Bagian Empat - Can I Be Normal Person?


Cahaya bulan menjadi penerang malam ini. Zee melihat jam di layar ponselnya. Tatkala dirinya hendak bangkit, ia baru sadar bahwa Hanggini sudah terlelap dalam tidurnya. Zee mengamati wajahnya. Pipi Hanggini yang sedikit tembem membuatnya terlihat lebih lucu di mata Zee. “Hei,” ucap Zee halus sekaligus menyentuh pipi Hanggini dan menekannya pelan.

Hanggini menggeliat sebentar sebelum ia membuka matanya. “Udah malam. Waktunya pulang,” lanjut Zee. Hanggini manggut lalu mengusap-ngusap matanya. Lantas ia pun mengecek ponselnya dan melihat sudah jam sembilan. Hanggini berdiri dan mengikuti Zee yang berjalan duluan. Langkah Zee terhenti saat ia mendengar suara dari perut Hanggini. Zee menoleh ke arah Hanggini. Hanggini membalas dengan seringai kecil. Zee membalikkan badan dan mengambil tangan Hanggini lantas mengajaknya pergi.

Motor Zee terparkir di samping warung ayam bakar. Zee mematikan mesin motornya dan turun. “Zril, gue makan di rumah aja. Gue---“

Zee tidak menghiraukan ucapan Hanggini dan tetap berjalan masuk. Hanggini pun terpaksa membuntutinya. Di dalam Hanggini menemukan Zee tertawa seraya berbicara pada penjual ayam bakar itu. Obrolan mereka terasa ringan. Selepas itu Zee duduk di kursi seraya meminum segelas air putih. Hanggini masih berdiri di tempatnya sebelum penjual ayam bakar itu berkata, “Silakan, Mba. Duduk aja. Capek nanti kalo berdiri terus.”

Hanggini mengangguk dan duduk di kursi depan Zee. Tidak ada obrolan dari mereka berdua hingga pesanan mereka datang. Dua ayam bakar dan dua nasi uduk serta beberapa lalapan. Zee menyantap makanannya tanpa mempersilakan Hanggini makan.

Zee tersedak ketika ia mendengar Hanggini berkata, “Lo lebih manis kalo lagi ketawa.” Melihat Zee batuk, Hanggini berdiri dan memberikannya minum. Zee meneguknya meski matanya malah memandang mata Hanggini yang hangat.

Penjual ayam bakar dan beberapa karyawannya tertawa pelan melihat adegan yang dilakukan Zee dan Hanggini. Merasa menjadi pusat perhatian orang-orang, Hanggini kembali ke kursinya. Pipinya memerah. Zee mengelap sisi mulutnya yang basah dengan tisu. Suasana canggung kembali menyelimuti mereka berdua namun keadaan itu tidak berlangsung lama karena orang-orang dikejutkan dengan kedatangan empat lelaki berbadan besar dengan lengan dan badan penuh tato. Salah satu dari mereka menggebrak meja, membuat orang-orang takut termasuk Hanggini. Anehnya hanya Zee yang tetap tenang. Ia memutar posisi duduknya sehingga orang-orang itu mampu melihatnya.

“Nah ini dia curut. Ketemu juga akhirnya,” ucap salah satu dari mereka dengan tatapan kesal pada Zee. Zee memandang mereka satu persatu sebelum berdiri dan berkata, “Kita kelarin di luar.”

Mereka mengikuti permintaan Zee. Ketika Hanggini hendak menyusul, tangannnya dicengkram oleh penjual ayam bakar itu. Ia pun berkata pada Hanggini, “Kalo mba cuman mau ngelerai mereka, usaha mba sia-sia. Biarin Azril selesain urusannya.”

“Ya tapi Azril dalam bahaya. Dia bisa---“

Penjual ayam bakar itu menggeleng sembari tersenyum. “Saya sudah kenal lama dengan mas Azril dan belum pernah saya lihat dia kalah.”

Trotoar jalanan dekat toko-toko dan para pedagang kaki lima mendadak dikerumuni orang-orang. Semua pandangan tertuju pada seorang remaja lelaki yang sedang berdiri berhadapan dengan empat lelaki menakutkan.

“Eh curut! Gue mau bikin perhitungan sama lo!” bentak salah satu dari mereka. Dengan dingin Zee tidak menjawab apa-apa. Wajahnya tebal dan datar. Ia merogoh ponsel dan bungkus rokoknya lalu menaruhnya di atas rak sebuah warung kopi. “Nitip, Pak,” ucapnya pada seorang kakek yang mengenakan kaos oblong putih dan sarung.

