Bab Satu - Kenapa Harus Kenapa.
************
Ekspektasi
seringkali membuat diri lupa bahwa ada hal yang harus diterima tanpa perlu bertanya.
Lalu, sakit hati adalah dampak tingginya ekspektasi. Berbagai macam pelajaran
dapat diambil saat diri sedang merasa kehilangan. Mempelajari hal yang
menyakiti adalah cara untuk mengerti dan memahami titik baik dari Tuhan yang nggak
kamu mengerti. Mungkin semesta terlalu jahat padamu. Ia mengirimmu padaku cuma
untuk memberitahu bahwa semua manusia punya perasaan, namun nggak sedikit dari
mereka yang membunuh perasaan. Egoisme seringkali membuat manusia berubah bak
hewan buas yang lepas dari kandang ditemani rasa lapar. Ketika itu terjadi,
jangan biarkan nafsumu membuang akal sehatmu nggak karuan.
***********
Langit biru masih membentang di atas. Angin kencang memaksa pohon berdansa tanpa ada lagu yang menemani mereka. Lalu lalang motor dan mobil menciptakan kupalan polusi yang memaksa manusia memakai masker jika nggak ingin mati. Di bawah sebuah atap kecil berwarna putih, terlihat dua insan sedang terburu-buru pergi, salah satu dari mereka menyempatkan waktu untuk berbicara pada seorang anak kecil laki-laki berumur 12 tahun yang akan membiarkan kebencian terhadap orang tuanya tumbuh tidak terkendali. Kebencian yang membuatnya menghapus catatan indah bersama orang tuanya, kebencian yang menutupi sisi maafnya, kebencian yang membuatnya tidak lagi ingin mengenal orang tuanya.
“Kita harus pergi sekarang, Wulan,” ucap seorang pria
berbadan besar dengan tinggi sekitar 170 cm, berkulit sawo matang. Di wajahnya
tumbuh bhrewok tipis berwarna putih. Wajah cemas tidak mampu ia tutupi.
“Kasih waktu aku 5 menit lagi. Aku masih ingin bicara dengan
dia,” jawab seorang perempuan berambut panjang hitam indah, dengan bentuk mata
harimau, hidung mancung dan kulit putih. Ia menjawab tanpa menoleh ke sang pria.
Pria tersebut memejamkan mata dan menarik nafas panjangnya
lalu membuangnya pelan. Ia tak kuasa melihat adegan perpisahan seperti ini.
Matanya berkali-kali berkaca, berkali-kali pula ia seka tanpa ada yang
mengetahui. Dadanya seakan dipukul keras oleh perbincangan dua insan yang tidak
bisa ia lepas dari kehidupannya, kepalanya seakan ditusuk oleh benda tajam yang
disebut sebagai kenangan.
“Reza, Reza harus kuat, ya. Reza harus tumbuh jadi anak yang
baik dan tegar,” ucap perempuan tersebut dengan suara lirih menahan air mata
yang akan keluar mengalir ke pipinya. Lebih daripada suaminya, perempuan ini
merasakan jantungnya ditarik dari dalam, ia dibuat seakan menjadi mayat hidup
saat ini. Paru-parunya seakan ditekan oleh mata darah dagingnya sendiri. Sesak.
Kembali waktu memutarkan memori saat ia bertengkar dengan kematian, saat-saat
di mana ia berusaha mempertunjukkan dunia pada anaknya untuk pertama kalinya,
saat-saat di mana ia sudah bertawakkal pada Tuhan, apabila ia tidak hidup setelah
ini, maka anaknya harus tetap hidup agar
bisa melihat dunia yang luas, dunia yang tidak akan pernah habis oleh
peperangan kebenaran dan kebatilan, dunia ilusi yang dianggap sebagai
kenyataan, dunia yang mampu mengajarkan semua hal yang diinginkan oleh mahluk
Tuhan. Dibalik suara lirih perempuan itu, ada rasa khawatir yang besar sebesar
lautan, khawatir anaknya akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak semestinya,
pribadi yang terdiam diri karena kebingungan saat menghadapi berbagai jalan
yang bercabang, pribadi yang selalu menunduk saat orang lain menindas, pribadi
yang takut mengutarakan suara untuk kebenaran, pribadi yang menerima semua hal
tanpa saringan, dan pribadi yang menjadi wasilah setan dalam menjerumuskan
manusia lainnya ke lubang kegelapan.
“Ibu mau kemana? Ibu dan Ayah mau kerja? Pulang jam berapa?
Kita jadi makan malam bareng?” tanya anak kecil tersebut sembari melebarkan matanya
menatap dalam ibunya yang sedang menyembunyikan sesuatu. Lebaran mata anak
kecil itu seakan bercerita tentang kerinduan yang ia rasakan nanti, sebuah
harapan yang tidak kenal perwujudan. Ikatan batin di antara anak dan Ibu memang
lebih kuat daripada ikatan apapun. Berkali-kali, pemimpin agung umat Islam,
yang namanya tidak akan tenggelam oleh zaman dan tempat, menekankan pada
manusia secara umum betapa tingginya kehormatan seorang Ibu dari aspek agama
dan kemanusiaan. Sungguh biadab jika seorang manusia tak lagi ingin mengenal
Ibunya, tak lagi memperhatikan Ibunya, tak lagi menganggap Ibunya manusia,
karena kesibukan duniawi yang tidak pernah akan berhenti. Setidaknya, hal-hal
itulah yang akan menjadi titik perang besar dalam dada anak kecil itu. Dirinya
dilema oleh terjangan yang dihasilkan oleh rasa sakit hati dan sifat
mengampuni.
“Ibu dan Ayah harus pergi. Ada urusan yang harus Ibu dan
Ayah selesaikan,” ucapnya lirih, “nanti ada Om Edy yang jagain kamu.”
“Tapi, nanti Ibu dan Ayah
pulangkan?” tanyanya dengan nada harap.
Perempuan tersebut menunduk dan berlutut di hadapan anaknya,
ia memejamkan mata benar-benar tidak kuat melihat ekspresi anak satu-satunya
yang ia sayangi, ekspresi tidak ingin ditinggali, ekspresi tidak ingin
disakiti, ekspresi tidak ingin dibiarkan sendiri. Buah hati terbaik yang
dikirim Tuhan. Harta paling berharga yang tidak pernah bisa dibeli dengan
apapun. Titipan Tuhan yang akan ia jaga bahkan jika maut memisahkannya. Darah
daging yang ia lahirkan, kini harus ia lepaskan. Senyum yang selalu bisa
melepaskan kepenatan dan memberhentikan masalah serta meluruskan persimpangan,
kini harus ia patahkan. Kulit yang mampu membuat dinginnya dunia menjadi
kehangatan, kini harus ia jauhkan. Betapa gagalnya aku menjadi seorang Ibu,
memberikan persoalan hidup yang belum semestinya ia tanggung, membiarkannya
tumbuh tanpa belaian orang tua, batin Ibunya bergejolak.
“Wulan, sudah waktunya,” seru Pria tersebut meninggikan nada
bicara sembari melihat jam arlojinya.
“Tapi mas…..,”
“Kita harus pergi!”
“Bu,” panggil anak kecil tersebut dengan nada yang mampu
menghancurkan pertahanan ibunya yang sedang berusaha dibangun.”Ayah kenapa
ingin cepat-cepat pergi? Ayah marah sama Reza? Ayah marah karna Reza numpahin
kopinya kemarin? Atau Ayah marah karna Reza lupa ngerjain PR?”
Ibunya menggeleng dan berkata, “Ibu dan Ayah sayang sama
kamu, nak. Kami enggak pernah marah sama kamu. Kamu sumber kebahagiaan kami,
bukan kemarahan kami.” Perempuan itu menyeka air matanya yang sudah terbendung
di sudut matanya lalu kembali berkata dengan raut wajah bahagia yang ia
usahakan, “Oh ya, semua makanan dan
persiapan sekolah kamu sudah Ibu siapkan di lemari, nanti ada Om Edy yang bantu
kamu.”
“Kalo Ibu dan Ayah sayang sama aku, kenapa aku ngerasa ada
yang beda?”
“Enggak sayang, enggak. Enggak ada yang beda, hanya waktu
sering memaksa kita untuk menjadi beda.”
Suara motor Om Edy terdengar masuk ke halaman rumah, ia
turun dari motornya dan berlari menuju beranda rumah untuk menghampiri kami.
Wajahnya basah oleh keringat. Dadanya naik turun tak beraturan, seakan ia baru
saja menyelesaikan lomba lari.
“Semua sudah siap?” tanya pria tersebut melihat tajam Om Edy.
Om Edy mengangguk dengan wajah yang membeku. Beberapakali
lirikannya mengarah pada anak kecil yang sedang menunduk lesu melihat raut wajah
ibunya. Ada rasa iba yang jatuh pada lubang hatinya. Semoga tidak ada benci
yang tumbuh di lahan hatimu. Harapnya dalam hati.
“Edy, ” Pria tersebut menaruh genggamannya di bahu Om Edy,
mencengkram kuat seakan menguatkan sesuatu lalu berkata, ”saya dan Wulan harus
pergi sekarang sebelum ia datang. Kamu harus janji sama saya untuk selalu ada buat
Reza. Anggap dia seperti anakmu.”
Lagi-lagi Om Edy tidak menjawab kecuali mengangguk pelan
dengan mengigit bibir bawahnya seakan menahan sesuatu.
“Terima kasih,” ucap pria tersebut tersenyum. “Wulan,”
panggilnya menengok ke arah perempuan yang masih menunduk memejamkan mata.
Kembali semesta dihadapkan oleh drama perpisahan yang
menyakitkan, kedua tangan kecil anak itu terangkat, ia tempelkan
jemari-jemarinya di pipi ibunya, ia usap air mata ibunya yang tahu-tahu sudah
mengalir pelan membasahi pipi halus itu. Ia tatap mata ibunya dalam, semesta
lahir dari mata ibunya, mata yang selalu terbuka untuk dunia, mata pertama yang
mengeluarkan air mata bahagia saat anak kecil itu lahir, mata yang selama ini
menjadi jendelanya, mata yang indah, lebih indah dari permata.
Hati perempuan itu semakin remuk, tangisnya pecah bak gelas
bening yang sengaja dipecahkan. Ia memegang punggung anaknya, menariknya
mendekat dan mendekap anak kecil itu dengan erat seakan ada tali abadi yang
mengikat mereka berdua, tali batin yang tidak mampu untuk diputuskan oleh
siapapun dan apapun.
“Aku sayang sama Ibu,” ucap anak kecil itu seakan mengerti
dan faham apa yang seharusnya ia ucapkan ketika perpisahan datang tanpa
diundang. Perempuan melepaskan pelukannya, berdiri dan menarik nafas mencoba
menguatkan dirinya sendiri, melepaskan apa yang seharusnya tidak dilepaskan
adalah hal yang sulit direalisasikan, namun itulah yang dimaksud dari mengikhlaskan.
Perempuan itu membungkuk sedikit dan mendaratkan ciuman di kening anak kecil
tersebut.
“Ibu mohon jangan pernah benci ibu,” ucap Ibu itu pelan dan
lirih, suara itu sangat pelan hingga tidak terdengar oleh siapapun, termasuk
buah hati satu-satunya. Ucapan yang sebenarnya ia terbangkan pada Tuhan, dengan
harapan Tuhan yang Maha Mendengar mau mengijabahnya.
