Bagian Tiga - Can I Be A Normal Person?


Nathan, Ricky dan Zee tengah duduk di kantin sembari merokok setelah lelah membersihkan toilet sekolah yang baunya lebih busuk dari tempat sampah. Nathan dan Ricky ikut membersihkan karena dipaksa oleh Zee. Keringat mereka bercucuran membasahi baju mereka. Zee yang tidak peduli komentar oranglain tetap memilih membuka bajunya. Bahkan saat Salma tiba-tiba datang dengan berkacak pinggang dan ekspresi hendak marah.

Sebelum memarahi Zee, Salma melongo dan menelan ludah terlebih dahulu karena melihat badan Zee yang dipenuhi keringat. Perutnya yang menampilkan kotak-kotak kecil membuat Salma terpatung beberapa detik sebelum Nathan mencolek hidungnya dengan jahil. “Mata-mata. Istigfar,” ucap Nathan jengkel.

Salma mengusap hidungnya dengan kesal lalu menatap Nathan dengan manja. “Aku padamu ko, Mas Nathan,”

“Prettt,” balas Nathan jengkel meskipun dalam dirinya ia baik-baik saja. “Lagian kamu ngapain ke sini?”

Seakan diingatkan oleh Nathan, Salma menolehkan wajahnya ke arah Zee dan melangkah mendekati Zee. Zee yang tengah minum es jeruk tidak menghiraukan kedatangan Salma hingga mendadak rambutnya sakit karena dijambak oleh Salma.

“Aduh! Salma! Sakit gila!” teriak Zee kesal.

“Lagian! Lo tuh demen banget bikin orang nangis ya!”

“Gue? Kenapa tiba-tiba lo nyalahin gue? Lagian siapa yang nangis? Sakit lo ya!”

“Hanggini! Tadi tiba-tiba Hanggini datang ke kelas terus meluk gue dan nangis. Gue tau pasti penyebabnya itu lo!”

Nathan dan Ricky memilih diam tidak ikut campur perdebatan antara dua teman SMP itu. Sekonyong-konyong, baru kali ini ada cewek yang berani memukul apalagi menjambak Zee dan cewek itu hanya Salma.

“Apa ini ada hubungannya dengan dia? Kenapa sih Zee lo nggak lupain dia?! Lagian dia pergi juga bukan karena kesalahan lo!” bentak Salma tidak kuat menahan emosinya. Zee yang sudah kenal lama dengan Salma pun memilih untuk diam saat Salma mengungkit tentang seseorang yang tidak pernah bisa Zee lupakan.

“Udah deh, Sal. Gue lagi nggak mau ngebahas itu.”

“Oke. Sekarang gue minta lo minta maaf sama Hanggini.”

Zee menoleh ke wajah Salma dengan cepat. Ia berdiri dan pergi meninggalkan kantin sembari berkata, “Nath, urus tuh cewek lo. Kalo perlu kandangin sekalian.”

Merasa diejek dan tidak dihiraukan, Salma mengejar Zee, namun langkahnya terhenti ketika Nathan berdiri menghalanginya.

“Awas, Nath,” ucap Salma dengan tegas dan menakutkan.

“Sabar, Yang. Kamu sendiri kan tahu Zee gimana orangnya. Sekarang tarik nafas dulu terus buang pelan-pelan. Tenangin dulu diri kamu, karena kalo orang udah emosi bawaannya---“

Mendadak Nathan menjadi korban kekesalan Salma saat tangan Salma menjambak rambut Nathan dengan kencang. Salma berteriak menguapkan kekesalannya tanpa peduli Nathan meringis sakit. Di samping keduanya, Ricky menggelengkan kepala seraya berkata, “Jomblo salah, nggak punya pacar badan bisa merah-merah. Ribet amat hidup.”

*****

Hanggini tengah berada di kamar mandi saat telinganya mendengar beberapa siswi membicarakan Zee. Mereka tampak tidak percaya dengan apa yang mereka baca di grup WA kelas. Hanggini menyimak mereka.

“Gue baru tahu kalo ka Azril selama ini lagi cari ibunya,” ucap salah satu siswi.

“Yang gue denger katanya ibunya udah meninggal, tapi ka Azril nggak percaya karena dia nggak pernah lihat kuburan ibunya.”

“Jadi selama ini dia percaya kalo ibunya masih hidup?”

“Kayanya sih gitu. Gue makin kagum sama ka Azril. Bayangin aja betapa capeknya dia usaha buat cari ibunya.”

“Apalagi tiga tahun lalu dia baru aja ditinggal---“

Bel sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran kembali dimulai. Hanggini masih menempelkan telinganya di pintu hingga ia sadar para siswi itu telah keluar dari toilet. Dari siswi-siswi itu Hanggini tahu Zee tengah mencari keberadaan ibunya meski ia sempat merasa janggal karena salah satu siswi memotong omongannya di akhir-akhir ucapan itu. Hanggini hanya mendengar tiga tahun lalu Zee ditinggal? Ditinggal oleh siapa?

