulans datang dan mengambil jasad bayi tersebut. Salah satu
suster ambulans tersebut berlari masuk membawa peralatan medis dan bertanya
pada beberapa orang mengenai ketersediaan salah satu dari mereka untuk ikut ke
rumah sakit guna memberi keterangan. Mereka semua menggeleng tidak ingin
terlibat dalam kasus barusan. Mereka berfikir pasti akan ada banyak tahap-tahap
yang harus mereka lalui.
“Siapa
yang membawa jasad bayi ini keluar?” tanya suster itu.
Para
pengunjung merapatkan bibir mereka seraya kembali menggeleng. Mereka saling
melirik mencari pria berpakaian hitam tadi, termasuk gue. Mata gue berkeliling
mencari pria berpakaian hitam yang menggendong bayi tersebut. Ia hilang tidak
berjejak.
***********************
Setelah
polisi menutup café tersebut dengan garis kuning bertuliskan ‘Dilarang
melintas’, Gue masih tercengang dengan kejadian barusan lalu pergi mencari Rendi
di area lapangan parkir dan mendapati dia sudah duduk menjolorkan kakinya sembari
memegang perut.
“Udah
mendingan lu, nyet?” tanya gue menahan tawa melihat wajah Rendi yang kaku
dengan warna wajah yang merah seperti itu.
“Gila lu
ya?! Kita baru ngelihat jasad bayi dan lu masih bisa nahan ketawa gitu? Sakit
emang lu!” balas Rendi ketus geleng-geleng.
Senja
sudah mulai muncul, warna merah memberikan lukisan terbaik karya Tuhan. Setelah
dari café tersebut, Rendi mengajak gue untuk ke rumahnya. Guepun mengiyakan,
lagipula untuk apa berlama-lama di rumah sendiri jika rumah terasa bukan seperti
rumah. Kami kembali melawan beratnya rasa penat terhadap kemacetan.
Sesampainya
di rumah Rendi. Kami masuk dan bergegas pergi ke kamar Rendi. Gue merebahkan
badan di kasurnya dan menghadap langit-langit di kamar Rendi yang ia dekorasi
menjadi tampilan luar angkasa. Gue memutuskan untuk memejamkan mata sebentar.
“Za, lu
mau minum apaan?” tanya Rendi berdiri di dekat pintu.
“Apa
aja. Asal jangan air kencing.”
“Gue
bawain bensin, lu mau?”
“Seriously?”
“Gue
masih enggak habis fikir sama pembunuh itu bayi, enggak ada otak atau otaknya
otak ikan,” ungkap Rendi sembari membawa nampan berisikan es Jeruk dan beberapa
cemilan.
“Ren, lu
lihat pria yang gendong jasad bayi itu keluar?” tanya gue heran masih bertanya-tanya
tentang siapa pria itu.
“Lihat.
Cuman gue enggak terlalu fokus ke dia. Jasad bayi itu lebih menarik perhatian gue
dan isi perut gue. Kenapa emangnya?” balas Rendi sembari membuka seragamnya dan
menggantinya dengan kaos hitam bertuliskan Supreme di bagian tengahnya.
“Setelah
lu keluar, salah satu suster nanya sama para pengunjung tentang siapa yang udah
bawa tuh baik kelaur dari toilet. Para pengunjung cuman diam. Sedangkan gue
melirik keliling mencari tuh pria. Tapi hasilnya nihil, pria itu hilang gitu
aja, Ren. Gue ngerasa ada yang janggal, Ren.”
“Halah!
Paling dia juga muntah. Lagian siapa sih yang enggak mau muntah kalo lihat bayi
gelinding kaya bola. Nih minum dulu,” ucap Rendi memberikan segelas minuman.
Gue
menerimanya, meminumnya sedikit. Di saat-saat seperti ini, kenapa gue masih aja
memikirkan tuh cewe misterius.
Cewek
yang tadi? Oh ya, kenapa dia bisa ada di sana? Ya maksud gue, dia bukan seperti
tipe cewek yang suka nongkrong di café atau mall seperti kebanyakan cewek SMA
jaman sekarang. Dia terlihat lebih masuk dalam kategori anak rumah. Ditambah
dengan gerak-geriknya yang membuat penasaran, raut mukanya yang menegang dan
memberi tanda ketakutan. Dia seperti benar-benar sedang merasa tertekan.
Sepertinya dia Bukan cewek yang mudah bergaul dengan lingkungan. Atau, memang
lingkungannya yang tidak cocok dengannya?, Bukankah lingkungan memang memiliki
peranan penting dalam membentuk sebuah karakter seseorang?
“Tadi lo
bilang kaya ada yang janggal? Janggal gimana, Za?” tanya Rendi sembari duduk di
kursi dekat komputernya dan menaikkan kedua kakinya, matanya memandang gue
penasaran.
“Enggak
tau, Ren. Gue ngerasa gue kaya kenal sama tuh orang.”
“Mungkin
cuman perasaan lo doang, Za.”
“Tapi,
ini beda, Ren.”
“Beda
gimana?”
“Kaya
ada ikatan emosi antara gue dan dia,” ungkap gue.
“Perasaan
memang suka mengaduk-ngaduk emosi, Enggak usah lu khawatirin.”
Benar
apa kata Rendi. Mungkin itu hanya perasaan gue saja, tidak perlu ada yang
dikhawatirkan. Lagian, ini hari pertama gue di sekolah, rasa canggung untuk
bertemu banyak orang pasti masih ada, apalagi berkenalan dengan berbagai macam
karakter. Setidaknya gue sudah punya banyak teman di kelas saat ini. Dan untuk cewek
tadi, gue tidak perlu memikirkannya. Esok atau lusapun, bayangnya akan hilang.
Setelah
bermain lama di rumah Rendi. Gue melirik jam tangan gue. Sudah pukul 9 malam,
gue harus pulang. Gue enggak mau buat Om Edy terlalu khawatir dengan keponakan
tunggalnya ini.
“Ren,
gue cabut pulang, yak,” ucap gue sembari memasukkan seragam gue ke dalam tas.
“Lu mau
bawa motor gue enggak?” tawarnya.
“Enggak
usah. Gue naik metro mini aja.”
Gue keluar
dari rumah Rendi dan berjalan beberapa menit agar sampai di jalan raya. Gue
berdiri tepat di dekat halte metro mini bersama beberapa karyawan yang
menampilkan rasa lelah. Entah lelah karena kerjaan yang menumpuk hari ini, atau
karena masalah yang datang silih berganti tanpa henti. Manusia memang punya
cara tersendiri mengekspresikan kelelahan, dan Tuhan punya cara tersendiri
memberi mahluknya tantangan. Gue menyebutnya tantangan karena bagi gue mindset
kita harus kita didik agar memandang Tuhan dengan pandangan positif. Tuhan
selalu punya rencana baik dan hasil baik yang seringkali disalah artikan oleh
mahluknya. Termasuk kepergian Ayah dan Ibu yang pergi entah kemana. Kepergian
mereka adalah tantangan buat gue untuk tetap bertahan hidup, mungkin kepergian
mereka adalah cara lain Tuhan untuk mengatakan, ‘Mereka bukan orang tua yang
baik.’ Namun, semua ini masih saja bertentangan dengan kebencian gue terhadap
mereka. Tidak ada salahnya gue menganggap bahwa Tuhan baik pada gue,
kebaikannya ia kirimkan dengan membuat ayah dan ibu pergi.
Gue
merogoh kantong guna mengambil handphone gue, menyalakannya dan memilih
menyetel lagu dengan headset sembari menunggu metro mini datang Lagu dari Justin
Bieber berjudul What do you mean menjadi pilihan gue. Entah atas
dasar apa gue memilih lagu itu. Mungkin lagu itu mengekspresikan beribu-ribu
pertanyaan yang ingin gue lontarkan kepada cewek misterius hari ini.
Sembari
mendengarkan lagu, gue memandang ke arah langit. Langit malam ini terlalu gelap
hingga menutupi bintang-bintang. Ia berhasil membuat penasaran dengan apa yang
ingin ia sampaikan. Cuma ada bulan yang memberi cahaya di bagi bumi. Apakah
langit hanya berpihak pada Bulan dan meninggalkan bintang-bintang? Atau hanya karena
langit lebih memilih berdua dengan Bulan yang memberi kesetiaan pada bumi?
Lampu-lampu
jalan mulai kedap-kedip. Metro mini yang gue tunggu hampir 15 menit akhirnya
datang melipir ke halte. Gue naik dan mendapati metro mini tersebut penuh
dengan para karyawan, mahasiswa dan yang lainnya. Beberapa dari mereka duduk dan
beberapa dari mereka berdiri memegang kursi. Keneck metro mini terlihat
manggut-manggut kelelahan. Jakarta, kamu memang benar-benar memaksa para
manusia bekerja lebih keras daripada biasanya. Apa karena ini kamu terlihat
kejam? Atau ini hanya sebagai pembalasanmu bagi manusia-manusia yang tidak
menghargai dirimu? Metro mini ini bergerak dengan cepat dan memberi goncangan
yang cukup besar. Goncangan metro mini memaksa gue menggenggam salah satu
kursi. Lagu gue berpindah menjadi Its you karya Zayn Malik. Ia
memang memiliki suara khas.