“Lihat lagaknya. Kaya udah paling hebat aja,” hardik salah satu lelaki besar itu. Zee menghela nafas. Memasang ekspresi melas dan ingin semua ini cepat tuntas. Pertengkaran dimulai. Salah satu dari mereka berlari menyerang Zee. Ia berusaha mendaratkan pukulan di pelipis kiri Zee. Sayang pukulan itu dengan mudah Zee hindari. Sedetik kemudian lelaki itu mengerang kesakitan karena Zee menyarangkan sebuah tendangan di perutnya. Lelaki itu tersungkur jatuh. Tapi bukan Zee namanya jika belum merasa puas. Ia menginjak wajah lelaki itu dengan sepatunya hingga hidung lelaki itu patah dan mengeluarkan darah.

Lelaki itu berteriak kesakitan sembari memegangi hidungnya, menahan aliran darah keluar secara deras. Hanggini yang melihat itu mendadak mengambil langkah mundur. Terlebih lagi saat ia menangkap tatapan Zee yang memerah.

Dua orang dari empat lelaki itu maju. Mereka menyerang Zee dari kedua sisi. Zee berhasil menahan beberapa pukulan meski ia harus merelakan tulang rusuk dan pipinya dihajar. Untuk beberapa detik Zee terbatuk. Namun dengan cepat ia mengatur nafas dan meregangkan otot jemarinya. Kedua lelaki itu kembali menyerang dan kali ini giliran Zee yang membuat mereka kesakitan. Zee menendang salah satu lutut lelaki itu, membuatnya menunduk dan ketika itu juga Zee mengapit kepala lelaki itu dengan tangannya dan membenturkan hidungnya dengan lutut Zee. Tidak butuh waktu lama untuk hidung lelaki itu mengalirkan darah dan tersungkur jatuh.

Salah satu dari mereka tiba-tiba memukul punggung Zee dengan sapu. Zee terpental beberapa langkah. Sebelum lelaki itu kembali menyerang Zee, Zee sudah lebih dulu membalikkan badan dan menendang dada lelaki itu. Lelaki itu melangkah ke belakang dengan sempoyongan sebelum jatuh. Melihat kesempatan, Zee berjalan mendekat dan menendang kepala lelaki itu.

Orang-orang memperhatikannya dengan cemas sekaligus takut. Bagaiamana bisa remaja lelaki seumur Zee mampu menyerang tiga orang lelaki berbadan besar, bahkan sampai menghabisinya dengan sadis.

Kini tersisa satu lelaki lagi. Zee mengurungkan niatnya untuk menghabisi lelaki itu saat ia melihat celana lelaki itu basah di bagian tengahnya. Zee memiringkan kepalanya dengan tatapan dingin dan tajam. Kaki lelaki itu gemetar. Baru satu langkah Zee ambil untuk mendekatinya, lelaki itu memilih kabur.

Tidak ada tepuk tangan yang mengakhiri pertengkaran itu. Semua orang malah memandang Zee dengan takut. Zee tidak memedulikan itu semua. Ia malah mengambil ponsel dan rokoknya seraya berkata pada kakek yang mengenakan sarung, “Terimakasih.” Kakek itu menganggguk dengan pelan sembari memandang Zee tanpa kedip dan mulut ternganga.

Penjual ayam bakar yang sedaritadi bersama Hanggini bergegas mengambilkan segelas air putih untuk Zee. Zee duduk ditemani Hanggini di sampingnya, menatapnya dengan khawatir. Zee memalingkan wajahnya ke arah Hanggini. Seakan mampu membaca apa yang kini Hanggini rasakan, Zee berkata, “Lo nggak perlu khawatir sama gue.”

“Ko bisa tau?”

“Dari raut wajah lo.”

Sekejap kemudian penjual ayam bakar itu datang membawakan segelas air putih dan beberapa tisu basah. Melihat ada pembeli, penjual ayam bakar itu pamit pada Zee dan Hanggini. Hanggini terkejut karena tiba-tiba Zee memberikan tisu basah itu pada Hanggini lalu berkata, “Lo bisa ngobatin kan?”

“Lo mau gue ngobatin luka lo?”

“Kan gue udah sempet bilang kalo gue mau ada di samping lo. Itu artinya lo juga harus ada di samping gue.”

Jantung Hanggini terpompa lebih cepat mendengar apa yang Zee lontarkan. Kehangatan yang menjalar di antara keduanya mengalahkan dinginnya malam. Wajah keduanya saling mendekat tanpa mereka sadari. Sekilas kemudian kedua jadi salah tingkah saat penjual ayam bakar itu datang  dan berkata, “Zril, lo masih belum tau siapa tuh para preman?”

Zee yang masih salah tingkah menggelengkan kepala. Mendapati Zee dan Hanggini terlihat aneh, penjual ayam bakar itu bertanya, “Kalian nggak apa-apa?”