*****

Hanggini tiba di kelas dengan raut wajah yang masih memikirkan perkataan siswi-siswi itu. Belum satu menit ia duduk di kursi, Iqbaal datang menghampiri dan meletakkan beberapa roti dan susu coklat di atas meja. Hanggini mendongakkan kepala melihat Iqbaal. “Tadi gue nggak lihat lo di kantin. Nih gue bawain makanan,” ucap Iqbaal.

Sembari duduk di kursi samping Hanggini, Iqbaal memperhatikannya dengan dalam. Guru mereka di pelajaran selanjutnya tidak bisa hadir. Dan itu adalah keberkahan untuk semua murid yang artinya mereka tidak susah payah belajar. Hanggini sadar kini Iqbaal tengah memandang ke arahnya, namun ia tidak bisa menoleh. Ia sudah tahu apa yang ingin Iqbaal tanyakan. Betul saja, tak lama kemudian Iqbaal bertanya, “Lo kenapa sih, Ha?”

Hanggini menangkap nada ketidaksukaan dalam pertanyaan itu. “Kenapa? maksudnya?”

“Kenapa lo peduli banget sama murid yang namanya Azril?”

Hanggini menatap Iqbaal tanpa menjawab. Ia masih harus memikirkan kata-kata yang tidak membuat Iqbaal semakin kesal. Tanap menunggu jawaban dari Hanggini, Iqbaal berkata, “Ha…, gue minta maaf kalo nada gue agak tinggi,” kini Iqbaal meletakkan tangannya di atas punggung tangan Hanggini, “gue cuman nggak mau lo sakit hati atau stress karena tuh anak.”

“Hanggini! Gue---“

Mendadak Salma datang dan melihat Iqbaal dan Hanggini tengah duduk bersampingan dengan tangan Iqbaal yang menggenggam tangan Hanggini. Salma tersenyum lalu perlahan mundur. “Nanti aja, deh,” lanjut Salma lalu bergegas pergi keluar kelas. Hanggini menarik tangannya dari tangan Iqbaal lalu berkata, “Tenang aja, Bal. Gue tau apa yang harus gue lakuin.”

Selepas pelajaran terakhir Zee buru-buru pergi ke lapangan. Dirinya merasa terganggu saat semua mata melontarkan tatapan takut, iba dan prasangka bahwa dirinya telah gila. Ia mulai curiga ada yang tidak beres namun ia tetap melangkahkan kaki hingga tiba di lapangan parkir. Di atas motornya sudah ada Hanggini tengah melipat tangan di dada. Zee membuang pandangan dan menyuruh Hanggini untuk minggir.

“Zril, ada yang perlu gue omongin,” ujar Hanggini.

“Minggir. Gue nggak ada waktu,” balas Zee tanpa menatap mata Hanggini. Tiba-tiba tangan Hanggini sudah mencengkram tangan Zee saat ia hendak menyalakan mesin. Seakan ada roda waktu, Zee ditarik kembali untuk mengingat perasaan yang telah lama hilang. Kenapa Hanggini mampu menghadirkan apa yang pernah dia hadirkan? Zee tahu pasti ada yang salah. Tidak! Zee tidak bisa membiarkan yang telah pergi kembali.

Zee melepaskan tangan Hanggini dan berkata, “Gue nggak ada waktu, paham?!” Zee menaiki motornya, menyalakan motornya dan hampir pergi jika saja Hanggini tidak berkata, “Zril, gue mau bantu lo buat cari nyokap lo.”

Tanpa diduga, Zee mematikan mesin motornya lalu membuka helmnya. Dengan ekspresi lebih dingin daripada sebelumnya Zee menipis jarak dengan Hanggini. Tatapan matanya lebih tajam. Hanggini menelan ludah seraya mengambil langkah mundur namun ia terpojok karena punggungnya menabrak tembok. Zee meletakkan tangan kirinya di samping wajah Hanggini, lalu mencondongkan wajahnya. Hanggini bisa merasakan dengusan nafas Zee yang sempat tertahan.

“Jangan pernah lo ikut campur urusan gue,” dercak Zee pelan dan menakutkan. Hanggini hanya bisa diam setelah melihat Zee kembali ke motornya dan pergi. Salma dan Nathan yang ternyata melihat kejadian itu bergegas menghampiri Hanggini. Salma memeluknya dan bertanya, “Lo diapain sama Zee, Ha?”

Nathan menghembuskan nafas pelan. Ia tahu kondisi emosi Zee akan memburuk saat ia mengetahui kabar yang beredar hari ini. “Lo nyinggung masalah nyokapnya?” tanya Nathan pada Hanggini. Salma terkejut mendengarnya lalu melemparkan tatapan yang meminta jawaban dari Hanggini. Untuk beberapa detik Hanggini diam. Namun Nathan menepuk jidat ketika Hanggini mengangguk.

“Aduh! Mampus deh,” Nathan menyumpat kesal.

“Sorry, Nath. Gue nggak tau kalo dia---“

“Gini deh,” Nathan memotong, “urusan Zee biar gue yang ngurus. Sekarang lo pulang aja dulu. Yang, aku nyusul Zee dulu, ya.” Nathan pergi setelah Salma mengangguk.