Ketika
sedang memerhatikan jalan, gue memindahkan pandangan gue ke arah depan dekat
supir. Di sana, gue melihat seorang nenek berusia 70 tahun dengan rambut penuh
uban terlihat duduk santai di kursi tepat dibelakang supir sembari memeluk tas
anyaman berisikan kucing kecil. Ia terlihat lemas. Itu terlihat dari kepalanya
yang ia sandarkan di jendela.
Beberapa
detik kemudian, suara ketukan kecil dari jendela terdengar dari dekat pintu
metro mini, ketukan kecil yang memberi isyarat untuk berhenti. Supir metro mini
memberhentikan metro mininya di tepi jalan, beberapa dari penumpang turun.
“Lanjut!”
seru kenelk tersebut pada supir.
Supir
itu kembali menginjak gas kendaraanya. Dengan turunya beberapa penumpang,
akhirnya gue bisa duduk di kursi kosong dan menyadarkan kepala dekat jendela
sembari melihat langit-langit Jakarta yang semakin malam semakin terang karena
lampu-lampu gedung pencakar langit.
“Meong.”
Suara lemah kucing tersebut mengagetkan gue. Kucing nenek tadi keluar dari tas
anyaman dan mengeong-ngeong dengan suara pelan dan lemas sembari mengeluskan
kepalanya di sepatu gue. Gue melirik ke bawah dan mendapati kaki kiri depan
kucing tersebut patah. Hal itu membuatnya berjalan terseok-seok. Kucing itu
mengangkat kepalanya melihat gue. Matanya berkilau melebar seperti memberi gue
suatu isyarat. Ia menengok ke arah kanan dan kiri sebelum berjalan kembali ke
arah pemiliknya. Sebelum sampai, keneck metro mini itu dengan sigap menunduk, mengambil
kucing kecil tersebut dan menghampiri nenek tersebut yang nggak sadar kucingnya
telah keluar dari tasnya. Gue memperhatikan keneck tersebut sembari mencabut
headset gue.
“Nek,
kucingnya keluar nih,” ujar keneck tersebut sembari memegang pundak nenek
tersebut dan menggerak-gerakkannya sedikit. “Nek?” Keneck tadi melihat lebih
dekat wajah nenek tersebut dan mendapati nenek tersebut memakai masker bermotif
Bunga mawar dan mengenakan headset di telinganya. Keneck tadipun mendekatkan
tangannya ke headset tersebut dengan gemetar. Ia menelan ludah dan menarik
headset tersebut lepas dari telinga nenek tadi kemudian membuka masker nenek
tersebut.
“Astagfirullah!!!”
teriak keneck itu melebarkan matanya sembari menutup mulutnya dengan kedua
tangannya. Kucing kecil yang tadi ia pegang terlepas dari pegangannya. Sontak aja
para penumpang yang tadinya lelah kembali melebarkan mata mereka. Supir metro
mini yang ikut kaget menengok ke belakang sembari sesekali masih memperhatikan
ke depan.
“Kenapa,
No?” tanya supir mengencangkan mukanya karena kaget bercampur emosi.
“Anu
bang--- anu--- mulut nenek ini, Bang,” jawab keneck tadi dengan gugup.
“Ya
kenapa mulutnya?” tanya kembali supir tersebut dengan nada keras seakan
menunggu jawaban yang jelas.
“Mulutnya
sobek, Bang!” teriak kenek itu.
“Serius
lu?”
“Sumpah!
Tatapannya kosong dan kaya udah mati, Bang.”
Gue dan
para penumpang yang mendengar penyataan tersebut kaget bukan kepalang. Apa
bener nenek tersebut sudah mati? Kalo benar, berarti sudah 2 kali gue melihat
jasad hari ini.
“Bang!
Kucingnya!” salah satu penumpang berteriak histeris sembari melihat ke arah
bawah pintu metro mini. Ia melihat kucing kecil tersebut berjalan menyeret
kakinya yang patah mendekat ke pintu metro mini yang masih berjalan. Salah satu
penumpang berinisiatif berdiri dan mendekat kucing tersebut. Namun, celaka,
kucing kecil tersebut sudah loncat dari metro mini tersebut.
“Aaaaaaa!”
teriak salah satu mahasiswa karena
melihat kucing mungil yang nekat loncat dari metro mini tadi. Beberapa detik
setelah kucing tadi loncat, terdengar bunyi gencetan, seperti ada yang
terlindas.
Supir
metro mini tersebut akhirnya melipirkan kendaraannya dan meminta para penumpang
turun karena ia akan menghubungi polisi dan ambulance. Para penumpang termasuk
gue turun dari metro mini dengan segera. Gue menjauh beberapa langkah dari
metro mini tadi. Lagi-lagi rasa penasaran dengan apa yang terjadi memaksa gue
untuk berdiri dan mempehatikan apa yang akan terjadi.
Malam
itu benar-benar aneh. Aneh karena ada beberapa hal yang masih saja menjanggal
dalam benak gue yang meminta gue untuk memecahkannya. Gue melirik jam tangan.
Sudah pukul 9.45 malam. Gue menyalakan kembali handphone gue yang daritadi
bergetar.
Om Edy: Ada
dimana kamu, Za? sudah malam. Kenapa masih belum pulang?
Reza: Iya, Om.
Maaf, sehabis pulang sekolah, aku pergi ke café sama Rendi. Setelah itu aku
mampir ke rumah Rendi dan sekarang sedang menuju rumah.
Om Edy: Jangan
terlalu malam. Bahaya.
Gue
mematikan layar handphone dan memasukkannya ke dalam kantong celana. Beberapa
menit kemudian suara sirine mobil polisi datang diikuti mobil ambulance. Beberapa
masyarat mengumpul berkeliling ingin tahu tentang apa yang baru aja terjadi.
Beberapa polisi meminta agar masyarakat menjaga jarak dari tempat kejadian agar
mempelancar urusan polisi dan pihak rumah sakit. Gue masih setia melihat apa
yang terjadi. 5 menit kemudian, dua orang polisi memakai seragam dan masker
turun dari metro mini tadi sembari mengangkat jasad nenek tersebut seperti mengangkat
pemain bola yang cedera di lapangan. Gue sempat melihat leher nenek tersebut.
Ada goresan cukup dalam di bagian dekat dagunya. Sepertinya ia baru saja
digorok dengan benda tajam seperti golok. Mata nenek tadi tidak sengaja beradu
dengan mata gue. Pandangannya masih dalam dan tajam. Ia menimbulkan sebilah
senyum sabit di raut wajahnya. Entah apa dia meninggal dalam keadaan seperti
itu atau tidak, yang pasti pandangannya membuat gue takut. Bulu kuduk kembali
berdiri. Gue menelan ludah. Kaki gue lemas seketika seperti tidak bisa beranjak
pergi dari tempat tersebut. Ini benar-benar creepy Buat gue.
Gue
membuang pandangan gue dari pandangan nenek tadi dan menarik nafas dan
menghelanya pelan-pelan.
Akhirnya
gue memutuskan untuk tidak melanjutkan menonton bagaimana para polisi dan pihak
rumah sakit tadi mengeksekusi jasad nenek tersebut. Haduh, pulang pakai
apaan nih? kata gue pada diri sendiri. Gue menengok ke arah kanan-kiri,
mencari siapapun yang bisa membantu gue. Seorang karyawan yang juga tadinya salah
satu penumpang, memakai kemeja abu-abu dan celana bahan hitam, layaknya
beribu-ribu manusia yang menggantungkan hidup di dalam gedung-gedung tinggi,
masuk pagi pulang malam, hidup yang membosankan dan lebih mirip robot, karyawan
itu berdiri di samping gue sambil menunduk dan memakai headset di telinganya.
“Mas,”
panggil gue sambil menepuk bahu kanannya.
Ia
menengok ke arah gue dan melepas headsetnya, “Iya?”
“Saya
mau minta tolong,”
Ia
mengangguk pelan seraya melihat gue dengan pandangan curiga.
“Bisa
tolong pesenin saya ojek online enggak? Saya enggak punya applikasinya.”
Ia
mengangguk pelan, masih dengan airmuka yang curiga, ia mengutak-ngatik
handphonenya lalu bertanya tentang alamat gue. Gue menjawab dengan detail
alamat rumah gue.
“Sudah,
nama ojeknya Chris.”
“Chris?
Chris Martin? Chris John?”
“Christiano
Ronaldo,” jawabnya kesal.
Giliran
gue yang mengangguk takut. “Makasih, Mas.”
Tak lama
menunggu, ojek yang dipesan datang dan menepikan motornya di samping trotoar,
10 meter dari tempat gue berdiri. Ia membuka helmnya, mengedarkan pandangannya
mencari-cari si pemesan. Dengan feeling yang kuat, gue memanggilnya,
“Mas Chris!”