Keduanya serempak mengangguk. Hanggini berusaha membuat keadaan normal dengan bertanya, “Emangnya para preman itu ada urusan apa sama kalian?”

“Nggak tau. Mereka sering banget datang cuman buat nyari Azril abis itu ngehajar Azril meskipun akhirnya tetep nih orang yang menang,” jawab penjual ayam bakar itu sambil menunjuk ke arah Zee. Yang ditunjuk hanya diam seribu bahasa.

*******

Dengan wajah ketakutan preman yang memilih kabur dari Zee berdiri menghadap seorang lelaki yang tengah duduk ditemani secangkir kopi hitam dan beberapa lembar koran. Dalam cahaya remang preman melaporkan apa yang telah terjadi pada lelaki itu. Meski ditanggapi diam oleh lelaki itu, preman itu masih merasakan ketakutan yang besar. Bulu kuduknya bangun karena ia mulai menyadari ada yang mendekatinya.

Benar saja, punggung preman itu tiba-tiba dipukul dari belakang dengan sekop. Ia jatuh dan meringis kesakitan meski ia masih sadar.  Kemudian kedua tangannya dipegang oleh dua orang dari sisi yang berbeda. Salah satu dari mereka menjabak rambut preman itu dan menyeretnya ke lelaki tua yang baru saja mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya.

“Ampun, Boss. Kasih saya satu kesempatan lagi. Saya mohon,” lirih preman itu sembari menarik-narik tangannya dari genggaman dua orang di sampingnya. Jari-jari preman itu sudah terletak di atas meja. “Boss, ampun boss,” sambung preman itu.

Lelaki di depannya menarik sebuah laci dan mengambil sebilah pisau. Bilah mata pisau itu diusapkan di jari-jari preman itu beberapa kali. Dengan suara berat lelaki itu berkata, “Saya tetap beri kamu kesempatan, tapi…”

“Boss, ampun boss. Saya janji akan habisin tuh bocah,” preman itu masih saja memberontak meminta ampun. Saking takutnya, preman itu menangis di depan lelaki itu. Berpikir bahwa menangis mungkin membuat lelaki itu mengampuni dan membebaskannya. Namun kenyataannya berbeda. Ia tahu bahwa lelaki di depannya bukanlah manusia.

“Tapi hukuman tetap dijalankan!” sambung lelaki itu seraya memotong jari kelingking preman itu dengan pelan-pelan. Membiarkan pisau itu menusuk dalam jari kelingking itu dan memutus tulang serta kulitnya. Lelaki itu juga menggesek-gesek jari itu ibarat tukang jagal yang tengah memotong daging hewan.

Raungan histeris mengisi ruangan itu preman itu melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana jari kelingkingnya terpisah dari tangannya dan dilempar ke sudut ruangan. Beberapa detik kemudian beberapa tikus hitam datang, menggigit potongan jari itu dan membawanya ke sarang mereka. Darah menetes dari jemari preman itu. Melihat itu, lelaki di depannya melemparkan beberapa tisu ke wajah preman itu. “Bersihkan darahmu. Jangan sampai darahmu mengotori lantai ini,” ucap lelaki itu.

*******

Ayah Hanggini mengintip lewat jendela ketika ia mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Di sana ia mendapati Hanggini tidak sendirian. Anaknya bersama seorang remaja lelaki yang tidak ia kenal.

Hanggini turun dari motor. Ia cukup kesulitan membuka ikat helm. Zee merubah posisi duduknya. Kini ia menghadap Hanggini. Tangannya menyentuh tangan Hanggini dan menariknya mendekat. “Sini gue bantu,” ucap Zee sembari membuka ikat helm Hanggini lalu melepasnya dari kepala Hanggini. Melihat rambut Hanggini berantakan, dengan lembut Zee merapihkannya dan menyangkutkannya di belakang telinga Hanggini.

Tidak terhitung berapakali Zee mampu membuatnya menjadi seperti patung. Hanggini tetap berhasil dibuat diam. Tanpa Zee sadari, Hanggini terus menatap matanya. Mengetahui Hanggini hanya diam tidak bersuara, Zee meletakkan punggung tangannya di kening Hanggini dan bertanya, “Lo nggak pa-pa?”

Hanggini tidak dapat lagi menyembunyikan kemerahan di pipinya saat kulit tangan Zee menyentuh keningnya. Zee, mau lo apa? Satu waktu lo terasa dingin kaya salju. Tapi satu waktu lo terasa hangat, bahkan lo menghangatkan. Kasih tahu gue, Zee, mau lo tuh apa? ucap Hanggini dalam hati.