“Sal, gue bego banget ya?”

Salma menarik Hanggini ke dalam pelukannya dan mengusap-ngusap rambutnya. “It’s okay, Ha. Nanti biar gue ceritain semuanya.”

*****

Nathan tahu kemana Zee pergi jika emosinya sedang tidak stabil. Dugaan Nathan kali ini salah. Ia salah menduga jika Zee pasti berada di rooftop salah satu bangunan kosong di daerah Pondok Cibubur. Ia tidak menemukan motor Zee di sana. Nathan menggaruk-garuk kepalanya karena kesal. Ia harus menemukan Zee jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Ponselnya berbunyi saat ia hendak mencari Zee.

“Iya, Ky? Gue lagi nyari---“

Ternyata panggilan dari Ricky. Ricky berkata sesuatu sebelum Nathan menjawab, “Gue OTW sekarang. Lo tahan dulu!” Nathan menurunkan ponselnya dan memasukkannya ke saku celana. Ia menyalakan mesinnya lalu pergi melebur dengan kendaraan yang lain.

Setibanya di tempat yang Ricky bilang, Nathan melebarkan mata melihat hampir sepuluh orang terkepar di lapangan sembari menggeliat kesakitan. Wajah mereka penuh darah. Beberapa motor pun ikut ringsuk. Banyak pecahan kaca bertaburan. Di sana pula Nathan melihat Zee berdiri dengan tangan penuh darah. Sedangkan Ricky yang sempat berusaha menahan Nathan ikut berdarah di hidungnya.

Nathan mendekati Zee dengan waspada seperti pawang singa yang mencoba mendekati singa liar. “Zee,” panggilnya. Yang dipanggil menengok. Nathan semakin terkejut mendapati kulit mata kiri Zee robek, begitu pula pipi dan kepalanya. Mata Zee meluapkan api kemarahan. Nathan tahu bahwa orang yang tengah berdiri di hadapannya bukan Zee yang ia kenal, melainkan Zee yang tidak banyak orang tahu. “Zee, ini gue, Nathan. Lo tenang dulu,” sambung Nathan. Zee membalikkan badan sebelum menyerang Nathan. Dengan sigap Nathan menepis pukulan Zee dan mendorong Zee hingga ia terbentur dinding. “Zee! Udah!” bentak Nathan. Dalam tekanan Nathan, Zee masih memberontak seperti orang gila. Ia beberapa kali memukul punggung Nathan. Nathan melepas cengkramannya sebentar lalu mendaratkan pukulan kencang di perut Zee. Sedetik kemudian Zee memuntahkan darah dan tersungkur jatuh.

Melihat kesempatan emas, Nathan memerintah Ricky untuk memberinya tali. Ricky mengobrak-abrik barang di sekelilingnya. “Buruan, Ky!” perintah Nathan sembari sesekali memperhatikan Zee, jaga-jaga jika ia kembali menyerangnya.

“Ky dapat bel----“

Bukk! Nathan tersungkul jatuh saat Zee mendaratkan tendangan keras di pipi kirinya. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Nathan sedikit meringis mendapati robekan kecil. Zee sudah berdiri dan mengepalkan tangan ke arah Nathan. Masih dengan raut wajah dan aura yang berbeda, Zee menatap Nathan dengan kejam. Bahka iris mata Zee lebih merah.

Nathan ikut berdiri dan bersiap menerima serangan Zee. Meski Zee lebih banyak menyerang, Nathan juga beberapa kali mendaratkan pukulan hanya agar Zee bisa dilumpuhkan. Adu serang itu tidak berlangsung lama karena Ricky berteriak sembari mengangkat tali ke arah Nathan. Saat melihat celah, Nathan menendang paha Zee. Usahanya membuahkan hasil, Zee jatuh dan detik itu pula Nathan menguncinya di tanah sembari membiarkan Ricky mengikat tangan dan kaki Zee.

Jauh dari sana, Hanggini duduk di atas ranjang sembari memegang satu gelas berisi teh hangat. Kini ia sudah ada di kamar Salma, bersiap mendengar cerita tentang Zee yang ia tidak ketahui. Salma mendekat, duduk di ranjang dan menghadap Hanggini. Ada raut kebingungan di wajah Salma.

Salma berusaha mengatur kata-katanya. “Ha, waktu itu gue kan pernah cerita sama lo kalo Azril itu siswa yang berprestasi. Mungkin ada pertanyaan di benak lo kenapa Azril bisa jadi kaya sekarang,” Salma menjeda omongannya, sedangkan Hanggini menyimak dengan serius, “sudah beberapa bulan ini Azril mencari ibunya. Dia percaya ibunya masih hidup, meskipun ayahnya berkali-kali menegaskan kalo ibunya udah meninggal. Azril nggak percaya ibunya sudah meninggal karena dia nggak pernah lihat jasad atau liang lahat ibunya. Semenjak kehilangan ibunya, Azril jadi sosok yang berubah. Dia sensitif dengan apa yang berhubungan dengan ibunya.”

