Bagaimana Bila Tuhan Tidak Ada?
Setelah tidur siang selama satu jam. Teman saya membangunkan saya, mengatakan bahwa sudah jam empat sore dan sebaiknya jangan tidur terlalu sore, tidak baik. Didorong alasan itu, saya pun membuka mata dan bangun. Saya memijat sedikit kening karena merasa pusing. Setelah mendapatkan kekuatan, saya turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi.
Dengan wajah yang baru dibasuh, teman saya bertanya perihal dua naskah yang sudah selesai dikerjakan; satu naskah berisikan kumpulan catatan-catatan pendek tentang kehidupan, dan satu lagi adalah naskah novel yang telah lama saya simpan. Jika tidak ada halangan, inshaAllah keduanya akan terbit akhir tahun ini.
Ketika saya hendak masuk kamar, ternyata teman saya ini belum berhenti bertanya. Saya pun melirik wajahnya. Dari rautnya, saya duga ada puluhan soal yang tersimpan di bank pikirannya. Mendadak tuli, saya masuk kamar tanpa peduli, mengelap wajah dengan handuk lalu meneguk segelas air putih.
Rupanya teman saya mengetuk pintu kamar dan sedetik kemudian ia bahkan membukanya tanpa seizin saya. Ini memang sudah biasa dilakukan di kalangan teman-teman saya. Wajar saja, wong saya dan teman-teman saya yang lain sudah satu atap selama kurang lebih lima tahun di pesantren Condet, Jakarta Timur. Alhasil izin pun tak lagi dipedulikan asalkan tidak merugikan. Prinsip anak pesantren yang sudah marak terjadi namun tetap saya tidak bisa disetujui.
Ia pun bertanya, "Gimana untuk malam ini? Sudah siap?"
Pertanyaan itu mengingatkan saya tentang kegiatan saya malam ini; mengisi obrolan di podcast @kanzavoice - podcast itu bisa kalian dengan di platform podcast seperti Spotify dan semacamnya -. Mendengar itu, saya mengangguk dan menjawab, "Sudah," seraya menuangkan susu putih ke dalam gelas.
Bila kalian tidak tahu, selain menulis artikel, novel, cerpen dan puisi, saya pun sedang aktif menulis topik-topik yang menurut team @kanzavoice patut dibicarakan. Topiknya pun menggunakan kacamata pribadi yang dilandasi dengan dalil umum dan dalil Islam.
Untuk malam ini, tepatnya tanggal tiga Oktober 2020. Saya akan membahas tentang susah dan senangnya menjadi anak pesantren. Sekedar berbagi pengalaman pribadi. Di samping itu, kami pun akan membahas tentang pentingnya belajar ilmu agama dan lain-lainnya.
Setelah menulis itu semua, lahir sebuah pertanyaan yang saya tidak sangka akan bertelur dari pikiran saya. Lebih tepatnya pertanyaan ini lahir setelah saya meriset sebuah jawaban bahwa ilmu agama akan mengenalkanmu pada-Nya. Pertanyaan itu adalah:
Bagaimana Bila Tuhan Tidak Ada?
-Jafar Shodiq.
Apa yang selama ini saya lakukan seperti sholat, puasa, sedekah dan ibadah-ibadah yang menurut agama adalah cara saya meluaskan ladang pahala serta mendekatkan diri pada Sang Pencipta nyatanya hanya semu belaka. Bagaimana bila itu semua benar?
Sebelum melanjutkan menulis, saya akan memberi catatan kecil pada kalian dan diri saya sendiri bahwa tulisan ini tidak ingin membuat kalian ragu pada keberadaan Tuhan, menghilangkan iman apalagi menafikan Tuhan. Tidak-tidak, tulisan ini murni atas pertanyaan saya sendiri. Adapun jawabannya kan tidak selalu satu,
Karena satu pertanyaan mampu dijawab berbagai macam jawaban.
-Jafar Shodiq.
Sudah dua puluh tahun saya hidup dibawah naungan keluarga Islam dan mengasaskan diri bahwa saya sebagai muslim. Entah apa saya adalah muslim yang sebenar-benarnya muslim atau hanya muslim secara luar karena hakikat seorang pun hanya Tuhan yang tahu.
Beberapa bulan lalu saya membaca perdebatan antar mazhab umat Islam dan juga antar umat beragama. Saya cukup intens mengikuti perdebatan itu hingga saya sampai di satu titik dan berhenti karena kesal. Rogbah atau kemauan saya untuk mencari tahu seakan menyusut begitu saja saat saya benar-benar sadar bahwa orang-orang yang berdebat di panggung dan saling berhadapan itu lebih terlihat seperti orang-orang yang tengah bacot dan menjatuhkan orang lain secara subjektif.