Pria tadi mendatangi si perempuan dan si anak kecil, menarik
tangan si perempuan dengan sedikit paksa. Perempuan itu memanjangkan tangan
seakan ingin mencapai anak kecil itu, menciumnya sekali lagi, memeluknya sekali
lagi, dan selalu menanamkan kebaikan dan perkataan agar tidak ada rasa sakit
hati yang menjalar di hati. Tanpa disadari oleh siapapun, rahang anak kecil itu
mengeras, matanya berhenti berkaca-kaca, ia menyeka air mata yang sudah berada
di ujung mata dan tanpa dilihat oleh siapapun, jemarinya mulai membentuk sebuah
tinju.
Langit memberikan nada peringatan akan turunnya hujan,
warnanya berubah menjadi abu-abu kegelapan. Tak butuh waktu lama, langit
menyirami bumi dengan rintikan deras air yang pecah mengenai tanah. Dari dalam
rumah, anak kecil itu masih memperhatikan ibunya berteriak memanggil namanya
dengan bahu yang sudah dicengkram erat oleh ayah. Anehnya, hati dan akalnya
seakan memaku kakinya untuk tidak mengejar, menjahit mulutnya untuk tidak
membalas teriakan, dan membungkus mata dan telinganya untuk tidak melihat dan
mendengar suara lirih ibunya. Apakah ini yang namanya mengikhlaskan? Atau ini
semua hanya jebakan dari setan agar ia tidak lagi memedulikan Ibunya?
Om Edy mendekati anak kecil itu, ia berdiri di depan anak
kecil itu, memegangi kepalanya dan membenamkannya di perutnya sembari
mengusap-ngusap pelan keponakan satu-satunya. “Mereka orang tua yang baik, Reza.”
Perkataan Om Edy seakan memberi pesan untuk mematikan rasa
yang baru tumbuh, seakan ingin memotong dan menginjak tumbuhan yang orang-orang
sebut ‘dendam’, seakan mempertahankan kenangan yang telah diukir oleh Ayah dan
Ibu. Maaf, Om. Usaha om sepertinya tidak berhasil, karena mulai saat ini,
mereka bukan lagi orang tuaku, mereka bukan lagi sosok yang aku rindukan,
mereka bukan lagi sosok yang aku kagumi, mereka bukan lagi sosok yang aku
cintai, mereka bukan lagi sosok yang aku simpan dalam hati, mereka bukan lagi
sosok yang aku ingin temui, mereka bukan lagi sosok yang aku doai, karena bagiku
sekarang, mereka telah mati. Entah, dengan jasad yang benar-benar mati atau
memang akalku yang mengubur mereka. ucap anak kecil itu dalam hati.
*******************
Cerita tadi adalah cerita tentang hari terakhir gue melihat Ayah
dan Ibu, atau sepertinya sudah enggak pantas lagi bagi gue memanggil mereka
dengan sebutan ‘ayah’ dan ‘ibu’, karena mereka berdua memang tidak cocok
disandingkan dengan dua sebutan indah itu. Keputusan mereka untuk hilang di
hari terakhir itu berhasil menghapus memori mereka dari catatan hidup ini,
mereka salah karena kesalahan mereka sendiri. Tidak akan ada tempat kosong bagi
mereka, karena semua sudah terisi oleh luka. Bukankah kesalahan tidak mengenal
usia dan kuasa? Jadi, sah-sah saja bagi gue mengatakan bahwa mereka salah.
Untuk urusan memaafkan atau tidak, itu lain lagi. Toh, tidak semua kesalahan
harus dimaafkan.
Sudah 6 tahun semenjak mereka pergi tanpa pernah kembali tanpa
ada alasan yang pasti, meninggalkan gue sendiri meski mereka berkata bahwa Om
Edy selalu berusaha menemani. Namun, kesendirian adalah apa yang dirasakan, bukan
apa yang diperlihatkan. Siapa sangka, kecupan terakhir Ibu – baiklah gue akan
menggunakan sebutan itu bagi mereka berdua, agar mempermudah gue bercerita -- adalah kecupan yang tidak akan pernah gue
rasakan lagi, kecupan dengan maksud meninggalkan, kecupan dengan tanda
perpisahan. Tidak ada lagi makan bersama dibarengi tawa, tidak ada lagi usapan
rambut ketika gue terbangun dari tidur, tidak ada lagi pelukan hangat yang
memberi semangat, tidak ada lagi hal-hal yang dilakukan oleh keluarga, tidak
ada lagi teh manis hangat buatan Ibu, tidak ada lagi mie rebus buatan Ayah saat
Ibu sedang tertidur lelap, tidak ada lagi olahraga rutin yang memberikan gue
dan Ayah waktu khusus untuk bersama, tidak ada lagi pengingat belajar dan
mandi, tidak ada lagi catatan yang harus dicatat. Semua pergi tanpa ada
kepastian untuk kembali. Semua telah mati meninggalkan bekas yang tidak akan
pernah gue hilangi.
Untuk Ayah dan Ibu,
Terima kasih sudah menanamkan kasih sayang padaku,
menumbuhkannya dan menebangnya. Tepat hari di mana kalian pergi, kalian sudah
mengganti tumbuhan kehangatan dengan tumbuhan kebencian yang tumbuh dengan
siraman benci karena kalian telah pergi tanpa pernah kembali. Kebencian ini
akan aku rawat seperti yang kalian inginkan. Jika suatu saat kalian datang
kembali, entah di dunia nyata atau alam baka, Jangan harap akan bertemuku lagi.
Karena mulai hari itu, aku bukan anak kalian lagi.
**********************
Bunyi alarm dari
handphone gue membuyarkan kegiatan gue bersama Lisa blackpink yang
sedang bermain pasir di sebuah taman kecil bernuansakan Korea, ditemani Sasuke
dan Sakura yang sedang duduk di sebuah ayunan berwarna hitam. Terlihat lalu lalang
naga-naga yang mirip sekali berada di film How to Trains Dragon, ya
seperti itulah kira-kira judulnya. Hingga ketika Lisa dan gue sedang asik
membangun istana pasir, ia dengan sengaja mencium pipi kiri gue. Pipi gue berubah panas,
bukan karena terbakar, melainkan karena bibir tipisnya yang sejenak menempel di
pipi gue.
Ciuman dari Lisa? Hadiah terbaik. Lisapun menyentuh
pipinya, memberi tanda untuk membalas ciumannya. Gue mengangguk dan mendekat ke arahnya. Lalu.....
Siraman kencing dari salah satu naga
membuyarkan semuanya, termasuk mimpi gue.
04.30 WIB.
"Astaghfirullah, mimpinya putus."
Gue membuka dan menutup mata, beberapakali gue menguceknya dengan jari
telunjuk. Entah, gue merasakan tubuh gue terasa lemas, sulit untuk digerakkan,
seakan gue baru saja melakukan olahraga berat. Ketika hendak tidur
kembali, gue merasa nggak nyaman di area celana gue. Atas dasar keenggaknyamanan
itu, gue mengintip sedikit ke dalam celana gue dari balik selimut.
“Aduh!! Mandi wajib deh."
Sebenarnya, gue males banget buat
mandi besar. Lebih tepatnya, gue males banget buat ke kamar mandinya. Cuman kalo gue enggak mandi,
sholat gue enggak sah, dan kalo enggak sah, gue enggak bisa dapat pahala, kalo
gue enggak dapat pahala, gue enggak bisa masuk surga, kalo gue enggak masuk
surga, gue enggak bisa ketemu bidadari. Alah, panjang banget. Iya, panjang
banget harapan gue.
Dengan usaha keras dan didorong oleh niat yang
besar, gue bangkit dari kasur dan duduk sebentar guna mengembalikan
ruh gue secara sempurna yang baru aja keluar dari badan gue. Mungkin dia sedang rekreasi karena
merasa bosan tinggal di jasad gue. Untuk mengembalikan ruh gue, gue memakan
waktu 1 menit, bukan 15 detik seperti yang ada di game Point Black atau durasi cewek bikin
boomerang di instastory. Kecuali kalo tuh cewek ternyata Awkarin, yang kalo
bikin instastory banyaknya masyaAllah, lebih banyak daripada bulu ketek om Edy.
Merasa kesadaran gue sudah kembali total, gue turun dari tempat tidur
dan berjalan menuju kamar mandi. Gue mengambil celana pendek,
kaos pendek dan celana dalam
sebagai pakaian ganti. Dan tak lupa, handuk berwarna putih
yang udah berubah menjadi coklat karena terkontaminasi dengan daki, sekaligus memang belum
dicuci.
Setelah mandi besar. Gue melihat jam dinding yang menempel
di dinding kamar gue. Jarum pendek jam udah menunjuk ke arah 5 dan jarum
panjangnya sudah menunjuk ke arah 3.
Suara adzan subuh terdengar dari arah kanan. Lafaz-lafaz indah
dikumandangkan oleh seseorang dengan nada tinggi dan indah bak penyanyi papan
atas yang sedang konser di depan ribuan fans dan haters.
"Mari kita sholat subuh."
Gumam gue dalam hati.
Dengan memakai sarung bermotif
kotak-kotak, baju koko berwarna putih dan peci hitam, gue bergegas ke masjid karena takut ketinggalan jamaah.
Untungnya, ketika gue sampai disana, sholat jamaah belum dimulai, itu gue ketahui dari tidak
adanya sandal yang tergeletak di depan masjid kecuali sepasang sandal berwarna
putih berbahan karet. Gue meletakkan sendal gue di tempat aman, sangat
aman. Di
samping batu nisan Alm Haji Somad, pembangun masjid ini.
“Sebentar,” tutur gue, “ko, sendalnya cuman satu ya.” Gue
menggaruk kepala gue, heran.
Gue masuk ke dalam mushola dan mendapati pak Acu sedang
menggelar sajadah panjang berwarna coklat yang dicampurni kemerahan, dengan
gambar ka’bah di atasnya.
"Assalamualaikum, Pak Acu,"
sapa gue pada Pak Acu, pengurus mushola Al-Hidayah, sekaligus seseorang yang baru aja gue dengar
suaraya ketika
mengundangkan adzan. Iya, dialah pemilik suara perak yang baru saja gue dengar.
"Walaikumsalam warahmatullahi
wabarakatuh," balasnya dengan balasan lengkap dan jelas. nggak seperti remaja
sekarang yang cuma membalas pesan dengan huruf Y atau OK atau
SIP .
"Sholat jamaahnya udah selesai, Pak?” gue
celingak-celinguk memastikan mendapatkan sosok lain selain gue dan pak Acu.
Yang pastinya manusia, bukan mahluk halus.
"Selesai? Hahahaha." Pak Acu tertawa,
memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang sudah hilang satu persatu.
Keheranan gue bertambah dengan respond pak Acu, sepertinya kata-kata gue barusan salah nih.
"Jamaahnya enggak pada datang. Ya
udah, mari kita sholat berjamaah," ajaknya sembari menggelar dua buah sajadah
dengan bermotif Ka'bah ditengahnya.
"Yang lain, Pak?”
"Yang lain sibuk dengan mimpi
mereka. Sibuk dengan kerjaan mereka. Mereka cuma inget Tuhan kalo lagi dalam
keadaan di bawah. Sudah,
tidak usah difikirkan. Tidak semua manusia menerima hidayah, namun hidayah
selalu datang pada siapa yang meminta."
Kalo difikir-fikir, direnungkan dan dicermati, kata-kata pak Acu memang benar
dan menyentil otak bagi manusia yang punya otak. Manusia diciptakan sebagai
mahluk yang unik, dan salah satu yang membedakan manusia dengan mahluk yang
lain adalah akal, sarana untuk berfikir. Namun di jaman sekarang, jaman di mana
nafsu lebih dikedepankan daripada akal, manusia tidak lagi peduli dengan akal.