That’s why dia marah banget sama gue tadi?” tanya Hanggini.

Salma mengangguk sembari mengusap pundak Hanggini. “Zee hanya butuh waktu, Ha.”

Di luar, rintikan hujan mulai membentur jendela. Meski hujan, Depok tetap terasa panas. Jalan-jalan mulai basah. Salma sudah tenggelam dalam mimpinya, membiarkan Hanggini menikmati waktu malam sendirian. Hanggini mendongakkan kepala, melihat butiran bintang yang terlihat cantik. Bulan memancarkan cahaya indahnya. Biasanya malam-malam seperti ini akan ia habiskan bersama kakaknya menonton film di Netflix atau saling bercerita perihal apa saja, termasuk cowok. Baginya, kakaknya adalah kompas kehidupannya yang telah menyelamatkannya dari kesesatan.

Mata Hanggini mulai panas setiap kali ia mengingat masa kelam yang sempat yang ia jalani. Saat rumah terasa seperti neraka. Saat kedua orangtuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Hanggini melakukan apa saja asal dirinya bahagia. Itu semua ia lakukan hanya demi mendapat perhatian yang tidak ia dapatkan di rumah. Ia hanya mencari kenyamanan yang tidak ia dapatkan di rumah. Meski ia tahu ia bodoh karena cara yang ia lakukan salah.

Ponselnya bergetar di atas meja. Hanggini menoleh dan mengambilnya. Satu pesan dari Iqbaal. Ia membukanya. “Ha, lo di rumah Salma? Lo udah makan? Gue tau ini udah jam sepuluh, mungkin lo udah tidur. Tapi tiba-tiba aja gue kepikiran lo. Kalo lo udah tidur, gue cuman mau bilang mimpi indah, ya.”

Hanggini membaca pesan itu. Ingin ia membalas pesan itu, tapi ia tidak tahu harus bilang apa. Karena pikirannya kini dipenuhi Azril. Entah apa yang membuatnya membiarkan Azril memporak-porandakan pikirannya, membuatnya bingung dengan dirinya sendiri. Apakah benar ia telah…

Hanggini memejamkan matanya, berusaha mengusir dugaan yang ia ciptakan sendiri. Tidak mungkin hal itu terjadi. Masih banyak hal yang lebih penting ketimbang memikirkan hal itu.

Iqbaal sudah berada di atas kasur saat ponselnya berdering kencang. Senyumnya merekah saat ia mendapati nama Hanggini tertera di layar ponselnya. Ia geser tombol hijau lalu menempelkan ponselnya di telinganya.

“Hi,” sapa Iqbaal.

“Hi,”

“Lo bangun karena chat gue ya? Sorry, gue nggak ada maksud buat---“

“Bal, lo bisa jemput gue sekarang di rumah Salma? Gue mau makan nasi goreng. Itu pun kalo lo nggak kebe---“

“Gue ke sana sekarang,”

Panggilan terputus dan hanya meninggalkan suara tut..tut… Hanggini menurunkan ponselnya dan menghembuskan nafasnya. Jangan tanya alasan kenapa ia meminta Iqbaal menemaninya. Ia sendiri pun tidak tahu. Ia hanya merasa butuh Iqbaal saat ini.

Motor Iqbaal sudah menepi di depan gerbang rumah Salma. Bau tanah basah menyeruak ke udara. Dengan kaos oblong putih yang ditimpa kemeja hitam serta celana jogger hitam dan sepatu Adidas, Iqbaal mampu mengalahkan indahnya bulan malam ini. Itu pula yang dilihat Hanggini saat ia keluar dari rumah Salma dan mendapati mantannya sudah duduk di jok motor sambil melemparkan senyum manis khasnya.

“Pesen ojek online, bu?” canda Iqbaal.

Hanggini menghampirinya sembari tersenyum hangat, memperlihatkan rentetan gigi putihnya. Di mata Iqbaal, Hanggini tetaplah sumber kehangatan. Sayang waktu tidak membiarkan mereka masih bersama.

“Yuk,” ajak Iqbaal setelah ia menyalaka  motornya. Hanggini pun ikut naik setelah Iqbaal mengelap jok motornya yang sempat basah dengan kemeja hitamnya meski pipinya sempat memerah dengan apa yang Iqbaal lakukan barusan. Roda motor menggesek tanah saat mereka berdua pergi berkerumun dengan kendaraan lain. Jalan kota Depok masih terbilang macet meskipun sudah memasuki jam setengah sebelas malam.

Motor Iqbaal terpakir di dekat gerobak nasi goreng. Ada beberapa orang yang mengisi tempat. Iqbaal mengedarkan pandangan sebelum menggenggam tangan Hanggini dan mengajaknya untuk duduk di kursi yang kosong. Hanggini mengikuti tanpa melepas genggaman itu.

“Lo tunggu sini dulu. Biar gue yang pesen,” ucap Iqbaal.