Telinganya
menangkap suara gue, dia menoleh, menggantungkan helmnya di lengannya dan
mendekati gue. “Mas Lionel?” tanya dia.
Gue
menggeleng dan menengok ke arah si pemesan, memasang raut wajah heran karena
nama si pemesan dan si ojek udah mirip nama dua pemain sepak bola dunia.
“Bukan,” kata gue, “saya Reza. Yang mesen tuh mas itu tuh.”
Si ojek
mengangguk seakan memahami kebingungan yang baru saja terjadi. “Ya udah, Mas.
Nunggu apa lagi?” tanya gue pada si ojek.
“Nunggu
masnya naik,” jawabnya polos-polos ngeselin.
Gue
menarik nafas sembari geleng-geleng kepala. Hari ini benar-benar gila! Sumpah
gue dalam hati.
“Helmnya,
Bang,” ucap ojek tersebut seraya memberikan helmnya.
“Iya, Bang.”
Gue mengangguk dan memasang helm tersebut.
Sepanjang
jalan, gue fikir gue akan lupa dengan kejadian barusan karena terkena angin
malam yang menabrak ke wajah gue. Nyatanya, ojek tersebut penasaran dengan apa
yang terjadi.
“Saya
enggak tahu persis, Bang. Yang pasti, nenek itu meninggal dengan gorokan di
lehernya dan sobekan di mulutnya.”
“Aduh,
serem amat ya. Kaya kasus-kasuh pembunuhan.”
Pembunuhan?
Kenapa gue enggak kefikiran ke sana? Sangat kecil kemungkinannya jika nenek
tadi Bunuh diri menggorok lehernya sendiri. Meskipun hal itu bisa saja terjadi karena
beberapa tekanan dalam hidup. Namun, pembunuhan lebih masuk akal bagi gue. Apa
jadinya jika memang nenek tadi benar-benar dibunuh? ini benar-benar menandakan
bahwa manusia sudah tidak lagi memiliki kasih sayang. Sebentar, bukankah para
pembunuh juga tidak 100% harus disalahkan? Maksud gue, mereka pasti memiliki
motif tersendiri kenapa mereka berani melakukan hal keji seperti itu.
“Ini Mas
rumahnya?”
Tanpa
disadari, gue sudah sampai di rumah. Kemungkin pembunuhan tadi benar-benar
menyita fikiran gue untuk melamun memikirkan sesuatu yang tidak semestinya
difikirkan.
“Iya, Bang.”
Gue
turun dari motor dan memberikan upah melebihi semestinya. Hitung-hitung berbagi
kebaikan sebelum akhirnya akan tenggelam dalam gelapnya mimpi. Siapa tahu gue
tidak bangun besok. Terlebih lagi, semoga kebaikan barusan mengurangi dosa yang
telah orang tua gue lakukan.
Sesampainya
di depan rumah, gue membuka gerbang dan menutupnya kembali. Lalu berjalan
mendekati pintu rumah dan mengetuk pintu.
Tidak
ada jawaban hingga beberapa kali. Gue melihat sekeliling rumah tetangga.
Lampu-lampu rumah sudah padam. Yang tersisa hanya beberapa lampu tiang listrik
dan segelintir lampu taman milik tetangga. Suara Burung hantu terdengar
beberapa kali. Begitupun suara jangkrik. Gue kembali mengetuk pintu dengan
lebih kencang seraya melihat jalan yang sepi.
Tidak
lama kemudian Om Edy membuka pintu rumah dan mendapatkan wajah gue yang pucat
dingin seperti sehabis melihat hantu.
Gue
menengok ke arah wajah Om Edy dan berteriak.
“Astagfirullah!
Setan!” teriak gue melebarkan mata sambil memegang dada yang sudah kembang
kempis gini.
“Heh!
Sembarang kamu kalo ngomong. Om lagi buat kue, makanya wajah Om penuh sama
tepung gini. Lagian, kamu tuh kenapa, Za? mukanya dingin pucat gitu?”
Gue diam
tak menggubris dan terlihat benar-benar lemas. Beberapa kali menelan ludah dan
menghela nafas. Om Edy memegang pundak gue dan menuntun gue duduk di kursi
ruang tamu. Rahang gue menegang. Lalu pergi ke dapur.
“Ko
tegang gitu, Za?” tanya Om Edy sembari membawakan gue segelas air Putih dan
memberikannya pada gue.
Gue
menenggak habis air putih tersebut. Sedang Om Edy hanya melihat heran sekaligus
penasaran dengan apa yang terjadi pada keponaakannya ini.
“Aku
enggak bisa cerita sekarang, Om. Aku ke kamar.” Gue berdiri dan pergi masuk ke
kamar.
"Tapi
kamu udah makan?” tanya Om Edy saat gue sudah memegang gagang pintu.
“Udah, Om.
Tadi sore makan sama Rendi di café.”
Gue
membuka pintu kamar, menutupnya kembali dan melemparkan tas gue ke atas kasur
lalu melepas seragam sekolah dan menggantinya dengan celana jeans hitam dan
sweater Putih. Tanpa fikir panjang, gue merebahkan diri gue di tempat ternyaman
di kamar gue. Kasur. Gue melepaskan lelah dan penat gue hari ini.
Kenapa
hari ini benar-benar jadi hari paling absurd dalam hidup gue? Sudah dua kali
gue melihat jasad hari ini. Dari jasad bayi yang mungil hingga jasad nenek yang
keriPut. Semuanya meninggal dalam keadaan tragis dan terbilang sadis. Huft,
anehnya, kenapa semua kejadian ini memberi gue rasa penasaran dan isyarat akan
sesuatu yang buruk. Ada sisi dari diri gue yang mengatakan bahwa ini ada
hubungannya dengan pertemuan gue dengan cewek misterius itu, memaksa gue
mencari tahu dan mengungkapkannya. Namun, sisi diri gue yang lain mengatakan
bahwa ini semua hanya halusinasi belaka.
Oh ya,
ngomong-ngomong tentang tuh cewek misterius. Kenapa tuh cewe pergi gitu aja ya?
Ini udah dua kali pertemuan gue dengannya. Semenjak pertama gue ketemu
dengannya, ada rasa dari diri gue untuk menjadi pelindung dia, ada rasa ingin
menjadi kulitnya agar jika ia terluka maka gue yang akan merasakannya, ada rasa
ingin menjadi payung agar dia tidak kepanasan dari terik sinar matahari dan
perkataan beberapa orang yang panasnya melebihi api, ada rasa ingin memeluknya
dan menjadikan diri ini sebagai tempatnya berkeluh kesah dan bercerita.
Sebentar,
gue aja engak tahu namanya, rumahnya di mana, asal darimana, umur berapa, anak
ke berapa. Enggak-enggak, itu cuman pertanyaan bohongan aja dari gue, gue cuman
mau tahu nama dia aja. Jika pertanyaan yang lain dijawab, maka itu sebuah bonus
Buat gue. Baru satu hari gue di sekolah sebagai anak SMA dan gue udah harus
ngadepin situasi seperti ini.
Rasa
bosan menghampiri gue. Beberapa menit bergerak kesana-kemari agar rasa ngantuk
datang. Gue memutuskan untuk membaca novel karya Fiersa Besari berjudul Konspirasi
alam semesta sembari memainkan lagu Let Me Go – Haille Steinfeld,
Alesso. Benar saja, tidak lama kemudian, rasa ngantuk datang. Gue tenggelam
dalam gelapnya mimpi.
“Za,
kalo kamu memang peduli sama aku, kenapa kamu enggak baca surat itu? Kalo kamu
memang ada rasa sama aku, kenapa kamu ngebiarin aku hidup dalam kegelapan? Kalo
kamu memang kamu diutus Tuhan untuk jadi malaikatku, kenapa kamu melepas aku
hidup bersama iblis? Kenapa, Za? kenapa?!”
Beberapa
pertanyaan dari suara yang tidak gue kenal membuat mata gue berkeliling mencari
asal suara tersebut. Gelap. Yang ada hanya beberapa pohon beringin dengan
batang-batang yang sudah tergores-gores dan bergerak-gerak pelan karena
tergoyangkan oleh angin dingin. Gue merapatkan tangan gue menahan kedinginan.
”Aku
kira kamu dikirim Tuhan untuk jadi bagian terindah dalam hidupku yang terburuk,
Za, aku kira kamu bisa menjaga rasa percayaku sama kamu, nyatanya kamu malah
merubah rasa percayaku menjadi keraguan, nyatanya kamu malah merusak semua
catatan hidupku, nyatanya kamu menggoresakan tinta hitam pekat di Buku yang
sudah aku siapkan untuk kita berdua, nyatanya kamu membuatku hilang, nyatanya
kamu menjatuhkan aku dari ketinggian setelah kamu terbangkan aku bersama
sayap-sayapmu, nyatanya kamu tidak sebaik yang aku kira dan harapkan. Kamu
tidak akan pernah bisa memecahkanku.”