“Manusia kerapkali sibuk dengan perkara
duniawi hingga lupa untuk kembali, namun pas lagi susah dan dapat musibah, ia
cepet-cepet cari Tuhan
dan meminta ”
Setelah melaksanakan kewajiban sholat, gue mengenakan sandal
dan hendak bergegas pulang.
“Ya udah, Pak. Saya pergi dulu ya.”
“Pergi ke mana, Za?” tanya Pak Acu seakan menahan.
“Ke rumah, Pak,” jawab gue bingung dengan pertanyaan pak
Acu. Bukannya udah jelas-jelas ya, kalo subuh-subuh gini, pakai pakaian Islamic
dan habis sholat subuh, ya pasti tempat selanjutnya adalah rumah, masa gue mau
buat prank jadi ustadz palsu, terus gue uploud di YouTube. Oh ya, ngomongin
masalah prank di youtube. Jujur aja nih, gue udah muak banget sama
konten-konten prank di youtube, terserah deh, mau prank lo jadi gembel kek,
atau buang-buang uang kek, atau nyanyi dalam mobil kek, atau pocong-pocongan
kek, atau hipnotis-hipnotisan kek, atau apa deh terserah. Sumpah! Gue muak
banget lihat kaya gituan. Gue cuman pengen youtube diisi oleh konten-konten
yang beredukasi, bukan cuman ketawa sana-sini. Demi uang, youtuber bersedia
membodohi masyarakat. Heran.
“Kirain…”
“Kirain apa, Pak?”
“Kirain mau bikin video prank jadi ustadz palsu.”
Lah? Ko nih bapak-bapak bisa baca fikiran gue? Apa
jangan-jangan ada yang bisikin Pak Acu? Subuh-subuh gini biasanya setan masih
tidur cyantik ala Syahrini. Terus siapa yang bisikin pak Acu? Halah, bodo amat
deh, enggak penting bagi gue ngomongin gini.
“Hati-hati,” balas Pak Acu sembari duduk bersila memegang
Al-quran, kitab suci umat muslim.
“Hati-hati di jalan, Pak?”
“Hati-hati nabrak, masih subuh nih. Gelap.”
Buset! Pak Acu kira mata gue hitam semua apa? Jangan salah,
nih mata bukan sekedar mata, nih mata tajam kaya mata Mba Najwa Shihab, kalo
sekali dilihatin, behhh…..tewas di tempat. Bangun-bangun, malaikat Izrail udah
nongkrong di samping sambil bawa senjata tajam kaya begal sambil Senyum
menyeringai dan ngomong pakai bahasa malaikat yang kalo lo translate jadinya
gini, “Nih hamba nyusahin gue aja deh. Mati lo enggak keren banget dah. Masa
cuman gara-gara dilihatin si Reza, langsung tewas.”
Setelah pamit pulang, gue keluar dari gerbang masjid dan
berjalan pelan menuju rumah sambil membuka kancing baju koko gue satu-persatu
karena merasa sholat sudah selesai dan gerah. Di pertengahan jalan, tiba-tiba
terdengar suara seorang cewek, menahan kaki gue melangkah lebih jauh.
“Loh, kenapa dibuka kancingnya, Za? Gerah?” tanyanya dengan
nada merdu dan lembut.
Ini orang-orang Kenapa dah? Bisa tahu apa yang gue fikirin
dan rasain. Tadi pak Acu, sekarang giliran Aisyah.
“Eh, Ada Aisyah,” ucap gue sambil membelalak kaget sambil
menelan ludah kira-kira satu liter. Kancing
yang tadinya udah terbuka, kembali lagi gue kaitkan di lobangnya.
“Tadi ada anu, ada--,” lidah gue beku bak es batu yang lagi
dingin-dinginnya. Kalo lo pada mau protes, ‘Emangnya ada es batu enggak
dingin?!’ jawaban gue, ‘Ada, es batu kalo lagi demam!’
“Lebih baik dibukanya di rumah aja, Za. Malu kalo dilihat
orang-orang. Ya sudah, aku pulang duluan, Za. Assalamualaikum,” pamit Aisyah sembari
tersenyum simpul dengan wajah sedikit merah. Entah merah karena malu-malu mau
atau merah karena malu-malu mual melihat gue. Mukena putih yang mengelilingi
wajahnya dan membalut badannya hingga lutut kaki ini membuat subuh dingin ini
menjadi hangat.
Gue mengangguk, mengiakan. “Walaikumsalam warahmatullahi
wabarakatuh,” balas gue dengan balasan Pak Acu, sempurna dan jelas. Mata gue
masih mengikuti ke mana dia pergi.
Aisyah. Putri sulung Haji Abdullah, haji pelit yang udah
berkali-kali naik turun haji. Haji yang memiliki kumis tebal bak ulat bulu
warna hitam itu memang beruntung punya Putri secantik Aisyah, entah Aisyah
beruntung atau tidak punya abah yang jago banget ngitung beras yang jatuh dari
tokoknya.
Pernah pada suatu hari, gue sedang membeli telor ayam di
tokonya, betapa beruntungnya gue ketika mendapati yang menjaga kasir saat itu
adalah Aisyah, cewek yang wajahnya mirip banget sama influencer Dianty Annisa
ini memang menjadi daya Tarik sendiri buat para pembeli, khususnya anak-anak
remaja sekeliling rumah gue. Di bawah terik sunrise gue mendatangi toko
itu, sinar matahari menyirami wajah gue, membuat wajah gue cerah seperti
manusia yang dapat cahaya ilahi, atau seperti selebgram-selebgram yang kalau selfie
harus dapat cahaya sinar mahatari guna membuat wajahnya berkilau seperti
piring yang dicuci pakai sunlight.
“Assalamualaikum,” sapa gue sambil setengah menunduk meski
mata gue tetep aja mengambil kesempatan melirik ke arahnya. Jadi anak sholeh
pada saat-saat ini memang menguntungkan, sebuah kesempatan dalam kesempitan.
“Walaikumsalam,” balas Aisyah tersenyum sambil menunduk
mengikuti gue, bedanya adalah mata dia benar-benar menunduk, tidak melirik ke
arah gue. Awalnya, gue fikir, apa penyebab Aisyah enggak melirik ke arah gue?
Apa karena masih ada jejak iler nempel di muka gue? atau jidat gue kurang
hitam? Atau celana gue kurang cingkrang ? atau karena bhewok gue belum tumbuh?.
Ternyata memang Aisyah berupaya menjaga pandangannya dari lelaki asing.
“Aisyah, apa kabar?” tanya gue berupaya membuat waktu lebih
lama dengan berbasa-basi.
“Alhamdulillah, baik.”
“Sama, Reza juga baik.” Tanpa perlu ditanya, gue sendiri
yang menyampaikan keadaan gue.
“Hari ini sekolah?” lanjut gue bertanya. Pokoknya,
kesempatan mencari informasi tentang Aisyah kali ini enggak boleh gue lewatkan.
Kesempatan kaya gini enggak datang dua kali, karena kalo datang dua kali,
namanya Bukan kesempatan, melainkan keberuntungan.
Aisyah menutup mulutnya menahan tawa. Ia menarik nafas dalam
dan menghembuskannya pelan. Sebentar, nih cewek kesambet jin kurir barang atau
gimana? Kok ketawa-ketawa sendiri.
Tangannya terangkat dan menunjuk ke kalender yang menempel
di dinding dekat kasir.
“Ini hari minggu, Za. Sekolah pasti libur.”
Saat itu, mental dan pertahanan gue jatuh runtuh tanpa
kembali utuh. Betapa bodohnya gue lupa karena hari ini hari minggu. Ini pasti
gara-gara kalender rumah gue dijadikan bungkusan cabe sama bawang, makanya gue
enggak pernah tahu hari ini hari apa.
“Ohhhh,” gue menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal,
sebagai tanda bingung harus bereaksi seperti apa. “Berarti hari ini enggak
sekolah ya?” tanya gue kembali dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
Jangan salahkan gue, kalian pasti pernah merasakan kebingunga ketika sedang
melakukan pendekatan.
Kembali tawa kecil terdengar dari Aisyah. Intonasi nada
tawanya saja sudah sangat sempurna, seperti Syahrini kalo lagi ngomong,
“Cyuanttk”. Gue yakin nih, kalo para banci denger suara tawanya Aisyah,
langsung kembali jadi normal. Sehat walafiat dunia akhirat.
“Kalo lagi libur gini, biasanya ngapain, Syah?” Gue mencoba
membuka topik pembicaraan baru.
Belum sempat Aisyah menjawab, dengusan tajam seperti dengusan
Hulk terdengar dari dalam rumah yang menyambung dengan toko, dengusan siapa
lagi kalo bukan dengusan dari calon mertua yang tidak diinginkan oleh
remaja-remaja sekitar. Iya, dengusan Haji Abdullah. Dengan kaos oblong putih
yang tidak menutup bulu keteknya, sarung merah bermotif kotak-kotak, Haji
Abdullah keluar sembai mengipas-ngipaskan lehernya dengan kopiah hitamnya.
“MasyaAllah! Jakarta panasnya Naudzubillah,” raungnya kesal
sambil berjalan menuju kursi kosong dengan kursi Aisyah duduk. Kemudian duduk
sambil mengambil buku catatan panjang hasil pembelian dan penjualan.
Beliau belum sadar dengan keberadaan gue, hidungnya masih
kembang kempis seperti menahan lelah yang sangat. Sedetik kemudian, hidungnya
berhenti mengembang-ngembang, sepertinya dia mencium bau-bau upil hidup. Tatapan
matanya menembak gue. Kali ini, gue kembali menelan ludah dengan takaran 2
liter. Tatapannya seram seperti sedang menyelidiki niat terselubung gue.
“Ass— ass---”
“Kartu As? Apa kartu Indosat? Atau XL?” tebaknya yang
melihat gue gugup tak karuan.
“Assalamualaikum, Pak Haji,” salam gue sambil senyum
terpaksa karena ketakutan.
“Walaikumsalam,” jawabnya ketus. Nih Haji jawabnya ketus
banget kaya enggak ikhlas kalo gue ada di sini. Padahal, doi belum tau aja kalo
nama gue dan nama Aisyah sudah tertulis di lauhul mahfuz untuk menjadi sepasang
kekasih. Prettt….
“Udah nanya apa aja lo sama anak gue?” Pak Haji tiba-tiba
melontarkan pertanyaan yang seakan sudah tahu dengan apa yang baru saja gue
lakukan. Nada betawinya keluar sempurna.
“Enggak nanya apa-apa, Pak Haji.”
“SERIUS!!!” Matanya melotot sempurna sambil menaikkan salah
satu sudut mulutnya, wajahnya kini lebih mirip joker ketimbang muslim
berpredikat haji.
“Astagfirullah,” ucap gue kaget. “Tadi, saya nanya ….”
“YANG LANCAR KALO NGOMONG!”
“Kapan Pak Haji ngasih warisan ke Aisyah.” Jantung gue yang
saat ini terpompa dengan tidak teratur, akhirnya memaksa mulut gue mengeluarkan
pertanyaan bernada membakar, bak minyak dikasih api yang siap membakar apa saja
yang ada di dekatnya.
“KURANG AAAJAR.” Pak Haji berdiri sambil meletakkan bukunya
di meja dengan keras. “Lo nyumpahin gue mati?!”
Mampus gue. Ini namanya bukan kesempatan dalam kesempitan,
melainkan kesialan dalam kesempitan. Bukannya menjalin hubungan dengan baik,
melainkan memperburuk hubungan dengan cara yang tidak asik.
“Bukan gitu, Pak Haji,” jelas gue sambil tangan gue bergerak
kanan-kiri memberi penjelasan bahwa gue salah melontarkan pertanyaan.
“Terus?”