“Bal, gue nasi gorengnya ja---“

Iqbaal mengangguk lalu mengacak-ngacak sedikit rambut Hanggini dan berkata, “Iya, bawel. Gue masih hafal ko kesukaan lo.” Hanggini menelan ludah dan membuang muka, khawatir Iqbaal mendapati pipinya kembali merah. Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Sembari menyantap nasi goreng hangat, mereka saling bercerita mengenai hal-hal lucu selama menjabat sebagai ketua dan wakil OSIS hingga tawa Hanggini berhenti saat dirinya mendengar Iqbaal berkata, “Hari ini gue denger dari anak-anak, katanya lo dibentak Azril?”

Nama itu kembali disebut. Hanggini diam tidak menjawab sebelum Iqbaal mengusap punggung tangannya seraya berkata, “Gue tau lo dapet tugas dari bu Endang. Tapi lo nggak boleh nyiksa diri lo sendiri, Ha. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa.”

“Gue nggak apa-apa, Bal. Gue cuman perlu waktu aja buat bimbing dia. Setelah itu, gue bisa---“

“Lo nggak perlu capek-capek bimbing gue,” interupsi seseorang. Iqbaal dan Hanggini menengok, menangkap Zee sudah berdiri dengan mata dan pipi diperban. Matanya melihat tangan Iqbaal yang berada di atas punggung tangan Hanggini. “Gue nggak perlu bimbingan lo,” tegas Zee.

Mendadak Iqbaal bangkit dari kursi. Iqbaal memandang Zee dengan kesal. “Lo bisa ngomogn baik-baik nggak?”

Zee menggerakkan badannya, menghadap lurus Iqbaal. “Gue nggak punya urusan sama lo,” jawabnya dingin.

Hanggini ikut berdiri dan meminta Iqbaal untuk tenang. Beberapa orang memperhatikan mereka. Hanggini tidak ingin ada keributan malam ini. Melihat wajah Zee babak belur, Hanggini mencoba menyentuh pipinya sebelum tangannya ditepis oleh Zee dengan kasar. “Woi! Yang sopan sama cewek!” bentak Iqbaal sembari menarik kerah baju Zee. Iqbaal sudah mengepalkan tangan dan hendak menyarangkan sebuah pukulan di pipi Zee jika Hanggini tidak menyentuh tangannya. “Udah, Bal. Gue nggak pa-pa, ko.”

Hanggini kembali menoleh ke arah Zee lalu berkata, “Zril, gue nggak tau apa masalah lo. Gue cuman mau bantu---“

“Gue nggak perlu bantuan lo,” potong Zee cepat sebelum beranjak pergi disusul Ricky dan Nathan yang ternyata baru saja duduk tidak jauh dari tempat Hanggini dan Iqbaal.

*****

Lorong kelas terlihat ramai. Sebagian murid sibuk melihat ponsel mereka sembari memperlihatkan ekspresi kaget. Sorot mata mereka teralihkan ke Hanggini ketika ia datang bersama Salma. Tawa yang tadinya menyelimuti tiba-tiba hilang. Hanggini dan Salma saling melihat, bertanya kenapa semua pandangan terlempar ke arahnya. Mendadak ponsel Hanggini dan Salma berbunyi berbarengan. Tatkala mereka hendak merogoh ponsel masing-masing, tangan mereka ditahan oleh Iqbaal.

“Jangan buka ponsel kalian,” ucap Iqbaal. Hanggini dan Salma mengikuti kata Iqbaal meski rasa penasaran masih menggantung di benak mereka. Rasa penasaran mereka tidak berlangsung lama karena beberapa detik kemudian ada siswi-siswi kelas 12 yang berjalan melewati mereka sembari berkata, “Ohh, dulunya lonte.”

“Ternyata jual tubuh juga. Kirain otak doang,” timpal yang lain.

Hanggini memandang Iqbaal dan mendapati raut wajah Iqbaal khawatir seakan menyembunyikan sesuatu. Ia pun menepis tangan Iqbaal dan merogoh ponselnya. Hanggini terkejut bukan main saat ia melihat foto tidak pantasnya tersebar. Kakinya mendadak lemas, matanya pun terasa panas. Salma buru-buru menahan tubuh Hanggini yang hendak ambruk. “Ha, Jeha,” panggil Salma sembari menepuk-nepuk pipi Hanggini. “Bal, Hanggini pingsan,” ucap Salma.

Di depan kerumunan para siswa, Iqbaal menggendong Hanggini dan membawanya ke UKS. Di ujung koridor kelas, Zee sedang menyandarkan punggungnya di tembok, melihat bagaimana Iqbaal memperlakukan Hanggini dengan lembut.

Salma datang membawa segelas air putih ke UKS dan meletakkannya di atas meja sedangkan Iqbaal duduk di bibir ranjang sembari mengipas-ngipaskan wajah Hanggini dekat sebuah koran yang dilipat. Iqbaal merapihkan rambut Hanggini yang terurai dan menutupi wajahnya. Salma duduk di kursi dan bertanya, “Lo tau siapa yang nyebar foto itu, Bal?”