Lagi-lagi
suara tersebut mengeluarkan kalimat-kalimat yang membuat gue kebingungan. Gue
terus berkeliling mencari asal suara tersebut. Gue bertanya siapa dia dengan
berteriak, namun, gue tidak mendengar suara apapun yang keluar dari mulut gue.
Gue kembali berteriak dan hasilnya sama: tidak ada suara. Gue memegang
tenggorokan gue dan menggerakkannya sembari berteriak. Hasilnya masih sama. Gue
menekan keras tenggorokan gue dengan maksud mengeluarkan sedikit suara, apapun
itu. Tidak ada hasil kecuali rasa sakit karena tekanan tersebut.
Sebuah
cahaya terang dari depan memaksa gue menutup pandangan gue dengan telapak
tangan gue sembari sesekali mengintip cahaya tersebut. Cahaya tersebut memberi
gue sebuah jalan kecil bebatuan. Udara kembali datang, kali ini udara tersebut
kencang mendorong gue mendekat ke arah jalan kecil tadi. Sepertinya udara ini
ingin gue menapaki jalan kecil tersebut. Gue menengok ke arah kanan dan kiri,
memeriksa apakah ada orang lain. Nyatanya tidak. Semua masih terlihat sepi.
Hidung gue menghirup bau menyan yang menyengat dari arah kanan dan kiri. Gue
berjalan pelan menyusuri jalan kecil bebatuan tadi. Tanpa sadar, ternyata gue
tidak mengenakan alas kaki apapun hingga darah mulai mengucur dari alas kaki.
Bebatuan tadi berhasil membuat alas kaki gue lecet. Dengan pelan gue masih
menyusuri jalan tersebut sembari sesekali melirik berharap menemukan seseorang.
Lama
sudah gue berjalan hingga rasa lelah sudah menghampiri. Keringat berkucuran di
kening gue, gue menunduk memegang kedua lutut gue. Rambut yang sudah mulai
gondrong ini basah membuatnya turun mengenai mata gue. gue merapihkannya
sembari berdiri tegak kembali melihat sekeliling.
Sial!
Gue mendapati pohon beringin yang pertama kali gue lihat. Ternyata gue hanya
berputar-putar tanpa tujuan yang jelas. Apa maksud dari ini semua?! Gue
mendekati pohon tersebut dan memukulnya dengan keras lalu menabrakkan kepala
gue ke batang pohon tersebut sembari memejamkan mata.
“Za,
kamu kenapa?”
Suara
yang tidak asing menghampiri masuk ke dalam telinga gue. Gue membuka mata pelan
dan mendapati wajah Om Edy melongo khawatir.
“Hei,
udah jam 6 pagi. Kamu enggak sekolah?”
Gue
menengok ke kanan dan kiri memastikan apa yang terjadi. Ternyata tadi hanya
mimpi. Keringat membuat kuyup kaos gue.
“Waduh,
mimpi apa tuh sampai keringat gitu,” ucap Om Edy melirik jahat.
Tanpa
memedulikan lirikan Om Edy, gue bangkit dari kasur dan mengambil peralatan
mandi dan masuk ke kamar mandi.
Pagi ini
terlihat cukup cerah. Beberapa anak dengan seragam merah Putih berlarian
bersama teman-temannya. Beberapa ibu mengikuti mereka sembari berjalan
berbincang. Hari ini gue memilih untuk berjalan kaki menuju sekolah sembari
mendengarkan lagu-lagu karya One Direction, entahlah, sepertinya suara
grup vocal Inggris-Irlandia yang terdiri dari, Zayn Malik, Liam Payne, Niall
Horan, Louis Tomlinson dan Harry Styles itu mampu membuat hati gue
sedikit lebih tenang.
Ternyata
butuh waktu hampir 30 menit untuk berjalan menuju sekolah jika tidak
menggunakan kendaraan. Sesampainya di sekolah, gue bergegas pergi ke kelas
daripada meladeni siulan-siulan ejekan dari beberapa kaka kelas. Sepertinya
mereka masih menyimpan kesal atas perbuatan gue dan Rendi kemarin.
“Ren, lo
kenapa nunduk gitu?” tanya gue heran karena mendapati Rendi membenamkan
wajahnya di tas hitamnya.
Beberapa
dari teman gue yang lain memperlihatkan raut wajah yang membuat gue curiga.
“Ren? Lo
enggak apa-apa?” tanya gue sambil duduk di sampingnya.
Rendi
mengangkat tangannya dan memberi menunjukkan jempolnya sebagai isyarat bahwa
semua baik-baik saja.
“Lu
enggak perlu bohong sama gue, Nyet. Lo kenapa?!” Gue kembali bertanya, kali ini
dengan nada yang sedikit naik.
Andika
mendekati gue sembari memasang wajah takut. Gue mengerinyitkan alis sambil
melirik ke Rendi, memberi isyarat bertanya apa yang terjadi dengan Rendi.
Andika menarik telinga gue dengan pelan dan membisikkan sesuatu.
“Serius
lu?!” gue menarik kepala gue dari Andika. Tidak percaya apa yang baru saja Andika
katakan.
Andika
mengangguk pelan.
Gue
menghela nafas dan menarik pundak Rendi, memaksanya untuk memperlihatkan
wajahnya pada gue. Gue kaget melihat wajahnya biru di beberapa bagian dekat
mata kirinya. Di bawah mata kirinya bengkak membesar sebesar bola bekel. Gue
memegang wajahnya dan menggerakkannya kanan-kiri memastikan bagian mana lagi
yang babak belur.
“Gue
baik-baik aja, nyet,” ucap Rendi lemas.
“Lu
punya otak apa enggak?! Mata kiri lu bengkak gini dan lu masih bilang baik-baik
aja?!” ketus gue kesal sembari melemparkan tas gue ke atas meja dan keluar dari
kelas. Iya, mungkin sebagian dari kalian sudah tahu gue akan mencari siapa saat
ini. Brian.
Rendi
terlihat mengikuti gue dari belakang sembari berlari kecil menutupi mata
kirinya. Gue berjalan menyusui lorong kelas. Para murid yang lain sepertinya
sudah tahu gue mencari siapa. Mereka yang sedang mengobrol asik di lorong kelas
seketika langsung memberikan gue jalan. Tanpa perlu waktu lama, gue mendapati
Brian sedang asik duduk di atas meja sambil tertawa terbahak-bahak dengan
teman-temannya.
“Woi!
Anjing!” hardik gue sembari menendang meja dekat tempat gue berdiri.
Brian
dan teman-temannya langsung melihat gue. Brian turun dari atas meja dan
berjalan menghampiri gue.
“Ada
apaan lu dateng-dateng marah? Lagi mens?” tanyanya sambil menyengir. Pertanyaannya
membuat teman-temannya tertawa jahat.
Gue
mengendus kesal. Aliran darah gue naik. Gue mengepalkan tangan gue bersiap
menghajar mahluk sok tampan ini.
“Lu
apain sahabat gue?” tanya gue memberatkan suara.
“Tenang,
cuy.” Dia menaikkan tangannya lalu menurunkannya seakan wasit sepakbola yang
sedang menenangkan dua pemain yang berselisih. “Gue cuman main-main sebentar
sama curut lu,” katanya sambil berbisik di telinga kiri gue. Dia kembali
menjauhkan kepalanya dari gue dan tersenyum jahat sambil menaikkan alisnya.
Wajah gue mengeras ingin sekali memukul wajahnya kali ini.
Tiba-tiba
Rendi datang terengah-engah dan memegang pundak gue dari belakang. “Udah, Za,”
ucapnya lirih.
Gue
menengok ke belakang lalu kembali menghadap Brian. “Urusan kita belum se----“
Seorang cewek
lewat dan memaksa gue menghentikan ucapan gue. Cewek misterius itu lewat
menunduk seperti tidak ingin melihat dan mengetahui apa yang terjadi. Dia
benar-benar cewek yang tidak senang bergaul dengan orang lain. Gue melihat ke
arahnya berharap dia melihat balik. Nyatanya tidak. Dia lewat tanpa mengucapkan
sepatah kata apapun.
Bahkan
di saat gue sedang berada di dekat lu saja, lu enggak menengok sedikit ke gue.
bagaimana bisa gue penasaran dengan hal-hal yang bahkan tidak ingin gue dekati.
“Udah,
Za. Kita balik sekarang,” ucap Rendi menarik seragam gue.
“Tuh,
dengerin kalo curut ngasih nasihat,” kata Brian sembari mempersilahkan gue dan Rendi
untuk pergi dari kelasnya.
Tanpa
mendengar perkataan Rendi, gue melepas tarikannya, berlari menuju Brian dan
menendang wajahnya. Ia tersungkur ke sela-sela kursi. Gue menarik kerah
bajunya. “Berdiri lo!” perintah gue.
Brian
menepis cengkraman gue, mendorong gue dan memukul kepala gue dengan tempat
tulis berbahan kayu. Kepala gue terasa sakit. Pandangan gue sedikit kabur.