“Maksud saya, kapan Pak Haji ngasih restu ke saya.” Aduh,
lagi-lagi pertanyaan yang dilontarkan datang di waktu yang salah. Mirip lagu
Bung Fiersa Besari, bedanya adalah lagu itu seakan mengutarakan cinta di sebuah
hubungan antara sejoli yang tidak muncul dari kedua belah pihak, Sedangkan
kondisi gue saat ini mengutarakan kebencian di sebuah hubungan antara calon
menantu dan calon mertua yang muncul begitu saja. Bingung? Coba baca lagi.
“Enak aja! Pergi lo sekarang!” teriak Pak Haji
mengipas-ngipaskan tangannya, mengusir gue tanpa kasihan.
“Tapi, Pak Haji, saya ….” Gue berupaya bertahan karena satu
hal.
“Apa lagi?!”
“Saya mau beli telor setengah kilo,” ucap gue mengutarakan
maksud awal kedatangan gue ke toko ini.
Dengan mimik yang masih merah, Pak Haji memasukkan beberapa
telor ke dalam kantong plastic kecil hitam dan memberikannya pada gue. “Nih,
totalnya jadi 6 ribu,” jawabnya ketus. Gue memberikan uang pas dan menerima
pemberiannya lalu melirik sedikit ke telor-telor itu. “Ini beneran setengan
kilo Pak Haji? Ko isinya cuman 5?” tanya gue heran.
“Anggep aja sisanya sebagai sanksi karena lo udah nyumpahin
gue mati,” jawabnya tanpa dosa.
Nih Manusia bener-bener dah pelitnya. Masa cuman gara-gara
pendekatan dan pertanyaan yang salah, telor gue, eh maksud gue, telor ayam gue
jadi korban. Gue bacain yasin juga nih lama-lama.
“Ya udah, saya pamit Pak Haji. Assalamualaikum,” ucap gue
pelan sambil menunduk.
“Walaikumsalam,” jawab Pak Haji dengan nada kesal.
Sesaat sebelum pergi, sebuah ide muncul dalam benak gue, gue
membalikkan badan dan menghampiri kembali Pak Haji dan Aisyah yang sedang
berbincang.
“Kenapa lo balik lagi?” tanya Pak Haji masih dengan suara
tinggi.
“Saya cuman mau ngucapin satu hal sama Aisyah, Pak Haji.”
Aisyah bangkit dari duduknya dan menatap gue dengan tatapan
lembut dan serius. Dengan raut wajah yang serius, gue memanggil Aisyah,
“Aisyah.”
Ia menjawab, “Iya?”
“Kamu banyak-banyak istigfar ya punya bapak kaya Pak Haji,”
ucap gue meninggikan suara sambil kabur dengan jurus seribu bayangan.
“Innalillahi! Woi!” Pak Haji berteriak kesal sambil menimpuk
gue dengan kopiah hitamnya.
Kembali ke subuh tadi. Setelah Aisyah pamit degan seuntas
Senyum di raut wajahnya, gue hanya tersenyum tipis membalas senyumannya. Ia
pergi lalu belok kiri menuju rumahnya.
“MasyaAllah, kenikmatan apa lagi yang kamu dustakan,” ucap
gue sendirian dengan kekaguman besar. “Harus sering-sering bersyukur, nih.”
Matahari mulai muncul dari sisi timur, memberikan cahaya
indahnya sekaligus menjadi peringatan bagi manusia agar bersiap-siap melakukan
aktivitas. Setelah memasukkan buku-buku, pulpen, penghapus dan beberapa
peralatan lainnya ke dalan tas. Gue pergi ke dapur dan memasak mie goreng,
makanan sederhana yang membuat ketagihan. Setelah siap, aroma mie goreng dengan
taburan cabe diatasnya mengunggah selera dan memaksa mulut menelan ludah.
“Semua udah siap, Za?” tanya Om Edy yang baru keluar kamar
memakai sarung dan kaos gratis partai.
“Udah, Om. Om Edy kerja hari ini?”
Om Edy mengangguk sembari duduk di kursi sebrang gue yang sedang
makan mie goreng.
“Tuh air kelapanya, udah aku siapin,” kata gue melirik ke arah
sebuah gelas kaca berukuran sedang yang berdiri tegak di tengah meja makan.
“Air kelapa?” tanyanya heran mengeritkan alis.
“Air kelapa tuh bagus Om. Buat ngembaliin cairan tubuh yang
hilang. Apalagi tadi malem Om enggak makan. Bagus buat jantung agar tetap
berdetak dengan teratur.”
Om Edy mengambil gelas itu, mengangkatnya sedikit dan
menerawang-nerawang air itu dengan pandangan curiga mengarah ke gue.
“MasyaAllah, Om. Itu beneran air kelapa, bukan air kobokan atau
air bekas tai cupang,” ungkap gue melawan praduga Om Edy.
“Kamu dapat dari mana nih air kelapa?” Lirikannya masih
curiga.
“Dapet nyomot di kebunnya pak Acu kemarin.”
“Innalillahi, kamu nyolong kepala orang? Eh maksudnya kelapa
orang, Za?”
“Udah izin.”
“Kapan?”
“Pas selesai nyomot.”
“Lah? Jadi kamu nyomot dulu baru izin?”
Gue mengangguk. “Ya udah, Om. Simpen aja dosanya buat Om.
Aku berangkat sekolah dulu,” pamit gue sambil berdiri dan membawa piring bekas
mie goreng ke tempat cuci piring lalu pergi ke kamar.
Semesta tersenyum melihat Om Edy yang sedang tersenyum
bangga. Matanya berkaca-kaca. Di manapun kalian sekarang, entah masih hidup
atau mati, saya hanya ingin bilang kalo Reza tumbuh menjadi anak yang kuat dan
hebat. Batin Om Edy berkata pelan.
Gue membuka pintu kamar, menutupnya dan bergegas menuju
lemari, membukanya dan mencari-cari pakaian yang sudah lama gue ingin kenakan.
Iya, hari ini, gue akan
mengenakan seragam SMA untuk
pertamakalinya. Terasa bahagia memang, namun kalo difikir-fikir, tempat baru memaksa gue harus kembali bergaul dan mencari teman baru. Lingkungan baru memang
seringkali memaksa kita menjadi orang baru, entah karakter baru itu sesuai
dengan kita atau nggak. Yang pasti, semua butuh waktu, meski seringkali waktu
membunuh kita dengan hal-hal yang cepat dan kurang tepat.
Setelah memakai seragam sekolah, gue berdiri di depan
cermin, mengatami baik-baik tubuh gue sendiri. “Hari ini adalah hari baru buat
lo, Za. Lo lebih hebat dari apa yang orang-orang fikirkan,” ucap gue kepada
sahabat terbaik, cermin. Gue keluar kamar sembari menyangkong ransel hitam, dan
berjalan menuju rak sepatu berukuran 1 meter yang ditaruh pojok dekat pintu
rumah. Gue mengambil sepatu converse hitam dan memakainya.
Om Edy berjalan menghampiri gue dan keluar rumah sambil
menyiram tanaman-tanaman kecil yang ia beli dari toko tanaman pinggir jalan. “Kamu
naik apa ke sekolah?” tanya Om Edy tepat ketika gue sudah selesai mengenakan
sepatu.
“Naik burok,” balas gue sekenanya sembari keluar dan
menyalaminya, lalu berjalan menuju gerbang rumah.
Gue dan Om Edy sudah sangat dekat semenjak Ayah dan Ibu – sekali
lagi, biarlah gue menggunakan dua pasang kata itu untuk mereka di cerita ini –
pergi meninggalkan gue. Jadi, tidak ada lagi jarak antara gue dan Om Edy.
“Za,” panggil Om Edy dari jauh. Ia berjalan menghampiri gue
yang sedang membuka gerbang kecil berwarna hitam setinggi pinggang.
Gue menengok ke arahnya seraya berkata, “Om enggak usah
ngingetin hal itu lagi.”
“Om bersyukur kalo kamu masih inget hari ini adalah hari
ulang tahun ibumu, itu tandanya kamu masih sayang sama dia.”
“Aku berusaha melupakannya, bukan mengingatnya. Bagiku, dia
sudah hilang tidak berbekas.”
“Za, Ibu kamu---“
Belum selesai Om Edy menyempurnakan kalimatnya, gue pergi
meninggalkannya terdiam bisu melihat gue masih saja mengelak untuk mendengar
apapun tentang ayah dan ibu. Seperti yang gue bilang sebelumnya, tidak ada lagi
tempat kosong bagi mereka berdua. Waktu yang membuat gue seperti ini, menjadi
pribadi yang membenci.
Mungkin bagi kalian gue adalah anak durhaka, anak yang tidak
tahu untung, anak yang tidak pantas dikasihani atau anak yang memang pantas
ditinggali. Tapi bagi gue, rasa sakit hati karena ditinggalkan ayah dan ibu
tanpa penjelasan yang jelas sudah cukup menjadi alasan untuk menutup atau
mengkubur ingatan tentang mereka. Rasa sayang terhadap mereka sudah berubah
menjadi rasa benci, omongan-omongan warga yang menyayat hati semakin membuat
diri tidak lagi peduli, mereka memojokkan gue tanpa henti, mengatakan, ‘Kasihan
anak itu, ia ditinggalkan oleh ayah dan ibunya’, ‘Ayah dan ibunya pasti
menyesal memiliki anak seperti itu’, ‘Masih umur segitu sudah menjadi yatim
piatu’, ‘Anak yang tidak jelas tujuan hidupnya’. Lama gue menahan rasa sakit
hati ini, mencoba keluar dari lingkungan setan ini, menutup rapat-rapat
telinga, atau kalo diperbolehkan Tuhan, ingin sekali gue memotong telinga ini
atau merusaknya agar menjadi tuli. Mungkin, menjadi tuli lebihbaik daripada
harus menjadi pendengar untuk kata-kata yang tidak pantas didengar. Dan camkan
ini sekali lagi! Bagi gue, ibu dan ayah bukanlah lagi manusia yang harus
disayangi.
Sesampainya di tepi gang dekat jalan raya, mata gue
berkeliling mencari tukang ojek.
“Mang Japra!!” teriak gue melambaikan tangan ke arah seorang
Bapak berusia 40 tahunan dengan kulit yang cukup hitam pekat sedang mengenakan
jaket kulit berwarna hitam. Lalu mengangkat tangan, memberikan isyarat padanya
agar mengantar gue ke sekolah dengan cara menunjuk ke arah jalan raya.
“Siap!” balasnya teriak.
Selama di perjalanan. Mang Japra menceritakan kisah hidupnya
untuk ke 10 kalinya dalam sejarah gue berboncengan sama dia. Dia menceritakan
bagaimana susahnya dia menjalani hidup bila nggak ada ilmu. Dengan jabatan
sebagai kepala keluarga, ia harus dapat menyambung hidup dengan kerja
serabutan.
“Bagi Mang Japra, Ayah dan Ibu Reza adalah---“
“Mang Japra bisa enggak usah ngomongin mereka?” sela gue.
Ia mengangguk dan menambah kecepatan motornya. Angin berlalu
mengibaskan rambut gue yang sudah mulai panjang hingga di atas leher, sekaligus
mengibaskan kenangan-kenangan yang kembali datang, kenangan tentang ayah yang
membonceng gue dengan motornya, menerobos hujan deras hingga akhirnya kamipun
tetap saja harus berteduh. Namun di sinilah dia memberikan pelajaran
berharganya. “Reza,” panggilnya sambil menatap depan jalan raya yang penuh
dengan kendaraan-kendaraan beroda empat.
“Iya,” jawab gue tersenyum senang karena saat ini gue bisa
memiliki waktu bersama dengan Ayah.