Iqbaal menggelengkan kepala. “Hanggini nggak pernah cerita apa-apa soal ini ke gue,” balas Iqbaal. “Dia cuman pernah bilang ke gue kalo dia pernah ada di masa yang nggak pernah dia mau. Masa di mana dia cuman butuh sedikit perhatian dari orangtuanya,” sambung Iqbaal.

Salma dan Iqbaal sama-sama melukiskan senyum saat mendapati Hanggini sudah membuka matanya. Iqbaal bergegas mengambil segelas air putih tadi dan memberikannya pada Hanggini. Hanggini meneguknya sedikit lalu kembali merebahkan kepalanya. Belum sempat Iqbaal dan Salma berkata, telinga dan mata mereka sudah menangkap isak tangis Hanggini. Salma bangkit dan meminta Iqbaal untuk pindah. “Biar gue, Bal.”

Iqbaal mengangguk dan membiarkan Salma mengelus-ngelus rambut Hanggini sembari berkata, “Ha, tenang ya. Gue dan Iqbaal ada di sini. Lo yang kuat, ya.”

******

Sudah satu minggu Hanggini tidak masuk sekolah. Ini adalah keputusan Pak Yogi. Ia meminta Hanggini untuk tidak masuk sekolah satu minggu agar Hanggini bisa menenangkan pikirannya. Meski ucapan atau sindiran buruk tentangnya tidak juga surut. Bahkan ucapan dan sindiran itu sampai di kantin belakang, saat Zee tengah duduk di atas meja dan membaca novel Kata karya Rintik Sedu. Melihat bacaan Zee seperti itu, Ricky tertawa dan berkata, “Tumben banget lo baca novel romantic gitu.”

Zee tidak menggubris dan membiarkan dirinya tenggelam dalam cerita yang sedang dibicarakan orang-orang itu. Rokoknya masih terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Asapnya membumbung tinggi ke atas. Kegiatannya membaca terganggu saat telinganya panas mendengar beberapa murid kelas sebelas membicarakan Hanggini. Ricky yang tengah memakan nasi uduk memberhentikan makannya saat melihat Zee menutup novelnya dan melangkah mendekati murid-murid itu.

Murid-murid itu menengok ketika Zee menatap mereka satu persatu. “Kenapa, Zril? Mau minta rokok?” tanya salah satu murid. Azril masih menatap mereka dingin sebelum berkata, “Bacotan lo ngeganggu gue. Kalo lo semua mau ngeghibah, mending lo semua cabut.”

Mengetahui reputasi Zee dalam bertengkar, murid-murid itu pergi tanpa berkata apa-apa. Zee kembali ke tempatnya dan menikmati bacaannya. Beberapa menit kemudian Nathan datang dan duduk di depan Ricky lalu mengangkat tangan pada Mbok Ina. “Mbok, mie goreng dua ya,” ucap Nathan.

“Hah? Dua? Laper banget lo?” tanya Ricky.

“Iyalah. Harus jemput ibu negara itu nguras tenaga banyak.”

“Ohhh. Abis jemput Salma dulu.”

Mbok Ina datang membawa satu piring berisi mie goreng saat Zee melontarkan pertanyaan, “Nath, Salma nggak cerita apa-apa ke lo?”

Nathan menerima piring itu sesaat sebelum dirinya menggeleng lalu sadar akan maksud dari pertanyaan yang dilontarkan Zee. Nathan menengok ke arah Zee. Tiba-tiba Zee membuang pandangan ke tempat lain. Nathan tersenyum jahat kemudian berkata, “Anjir! Lo mau nanya tentang Hanggini ya?” Pertanyaan Nathan barusan seakan peluru yang tepat mengenai jantung Zee. Ia terdiam tidak bisa menjawab kecuali beberapa kata yang tidak sempurna.

“Nggak. Gue ng—nggak nanya tentang dia.”

“Udahlah, Zee. Lo jujur aja sama gue,” balas Nathan. Mbok Ina yang ikut mendengar itu semua hanya bisa tertawa dan berkata pada Zee, “Mas Azril. Makanya jadi cowok jangan terlalu dingin sama cewek. Lagian Mbok percaya ko kalo mbak Hanggini itu cewek yang baik.”

“Mantul, Mbok!” seru Ricky seraya mengacungkan jempolnya, menandakan setuju dengan apa yang dikatakan Mbok Ina. “Emang si Zeenya aja Mbok, lebih dingin dari kulkas. Makanya jomblo,” lanjut Ricky.

Nathan melempar kerupuk bekas gigitannya ke muka Ricky. “Nah lo apa kabar monyong?” Kembali melihat Zee, Nathan berkata, “Salma nggak cerita apa-apa ke gue, Zee. Mending lo samperin Hanggininya aja.”

“Gue nggak ada urusan apa-apa sama dia,” jawab Zee. Sudah satu minggu, belum ada kabar tentangnya, ucap Zee dalam hati.

*****

Pak Tomo, guru bahasa Indonesia merasa kesal saat dirinya seakan tidak diperhatikan oleh Zee. Pasalnya saat ia tengah mengajar, Zee malah memandang langit lewat kaca jendela sembari menopang dagunya dengan tangan kanan. Beberapakali Ricky sudah menyenggolnya, namun Zee tidak juga memperhatikan pelajaran. Semenjak mendengar jawaban dari Nathan, entah kenapa pikiran Zee terbang entah kemana, seakan mencari sesuatu yang hilang.