“Hei,” tegur Zee yang menyadarkan Hanggini dari lamunannya.

“Nggak, gue nggak pa-pa, ko. Ya udah, gue masuk dulu, ya. Thanks for today,” pamit Hanggini. Ia pun membalikkan badan dan berjalan menuju gerbang namun mendadak Zee memanggilnya. Dengan senyum hangat Hanggini menoleh dan memasang telinga dengan erat. Kali ini dadanya terasa dipenuhi bunga saat mendengar Zee berkata, “Jangan tidur malam-malam. Nggak baik buat kesehatan lo.”

Belum Hanggini membalas atau bahkan mengangguk. Zee sudah memakai helm, menyalakan motor dan angkat kaki dari tempatnya. Membiarkan udara membawanya, Hanggini berucap, “Lo juga, Zee.”

Hanggini terkejut saat ayahnya sudah berdiri di dekat kursi ruang tamu tatkala dirinya baru saja menutup pintu rumah. Dengan mimik curiga sekaligus pandangan menginterogasi, ayah Hanggini mendekati Hanggini sekaligus bertanya, “Kamu abis dari mana? Kenapa telfon ayah nggak diangkat? Terus, siapa yang nganter kamu tadi?” Belum Hanggini membuka mulut, ayahnya membentaknya, “Jawab!”

Hanggini menyembunyikan wajahnya dari ayahnya. Dan tanpa melontarkan satu kata pun, Hanggini pergi ke kamarnya. Langkahnya sempat terhambat saat matanya menangkap beberapa tetes darah di lantai ruang tamu. Suara tinggi ayahnya memburunya namun tidak ia hiraukan. Meski heran kenapa ada darah di lantai, Hanggini tidak terlalu memikirkannya dan pergi ke kamar lalu mengunci pintu.

Ia menjatuhkan dirinya ke ranjang lalu mengambil satu bantal dan meletakkan kepalanya di atasnya. Meski kini ia memandangi langit-langit kamar, namun benaknya pergi ke tempat lain. Iya, bangunan tua itu. Ia terhanyut dalam arus lembut perilaku Zee padanya. Saat bersama Zee, entah kenapa ia merasa nyaman. Genggaman tangan Zee memberikannya rasa aman. Saat bersama Zee, semesta seakan tersenyum padanya. Kini, saat dirinya sedang tidak bersama Zee, hanya kehampaan dan kesepian yang Hanggini rasa. Pikiran Hanggini berkecamuk. Dalam gelap ia mampu melihat bayangan Zee. Tapi.. Hanggini ragu, apakah ini semua hanya rekayasa semu? Mungkinkah kebahagiaan ini hanyalah angin lalu? Apakah perasaan ini adalah sesuatu yang nyata? Bagiamana jika esok pagi semuanya berubah kembali seperti biasa? Bagaimana jika Zee ternyata tidak benar-benar ada? Tapi kenapa? Kenapa harus Zee yang menyelamatkan dirinya? Kenapa harus Zee yang hadir saat dirinya sedang butuh orang lain? Kenapa harus Zee yang mengetuk ruang ceritanya?

Berbagai macam pertanyaan saling berperang dalam benak Zee. Menciptakan ragu yang harus ia hilangkan sendiri. Keraguan yang membuatnya tidak bisa memejamkan mata karena setiapkali ia memejamkan mata, hanya sosok Zee yang ia jumpa.

“Zee, lo lagi apa?” tanya Hanggini dalam sepi.

Di tempat lain, Zee memarkirkan motornya di samping pos ronda. Dua lelaki tua yang sedang bermain catur menyambutnya dan tersenyum padanya. Zee membalas lalu mengeluarkan ponselnya. Sudah jam sebelas malam. “Pak, izin, ya,” ucap Zee pada dua lelaki tua itu. Dengan ramah dua lelaki tua itu mempersilakan Zee.

Puluhan lentera menggantung di dekat pohon, berbaris menerangi jalanan kecil penuh bebatuan dan tanah basah. Suara-suara jangkrik memenuhi sekitar. Burung hantu memutari kepalanya saat mendengar beberapa daun kering terinjak oleh seseorang mengenakan celana abu-abu SMA. Zee menarik langkah kakinya sedikit demi sedikit. Kakinya mendarat di pinggir sebuah gundukan tanah basah yang dipenuhi rumput pendek. Sontak dadanya terasa sakit begitu matanya melihat sebuah nama yang terukir di satu batu nisan berwarna putih yan sudah sedikit kotor terkena tanah. Mata Zee panas. Bahkan ia seakan sesak tidak mampu bernafas.