“Allah mengirimkan hujan bukan karena benci pada manusia,
bukan juga karena ingin membuat mereka susah, apalagi mengeluh. Allah
mengirimkan hujan karena Ia memahami dan mencintai mahlukNya yang lain seperti
tumbuhan yang butuh siraman. Itulah hidup, ketika seseorang membuatmu susah
atau kesal, coba lihat keadaan itu dari banyak sisi, salah satunya dari sisi kebaikan
Allah. Allah selalu sayang dan cinta pada mahlukNya meskipun Ia seringkali
dibohongi dan disakiti. Jika suatu saat nanti ada orang yang menyakitimu,
tetaplah memandang rasa sakit itu dengan mata kebaikan. Mengerti?”
Gue mengangguk mencoba mencermati setiap kata yang keluar
mulut Ayah. Tidak pernah gue sangka, orang yang menyakiti itu adalah dia
sendiri. Lalu, apakah ada alasan untuk gue agar tetap percaya pada
kata-katanya?
Mas Japra adalah salah satu tetangga lama yang dekat dengan
Ibu dan Ayah. Jadi dia tahu tentang siapa Ayah dan Ibu. Ia selalu saja
menceritakan hal-hal yang baik tentang mereka, namun bagi gue, hal itu tidak
akan merubah kebencian gue terhadap Ayah dan Ibu.
“Gimana persiapan hari pertama kamu, Za?” tanya Mas Japra
membuka obrolan yang lain.
“Bagus, Mang.”
“Yang penting kita harus belajar yang rajin dan kerja yang
halal, Za. Jangan mau kaya anggota DPR atau MPR yang makan gaji buta,” katanya
sembari menarik gas dengan kencang, “bilangnya mau bantu rakyat, ternyata buat
rakyat makin melarat, bilangnya mau menaikkan suara rakyat, nyatanya menurunkan
harga diri rakyat, bilangnya mau mensejahterakan rakyat, nyatanya membuat
lowongan pekerjaan semakin serat.
15 menit setelah itu, gue turun dari motor supra x 125 Mang
Japra. Merogoh saku celana gue dan mengeluarkan satu lembar uang.
“Nih, mang uangnya,” ucap gue seraya memberikan uang.
“Ini kebanyakan, Za. Cuman 10 ribu aja. Ko jadi 50 ribu gini?”
“Gak apa-apa, Mang. Itung-itung buat jajannya dek Mamat.”
“Makasih ya, Za. Semoga jadi orang sukses.”
“Amin.”
Gue membalikkan badan dan melihat sebuah
label besar terpampang di depan sekolah bercat Putih. Nama sekolah gue memang cukup
besar. Bukan karena hurufnya namun karena prestasinya. Meskipun gue sendiri
cukup heran dengan nama-nama sekolah di Indonesia, seperti harapan bangsa,
tunas bangsa, pemimpin bangsa dan lain-lainnya, heran karena kenapa murid-murid
sekolah jaman sekarang itu udah "MERASA" bahwa MEREKA AKAN SUKSES DI
MASA DEPAN.
*********
Jadi, gue sih gak habis fikir sama
pemikiran murid-murid sekarang yang pemikirannya itu Buntu dan cuma memikirkan
kesenangan semata. Gue dan generasi gue memang hidup di jaman yang udah
dipenuhi dengan teknologi, media sosial menjadi cara untuk hidup, dan internet
adalah salah satu kebutuhan wajib bagi manusia. Harusnya, internet dan media social bisa menjadi jembatan
untuk memperbaiki hubungan manusia yang lebih baik. Bukan menjadi sarana
menyerang dan menjatuhkan orang yang nggak sejalan dengan kita.
“Media social udah berubah menjadi racun paling mematikan
daripada obat yang bisa menyembuhkan.”
Puluhan murid masuk ke gerbang sekolah, Beberapa dari mereka
ada yang datang diantar oleh mobil pribadi, motor pribadi atau antar jemput,
bahkan ada juga yang datang dengan kendaraan pribadi. Tampang-tampang orang
kaya, yang kalo cebok aja bukan pakai air, tapi pakai duit.
“Bismillah,” ucap gue pelan. Langkah pertama gue berhasil
gue daratkan di dalam area sekolah. Tiba-tiba, dari arah belakang Beberapa
gerombolan murid laki-laki menabrak pundak gue dan mengacak-ngacak rambut gue.
“Woi, daki setan, jalan yang bener! Jangan bengong gitu!
Lembek banget tuh badan kaya lemper!” Ucapan itu dibarengi tawa oleh yang lain.
Tahan, Za. Tahan. Ini masih hari pertama lo di sekolah baru.
Tunggu hari ke dua, baru lo habisin deh tuh mazhabnya Lucinta Luna. Dercak gue kesal dalam hati.
“Lo enggak apa-apa, Za?” tanya Rendi sambil memegang pundak
gue, menahan gue agar tidak jatuh.
Rendi. Sahabat pertama gue di sekolah ini, nanti gue
ceritain gimana gue bisa sahabatan sama nih Zayn Malik KW.
“Iya, Ren. Enggak apa-apa. Thanks ya.”
“Ya udah, cepet, Za. Kalo telat nanti malah dipanggang jadi
ayam!”
Gue dan Rendi bergabung dengan murid-murid sekolah yang
lain, berbaris menunggu kepala sekolah naik panggung dan memberi sepatah dua
patah kata penyambutan. Beberapa menit kemudian, yang ditunggu akhirnya datang
juga. Kepala sekolah yang memiliki rambut botak bagian atas dan tebal di bagian
samping kaya spons ini tertawa dan tersenyum tanpa dosa. Mengetuk-ngetuk pelan
mik di depannya dan berdeham sedikit.
“Selamat datang kepada murid-murid baru di SMA BANGSA BESAR.
Saya, kepala sekolah kalian, berharap kalian akan nyaman dan rajin di sekolah ini,
mengikuti aturan-aturan sekolah ini, dan dapat menjaga kehormatan sekolah ini. Karena
sekolah yang besar adalah sekolah yang banyak biaya. Terima kasih. Ada
Pertanyaan?” matanya berhamburan melihat para murid memasang wajah terlipat
rapat-rapat. “Baik, saya lihat wajah-wajah kalian adalah wajah-wajah tidak
sabar untuk belajar, maka saya tutup sambutan hari ini. Terima kasih sekali
lagi.”
Setelah sambutan lucu dari kepala sekolah selesai, para
murid termasuk gue bergegas
masuk ke kelas sesuai dengan nomor urut yang udah terpampang di mading
sekolah. Kelas gue berada di lantai dua, dekat dengan tong air.
Wajah-wajah baru dengan berbagai macam penampilan menarik
mata gue. Beberapa dari mereka udah saling kenal. Itu karena kami udah
melakukan masa orientasi siswa beberapa minggu yang lalu. Gue beranjak pergi
menuju kursi dengan nama gue yang tertulis di bangkunya, gue duduk sembari
menaruh tas gue di atas meja.
Jika dilihat jadwal pelajaran, maka guru pertama gue adalah pak Budiman. Guru yang disebut-sebut sebagai guru matematika terbaik satu sekolahan ini. Beberapa kabar berkata
bahwa pak Budiman adalah guru yang misterius dan dingin. Namun, misteriusnya itu
tertutupi dengan kepintarannya terhadap matematika. Ya pantas aja, dia menjadi
guru matematika terbaik di sekolah ini alasannya adalah karena nggak ada lagi
guru matematika selain dia.
Sembari menunggu pak Budiman, suara
game mobile legend terdengar dari beberapa handphone murid-murid lainnya. Suara teriak bercampur
kata-kata kasar keluar dari mulut-mulut para murid.
"Woi! Serang bego!! Serang!" teriak salah satu murid pada murid yang lain.
"Ya sabar! Gue juga lagi dalam
bahaya nih," balas lainnya.
"Makanya jangan pakai Laila goblog!!"
"Bacot lu! Dikit lagi habis nih."
"Apanya?"
"Kuota gue, njir!"
"Cepetan pakai Hotspot."
"Lu fikir gue cewe, njing.
Disuruh pake hotspants."
"Eh, selangkangan nyamuk! Hotspot! Bukan hotspants."
Ya itulah sedikit percakapan gila yang
dihasilkan oleh 2 murid penggila mobile legend, Bima dan Sakti. Gue mengenal mereka saat
MOS diselenggarakan, lebih tepatnya saat mereka bolos MOS demi bermain mobile
legend di kantin sekolah.
Murid-murid lainnya pun sama. Ada
beberapa murid cewek yang berdandan agar telihat cuantik seperti Emma Watson
meskipun jatuhnya malah seperti Mimi Peri. Ada beberapa murid yang memanfaatkan
waktu sebaik mungkin yaitu dengan tidur. Ada pula yang membaca novel Anak Rantau karya Ahmad Fuadi, terlihat
dari judulnya sepertinya si pembaca adalah pribadi yang suka petualangan. Ada juga yang membaca novel untuk menghasilkan ngantuk hingga tertidur . Hmmm…..cara yang
cukup bijak.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki sepatu
pentovel terdengar. Suara itu seakan menjadi alarm keras bagi murid-murid,
mereka membisu diam hingga si pemilik suara datang. Para murid dengan cepat
seolah ninja konohagakure merapihkan posisi-posisi mereka.
Pak Budiman masuk dengan mengenakan kemeja warna pink dan
celana bahan berwarna hitam. Sontak aja, penampilan tersebut membuat gue dan murid-murid
lainnya menahan
tawa,
hingga salah satu dari kami tak kuasa menahan tawa, dan meledaklah tawanya. Pakaian macam apa lagi nih?
Mendengar tawa murid-muridnya, Pak Budiman berhenti dan
memandang kami. "Kenapa kalian ketawa??” tanya Pak Budiman
dengan tegas. Matanya melotot ke arah kami.
"Engga apa-apa, Pak," jawab
kami sembari
geleng-geleng.
"Aneh lihat saya pakai kemeja pink?!!”
Kami semua serempak kembali menggelengkan kepala.
"Pak, Saya
boleh bertanya nggak?" kata salah satu murid cewek sembari mengangkat tangannya.
"Iya, kenapa?”
"Bapak penggemar girlband korea ya?
Blackpink? Bapak blink ya - sebutan untuk fans blackpink-?!"
"Kenapa memang? Ada masalah?” tanya Pak Budiman
dengan mata
menyala.
Ruangan ini berubah menjadi hening karena
tatapan tajam pak Budiman.
“Nanya aja, Pak,” balas murid yang bertanya.
Pak Budiman sedikit bergumam. Gumaman Pak Budiman membuat mata kami semua tertuju padanya. Bahkan kami merasa bahwa kami lebih fokus
menunggu jawaban dari Pak Budiman daripada fokus persiapan pelajarannya.
Beberapa menit kemudian...
Pak Budiman mengangguk lalu diikuti tawa
oleh murid-murid. Yang benar aja, dengan wajah seram serta kumis yang tebal
serta rambut kriting
tebalnya masih suka dengan girlband Korea.
"Keren,
Pak!! Bapak suka personil dan lagu yang mana?” tanya salah
satu murid cewek
yang sepertinya juga pecinta girlbind Korea. Pengikut aliran ini akhirnya
bertemu juga dengan pengikut lainnya.
"Saya suka Lisa dan lagu yang baru
tuh, yang judulnya da.dadada.daa."
"Judulnya tuh du.dududu.duu gitu
pak. Pakai u bukan a,”
balas murid yang lain, mencoba meralat perkataan Pak Budiman.
"Oh ya, lupa
saya."
"Terus gimana lagi pak?" balas
murid tersebut.
"Terus gimana apanya? Ya kita
lanjutkan pelajaran. Jangan pancing saya untuk membahas blackpink!”