Lagi-lagi sebuah pukulan keras mendarat di pipi kiri gue. Suara kursi dan meja
yang tergeser terdengar. “Jangan jadi jagoan lo di sini!” teriak Brian. Kakinya
terangkat dan menusuk perut gue.
Uhukk…
Gue
terbatuk, Beberapa tetes darah keluar dari mulut gue. Tangan gue terangkat
berusaha menggapai tepian meja. Namun Brian memegang tangan gue dan meletakkan
jari-jari gue di kursi. Ia mengangkat kakinya dan menginjak jari-jari gue
dengan sepatu kerasnya.
“Aaaaaa!”
teriak gue karena tak mampu lagi menahan sakit.
“Anjing
lo semua!” Rendi mengangkat sebuah kursi dan melemparkannya ke arah Brian dan
teman-temannya. Suara keributan kami terdengar hingga keluar kelas. Rendi
langsung mengangkat gue dan menaruh tangan kanan gue di pundaknya,
melingkarinya, dan menuntun gue pergi dari kelas.
********************
Sesampainya
di kelas, beberapa teman mengatakan bahwa pak Rudy, guru bahasa Inggris,
pelajaran terakhir, tidak hadir hari ini karena ada sebuah urusan yang tidak
bisa ditinggalkan.
Andika
membawakan sebuah es teh manis dari kantin untuk gue dan Rendi sebagai tanda
solidaritasnya kepada temannya. Ya, meskipun Andika membeli es teh tadi dengan
uang gue. Gue dan Rendi memilih untuk beristirahat di lapangan parkir dekat pos
satpam.
“Thanks,
Dik,” ucap Rendi.
“Gue
cabut duluan, Za, Ren,” pamit Andika sembari menyalakan motor maticnya lalu
pergi menghilang di kejauhan.
“Lo tuh
berani atau nekat, Za? Lo berani lawan Brian sama temen-temennya sendiri?”
“Modal
nyawa aja, Ren.”
“Modal
nyawa, muka lu gila!” hardiknya kesal. “Oh
ya, bukannya lo ada janjian sama kaka kelas yang namanya Laras ya?” tanya Rendi
mengingatkan.
Gue
mengangguk.
“Terus,
lo jadi ketemu dia?”
Gue
menggeleng.
“Kenapa?”
“Enggak
tau. Udahlah, lupain aja.”
Mendengar
bel pulang sudah berbunyi, gue dan Rendi memutuskan untuk pulang. Kali ini, Rendi
meminta gue mengantarnya pulang menggunakan motor r15nya yang ia bawa hari ini,
dia minta gue untuk mengantarnya karena mata kirinya enggak bisa melihat dengan
jelas. Gue pun mengangguk karena berfikir bahwa Rendi tidak dalam kondisi yang baik
untuk berkendara sendirian, meskipun muka gue sendiri hancur, namun mata gue
masih bisa memandang jelas. Setelah mengantarnya pulang, Rendi menyuruh gue
untuk membawa motornya saja ke rumah gue. Awalnya gue menolak karena merasa
tidak enak. Namun Rendi memaksa, ia pun berkata bahwa dia masih memiliki
kendaraan lain yang bisa ia pakai untuk pergi ke sekolah besok.
“Ya
udah, gue pamit ya, Ren.”
“Sip.”
Dengan
menggunakan motor r15 Rendi, hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai di rumah.
Entahlah, mungkin karena mesinnya yang bagus.
Gue
memarkirkan motor Rendi di halaman rumah tepat ketika Om Edy sedang asik
merokok dengan kopi hitam sebagai pelengkapnya. Ia menaikkan satu kakinya di
atas kursi seperti para preman di layar televisi.
“Waduh,
motor siapa nih, Za?” tanya Om Edy terpukau dengan tampilan r15 Rendi.
‘Motor Rendi,
Om.”
“Lu
nyomot lagi? Kaya kelapa pak Acu?”
“Enggak,
Om. Rendi minjemin motornya ke aku.”
Om Edy
tidak henti-hentinya memerhatikan setiap inci tampilan motor r15 Rendi. Gue
menarik nafas dan membuangnya agar menghilangkan rasa heran karena Om Edy
berlaku seperti orang purba.
Sesampainya
di kamar. Gue memilih untuk tidur dan tidak memikirkan apapun tentang kejadian
hari ini. Sudah cukup banyak kejadian yang tidak seharusnya ada di dalam hidup
gue. kenapa semuanya tidak bisa berjalan normal saja? Kenapa selalu saja ada
masalah semenjak ‘mereka’ pergi? Tidak ada lagi tempat yang bisa gue jadikan
dinding untuk bersandar dan mengeluarkan semua cerita yang semakin rumit ini.
Bunyi
alarm yang gue pasang sebelum tidur dan gue taruh di atas meja kecil dekat
buku-buku berbunyi. Sudah pukul 6.30 sore. Gue bangkit dari kasur dan masuk
kamar mandi bersiap untuk bersembahyang.
Tuhan
memang selalu menjadi tempat terbaik kala diri merasa jijik terhadap diri
sendiri. Tuhan memang selalu menjadi tempat ternyaman kala diri merasa
tenggelam dalam permalahan. Tuhan memang selalu menjadi tempat terindah kala
diri merasa resah. Tuhan memang selalu menjadi tempat terkuat kala diri merasa
sekat dan terjerat.
Setelah
sembahyang, gue memutuskan untuk bertanya satu hal pada Rendi tentang hari ini
lewat pesan.
Reza: Ren, Kenapa
lu tadi malah bawa gue keluar kelas, harusnya kita hajar aja tuh si bangsat?
Tidak
lama kemudian Rendi membalas pesan gue.
Rendi: Gue tadi
lihat cewek misterius lo yang ceritain kemarin. Gue enggak mau image lo
rusak di mata dia.
Sepertinya
image gue sudah Buruk di matanya. Semua sudah hancur bahkan sebelum dimulai.
Dari cara dia berjalan tanpa melihat gue, gue udah tahu bahwa dia engga peduli
terhadap gue? peduli? Sebentar, Za, kenapa ada harapan agar dia peduli dengan
lu? Memangnya lu punya posisi apa di dalam hidupnya? Kenapa sekarang seakan ada
rasa yang tidak ingin hilang? Apa rasa penasaran sudah menjadi perasaan? Bukankah
baik jika membiarkan Tuhan yang mengatur semuanya? Apa masih percaya pada cinta
‘mereka’meninggalkanmu tanpa cinta?
Rendi: Hoi!
Kenapa lu? Lama amat jawabnya.
Reza: Enggak
kenapa-kenapa.
Rendi: Ohhhhh…
kayanya gue tahu nih siapa yang ngirim lu surat.
Surat?
Sudah hampir satu hari gue menaruhnya di kolong meja, apa kabarnya surat itu?
apa sudah menghancurkan dirinya sendiri seperti surat yang ada di film Harry
Potter? Atau dia benar-benar menghilangkan dirinya sendiri karena merasa gue
cuekin? Atau dia memang seharusnya tidak pernah dibuka?
"Surat!!"
ucap gue teringat sesuatu. Gue mengambil tas dan membongkar isinya hingga ingat
bahwa surat tersebut gue taruh di kolong meja. "Haduh, Kenapa suratnya gue
taruh di kolong meja?!” tanya gue pada diri gue sendiri seakan menyesal atas
apa yang gue perbuat.
Gue
keluar dari kamar mengenakan sweater hitam dan celana jeans hitam dengan
sedikit robekan di bagian lutut karena jatuh. Lalu meminta izin ke Om Edy untuk
pergi ke sekolah sembari berlari menuju pintu rumah.
“Om, aku
pergi sebentar.”
"Mau
kemana, Za?” tanya Om Edy.
"Ke
sekolah sebentar om. Ada urusan penting"
Penting?
Kenapa gue jadi semangat gini? Mungkin karena rasa penasaran yang udah berada
di ujung kepala. Apa segitu pentingnya tuh surat sampai gue merasa bahwa tidak
mau kehilangan atau dilupakan? Apa sebesar itu rasa penasaran gue terhadap isi
surat itu? surat yang bahkan gue sendiri enggak tahu siapa pengirimnya.
Langit
Jakarta benar-benar udah gelap hari ini. Jarum pendek jam tangan gue udah
menunjuk ke angka 7 malam. Beberapa kali langit mengeluarkan suara memberi
tanda bahwa ia akan mengeluarkan air malam ini. Jalanan masih terlihat ramai
dengan para pengendara yang lalu lalang ingin pulang ke rumah atau pergi ke
tempat kerja.
Astaga!
Gue enggak mau hujan turun dan memaksa gue harus meneduh di tepi jalan
sendirian dengan udara dingin dan goyangan pepohonan yang memaksa gue berfikir
aneh-aneh.
Sesampainya
di sekolah. Sekolah sudah gelap tanpa cahaya sedikitpun. Pak Sapri bersiap-siap
mengunci gerbang sekolah dengan gembok besar seukuran bakso bogem. Gue menghampirinya,
sinar motor gue menyadarkan pak Sapri. Suara motor Rendi membuatnya menengok ke belakang.
"Pak,
saya izin mau ngambil sesuatu di dalam, ya," pinta gue ke Pak Sapri dengan
wajah memelas.
"Ambil
apaan? saya mau tutup," balasnya ketus.
"Sebentar
aja, Pak."
"Enggak
bisa!"
"Rokok
2 batang mau? Saya yang beliin,"
“Kamu
mau sogok saya?! Kamu kira saya kaya anggota DPR yang korupsi? Enggak bisa!"
“Saya
enggak mau sogok Bapak. Saya mau minta tolong sama bapak buat buka gerbangnya.
Dan hadiahnya adalah rokok.”
“Itu
namanya sogok.”
“Itu
namanya hadiah, Pak.”
“Memangnya
beda?”
“Beda, Pak.
Mau enggak?”
"Hmm.”
Pak Sapri bergumam sebentar seakan berfikir dan menimbang-nimbang tawaran gue.
“5
batang deal,” ujar Pak Sapri menjulurkan tangan tanda sepakat.
"Oke,"
balas gue tanpa berfikir panjang.
Habis
deh duit gue. Sebenarnya gue enggak ngerokok. Tapi karena nih satpam gak bisa
diajak kompromi kecuali pakai rokok. Ya mau gimana lagi, demi tuh surat.
Pak
Sapri membuka kembali gerbang. “5 Menit aja,” kata Pak Sapri memperingati. Gue
mengangguk dan berlari ke lorong kelas dan pergi menuju kelas. Sialnya, pintu
kelas gue telah dikunci oleh pak Sapri, tapi tidak dengan jendelanya. Dengan
memakai sapu ijuk yang tergeletak tidak berdosa dekat pintu kelas, gue
menahannya agar jendela tetap terbuka, lalu masuk ke dalam. Gue berlari melihat
ke kolong meja gue.
Apa yang
gue sangka-sangka ternyata benar-benar terjadi. Iya, surat itu hilang.
"Mampus
gue! Siapa nih yang ngambil!" hardik gue. Gue obrak abrik tuh kelas dan
tetap aja enggak ketemu. "Gue harus tanya satpam nih."
Gue
meninggalkan kelas dalam keadaan berantakan. Terserah deh gimana respond
anak-anak kalo lihat kelas besok. Yang lebih penting sekarang adalah surat itu
dan siapa yang ngambilnya.
"Pak!
Orang yang terakhir keluar dari sekolah siapa?” tanya gue dengan nafas
naik-turun karena kelelahan berlari.
"Hmmm.
Yaaaaaaa banyak, Za!"
"Coba
inget dulu, Pak."
"Hmmm..."
“Ya
Allah, Pak. Enggak usah ‘Hmmmm-hmmm’ dulu, deh.”
“Sebentar.”
Pak Sapri menggaruk kumisnya bertanda ia sedang berfikir. Itu ia lakukan karena
nggak ada rambut di kepalanya, jadi enggak ada yang bisa digaruk.
Kalau
nunggu pak Sapri mikir dan nginget-nginget siapa yang terakhir keluar,
bisa-bisa gue udah punya cicit 7 keturunan dulu baru dapat jawaban. Tidak ada
cara lain selain itu.
"Rokoknya
jadi 10 deh, Pak.”
Dia
tersernyum jahat seperti menunggu gue memakai cara itu. "Ok. Tadi yang
keluar terakhir itu...."
*****************
Dugaan
gue benar, hujan turun malam ini dan memaksa gue melipirkan motor dan meneduh
di tepi jalan. Halte metro mini tua yang sudah dicoret-coret menjadi pilihan
gue untuk meneduh. Gue melirik jam tangan. Sudah pukul 8 malam tapi kenapa
suasana sepi banget kaya kuburan. Sendirian, nggak ada orang lain selain gue.
Gue menggosok telapak tangan guna memberi kehangatan. Sialnya, nekat gue malam
ini untuk mengambil surat tersebut malah memaksa gue harus berteduh dan
menghadapi malam ini sendirian. Gue menengok kanan-kiri berharap ada orang lain
yang menemani. Suara gemuruh hujan semakin besar. Tabrakan yang dihasilkan oleh
air hujan ke tanah menghasilkan cipratan kotor mengenai sepatu gue. Gue
mengambil handphone gue di kantong, memastikannya tidak terkena air hujan serta
mengabari Om Edy bahwa gue terjebak hujan mala mini. Saat sedang asik bermain
handphone, seorang wanita muda berpakaian minim merah diatas lutut berdiri di
tepi halte yang berlawanan dengan gue, wajahnya tertunduk dan ia terdiam dengan
rambutnya yang pendek. Awalnya gue tidak terlalu peduli dengan dia, namun suara
isak tangis tersendu-sendu mulai terdengar. Tapi ada yang aneh dari caranya
menangis. Ketika gue memperhatikannya dengan menyipitkan mata agar terlihat
lebih fokus, tetes demi tetes darah pun jatuh dari telinganya. Sampai tiba-tiba
dia mengangkat kepalanya dan melihat gue dengan mata yang lebam. Gue menelan
ludah menahan ketakutan gue, lalu membalas pandangannya dan mencoba untuk
menelfon siapapun di kontak gue. Dia cemberut sambil menggeleng seakan tahu apa
yang ingin gue lakukan. Sebuah senyuman muncul di sudut mulutnya. Hidungnya
kembang kempis sehabis menangis. Dia masih aja menggeleng. Wajanya memucat biru
dan terlihat kotor. Dia berjalan pelan menuju gue tanpa alas kaki. Gue
berlangkah pelan mundur.
“Mba??
Ada yang bisa saya bantu??” tanya gue mencoba memberanikan diri untuk
menolognya jika dia memang Butuh bantuan.
Dia
menggeleng. Sepertinya dia cewek yang mandiri. Dia menggarukkan jari-jarinya di
tembok halte. Derasnya air hujan menambah suara berisik. Suara tawa mulai
terdengar meski pelan-pelan. Gue melihatnya dari atas sampai bawah memastikan
dia tetap baik-baik saja. Atau memastikan bahwa dia adalah manusia. Lampu tiang
listrik dekat halte membuat dirinya memunculkan bayangan hitam di belakang.
Sepertinya dia masih manusia. Hingga pandangan gue tertuju pada sesuatu yang
berlendir dan jatuh dari dalam rok cewek tersebut. Gue enggak bisa memastikan
apa itu. Namun bentuknya kecil dan masih diseliPuti oleh cairan-cairan.
“Dia…jahat
sama aku,” ucap cewek tersebut lirih.
“Dia? Siapa?”
“Dia
jahat sama anakku. Aku mau es batu.”
“Es batu?
Buat?”
Ini kan
lagi hujan, kenapa dia minta es batu? Bukannya nanti malah jadi flu?
“Di
neraka itu panas, aku butuh es batu. Dia nggak pantas masuk surga. Dia----“
“Mba,
maksud mba siapa?”
Gue
masih saja berjalan ke belakang mencoba benar-benar menjauh dari dirinya yang
sudah mulai bergerak tidak tegak dan sempoyang seperti orang mabuk.
“Dia
udah bunuh aku!!!”
Teriakan
cewek itu membuat wajahnya benar-benar terlihat nyaris jelas. Bekas besatan
pisau kecil masih terlihat di tepi bibirnya. Matanya melotot mengeluarkan
darah. Bibirnya merah. Sekilas wajahnya mirip seperti Oey Hui Lan, wanita
keturunan China, anak dari Qey Tiong Ham, seorang pria terkaya di Asia tenggara
yang sempat tinggal lama di Indonesia. Langkah gue terhenti di tiang terakhir
halte tersebut. Tanpa mempedulikan tuh cewek, gue berlari menembus derasnya
hujan menuju motor. Gue menepuk kantong celana gue mencari kunci motor.
Anjing!
Mana lagi tuh kunci motor.
Gue
melihat ke arah cewek tersebut. Dia menangis terisak sembari menggelengkan
kepalanya seakan tanda tidak mau ditinggalkan. Dia masih berjalan pelan menghampiri
gue. Darah mengalir dari kepalanya, membasahi rambutnya dan membuatnya menempel
satu sama lain. Suara lirihnya berangin-angin ke telinga, pandangannya berbulu
mata melihat gue. Raut wajahnya memancarkan darah yang mendidih.
“Dapet!”
kata gue sembari mengeluarkan kunci motor dan berupaya memasukkannya ke lobang
kunci. Tangan gue gemetar karena dingin dan merinding. Setelah berhasil
memasukkanya, tanpa fikir panjang gue menyalakan motor gue dan menarik gas
dengan cepat meninggalkan cewek tadi sendirian di tengah halte. Di waktu yang
bersamaan, sebuah motor melaju dengan cepat di sebrang jalan yang lain, pengendara
motor itu melihat ke arah gue meskipun ia menggunakan helm.
Kamu diam tanpa bicara
Berdiri tegak memandang mata
Bertukar rasa bukan lagi ceritanya
Saling menyakiti dengan hati dan kata
Kamu egois
Membiarkan hati meringis
Kamu jahat
Membiarkan diri melarat sekat
*************************
Setelah
mendapatkan nama yang pak Sapri beritahu, gue menunggu waktu yang tepat untuk
mengambil surat itu dari dia. Dan setelah kejadian café, metro mini dan halte
tersebut. Gue mengisi hari-hari gue di rumah setelah pulang dari sekolah. Entah
kenapa gue ngerasa malas bercampur rasa yang tidak bisa gue jelaskan untuk
keluar rumah. Gambaran tentang cewek halte tersebut masih menyangkut di benak
gue. Suara isak tangis dan ucapannya berPutar-Putar di kepala gue. Caranya
melirih benar-benar terekam dalam benak gue. Gue masih tidak bisa mengerti dan
memahami kenapa beberapa hari ini ada kejadian yang tidak gue bayangkan akan
terjadi di dekat gue. Beberapa kali Om Edy menyuruh gue untuk pergi melepaskan
kepenatan, memberi sedikit ketenangan bagi otak agar nggak terlalu cedera karena
penatnya suasana rumah. Rendipun beberapa kali mengajak gue hangout tapi
jawaban gue selalu sama: gue mau di rumah.
"Za!
Reza! Main yuk,” panggil Rendi dari luar pintu kamar gue sembari mengetuk pintu
kamar gue yang terkunci. Ia baru aja sampai di rumah gue dengan motor r15
hitamnya yang sudah gue kembalikan esok harinya setelah pertemuan gue dan cewek
itu di halte.
“Udah
deh, Ren. Berisik ege," balas gue sembari telungkup di kasur bermain handphone,
meskipun daritadi gue cuma mendengar lagu marron 5 - girls like you dengan
volume kencang. Setidaknya hal itu bisa membuat gue tidak memikirkan hal-hal
gila akhir-akhir ini.
"Ayodah,
nyet. Temenin gue ke taman. Laper gue," ajaknya paksa sembari mengebuk
pintu kamar gue lebih keras.
"Males,
Ren. Mending lu pesen pake gojek, atau tokopedia, atau bukalapak deh," balas
gue.
“Lu mau
gue mati kelaperan? Buka pintunya, Za.”
Gue
turun dari kasur, membuka pintu kamar dan kembali ke kasur gue. Rendi masuk
memasang wajah heran dengan apa yang terjadi pada sahabatnya ini.
“Lu
kenapa si, Za? sokin cerita sama gue,” kata Rendi sembari mengganti lagu
dengan lagu Cash-cash – I love it.
Gue
menggeleng. “Enggak apa-apa, Ren.”
“Ya
udah, lu mau sakit di kasur lama-lama? Lu Butuh olahraga cuy."
Untuk
bergerak saja malas, apalagi berolahraga. Tapi saran Rendi sepertinya masuk
akal dan bermanfaat. Ya mungkin gue memang sedang benar-benar Butuh olahraga. Mungkin
dengan olahraga, bisa membuat gue sedikit melupakan hal-hal kejadian kemarin,
atau setidaknya membuat diri gue sedikit tenang. Gue sendiri adalah orang yang
jarang atau cukup malas untuk berolahraga. Meskipun sehat, Bukankah itu membuat
kita berkeringat, membosankan dan lain-lain. Ya senggaknya itu adalah pemikiran
gue. Lagipula, tumben sekali si Rendi mengajak gue untuk berolahraga. Apalagi
di taman.
“Sebentar,
gue siap-siap dulu,” ucap gue bangkit dari kasur dan membersihkan wajah gue
yang sudah kusut seperti kabel headset.
“Nah!
Gitu dong nyet. Ya udah, gue tunggu di luar.”
Beberapa
menit kemudian, gue keluar dari kamar mengenakan kaos hitam dan celana jogger
berwarna Putih. Rendi sedang asik duduk dengan Om Edy di meja makan sembari
makan nasi uduk yang dilengkapi oleh tempe, lontong dan sambal. Hidung gue
mencium bau keleZatan pagi itu. Sepertinya nasi uduknya masih hangat.
“Lah? katanya
lu mau ngajak gue makan di taman, Ren,” kata gue sembari melihat Rendi yang
malah makan.
“Gue
juga butuh tenaga Buat olahraga. Mumpung Om Edy traktir,” celetuk Rendi.
“Kamu
enggak makan, Za?” tanya Om Edy.
“Nanti
aja, Om. Kalo hari minggu, males makan,” jawab Gue sembari berjalan menuju
pintu rumah.
“Oh ya, Ren,
Za. Om baru dapet kabar dari warga sekitar, mereka ngelihat jasad cewek di
halte dekat sekolah kalian beberapa hari yang lalu. Kalian sudah denger
kabarnya?”
Mendengar
kabar dari Om Edy tentang hal itu, gue kaget, langkah gue terhenti dan fikiran
gue meluncur ke malam hari itu. Keringat dingin mulai keluar dari kening gue.
Gue masih membelakangi Rendi dan Om Edy. Lidah gue keras tidak bisa berkata
apa-apa. Gue menggeleng sembari berjalan menuju beranda rumah.
“Serius
om?!” tanya Rendi kaget.
“Iya,
kata warga sekita dia adalah korban pemerkosaan dan -----“
“Ren!”
panggil gue memotong pembicaraan Om Edy. “Jadi enggak?!” Nada gue sedikit keras
karena tidak mau Om Edy memborbardir gue dan Rendi dengan pertanyaan yang bisa
saja berujung dan berkaitan pada malam dimana gue mengambil surat di sekolah.
Setelah
selesai makan, Rendi dan gue beranjak ke Taman Bambu. Sebenarnya tempat ini
adalah wahana rekreasi bagi masyarakat sekitar, khususnya yang tinggal di
daerah Setu, Cipayung, Jakarta Timur. Jam masih menunjuk pukul 7 pagi.
Anak-anak kecil berlarian memegang pistol mainan berisi air, masih ada beberapa
orang berolahraga, jalan-jalan bersama keluarga, dan berpacaran sembari
bersantai di bawah rindangnya rumpun bambu. Rendi memarkirkan motornya di dekat
gerbang taman. Angin segar mulai membuat kulit terasa dingin meski terik sinar
matahari mulai menyengat.
"Akhirnya
sampai juga di taman." Rendi meregangkan tangan-tangannya.
"Mau
lari kemana nih?” tanya gue.
“Kemana
aja. Yang penting jangan lari dari masalah.”
“---‘
Ketika
sedang berolahraga, perut gue berbunyi keras memberi isyarat untuk sarapan.
"Cari
makan dulu, Ren. Cacing perut gue udah demo kaya mahasiswa.”
“Kampret
lu! Tadi bilang enggak mau makan.”
Bubur
ayam kang Agus yang terparkir di dekat pos satpam taman menjadi pilihan kami.
Ditaburi dengan serpihan daging, sambel dan sate telor puyuh membuat rasa gue
meningkat. Asap yang keluar dari tempat penyimpanan Bubur juga memberikan harum
yang nggak bisa ditolak oleh hidung. Gue yang baru saja mau menyendok Bubur
ayam hangat ini dikagetkan dengan kedatangan seorang cewek melihat gue sembari senyum-senyum
tidak jelas.
"Reza,
ya?”
"I….ya.
Kenapa?" balas gue mengerinyitkan alis karena bingung.
"Gue
Nadia, kaka kelas lu di sekolah. Boleh minta foto gak?"
Wangi
parfum oriental tercium ketika kaka kelas itu mendekatkan wajahnya ke wajah
gue. Wangi hangat gabungan rempah-rempah dan Bunga-bunga eksotis benar-benar
tercium saat ini. Gue menutup mata gue merasakan harumnya wangi tersebut, dada
gue mengembang ketika hidung memfokuskan diri untuk meresapi setiap wangi yang
ia pancarkan.
"Sorry
ya, ka. Tapi gue enggak suka difoto."
"Yah,
Za. Pelit banget. Satu foto doang."
"Sorry,
tapi ini bukan masalah pelit atau ga pelit. Ini masalah-----"
"Belagu
lu, Za. Sombong banget. Pantesan anak-anak kelas gue enggak suka sama lu,"
balasnya kesal sambil menaikkan suara lalu pergi tanpa basa-basi yang baik.
Biarkan saja
dia menganggap gue seperti apa. Ini Bukan masalah pelit atau nggak. Ini masalah
privasi karena memang gue enggak terlalu suka difoto. Menurut gue, ada banyak
cara mengabadikan suatu moment selain menggunakan foto dan mengunggahnya di
media social. Terlebih lagi, gue sendiri enggak tau siapa dia.
"Freak
banget tuh kaka kelas,” kata Rendi. "Mungkin dia fans lu, Za,"
sambungnya.
"Semoga
bukan."
Beberapa
menit kemudian gue dan Rendi dikagetkan oleh kedatangan Kak Laras yang
menggunakan baju pendek pink se-lengan dan celana jogger hitam panjang serta
sepatu sport bermerk nike. Warna hitam yang dia pakai hari ini membuat
kulit Putihnya benar-benar terlihat halus ditambah dengan Bulu-bulu halus yang
menempel di kulitnya. Rambut yang diikat ikatan kuda dan bibir merahnya membuat
wajahnya benar-benar cantik. Ditambah dengan sinar matahari yang menabrak
kulitnya. Meskipun ada keringat yang keluar dari keningnya, namun hal itu nggak
mengurangi sedikitpun kecantikannya.
"Hi,
Za," sapanya manis dengan lesung pipi yang menyempurnakan wajahnya.
Kini,
aroma lavender memaksa hidung gue membuka lobangnya dan menariknya ke
dalam. Wangi lembut yang mempunyai kekuatan untuk merelaksasika suasana hati
ini benar-benar menarik perhatian. Bahkan, konon ceritanya, pada, Zaman dahulu
Cleopatra menggunakan aroma wangi lavender untuk menarik hati Julius
Caesar.
"Hi,
Ka," balas gue tersenyum tipis.
Kedatangan
Ka Laras benar-benar merubah suasana menjadi nyaman. Di saat hati sedang gundah
tidak tahu harus apa, ka Laras datang dengan sebuah senyuman yang mampu
meluruskan semua permasalahan.
“Udah
berani lihat muka gue lebih lama?” tanyanya pada gue sembari mengingatkan gue
pada kejadian pemberian surat hari itu. Iya, gue hanya memandanginya beberapa
detik saat itu.
"Ya,
sorry, waktu itu mata gue lagi lelah banget,” ucap gue menunduk merasa malu.
“Enggak
mau minta maaf juga karena udah ninggalin gue di gerbang sekolah Beberapa hari
yang lalu?” tanya Kak Laras.
“Anu..gue
lagi…,”
"Its.
Okay. Hahahaha. Santai aja.” Bahkan tawa kecilnya aja mampu membuat dunia sejenak
berhenti. “By the way, lu Rendi ya?" tanya kak Laras sembari
melihat Rendi yang daritadi memperhatikannya.
“Iya, ko
kaka tahu nama gue?” tanya Rendi dengan wajah sumringah bahagia.
"Siapa
yang enggak tau adik kelas yang udah numpahin kuah bakso ke Brian. Nekat juga
lu."
"Dia
pantes dapetin itu," balas Rendi.
Dengan
inisiatif lelakinya, Rendi bangkit dari duduknya dan mempersilahkan Kak Laras
duduk. “Duduk dulu ka. Kasihan kalo berdiri terus, nanti capek.”.
Gue
memandangi Rendi dengan pandangan bertanya. Kenapa nih setan malah ngasih
tempat Buat ka Laras duduk?, Itu malah membuatnya semakin lama ada di sini.
Semakin lama dia di sini, semakin canggung juga suasana.
“Thanks,”
ucap Kak Laras tersenyum manis pada Rendi.
Kak
Laras ikut memesan Bubur ayam yang sama dengan gue dan Rendi.
"Ko
lu bisa tahu gue disini, Ka?” tanya gue yang daritadi penasaran dengan
kedatangannya.
"Barusan
ada temen gue yang minta foto sama lu tapi lu nolak. Abis itu dia masukin keluh
kesahnya di Instastorynya. Yaaaaa akhirnya gue tau deh."
Budak
media sosial. Gue juga heran kenapa semua permasalahan yang kalian hadepin
harus kalian pasang atau sebarin di media sosial. Bukannya dengan cara seperti
itu, orang-orang malah tahu masalah kalian? Think smart dong.
"Budak
medsos," keluh gue.
"Tenang
aja, gue udah tegur ko," balas Kak Laras.
Serius?
Kenapa ka Laras berinisiatif menegur temannya? Iya maksud gue, kenapa dia harus
ngelakuin itu.
"Thanks,
Ka. Lu enggak perlu repot-repot ngelakuin hal itu."
"Gue
enggak merasa direpotin ko.”
Pembicaraan
gue, Rendi dan Kak Laras cukup berwarna-warni. Kita membahas tentang politik,
pendidikan, pergaulan dan lain-lainnya. Kesan pertama yang gue dapat dari pembicaraan
gue dengan Kak Laras adalah Kak Laras adalah cewek yang pintar dan mudah
bergaul. Beda sekali dengan temannya. Temannya? Maksud lu cewek misterius itu?,
kenapa lu masih aja mikirin dia,, Za?! Dia itu sudah jelas-jelas menjauhi lu.
Kenapa mesti lu fikirin? Harusnya lu sadar bahwa dia enggak mau menjalin
hubungan sama lu, entah hubungan sebagai teman atau…..
"Ya
udah, gue cabut dulu ya. Ada kerjaan lagi,” kata Kak Laras sembari bangkit dari
kursi plastik khas gerobakan. Langkah Kak Laras terhenti ketika Rendi meminta
nomornya.
“Ka, gue
minta nomor lu, boleh??”
“Untuk??”
“Nanya-nanya
pelajaran yang gue enggak faham,” balas Rendi dengan alasan yang aneh namun
seringkali dipakai adik kelas untuk mendekati kakak kelas.
“Setahu
gue, bukannya lo masuk salah satu 10 besar di SMP lo?” tanya Kak Laras sembari
melirik ke Rendi dengan lirikan curiga namun menggemaskan.
Pertanyaan
Kak Laras dengan cepat menampar Rendi, membuatnya mati kutu. Rendi
celingak-celinguk melihat gue yang tidak kuasa menahan tawa. Sembari tersenyum Rendi
menjawab, “Orang pintar juga butuh nasihat dan gandengan ko.”
“Gandengan?”
“Mak….maksudnya
bimbingan.”
“Ok.
Mana Handphone lu?”
Rendi
memberikan iphone 6nya pada Kak Laras. Kak Laras memasukkan beberapa digit
nomor ke dalamnya. Semoga itu nomor handphonenya, Bukan nomor rekeningnya. “Gue
cabut dulu ya. Bye.” Lambaian tangan Kak Laras menjadi perpisahan gue dengannya
hari ini.
“Kang, bubur
cewek itu, biar saya yang bayar,” ucap Rendi pada kang Bubur.
“Enggak
usah repot-repot, Ren.” Kak Laras menggeleng.
“Anggep
aja biaya minta nomor.” Rendi membalas tersenyum manis, senyum khasnya yang
mampu membuat para wanita berjatuhan mabuk bensin.
Ketika Kak
Laras pergi, Pandangan Rendi enggak bisa lepas dari dia. Kayanya senyum Kak
Laras membekas di benak Rendi. Semoga tidak ada hal tidak gue sesalkan nanti. Sesaat
setelah Kak Laras sudah berada di dekat motornya yang terparkir di dekat
gerobak Bubur ayam. Ia berteriak sesuatu pada gue sembari menengok ke gue.
"Za,
suratnya udah, lu baca?” tanyanya dari jauh.
"Surat?”
Gue menganga kaget karena kak Laras bertanya tentang surat tersebut.
Bagaimana
bisa dibaca, surat itu aja belum ada di tangan gue. Kak Laras pasti kecewa
banget nih kalau tahu gue enggak baca dan malah ngilangin tuh surat. Gue enggak
mau dia menganggap gue cowo yang enggak bertanggung jawab.
“Sudah, Ka,”
jawab gue berbohong. Gue tahu gue udah bohong tapi ini gue lakuin biar
pertemuan gue dan Kak Laras terkesan baik.
"Ok,
See u, Za, Ndi.” Pamit Kak Laras lalu pergi menghilang dari padangan gue
dan tenggelam dalam kejauhan.
Sebuah tepukan
mendarat di pundak gue. "Suratnya lu udah baca nyet?” tanya Rendi.
"Apaan isinya? Kasih tahu gue dong!" tambahnya sembari menarik baju
gue.
"Suratnya....,"
balas gue ragu untuk menceritakan yang sebenarnya.
"Kenapa
suratnya? Ada uangnya? Apa kertas Putih doang? atau jangan-jangan tuh bon
hutang ya!"
"Suratnya
hilang, Ren."
"Kok
bisa nyet?!" Suara Rendi cukup membuat kaget tukang Bubur sembari menoleh
heran dengan cara Rendi berbicara kalimat terakhir.
“Sssstttt….”
gue menutup mulutnya dengan bungkusan krupuk Putih. “Enggak usah keras-keras
begitu ege. Jadi, setelah kejadian kita dihajar oleh Brian, dan setelah gue
anter lu ke rumah, kita sempat chating lewat whatsapp, dan lu nyebut
kata surat. Seketika itu gue langsung teringat surat yang gue tinggalin di
kolong meja, alhasil gue pergi ke sekolah. Pak Sapri sudah menutup sekolah
malam itu, akhirnya gue minta tolong sama Buat ngasih gue 10 menit Buat perika
tuh srat. Waktu gue sampai kelas, gue enggak nemuin tuh surat. Dengan inisiatif
gue, gue bertanya ke pak Sapri, karena gue fikir mungkin aja pak Sapri tahu
siapa yang terakhir kali pulang dari sekolah dan jawabannya...."
Komentar
Posting Komentar