Sekejap kemudian air matanya mengalir membasahi pipinya. Butiran air itu menggantung di sudut dagunya sebelum jatuh dan pecah mengenai tanah di depannya. Tangan Zee menggenggam tanah basah itu. Seakan pita suaranya hilang, ia tidak mampu berbicara bahkan untuk satu kata meski terlalu banyak yang ingin ia sampaikan.

Ia memejamkan matanya, membiarkan waktu berputar ke belakang, menjeratnya ke masa lalu. Wajah dia langsung terukir dalam pekat kegelapan. Perlahan Zee mengutarakan kerinduannya.

Hi, apa kabar?

Maaf… maaf karena udah beberapa hari ini aku nggak samperin kamu. Bukan, bukan karena banyak tugas. Bukan juga karena banyak kerjaan. Tapi karena aku belum siap buat ketemu kamu lagi. Aku nggak tau harus bilang apa ke kamu karena setiap ingat kamu, aku malah mirip anak kecil yang tersesat di hutan dan nggak tau jalan pulang. Setiap aku ingat kamu, luka itu semakin terbuka. Setiap aku ingat kamu, sakit itu semakin nyata. Aku nggak tau! Aku nggak tau apakah dalam satu tahun, lima tahun, sepuluh tahun atau bahkan dua puluh tahun lagi aku bakal terus ngerasain sakit kaya gini setiap kali kejadian itu menghampiri. Aku nggak tau caranya bebas dari ruang sunyi yang diselimuti memori hati. Aku nggak tau caranya membuat orang-orang itu pergi mengetuk pintu hati, karena setiap kali mereka mengetuk, ketakutan itu datang. Ketakutan untuk melepaskan kamu dari hati ini. Nggak! Aku belum siap untuk itu. Aku belum berani untuk membuka pintu itu.

Maaf karena sering mengecewakan. Maaf karena sering meninggalkan. Maaf karena sering pergi tanpa penjelasan. Maaf karena sering menghancurkan kepercayaan. Maaf karena sering membuat air mata itu jatuh hanya untuk menguatkan. Maaf karena tidak ada di sisimu saat kamu membutuhkan.

Kalo aja kamu masih ada, aku yakin kamu akan marah sama aku yang sekarang. Kamu akan bawel karena aku nggak ngerjain tugas. Kamu akan maksa aku buat makan karena nggak pengen aku sakit. Kamu akan nampar aku karena aku sering berantem. Kamu akan diemin aku cuman karena aku ngggak peka. Kalo kamu masih ada, aku yakin kamu akan marah karena aku jadi lebih banyak diam dan menyendiri. Tapi bagi aku, menyendiri bukan berarti membenci keramaian, hanya saja seringkali keramaian memaksa seseoran untuk menyendiri.

Aku kangen, aku kangen masa di mana setiap aku udah mulai menyerah dengan masalah yang terus datang, kamu akan mengacak-ngacak rambutku lalu dengan senyum manis itu kamu berkata, “Hidup itu bukan sekedar candaan dan tawaan. Ada bahan lainnya seperti tangisan, kekecewaan, keikhlasan, kesedihan, bahkan diasingkan dan direndahkan. Semua itu harus dicampur agar rasa yang dihasilkan mampu membuat hidup seimbang.” Setelah itu kamu akan nyubit pipi aku lalu berkata, “Masalah yang kamu hadapi saat ini adalah cara Tuhan memberimu hadiah yan berarti. Jangan pernah nyerah, ya. Aku selalu ada di samping kamu karena kamu udah ngizinin aku ada di samping kamu.”

Air mata Zee mengalir tanpa henti. Sekujur tubuhnya terasa lemas. Lidahnya terasa kaku. Namun masih ada kata-kata yang ingin ia sampaikan.

Aku minta maaf karena telah menjadi pribadi yang membosankan dalam percakapan atau perbuatan, pribadi yang terkesan menjengkelkan dengan segala bentuk perhatian yang diberikan, pribadi yang seharusnya kamu jauhkan tapi malah kamu dekatkan, pribadi yang seharusnya kamu tidak kenali tapi malah kamu cintai.

Maaf untuk kesalahan yang bahkan aku sendiri belum bisa maafkan dan melupakan.

Sebelum bangkit dari tempatnya, Zee mencabuti rumput liar yang tumbuh di tanah basah itu. Tak lupa ia membersihkan batu nisan itu meski dengan seragam sekolahnya. Meski hampir setiap minggu ia mengunjungi tempat ini, namun rasa berat untuk meninggalkan tempat ini masih sama seperti pertama kali ia menginjak tempat ini. “Aku pergi dulu. Aku janji bakal balik lagi,” ucap Zee sebelum mengecup nama yang tertera di batu nisan itu.