"Yah...,"
keluh murid-murid
bersamaan.
Pelajaran pertama kami pun dimulai. Tadinya, Pak Budiman ingin
memulai pelajaran dengan pembahasan
Logaritma, eksponen pangkat yang diperlukan untuk memangkat bilangan dasar supaya
beroleh bilangan tertentu,
namun, karena ini adalah hari pertama kami, maka Pak Budiman mengisi
pelajarannya dengan perkenalan murid-murid setelah membahas sedikit tentang
pentingnya matematika dalam kehidupan. Meskipun kita semua sudah saling kenal,
namun Pak Budiman tetap bersikeras agar kita memperkenalkan diri kembali.
Beberapa nama murid dipanggil, mereka memperkenalkan nama mereka, orang tua
mereka, hobby dan lain-lainnya. Hingga tiba giliran gue untuk maju.
“Reza, perkenalkan diri kamu!” pinta Pak Budiman tegas.
Gue berdiri, berjalan ke depan kelas, membalikkan badan
menghadap murid-murid lainnya. Dengan satu tarikan nafas, gue berkata, “Nama
gue Reza, gue gak punya hobby, gue gak punya makanan favorit, dan gue enggak
punya minuman favorit. Terima kasih.”
Perkenalan yang cukup buruk menurut gue, tapi gue memang
enggak mau terlalu basa-basi, atau karena memang gue sendiri enggak terlalu
peduli dengan hidup gue. Bukankah tidak semua kehidupan kita harus diketahui
orang? Ada Beberapa hal yang memang ditakdirkan sembunyi, disimpan rapat-rapat
dalam hati, biarkan jadi makanan pribadi, karena seringkali orang lain
menjadikan itu sebagai hal yang menyakiti. Semua orang dilahirkan baik, hanya
seringkali keegoisan, kekuasaan dan keangkuhan membuat mereka jadi licik.
“Nama orang tua kamu?” tanya Pak Budiman.
Gue sudah sedaritadi yakin bahwa pertanyaan ini akan
dilontarkan, Pertanyaan yang sudah 4 tahun gue kubur-kubur, bukan karena
Pertanyaan itu sendiri, melainkan karena jawaban dibalik Pertanyaan itu. Jika
gue menjawab, maka mau tidak mau gue harus menyebut nama mereka berdua, manusia
yang Tuhan harap mampu menemani gue mengarungi kehidupan, malah menjerumuskan
gue ke dalam jurang kesakitan. Manusia yang Tuhan harap mampu menjadi sayap
gue, malah menjatuhkan dari tingginya kebahagiaan.
Puluhan pasang mata terpaku menatap gue, menunggu sepasang
nama keluar dari mulut gue. Mata gue bergerak kanan-kiri, mencari jalan keluar
agar gue lepas dari Pertanyaan ini. Sebuah ide muncul.
“Maaf, Pak. Saya kebelet mau pipis. Saya permisi.”
“Hei, Reza. Tapi…”
Tanpa menunggu jawaban dari Pak Budiman, gue pergi keluar
kelas, menelusuri lorong kelas. Kamar mandi menjadi satu-satunya pilihan gue
saat ini. Entahlah, otak gue tidak mampu berfikir saat ini.
Gue sandarkan punggung gue di tembok penuh coret-coret
spidol, kepala gue terangkat mengarah ke langit. Kembali memori kelam harus
terputar, salah satunya saat gue pertama kali masuk SD, saat Ibu dengan Senyum
bahagianya melihat gue dari luar kelas sedang duduk di salah satu bangku, gue
melambaikan tangan padanya, memperlihatkan gigi-gigi putih gue, memberi tanda
bahwa gue senang bisa memakai seragam putih merah untuk pertama kali. Ibu
membalas lambaian tangan gue dari jauh, matanya berkaca-kaca saat itu. Bahkan
saat itu, ketika Pak Guru tidak bertanya tentang orang tua gue, gue dengan
bangga akan memperkenalkan pada dunia siapa mereka, dan betapa pentingnya
mereka dalam hidup gue.
Dunia memang menyimpan banyak rahasia, entah yang sudah
jelas atau perlu penjelasan. Kini, semuanya seakan berbalik 360 derajat.
Semuanya tidak hilang, hanya sedang dalam proses pembuangan. Bukankah memori
yang buruk memang harus dihilangkan? Atau Tuhan sengaja memberikan kita
kenangan buruk untuk dijadikan pelajaran?
Saat gue merasa sudah tenang. Gue berjalan kembali ke kelas
dengan wajah menunduk, hingga tak sengaja pundak gue membentur pundak lain. Gue
menengok ke atas, melihat seorang perempuan setinggi 170 cm, dengan rambut
pendeknya yang kemerahan, bulu mata yang lentik dan kulit yang putih sedang
memegang sapu tangan dan menempelkannya di ujung matanya. Sepertinya dia sedang
menangis. Saat ia sadar gue sedang menatapnya lama, ia yang tadinya ingin
berjalan menuju kamar mandi perempuan membalikkan badannya.
Sebelum ia pergi, tangan gue berhasil mengambil pergelangan
tangannya, menahan langkahnya agar tidak pergi.
“Hei, lo enggak apa-apa?” tanya gue dengan nada peduli.
Dia menarik tangannya keras, dan berlari entah kemana. Gue
sendiri heran dengan apa yang terjadi sama dia. Matanya kemasukan debu atau dia
memang lagi akting FTV? Dari gerak-geriknay sih dia lagi casting nih, lagi
drama. Cocok buat jadi artis FTV yang judulnya tuh enggak karuan deh. Mulai
dari supirku jadi pacarku, atau pacarku jadi supirku, atau supirku adalah
pacarku, atau pacarku adalah supirku, atau supirku dan pacarku adalah manusia.
Terserah.
Gue yang pada dasarnya memang enggak peduli, memilih untuk
melupakan kejadian barusan dan kembali menuju kelas.
Tok..tok..tok. Gue mengetuk badan pintu, seketika
semua mata menuju gue. Ini ada apaan dah? Kok pada natep gue gini? Tuh mur di
leher enggak pada copot apa? Dari tadi naik turun.
“Assalamualaikum,” ucap gue sambil masuk dan buru-buru duduk
di kursi gue.
“Walaikumsalam,” jawab murid-murid serempak. Lo pada bisa
bayangin deh gimana aura nih kelas. Kaya lagi majlis ta’lim. Mata Pak Budiman
mengikuti gue saat sedang berjalan. Waduh, tuh mata nyangkut banget di gue kaya
upil.
Saat jam pelajaran sedang berlangsung.
Pak Budiman menggoyangkan spidol seakan merasa bahwa tintanya udah habis. Ia
duduk dan melihat satu persatu ke arah kami. Menajamkan mata, menunjuk ke arah
gue seraya berkata, "Kamu!
Siapa namanya? Saya lupa."
Buset, perasaan baru 30 menit yang lalu gue memperkenalkan
diri. Udah dilupain aja. Gue menengok ke arah belakang. Nggak ada orang.
“Hei, kamu! Malah nengok-nengok.”
“Saya Reza, Pak.”
“Oh ya, Reza. Ambilin saya spidol baru di ruang guru.”
"Iya, Pak."
"Kalo udah habis, itu pertanda
pelajaran udah selesai pak," celetuk
Rendi
yang kebetulan duduk di depan gue.
"Habis juga nilaimu di mata
pelajaran saya
nanti,"
ancam Pak Budiman.
Gue bangkit dari tempat duduk.
Menggeser kursi dan berjalan melangkah keluar dari kelas menuju ruang guru.
Ruang guru nggak terlalu jauh dari kelas gue, cuma dipisah 2 ruangan. Hari
pertama gue di kelas, gue udah dijadikan sebagai kurir spidol. Hitung-hitung khidmat sama
guru.
Sesampainya di ruang guru, gue
melepaskan ikatan sepatu dan melepasnya. Pintu ruang guru nggak tertutup pada
saat itu. Gue mengetuk badan pintu beberapa kali. Hingga suara salah satu guru
terdengar di telinga. "Iya. Masuk," sahutnya.
Harum wangi seperti wangi kisspray tercium oleh hidung gue.
"Assalamualaikum," salam gue.
"Walaikumsalam,"
balas beberapa guru disana berbarengan.
"Ada perlu apa, Za?” tanya Bu
Sari, guru ipa,
perempuan dengan rambut pendek itu sedang asik duduk bermain hp sambil
mengangkat hpnya, dan terdengar bunyi. Cekrek-cekrek. Ternyata lagi asik
selfie, guru jaman now.
"Maaf, Bu. Pak
Budiman minta spidol baru,”
gue menyampaikan maksud gue datang ke sini.
"Wah, pas banget," balas Bu Sari dengan nada antusias memberi harapan.
Wah. Alhamdulillah. Dilihat
dari cara Bu Sari merespeond, pasti ada nih spidol.
"Ada ya, Bu?
Alhamdulillah," kata
gue sembari tersenyum lebar lalu mengusapkan kedua telapak tangan di wajah gue.
"Ga ada, Za. Nih, ibu kasih kamu
duit 25 ribu terus kamu beli di fotocopy dekat indomart komplek."
Hah? Wah,
benar-benar pemberi harapan palsu nih. Kirain mah ada. Sama spidol aja gue diphpin,
apalagi sama manusia. Memang benar kata orang, gantungkan harapanmu pada Tuhan,
bukan pada ciptaan.
"Tapi, saya
sedang ada
pelajaran, Bu."
"Nanti ibu yang bilang ke Pak Budiman.
Biar kamu di-----"
Kalimat Ibu Sari terpotong karena
terdengar ketukan dari pintu ruang guru.
“Silahkan masuk,” ucap Bu Sari.
Seorang murid cewek berpenampilan rapih
dan berbau wangi masuk. Wangi dia benar-benar tercium sampai lobang hidung yang
paling dalam. Saat
masuk, ia menatap
gue dengan sekilas dan begitupun sebaliknya. Bola matanya benar-benar indah
kaya kelereng yang mahal,
hitam pekat dengan warna putih yang mengelilinginya. Bibir indahnya
mengeluarkan kata-kata, "Pagi Bu."
"Pagi,"
balas beberapa guru
dengan pandangan malas. Gue kenal banget nih pandangan. Pandangan menolak
kehadiran. Pandangan yang mengisyaratkan membuang. Pandangan yang seakan
berkata, “Kenapa harus ada dia sih!”
Kenapa pandangan mereka ke tuh cewek beda ya? ucap batin gue.
"Bu Erika minta spidol baru untuk
kelas saya," sambungnya
menunduk tak berani menatap wajah-wajah para guru.
"Loh, ko ada lagi yang minta
spidol? Lucu banget kalian. Saya rasa sekolah kita krisis spidol nih kayanya,”
kata Bu Sari.
"Sekolah kita krisis libur, Bu.
Hahaha," canda Pak
Edo, guru komputer.
"Enak aja Bapak kalo ngomong. Bapak mau
libur sendiri dan enggak bisa
ngajar lagi?”
Bu Sari memang dikenal kalem namun mematikan, mirip racun
sianida. Ia adalah wakil secara nggak langsung dari kepala sekolah yang kerjaannya
cuman ambil cuti, makan gaji buta, pencari kursi kuasa, pemikir gimana caranya
dompet tebel terus.
“Ya udah, kamu sama
Reza pergi ke fotocopy deh. Pakai motor ibu nih,” kata Bu Sari sembari melempar kunci
motornya pada cewek tersebut.
"Tapi Bu----,"
kata cewek itu seperti hendak ingin menyampaikan sesuatu.