Pasalnya mereka sama-sama saling menuding dan membongkar aib pribadi satu sama lain. Bukti-bukti yang mereka bawa pun tidak jelas asal-usulnya. Saya seperti melihat dua insan yang tengah mengadu api emosi ketimbang ilmu. Seharusnya polisi pun menangkap orang-orang seperti ini sebagaimana mereka menangkap orang-orang yang mengadu ayam. Karena orang-orang seperti punya akal sedangkan ayam tidak. Untuk beberapa menit saya masih menahan kesabaran dan menunggu moment di mana saya akan mengatakan, "Nah ini dia kebenaran yang saya cari!"
Kecewa memang selalu datang belakangan dan selalu ada saat kita menitipkan harapan pada manusia.
-Jafar Shodiq.
Itu pula yang saya rasakan saat mendapati waktu perdebatan itu telah habis dan ucapan yang saya harapkan keluar dari mulut saya tidak pernah keluar karena memang saya tidak mendapati kebenaran yang saya cari.
Kebenaran yang saya cari adalah kebenaran yang menghentikan segala pertanyaan saya. Bukan kebenaran yang malah membuat saya meragukan diri saya sendiri dan melahirkan jutaan pertanyaan lainnya.
-Jafar Shodiq.
Saya pun mematikan layar laptop saya dengan kesal karena telah membuang-buang waktu hanya untuk menonton dua orang saling menghina. Sial! Apakah kebenaran harus didapatkan dengan menjatuhkan? Apakah kemenangan harus diraih dengan peperangan?
Ponsel saya berdering tiba-tiba. Sebuah pesan muncul di layar. Tertulis nama salah satu teman saya di sana. Saya membukanya dan mendapatkan pesan berisikan pertanyaan, "Kenapa banyak orang ateis di muka bumi?" Pertanyaan menarik yang saya sendiri baru engeh. Dari sekian banyak jawaban yang muncul di epala saya, saya menjawab, "Karena ketika seseorang yang tengah mencari agama yang benar datang di perdebatan dua agama atau lebih, ia hanya mendapati manusia-manusia yang 'mengaku' pemuka agama tengah saling menjatuhkan dan menjelekkan satu sama lain hanya agar terlihat agama mereka benar. Sepertinya orang itu pun berpikir, apakah cara seperti ini yang Tuhan inginkan? Apakah Tuhan mengajarkan kita untuk menjelekkan agama lain agar orang-orang tahu agama kita benar? Apakah agama Tuhan adalah agama yang perlu dibela dengan cara menghina agama lain? Bukankah apa yang turun dari Tuhan akan selalu terjaga tanpa perlu kita menjaganya?"
Teman saya tidak membalas pesan saya setelah saya mengirim jawaban itu. Semoga ia tidak benar-benar menafikan Tuhan dan menjadi ateis. Karena pada hakikatnya manusia pun mencari kebenaran dan kebenaran itu ada pada Tuhan. Sedangkan menjadi ateis bagi saya hanya fase di mana seseorang benar-benar lelah karena tidak tahu lagi harus mencari Tuhan di mana atau dengan cara apa atau ia hatinya hanya sedang tertutup tirai sementara sebelum akhirnya ia sadar bahwa ia tetap harus mencari kebenaran.
Melihat dari banyaknya fenomena menjadi ateis atau tingginya populasi ateis di dunia. Salah satunya di China. Melansir dari Merdeka.com, China memiliki 103.907.840 hingga 181.838.720 penduduk atheis, yaitu sekitar 8-14 % dari total populasi. Hmmm, banyak juga ya.
Baru beberapa menit yang lalu, setelah pertanyaan saya lahir, saya membaca artikel tentang atheisme di internet. Di sana ada dua insan saling bercakap. Yang satu beragama taat, yang satu atheis.
Yang beragama bertanya, "Kenapa anda tidak beragama?"
Yang atheis menjawab dengan pertanyaan, "Kenapa anda beragama?"
Yang beragama menjawab, "Karena dengan agama saya menyembah Tuhan."
Yang atheis menjawab - lagi-lagi dengan pertanyaan, "Bagaimana Tuhan yang anda sembah nyatanya tidak ada?"
Segitu saja catatan saya kali ini. Tulisan saya ini bisa dikritik dan dikomentari. Tidak usah pakai emosi karena emosi hanya melahirkan api. Sekali lagi, tulisan ini hasil kacamata saya. Tidak usah disangkut pautkan ke mana-mana. Tetap objektif dan jangan subjektif.
Komentar
Posting Komentar