******

Meski sudah jam sebelas malam, trotoar jalan raya Gas Alam masih dipenuhi tukang ojek online yang memarkirkan motornya di samping jalan dan beristirahat. Begitupula dengan penjual nasi goreng, penjual pulsa elektronik, pedagang warung kopi dan lainnya. Apa yang mereka bilang bahwa ibukota lebih kejam daripada ibu tiri nyatanya keliru karena sekarang baik Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Tanggerang dan kota-kota lain lebih kejam bahkan sadis daripada pembunuh berantai atau para koruptor berdasi yang duduk di kursi nyaman gedung besar meski otak mereka sudah jelas-jelas tidak berisi.

Salah satu warga yang merasakan kekejaman kota Depok adalah bapak Martono. Ia masih harus menyuguhkan kopi hitam sampai jarum pendek sudah menunjuk jam sebelas. Pundaknya ditepuk seseorang dari belakang. Ia menoleh dan mendati Zaki sudah duduk di sebuah kursi panjang di samping tukang ojek online yang tengah tertidur.

“Kopi, Pak?” tawar Pak Martono.

Zaki menjawab, “Iya. Kopi hitam, ya.”

Pak Martono mengangguk lalu mengambil satu gelas kosong dan mengisinya dengan satu bungkus kopi hitam dan air panas. Mengaduknya lalu meletakkan gelas itu di atas wadah kecil dan memberikannya pada Zaki.

“Keluar jam berapa, Pak?” tanya Zaki sembari menerima kopi itu dan meletakkannya di atas meja. Pak Martono yang melihat belum ada pelanggan baru ikut duduk di samping Zaki. Mungkin mengobrol dengan seseorang mampu menghilangkan rasa lelahnya.

“Jam tujuh pagi, Pak. Biasanya sore-sore udah habis. Tapi tumbenan hari ini belum. Jadi ngabisin deh sampai malam. Bapak sendiri abis lembur atau gimana?”

“Iya. Banyak kasus yang masih perlu diperiksa.”

“Kasus?”

“Tugas polisi ya kaya gini, Pak. Setiap hari ada aja tambahan kasusnya. Apalagi kasus kematian perempuan di gudang waktu itu.”

Mendengar kasus perempuan itu disebut, telinga Pak Martono naik. Ada kegugupan yang menanjak di tubuhnya. Sekejap dirinya gemetar. Mulutnya terkunci rapat. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam diri Pak Martono, Zaki menegurnya, “Kenapa, Pak? Ko kaya ketakutan gitu?”

Pak Martono menyebar pandangannya. Mendapati sekelilingnya sibuk dengan dunianya sendiri, Pak Martono mencondongkan wajahnya mendekati Zaki lalu berbisik, “Saya… mau kasihtahu sesuatu, Pak, tentang kasus itu.”

Zaki menarik tubuhnya lau mengeritkan kening. “Kasus perempuan itu?” tanyanya meyakinkan.

Pak Martono mengangguk pelan. Dengan gugup dan pelan, Pak Martono berkata, “Sa…saya lihat pelakunya, Pak.” Laporan Pak Martono mengejutkan Zaki. Kasus ini memang terhambat karena tidak adanya saksi. Bak durian runtuh, Zaki tersenyum saat mendengar laporan Pak Martono. Ia melihat titik terang dalam kasus ini.

“Bapak bisa cerita lebih detail?” tanya Zaki.

Keduanya berdiri mencari tempat yang sedikit lebih sepi, khawatir orang-orang mendengar dan menyebarkan berita tanpa tahu kepastiannya. Tipikan orang Indonesia yang gemar menyebarkan berita yang ia dapat lewat ‘katanya’ atau sumber yang tidak terpercaya. Membagikan berita bahkan tanpa membaca berita itu sendiri. Di samping tiang listrik Pak Martono menceritakan detail apa yang ia lihat malam itu. Zaki mendengar sembari mencatat laporan Pak Martono di sebuah notebook kecil.

“Saya melihat perempuan itu berlari ketakutan, Pak. Ketika saya melangkah mendekat, saya melihat pelaku itu menyumpak mulut si perempuan,” ucap Pak Martono hingga laporannya selesai.

Selesai mendengar semua laporan Pak Martono, Zaki berterimakasih pada Pak Martono atas waktunya. Pak Martono pun senang dan cukup merasa lega. Bagaimana pun keluarga korban membutuhkan keadilan di negri yang keadilannya masih dipertanyakan.