"Apalagi? Mau cari alesan lagi? Masih perlu dibeliin sam guru
juga? Kamu tuh udah dewasa, Jangan manja! Kalo kamu enggak bisa ngendarain
motor, kamu suruh Reza aja yang ngendarain" suruh Bu Sari.
"Bukan Bu. Tapi----,"
"Haduuuhhhhh, apalagi
deh? Pusying Ibu nih kalo kalian ngomong pakai tapi-tapi an. Mendingan sekarang pergi deh," balas Bu Sari sembari
menggelengkan kepala.
Gue dan cewek tersebut mengangguk secara otomatis. Kami keluar dari kelas dan pergi ke lapangan parkir untuk mencari
motor bu Sari. Setelah mendapatkan motor bu Sari,
dia memberikan kunci motor bu Sari.
"Lu enggak bisa bawa motor?” tanya
gue. Sebenarnya,
gue pengen nanya alasan guru-guru mandang dia dengan pandangan aneh, atau
alasan dia menunduk seakan takut pada guru-guru. Tapi lebih baik enggak usah
gue tanya karena itu juga bukan urusan gue.
Dia diam nggak menjawab.
"Lu mau gue boncengin?” sambung
gue.
Dia masih dia nggak menjawab. Ini cewek
enggak mau ngobrol atau lagi puasa setengah hari? tapi kan tadi dia ngobrol,
berarti dia udah batal. Terus? kenapa enggak mau jawab? Sariawan? atau ada sisa
cabe di sela giginya? Atau dia lagi nahan kentut?
"Ya udah, biar gue yang bawa." Gue mengambil kunci motor bu Sari dari tangannya. Gantungan doraemon menyatu dengan kunci motor bu Sari.
Gue menyalakan motor dan memberi isyarat padanya untuk naik.
Ia mendekat dan duduk di belakang gue.
Tenang aja, ada jarak antara gue dan dia. Gue enggak bakal mengambil kesempatan
dalam kesempitan. apalagi pakai trik lama seperti mengerem mendadak. Udah enggak jaman.
“Lu anak baru juga?” gue bertanya membuka pembicaraan di
tengah-tengah perjalanan kami menuju tempat fotocopy.
Hasilnya masih sama. Dia nggak menjawab apa-apa. Dia
benar-benar merapatkan mulutnya. Gue mengintip ke arahnya lewat spion dan
mendapati dia cuma celingak celinguk. Kini, gue benar-benar seperti tukang ojek
baginya.
Nih cewek benar-benar enggak bisa ngobrol atau dia punya
waktu tersendiri buat ngobrol?
“Eh, lu tahu enggak apa persamaanya ojek online sama ojek
pangkalan?” tanya gue sembari menengok sedikit ke arah kanan agar ia dapat
mendengar jelas pertanyaan gue.
Dia masih diam, membisu tanpa suara.
“Sama-sama jago nikung,” lanjut gue dibarengi tawa gue
sendiri.
Kenapa yang ketawa cuman gue doang? jatohnya krik gini ya.
Kaya lagi bawa kuntilanak.
Sesampainya di tempat fotocopy yang dimaksud Bu Sari. Ia
turun dari motor dan berjalan masuk fotocopy, sedangkan gue cuma menunggu di
motor sembari
melihatnya berjalan.
Enggak apa-apa, Za. Mungkin dia benar-benar sariawan atau
lidahnya lagi kelipet atau mungkin ternyata dia ompong dan enggak mau kelihatan
sama gue. Positive thinking aja.
Ketika gue ngelihat dia sedang
transaksi jual-beli dengan karyawan fotocopy, hidung dan mata gue melebar karena kaget.
Dia ngomong woi!!!! Za!
dia bisa ngomong! Asem! Ternyata positive thinking gue salah.
10 menit kemudian, dia kembali menghampiri gue sembari
membawa sekantong kecil belanjaan.
“Dapet spidolnya?” tanya gue.
Dia cuma mengangguk pelan.
Gue menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya pelan guna
menenangkan keadaan. Setelah mendapatkan apa yang kita mau, kami bergegas
kembali menuju sekolah.
Perjalan pulang terasa lebih hening lagi karena dia semakin menjaga
jarak duduknya dari gue. Bahkan lalu lalang motor dan mobil yang lainpun nggak terdengar sama
sekali karena
gue cuma fokus mengarah telinga gue ke arah dia. berharap dia ngobrol walaupun
satu kata. Biar gue bisa tahu, bidadari itu ngobrolnya pakai bahasa apa.
“Hei,” ucap gue membuka pembicaraan untuk kedua kalinya,“lu
tahu apa yang lebih bahaya daripada jari kelingking kepentok pintu?”
Tak ada suara selain seliweran angin.
“Kentutnya cewe cantik,” sambung gue dilanjuti tawa. Ini
masih tawa gue, bukan tawa dia.
Sepertinya candaan gue nggak berhasil.
Ini kenapa rasanya bener-bener bawa kuntilanak ya?? Bawaanya kenapa jadi horror gini?? Kalo memangnya dia
lagi nahan kentut, keluarin aja. Toh, mengentut adalah kegiatan yang manusiawi,
yang nggak manusiawi adalah mengentuti orang lain.
Sesampainya di sekolah,
gue memarkirkan motor Bu Sari. Dia turun duluan dan pergi meninggalkan gue yang masih
mematikan motor Bu Sari. Gue mengikutnya dari belakang dan bergegas pergi ke ruang guru serta memberikan kembalian serta beberapa
spidol lainnya.
"Ini kuncinya, bu,” ucap gue pada
Bu Sari yang tengah asik menyedot mie rebus kari ayam dengan ceplokan telor dan
beberapa cabe rawit yang dipotong-potong, kuah dan wanginya meninju perut yang
mencium wanginya.
"Iywa...twaruhhh...ajhaaaah,"balasnya.
Setelah itu, kami pamit untuk
masuk ke kelas masing-masing. Ia dengan cepat berjalan menuju kelasnya.
Nih cewe kenapa enggak bunyi ya? Lagi mode silent atau
gimana?
Setelah keluar dari ruangan guru. Gue mendekat ke arahnya karena
berinisiatif untuk bertanya namanya.
“Sorry, nama lu sia----“
Belum selesai omongan gue, dia udah pergi meninggalkan gue
tanpa merasa bahwa di sini ada wujud manusia sedang berbicara dengannya. Dia
pergi menuju kelas lain.
“Astagfirullah. Cuek banget,” lanjut gue. “Halah, enggak
penting juga gue kenalan sama dia.”
Melihat nggak ada hasilnya, gue pergi menuju kelas. Namun,
saat hendak berjalan ke kelas, untuk kedua kalinya, gue berinisiatif
membalikkan badan dan menghadap ke arah cewek itu yang sedang berjalan.
"Tuh cewe kenapa bikin gue penasaran ya?” bisik gue pada diri
sendiri. “Halah! Fokus, Za! Lo enggak boleh punya banyak urusan sama
orang-orang!” gue mengingatkan diri gue sendiri dengan suara cukup keras.
Suara jendela terbuka terdengar dari
sebelah kiri gue.
Gue menengok ke arahnya dan mendapatkan seorang murid mengeluarkan kepalanya
dari jendela.
"Woi! Kerupuk basah!!! Berisik! Ganggu pelajaran aja lu!" teriak salah
satu murid dari kelas 10
itu.
Gue memasang muka datar seperti orang baru bangun tidur dan nggak menghiraukan suara itu. Gue
kembali fokus melihat cewek tersebut pergi meninggalkan rasa
penasaran dalam diri gue.
"Woi!! Kerupuk setan!! Denger
enggak lu?" sambung murid tadi.
Mata gue memandang ke arahnya dengan tajam, menghampirinya
dengan pelan lalu mengintip ke arah dalam kelasnya lewat jendela.
"Pelajaran palalu peyang! Enggak
ada gurunya,”
balas gue menghardik. “Lagian lu tuh lagi laper? Nyebutnya nama-nama makanan. Kalo laper, makan tuh rumput sekolah," balas gue
kesal.
Guepun cabut pergi menuju kelas.
Nama cewek tadi siapa ya? kalo dilihat dari fisiknya, gue
rasa namanya pasti indah kaya orangnya. Kayanya namanya Isabella, atau Selena,
atau Afina, atau Clarissa? Enggak mungkin namanya aneh-aneh.
Ketika sampai di kelas, gue mengetuk
pintu guna menyadarkan Pak Budiman bahwa gue masih hidup.
"Misi, Pak,"
salam gua untuk Pak Budiman
sembari berdiri di dekat pintu.
"Darimana aja kamu, Za?! Jam segini baru sampai?"
“Tadi katanya disuruh ambil spidol,” jawab gue sekenanya.
“Kamu ambil spidol di ruang guru atau ruang mayat rumah
sakit? Lama banget.”
"Spidol di ruang guru tuh habis, Pak. Saya abis beli spidol di fotocopy deket komplek, Pak."
"Banyak alasan kamu! Ya udah, mana spidolnya?” tanyanya
sembari membuka telapak tangannya mengisyaratkan gue untuk masuk ke kelas.
Dasar manusia, dikasih alasan, salah. Tidak diberi alasan,
juga salah.
Gue mengangguk dan berjalan ke arahnya untuk memberikan
spidol lalu berjalan menuju kursi gue. Haduh, akhirnya sampai juga di kelas.
gue memejamkan sebentar mata gue agar rasa lelah ini pergi atau paling
tidak berkurang.
"Baik, pelajaran hari saya tutup. Terima kasih,”
ucap Pak Budiman
dengan pelan dan santai.
Hah? Udah selesai? Asem. Gue juga baru
duduk. Belum juga 5 menit nih pantat gue ngadem kena dinginnya nih kursi
kayu. Tapi gak apa-apa deh. Yang penting pelajaran udah
selesai.
Gerutu gue dalam hati.
Pak Budiman keluar dengan tenang tanpa rasa bersalah karena
udah bikin gue enggak ngikutin pelajaran hari ini dengan sempurna, dasar guru
yang tidak bertanggung jawab. Asik, dikit-dikit jadi murid yang demen
belajar enggak apa-apa kan?
“Woi!”
Rendi menepuk keras bahu gue saat gue sedang membaca novel Carrie karya
Stephen King.
“Bengong aja, kesambet pocong bisa ribet nanti urusannya. Lagi mikirin apaan
sih?” Rendi melihat ke arah gue dengan tatapan heran.
Gue menggeleng-geleng. “Siapa yang lagi bengong,
nyet. Gue enggak mikirin apa-apaan,” balas gue sembari berusaha menepak balas
kepala Rendi.
Rendi bergeser menjauh. "Za! Kantik yuk! Laper gue," ajak Rendi
sembari bangkit dari duduknya.
Rendi adalah teman pertama gue di SMA ini. Awalnya
gue cukup nyesel berteman dengan dia, dia anaknya jahil banget dan itu terbukti
ketika gue dan murid-murid baru sedang menjalani MOS. Rendi sengaja memasukkan
kecoa-kecoa mati di kotak nasi para kaka kelas hingga akhirnya ia cukup dikenal
oleh kaka kelas, meskipun dikenal karena perbuatan bodohnya itu. Tapi itu semua
tertutupi oleh baik dan tampang yang gantengnya itu.
“Kita masih ada pelajaran ke-dua, Ren,” balas gue heran karena
nih anak santai banget sama pelajaran.
“Tenang aja, gue udah denger kalo pak Hendrik, guru
kesenian, enggak dateng,” jawab Rendi menaikkan alis sembari menyilangkan
lengannya, menandakan kesoktahuannya.
“Ko bisa?” tanya Bima yang mendengar pemberitahuan Rendi
barusan.