“Azril! Kamu nggak dengerin saya?” tegas Pak Tomo. Suara kerasnya membuat para murid menunduk sembari mencuri pandang ke arah Zee. Zee menoleh dengan tenang tanpa menjawab. Ternyata pandangan tenang dari Zee malah menyulut api kemarahan dari Pak Tomo.

“Kalo kamu nggak mau belajar, mending kamu keluar!”

Para murid menyesali keputusan Pak Tomo untuk menyuruh Zee keluar karena keluar dari kelas adalah keberkahan tersendiri untuk Zee. Benar saja, Zee mengangguk lalu berdiri sambil mengambil tasnya dan keluar kelas tanpa mengucapkan apa-apa pada Pak Tomo. Mata Pak Tomo mengikutinya hingga bayangan Zee hilang ditelan dinding.

Di tepi lapangan sekolah Zee mendapati Natasha sedang duduk dengan wajah tertunduk. Pandangan Zee turun ke lutut Natasha. Terdapat luka robek di sana. Zee menoleh ke kanan dan kiri, mencari orang lain. Sadar sedang diperhatikan seseorang, Natasha menengok ke arah Zee dan bergegas mengusap air matanya. Ia menampilkan wajah takut melihat Zee. Ia pun berusaha bangkit meski lukanya benar-benar menyiksanya. Wajahnya cemas karena tahu Zee menghampirinya.

Dengan takut Natasha berkata, “Gue nggak apa-apa. Gue bisa sendiri ke UKS. Lo nggak perlu bant---“

“Lo bisa diem, nggak?”  potong Zee.

Natasha pun langsung mengantup mulutnya dan mengangguk. Kemudian Zee menurunkan tasnya dan merogoh sesuatu. Natasha mendapati Zee mengeluarkan satu botol obat merah, tisu dan hansaplast. “Ini bakal sakit, lo tahan,” ucap Zee sebelum duduk di samping Natasha. Zee meminta Natasha meluruskan kakinya. Seakan terbius, Natasha mengikuti apa yang Zee pinta. Dengan lembut Zee membasuh luka Natasha sedangkan ia hanya terus memandangi wajah Zee. Meski ada butiran keringat di pelipis Zee, wajahnya tetap terlihat tampan di mata Natasha.

“Nggak usah ngelihatin gue,” ucap Zee seraya membuka tutup obat merah. Tertangkap basah, Natasha memandang ke arah lain dengan pipi kemerahan. Rasa perih yang sangat tidak bisa ditahan oleh Natasha. Secara tiba-tiba Natasha melingkarkan tangannya di leher Zee dan memeluknya.

Bersamaan dengan itu bel sekolah berbunyi. Para murid keluar dengan girang sebelum mereka dibuat diam oleh adegan yang terjadi di tepi sekolah. Sebagian dari mereka mengeluarkan ponsel dan memotretnya. Dalam pelukannya Natasha berbisik pada Zee, “Zril, gue tau siapa yang nyebar fotonya Hanggini.”

Tangannya Zee terhenti saat telinganya mendengar itu. Kembali telinganya mendengar Natasha berkata, “gue bisa kasih tau ke lo, tapi ada syaratnya.” Mengetahui Zee mendengarkannya dengan seksama, Natasha melanjutkan, “lo harus cium gue di depan semua murid.”

Para murid dibuat kaget karena tiba-tiba Zee berdiri dan pergi meninggalkan Natasha dengan wajah dingin menakutkan. Ricky dan Nathan sekaligus Salma yang melihat itu buru-buru mengejar Zee. Namun nihil. Zee sudah melaju pergi ketika mereka sampai di lapangan parkir.

“Pasti ada yang nggak beres,” ucap Salma.

******

Tidak langsung pulang ke rumah. Zee membawa motornya untuk pergi mencari angin segar di bangunan tua tempat favoritnya. Setelah memarkirkan motornya, Zee menaiki tangga menuju rooftop sembari mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya dengan pemantik. Ketika ujung rokok itu terbakar, mata Zee menangkap seorang perempuan tengah berdiri di sudut bangunan, memunggunginya. Perempuan itu mengenakan kaos putih dan celana jeans abu-abu.

“Kalo mau bunuh diri jangan di sini. Cari tempat lain sana,” ucap Zee sambil duduk di sofa hitam penuh robekan dan mengeluarkan busa. Sofa itu ia beli dari seorang tukang rongsok yang sudah lansia.

Mendengar seseorang berbicara padanya, perempuan itu terkejut dan hampir saja terjatuh jika ia tidak berpegangan pada tiang di sampingnya. Perempuan itu membalikkan badan dan melebarkan mata saat ia melihat Zee sudah duduk sembari merokok. Zee yang sudah mengetahui dari punggung perempuan itu bahwa dia adalah Hanggini hanya diam.

“Lo… lo ko bisa ada di sini? Lo tau dari siapa gue ada di sini? Gue lagi pengen sendiri. Mending lo pergi sekarang!” bentak Hanggini.

Seekor kucing tiba-tiba meloncat ke pangkuan Zee dan mengusap-ngusapkan kepalanya di dada Zee. Tidak menggubris Hanggini, Zee malah membelai lembut kucing itu dan berkata, “Ada cewek gila mau bunuh diri.”

Merasa tidak dihiraukan Zee, Hanggini berteriak lebih keras, “LO DENGER GUE NGGAK?! GUE MINTA LO PERGI!” Kucing dalam pangkuan Zee meloncat dan melontarkan tatapan tajam pada Hanggini, merasa kesal karena Hanggini berteriak dan mengganggu waktunya bermesraan dengan Zee.

Zee mengepulkan asap panjang dari mulut dan hidungnya sebelum menjatuhkan rokok itu dan menginjaknya. Ia pun bangkit dari duduknya dan melepaskan seragamnya. Kini ia mengenakan kaos hitam polos dan celana abu-abu sekolahnya. Lalu melangkah mendekati Hanggini.

“Lo mau ngapain?! Stop sampai situ!” teriak Hanggini saat melihat Zee menipiskan jarak.

Sembari berjalan dengan memasukkan kedua tangannya di saku, Zee berkata, “Lo malu karena foto seksi lo kesebar?”

“Cukup! Gue nggak mau ngomongin itu! Mending lo pergi sekarang!”

Bukannya mengikuti permintaan Hanggini, Zee malah melangkah lebih dekat. Kini jarak mereka hanya satu meter. Ditemani angin yang cukup kencang, mereka saling memandang. Rambut Hanggini berterbangan diterpa angin. Tiba-tiba Zee menjulurkan tangannya dan berkata, “Izinin gue buat ada di samping lo.”

Hanggini pun terdiam. Pandangan mereka masih saling mengikat. Sedetik kemudian air mata membasahi pipi Hanggini. Kaki Hanggini bergetar dan badannya terasa lemas. Menyadari itu, Zee bergegas mencengkram pergelangan tangan Hanggini dan menarik tubuhnya lalu memeluknya.

“Zril, gue nggak kuat. Gue nggak sanggup. Semua orang pergi ninggalin gue. Gue cuman butuh waktu mereka, apa itu salah?! Gue cuman mau mereka ada di sisi gue saat gue rapuh dan jatuh,” lirih Hanggini dalam pelukan Zee.

Zee diam tidak menjawab, membiarkan Hanggini menangis sejadi-jadinya. Membiarkannya melepaskan semua beban yang mengisi dadanya. Saat Hanggini menangis dalam pelukan Zee, mata Zee memandang langit lalu berkata dalam hati, “Aku minta maaf.”

Pandangan Zee teralihkan ke kucing yang tadi ia pangku. Kucing itu memandanginya dengan mata indahnya. Zee membalasnya dengan raut wajah seseorang yang sadar apa yang ia lakukan salah. Seakan kecewa dengan apa yang Zee perbuat, kucing itu pergi begitu saja. Mata Zee mengikutinya hingga kucing itu menuruni tangga.

Sore itu Zee habiskan dengan menemani Hanggini di rooftop bangunan itu. Mereka berdua membiarkan senja merah menjadi teman mereka. Tidak seperti biasanya, Hanggini merasa Zee menjadi pribadi yang berbeda saat itu, ia merasa Zee menjadi hangat. Bahkan Zee tidak merasa terganggu ketika Hanggini meminta izin padanya untuk bersandar di bahunya. Zee hanya mengangguk dan membiarkan kepala Zee tersandar. Meskipun dalam hatinya ada sesuatu yang menyiksanya. Ia merasa waktu terputar kembali.

“Zril,” panggil Hanggini.

“Hm,”

“Terimakasih,”

“Buat?”

“Karena lo udah nyelamatin gue. Terimakasih juga karena lo udah mau ada di samping gue.”

Meski kedua masih memandangi arah yang sama. Namun pikiran Zee mulai tidak karuan. Luka yang sengaja ia biarkan terbuka terasa seperti tertutup sendiri. Zee tidak menginginkan itu. Ia tidak mau luka itu sembuh. Karena hanya luka itu yang menjadi pengingat dan penghubung antara dirinya dan dia. Tapi kenapa?! Kenapa semesta seakan bekerja sama untuk menghilangkan dia dari ingatan Zee? Kenapa semesta menghadirkan Hanggini dalam hidupnya?! Kenapa semesta tidak membiarkan ia terikat oleh masa lalu yang membuatnya bahagia?! 

Belum, bagi Zee ini belum waktunya untuk mengganti dia dengan orang lain. Bahkan jika boleh meminta, Zee tidak akan pernah ingin menggantinya dengan orang lain. Baginya bertahan dengan penuh peraasaan lebihbaik ketimbang pergi hanya karena ingin melupakan. Ia belum siap menulis catatan ini bersama orang lain. 


Komentar

Postingan Populer