Mereka berdua pun kembali ke gerobak Pak Martono dan bergabung dengan orang-orang. Baru sampai di sana, Pak Martono meminta tolong pada Zaki untuk menjaga gerobaknya karena ia ingin buang air kecil. Tentu permintaan Pak Martono diakhiri dengan hormat karena Zaki adalah seorang polisi. Ya, meskipun Pak Martono juga tahu bahwa tidak semua penegak hukum di negri ini menegakkan hukum, bahkan beberapa mereka juga perlu dihukum.

Zaki bersedia. Dengan langkah cepat Pak Martono bergegas pergi ke toilet umum di sebelah minimarket yang sudah tutup. Tikus hitam kecil harus mengurungkan niat dan usahanya mengambil santapan di sudut lantai basah tatkala melihat seseorang masuk toilet umum. Pak Martono masuk ke salah satu toilet, membuka celana dan seketika cairan berwarna kuning menyembur keluar. Si tikus memandangnya dengan tatapan kesal. “Tai! Dasar manusia! Aku pikir hewan mahluk yang kotor, nyatanya manusia lebih kotor. Apa mereka tidak pernah mendengar bahwa kebersihan sebagian dari iman? Tolol!” hardik si tikus sembari menggerakan pucung hidungnya.

Setelah mengeluarkan tetesan terakhir, tubuh Pak Martono mengigil sedetik. Ia pun menaikkan celananya lalu keluar dan berjalan menuju cermin dan tempat wudhu. Ia menyalakan kran lalu menadahkan tangan guna menampung air. Ia membasuh wajahnya beberapakali sebelum menatap cermin dan mendapati seseorang berdiri di belakangnya memakai topeng false face society dengan struktur berkerut-kerut seperti kulit orang tua.

Belum sempat Pak Martono menengok ke belakang, tangan orang itu sudah mencengkram bagian kepala belakangnya dan membenturkan kepalanya ke cermin. Seketika kening Pak Martono berdarah karena tergores pecahan kaca. Tidak hanya sekali, orang itu membenturkan kepala Pak Martono ke cermin berkali-kali hingga wajah Pak Martono bermandikan darah. Dengan sekali gesekan, orang itu melukai leher Pak Martono dengan cutter hitam. Lehernya menganga, mengeluarkan darah. Pak Martono ambruk. Wajahnya yang penuh darah bercampur dengan basahnya lantai toilet umum. Merasa belum puas, orang itu menginjak-nginjak wajah Pak Martono hingga terdengar suara retakan tulang. Melihat Pak Martono tidak sadarkan diri, orang itu berjongkok lalu mengambil jari kelingking Pak Martono dan memotongnya. Potongan jari itu ia lempar ke pojok toilet, tempat di mana si tikus melihat adegan gila yang barusan terjadi. Si tikus membelalakan mata seraya berucap, “Ternyata manusia lebih jahat daripada iblis yang menggoda anak Adam.”

Sebagai kado perpisahan, orang itu membuka celananya dan mengencingi kepala Pak Martono. Bau pesing masuk ke lobang hidung si tikus. Ia mundur beberapa langkah karena takut. Beberapa detik kemudian orang itu angkat kaki dan hilang ditelan kejauhan, meninggalkan tubuh Pak Martono yang tergeletak meregang nyawa serta si tikus yang hilang selera makan.

******

Kembali Depok dikejutkan oleh jasad seorang lelaki tua di toilet umum. Dari keadaannya, polisi menetapkan bahwa ini adalah pembunuhan. Pembunuhan itu dilaporkan berbagai macam media, bahkan beberapa media menjadikannya berita utama dengan headline, “Pembunuhan sadis kembali terjadi di Depok, apa kerja polisi?”

Dari layar televisi kamarnya, Hanggini menonton berita itu dengan wajah cemas karena belum juga kasus kakaknya terpecahkan, kini kasus pembunuhan kembali terjadi. Matanya menangkap sosok Zaki di belakang reporter yang tengah menlaporkan berita. Di sana, Zaki sibuk berdiskusi dengan beberapa koleganya mengenai pembunuhan yang terjadi barusan. Ia sempat terlihat memijat keningnya. Kembali kinerjanya sebagai polisi diuji.

Di sebrang jalan, seseorang memperhatikannya dengan tajam. Memperhatikan bagiamana Zaki menjadi orang paling dicari wartawan untuk diminta keterangan. Selepas itu, orang itu mengenakan helm dan melaju pergi.

******

Mesin motor Zee mati setelah ia memarkirkan motornya di lapangan parkir. Zee melepas helmnya dan menyangkutkannya di kepala motornya, lalu berjalan menuju kelas. Bukan Zee namanya jika tidak menjadi pusat perhatian. Tepat ketika kakinya menginjak lapangan sekolah, matanya menangkap Natasha sudah berdiri di tengah seraya melontarkan senyum hangat dengan bibir merahnya.