“Kepala kura-kuranya enggak mau keluar. Jadi dia harus bawa
tuh kura-kura ke klinik,” jawab Rendi.
“Klinik hewan?” tanya Sakti.
“Klinik tumbuhan!” balas ketus Rendi.
Gue tertawa dengan cara Rendi menanggapi murid-murid yang
lain. Gue meremukkan sebuah kertas dan melemparkannya ke kepala Rendi. "Ren, lu traktir ya!” seru gue.
"Iya gue traktir,"
balasnya.
Kamipun pergi ke kantin dekat mushola
sekolah. Berjalan di lorong sekolah sembari melewati beberapa kakak kelas yang
sudah menjadi musuh gue dan Rendi sejak MOS. Beberapa dari mereka mengadu pandang dengan gue dan Rendi.
Kami hanya beradu pandang, tidak beradu fisik.
Beberapa anak memilih untuk pergi ke
warung kopi yang terletak cukup jauh dari sekolah untuk mengisap bantangan rokok dan beradu asap. Di kantin sekolah, beberapa murid sedang asik mengisi waktu dengan
bermain hp, ngerumpi artis yang baru aja masuk lambe turah, tertawa
terbahak-bahak, mengerjakan tugas, dan kegiatan lainnya. Suara goRengan dan hawa
kompor juga terasa.
“Bu Eni, bakso dan batagornya dua, ya. Pedes,” ucap Rendi sembari
berdiri di depan gerobak kecil merah milik Bu Eni.
“Dua-duanya pedes, Mas?” tanya balik Bu Eni.
“Tiga-tiganya,”
“Loh? Kan tadi pesennya cuman dua, ko bisa tiga?”
“Nah tuh tahu.”
“Tahu apa mas?”
“Ribet nih urusannya. Pokoknya dua pedes deh, Bu,” jawab
Rendi sambil pergi.
Ketika gue dan Rendi sedang duduk di
kursi kantin guna menunggu pesanan bakso dan batagor jomblo - Jangan tanya gue
kenapa tuh batagor dan bakso dinamain batagor dan bakso jomblo - Beberapa kaka kelas laki-laki menghampiri
kursi gue dan Rendi. Salah satu dari mereka melihat gue dan Rendi sembari melotot dan berkata, "Eh, lu berdua. Cabut gih. Ini kursi khusus gue dan temen-temen gue,” katanya sembari meninju meja.
Gue dan Rendi gak menggubris suara
tersebur. Rendi tetap asik duduk sambil memainkan jari membentuk irama di meja kantin dan memejamkan mata seakan
sedang menikmati iringan nada yang ia buat.
"WOI!" gebraknya sekali lagi."LU BERDUA DENGER GUE KAN? LU BERDUA PUNYA TELINGA KAN?!" gertaknya
sembari menunjuk jarinya pada gue dan Rendi.
Teriakan dan gebrakan meja
tersebut memancing mata murid-murid yang lain. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi di kantin. Tidak
lama kemudian, pesanan gue dan Rendi datang. Aroma batagor dan bakso tercium dan
membangkitkan selera.
“Silahkan mas,” ucap Bu Eni, pemilik batagor dan bakso jomblo.
“Makasih, Bu,” balas gue tersenyum
tipis.
Setelah Bu Eni menaruh pesanan kami di meja,
tiba-tiba salah satu dari kaka kelas itu mengambilnya dan berkata, "Lu
berdua pilih cabut sekarang atau gue kudeta nih makanan."
Gue dan Rendi masih diam tak bertindak.
Melihat gue dan Rendi masih terdiam dan tidak membalas apapun, kaka kelas ini
menyuruh teman-temannya untuk memakan pesanan kami dan mengembalikan pesanan
kami dengan yang tersisa cuma kuah bakso dan beberapa batagor yang udah
digigit.
Mereka pergi sembari tertawa karena udah berhasil memakan makanan kami. Beberapa murid lainnya cuma bisa menunduk karena mereka tahu bahwa
kaka kelas tersebut adalah murid-murid kelas 11 yang terkenal suka membully
adik kelas. Lalu kaka-kaka kelas tadi
duduk di tempat lain.
Rendi mendesah kesal, pandangannya berubah
kesal bak setan yang baru aja diusir dari surga. Ia merapatkan giginya menahan emosi. Perasaan gue mulai
enggak enak. Ia mulai kesal dengan apa yang barusan ia saksikan, matanya memerah. Ia bangkit dari kursinya dengan keras. Kursi yang ia duduki barusan
terbanting jatuh ke belakang. Para
murid termasuk gue melihatnya dengan seksama dan penasaran apa yang akan
dilakukan Rendi. Gue menelah ludah menolak perkiraan yang akan terjadi. Ia berjalan menghampiri kaka kelas tersebut sembari membawa kuah sisa
bakso yang tadi ia pesan.
(Mungkin) tebakan kalian benar....
Burrr…
Rendi menuangkan kuah sisa bakso
tersebut di atas kepala kaka kelas yang membentak gue dan Rendi. Ia
menuangkannya secara pelan-pelan hingga habis, lalu Rendi mengambil
sesendok sambal yang ada di tengah meja makan dan menuangkan sambal itu diatas
kepalanya lalu menaruh mangkok bakso tersebut di atas kepala kaka kelas
tersebut seakan ia sedang memakaikan peci/kopiah.
“Kalo udah makan, jangan ada sisanya,” ucap Rendi tenang
sembari melirik ke arah kaka kelas itu satu-satu. “KALO ADA SISA, NAMANYA
MUBAZIR, ANJING!”
Sontak aja perbuatan Rendi menarik
perhatian murid yang lain, namun mereka cuma bisa memperlihatkan ekspresi kaget
ketika Rendi melakukan hal gila itu. Ia benar-benar berani dan itulah yang
membuat dia cukup populer di sekolah ini meskipun dia murid baru.
Rendi kembali ke meja gue dan berkata, "Lu
mau mesen apa, Za?” tanyanya sembari
berdiri. Gue
yang sedari tadi hanya bisa melotot kaget melihat tindakan gilanya barusan.
"Mending sekarang kita cabut ke
kelas aja,” jawab gue.
"Ya udah, lagian gue juga gak ada mood buat
makan,” kata Rendi.
Gue bangkit dari kursi dan berjalan menuju lorong kelas hingga
sebuah teriakan memberhentikan langkah kami.
"Woi, dua banci sekolah! Mau kemana lu?!” teriaknya keras hingga semua murid
mampu mendengar.
Rendi membalikkan badan dan menatap kaka kelas tersebut. Rendi
mengepalkan tangannya menjadi tinju.
“Sini maju lu kalo berani, Anjing!” sambung kaka kelas
tersebut.
Meskipun Rendi memang udah dikenal
ketika memasukkan kecoa-kecoa di kotak nasi kaka kelas, pertemanan gue dan Rendi
tepat bermula pada saat MOS berlangsung, saat para panitia menyuruh murid
laki-laki yang baru untuk buka baju di depan murid cewek yang baru. Semua murid laki-laki yang baru
menuruti permintaan para panitia tersebut keculi gue dan Rendi. Gue dan Rendi
merasa bahwa suruhan tersebut nggak bermoral dan nggak ada manfaatnya. Beberapa
panitia laki-laki -termasuk kaka kelas yang membentak gue dan Rendi- datang menghampiri
gue dan Rendi
sembari berkata,"Lu berdua faham gak perintah panitia?” tanyanya pada gue dan Rendi
"Maaf, gue rasa
itu perintah tadi gak pantas dilakukan," jawab gue pelan sembari menatap taja pandangannya.
"Lu tuh anak baru di sekolah ini! Jadi ikutin aja perintah gua! Faham?!" bentaknya.
"Gue tetep
enggak mau."
"Lu mau gue kasih hukuman?” tanyanya
sembari menarik kerah baju gue.
Rendi yang melihat kejadian itu, langsung mendorong dada
kaka kelas tersebut seraya berkata,"Sorry, Bang. Dia
kan gak mau, ya kalo gak mau, jangan dipaksa lah."
Dengan wajah kesal kaka kelas tersebut melangkah pelan
menghampiri Rendi. "Siapa lu? Anak baru juga? Nama lu?"
"Rendi."
Melihat Rendi masih mengenakan baju. Abang kelas itu sadar. "Oh ya,
lu kenapa gak buka baju juga?” tanyanya pada Rendi.
"Gue punya alasan yang sama seperti anak ini,” jawab Rendi
sembari menunjuk ke arah gue.
"Ya udah, lu diem. Gua kasih nih
anak hukuman, habis itu lu," katanya sembari melihat Rendi dan menunjuk ke arah gue.
"Salah kita apa nih?” tanya Rendi.
"Lu berdua enggak ngikutin perintah gue! Ngerti lu?!"
Gue mencoba membela Rendi,“Ya tapi peri---,” bela gue.
Belum selesai gue berbicara, kaka kelas itu menarik kerah baju
gue dan mendorong gue hingga terjatuh tersungkur ke tanah, pergelangan tangan
gue tergesek tanah hingga menyebabkan sedikit kelecetan.
Rendi yang melihat gue terjatuh,
melirikkan matanya pada kaka kelas tersebut dan tanpa fikir panjang langsung memukulnya
tepat di hidungnya hingga mengeluarkan darah. Gue rasa hidung tuh kaka kelas patah. Kaka kelas lainnya
menyerang Rendi tanpa fikir panjang. Salah satu dari mereka
menonjok pipi kanan Rendi. Rendi menahan serangan yang lain dengan merapatkan
tangannya. Gue bangkit
berdiri dan membantu Rendi dengan menendang bagian belakang paha kaka-kaka
kelas tersebut.
“Anjing!!” hardik salah satu kaka kelas yang lain. Beberapa
kaka kelas yang lain memukul perut gue dan menonjok piki kiri gue. Darah keluar
dari tepi mulut gue. Jantung berdegup naik turun. Perut benar-benar terasa
sakit. Hari MOS gue dan Rendi berubah menjadi hari berantem. Meskipun, setelah kejadian itu, gue dan Rendi
cukup dikenal sebagai pembela angkatan dan pembangkak kaka kelas, tetapi
setidaknya gue dan Rendi berani untuk melawan kegiatan tidak berpendidikan
tersebut. Itulah sedikit cerita kenapa gua bisa temanan sama si Rendi.
Kembali lagi ke kantin.
Rendi mulai berjalan pelan menghampiri kaka kelas tersebut,
tapi gue berhasil menahannya dengan mencengkram pundaknya dan
berkata, "Ren, gue lagi malas ribut. Kita
selesain nanti aja."
Kami memutuskan untuk pergi ke kelas. Para murid yang sedari tadi
berdiri di lorong kelas memperhatikan gue dan Rendi dengan pandangan aneh dan
jijik. Entah, mungkin mereka berfikir bahwa gue dan Rendi adalah murid yang
tidak kenal sopan santun terhadap kaka kelas, namun gue dan Rendi berfikir
bahwa sopan santunpun ada caranya dan harus kepada siapa kita sopan santun. Jika
orang lain tidak menghargai kita, kenapa kita mesti menghargai mereka? Gue
membalas pandangan mereka hingga pandangan gue menyangkut di satu arah, cewek yang gue ceritakan tadi berjalan melewati gue dan Rendi tanpa melirik ke arah gue.
Entah kenapa, jantung gue berdegap kencang saat melihatnya, mata gue tidak
berhenti melihatnya, ada perasaan ingin dibalas. Ia pasti
menyaksikan apa yang barusan terjadi.
Seorang teman gue berlari dari arah kelas, menghampiri gue dan Rendi. "Ren....Za....Ada kabar buruk,” ucap Andika, teman satu kelas gue dan Rendi sembari terengah-engah.
Komentar
Posting Komentar