Zee tidak menghiraukan Natasha yang memandanginya. Namun tiba-tiba Natasha mengejarnya dan menggenggam pergelangan tangannya. Zee berhenti dan menatapnya dengan dingin lalu mengedarkan pandangannya ke semua sudut sekolah, menemukan hampir semua murid sudah berdiri di lorong, teras dan taman sekolah. Semua pandangan tertuju padanya dan Natasha.

“Lo udah mikirin tawaran gue?” tanya Natasha lembut menggoda.

Zee kembali mengarahkan tatapannya pada Natasha. Mendengar apa yang barusan Natasha ucapkan, Zee teringat kejadian kemarin. Saat Natasha memberitahunya bahwa ia tahu siapa yang menyebarkan foto seksi Hanggini. Kebimbangan melanda diri Zee.

Untuk beberapa detik Zee mematung, memikirkan jalan terbaik. Ia lihat beberapa murid sudah mengeluarkan ponsel, itu artinya Natasha sudah memberitahu mereka tentang tawaran ini. Burung-burung bertengker di pohon tingggi dekat sekolah, berkumpul dan saling bertanya apa yang tengah terjadi saat ini.

Natasha masih menatap mata Zee tanpa celah. Mendapati Zee tidak memberikan respond apa-apa, sembari menggulung-gulung rambut hitam pekatnya dengan jari telunjuk, Natasha memasang ekspresi jahat seraya berucap pelan “Ya udah, kalo lo nggak mau. Gue sih kasihan sama Hanggini. Bisa-bisa tuh anak depresi kalo foto seksi yang lain disebar sama----“

Semua mata melebar sempurna saat melihat Zee menyentuh pipi putih kiri Natasha dengan telapak tangannya dan mendekatkan wajahnya pada wajah Natasha. Bibir mereka bersentuhan dengan pelan. Natasha membiarkan Zee mengulum bibir bawahnya yang cukup tebal, membasahinya dengan ciuman yang Zee berikan. Natasha membalasnya dengan lihai sembari mengalungkan kedua tangannya di leher Zee sembari berjinjit. Dengan kedua mata tertutup, mereka berdua mempertontonkan ciuman mesra di lapangan sekolah.

Seekor burung tua melebarkan sayap kanannya guna menutupi mata anaknya dari adegan itu. “Dasar manusia, tidak kenal tempat dan waktu,” hardiknya.

Sebagian murid mengabadikan adegan itu dengan ponselnya. Beberapa dari mereka merasa iri dan terkejut. Namun salah satu dari mereka ada yang merasa kecewa, bahkan dadanya terasa dilempari batu. Murid itu berdiri di dekat gerbang, menyaksikan jelas ciuman yang dilakukan Zee dan Natasha. Mulutnya mendadak bisu. Akalnya pun terasa berhenti.

Salma yang baru saja datang dengan Nathan langsung menghampiri Hanggini yang berdiri di dekat gerbang dengan ceria karena mendapati Hanggini kembali ke sekolah. Namun keceriaannya dibalas dengan tatapan kosong Hanggini yang mengarah ke satu arah. Salma dan Nathan memandang ke arah yang Hanggini tatap. Sama seperti yang lain, Salma dan Nathan pun terkejut dengan apa yang mereka lihat di sekolah. Salma langsung menengok ke arah Hanggini dan memeluknya.

“Ha, kita pergi sekarang,” ucap Salma.

Ucapan Salma dibalas dengan air mata yang turun dari sudut mata Hanggini. Air mata itu membasahi pipi mungilnya. Kenapa mesti ada rasa sakit yang menghampiri bahkan sebelum kisah itu kita jalani? Kenapa dadanya terasa sesak? Kenapa semesta selalu memberikan kejutan yang tidak bisa ia tebak? Kenapa ia harus kembali mengalami patah saat dirinya baru menemukan orang yang ia harap mampu menumbuhkannya? Apa kini ia harus mengucapkan selamat tinggal pada orang yang ia kira tidak akan meninggalkannya? 

Ternyata mengobati hati dengan membuka hati tidak selalu mengobati.

Tidak menyadari keberadaan Hanggini, Zee melepaskan bibir Natasha dengan wajah dinginnya. Sedangkan Natasha terlihat sangat bahagia. Ia tidak menyangkan jika Zee mampu memberikan sensasi yang tidak pernah ia dapat dari cowok lain. Selepas mencium bibir Natasha, Zee bertanya pelan, “Siapa pelakunya?”

Natasha mendekatkan mulutnya di telinga Zee dan membisikkan suatu nama. 

Komentar

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat
    ayo segera bergabung dengan kami di ionpk.biz ^_$
    add Whatshapp : +85515373217 || ditunggu ya^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer