Perjalanan Novel "We Never Become Us"


Saat ini saya sedang duduk di teras kamar asrama kampus saya di Najar, Irak. Ditemani satu botol minuman bersoda yang diisi dengan air putih. Tak apa, kemasan di luar tidak selalu sesuai dengan yang di dalam bukan? Airnya pun sudah saya minum setengah. 

Bukan-bukan, saya tidak mempunyai kebiasaan minum air putih di pagi hari. Saya lebih condong untuk meminum susu coklat ketimbang kopi atau teh. Lalu untuk apa minum air putih? Jawabannya karena (a) saya tidak punya susu coklat hari ini, (b) saya pun nggak punya cemilan lain. Makanya saya memilih air putih sebagai pengganti keduanya. 

Oh ya, saya hampir lupa mau nulis apa. Kalian pasti pernah mendengar quote di bawah ini;

Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia.

― Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara

atau quote ini:

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

― Pramoedya Ananta Toer, House of Glass

Atau yang ini:

Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!

― Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru

Quotes di atas ada sedikit dari banyaknya quotes para penulis hebat Indonesia atau dunia. Mereka semua memiliki kesamaan; mencintai penulisan. Meski motif atau alasan mereka berbeda, namun hal itu tidak melorotkan niat mereka untuk mengungkapkan kegelesihan. Iya, kegelisahan. Bagi saya, penulis yang hebat dan bermanfaat adalah penulis yang jujur. Apa yang saya maksud jujur di sana adalah penulis yang menulis karena kegelisahan. 

Kegelisahan adalah elemen penting dalam menulis sesuatu. Tatkala seseorang gelisah perihal masa depannya, lalu menulis kalimat yang mencerminkan kegelisahnnya maka saya berani mengatakan bahwa ia adalah penulis yang jujur. Pun jika ada seseorang yang gelisah perihal politik lalu menulis tentang apa yang membuatnya gelisah dari dunia kepolitikan, maka bagi saya ia adalah penulis yang jujur. Begitu pula dengan romantisasi, kerinduan, kegalauan, rasisme bahkan hingga ketuhanan. 

Penulis yang hebat dan bermanfaat adalah penulis yang jujur

 - Jafar Shodiq

Lantas muncul pertanyaan di benak saya - mungkin juga di benak kalian -, "Memangnya ada penulis yang tidak jujur?" 

Ya tentu ada. Jawabannya adalah penulis yang menulis tidak karena kegelisahannya. Contohnya apa? Penulis yang menulis karena tuntutan penerbit atau pasar. Apakah salah? Tentu tidak karena kembali lagi diingatkan bahwa penerbit selain menjadi wasilah meningkatkan persentase membaca bagi warga Indonesia, penerbit pun adalah salah satu perusahaan industri, maka aspek jual-beli atau daya tarik pembaca pun sangat diperhatikan. Jadi tidak usah kaget ketika melihat rak-rak hijau di Gramedia atau toko buku lainnya dipenuhi dengan novel-novel romance melankolis atau sejenisnya. Itu pun karena pasar buku bergenre romance masih sangat besar dan diminati. 

Penulis sekaliber Rintik Sedu atau Boy Candra atau Fiersa Besari atau penulis-penulis lain yang dikenal dengan karya-karya romance nya pun saya pikir tidak selalu bergelut dalam romantisasi. Jadi apa yang mereka tulis perihal cinta pun belum tentu itu adalah apa yang terjadi pada mereka. Dalam permasalahan ini, saya mengatakan tulisan mereka tidak muncul dari kegelisahan karena tidak sesuai dengan apa yang mereka rasakan. Salah? Sekali lagi saya katakan tidak. 

Seorang penulis yang menulis sesuatu yang tidak sesuai dengan kegelisahan mereka memiliki dalil-dalil tersendiri dan semua penulis berhak memiliki dalilnya masing-masing. Perihal salah atau benar adalah urusan lain. Karena 

Kita bisa membunuh jasad seseorang tapi kita tidak bisa membunuh pikirannya. 

- Jafar Shodiq

Di masa pandemic seperti ini, saya bersyukur masih banyak para penulis yang menulis dan mengeluarkan karyanya. Tentu keadaan kerapkali memaksa atau melawan pikiran sehingga daya otak untuk melahirkan ide-ide pun kedatangan tantangan baru. Bagaimana tidak, yang tadinya kita bisa meriset - yang mana riset adalah salah satu rukun penting dalam menulis - secara langsung, jadinya malah diam di rumah atau sekedar menghubungi narasumber via online. 

Maka dari itu, saya tepuk tangan bagi para penulis yang masih mampu melahirkan buah-buah pikiran selama pandemic ini. Semoga karya mereka mampu menjadi keluarga baru dalam hidup kita. 

Terlalu basa-basi ya? Hahaha, saya minta maaf. Baik, masuk ke topik yang ingin saya bicarakan; proses menulis novel We Never Become Us.

Sebenarnya naskah novel ini sudah saya simpan selama satu tahun. Saya menulis novel ini awal tahun 2019 dan selesai di bulan Juli 2019. 

Q/ Apa motif menulis novel We Never Become Us?

Pertanyaan menarik. Saya menulis novel ini karena kegelisahan saya pada dua insan yang bersahabat cukup lama hingga salah satu dari mereka secara tidak sadar membiarkan perasaan tumbuh di dadanya. Tentu perasaan yang lebih dari sekedar teman. Saya seringkali mendapati post Instagram atau curhatan di Twitter mengenai tidakenaknya memiliki sahabat lawan jenis. Sebagian besar dari mereka tepatnya khawatir akan perasaan yang tidak seharusnya tumbuh karena terlalu nyaman atau leluasa bercerita dan melaukan hal-hal gila bersama. 

Sekedar cerita, saya memiliki dua sahabat perempuan, mari kita beri nama Maysaroh dan Maymunah. Persahabatan kami terjalin sejak kelas 6 SD dan masih berlanjut hingga sekarang. Kebetulan saya sudah mahasiswa semester tujuh saat ini. Masa-masa SD, SMP dan SMA saya habiskan bersama mereka meskipun sekolah kita berbeda. Kami selalu meluangkan waktu untuk bertemu, entah untuk bermain game, makan-makan, ghibahin orang lain khususnya mantan atau musuh, atau hal-hal konyol lainnya. Berbeda dengan orang lain, kami kerap kali memberi perhatian satu sama lain mengenai tugas sekolah, masalah keluarga, kerjaan dan lain-lainnya. 

Bahkan saking dekatnya, jika ada salah satu dari kami suka dengan orang lain, ia harus bercerita terlebih dahulu pada kita tentang orang itu. Bagaimaan sikapnya, omongannya, sifatnya, dan semacamnya. 

Tidak seperti persahabatan lainnya, kami tidak merasakan perasaan lebih satu sama lain. Dan ini yang membuat saya gelisah. Kenapa saya tidak merasakan perasaan lebih? Bukankah persahabatan kerap kali jadi ikatan transparan yang sulit dilepaskan karena terlalu nyaman? Karena merasa sahabat kita sudah terlalu mengeri kita, kenapa ia tidak menjadi pendamping hidup kita? Kan nggak perlu lagi ada masa PDKT yang bikin capek atau buang-buang waktu. 

Didorong oleh kegelisahan itu, saya mencari orang lain yang merasakan hal berbeda dari saya. Maksudnya adalah saya mencari orang yang merasakan perasaan lebih terhadap sahabatnya. Saya pun bertemu dengan cowok berinisial (A) dan sedikit melakukan wawancara terselubung. Untungnya ia adalah orang yang pandai berkomunikasi dan terbuka perihal hal-hal yang tidak terlalu privasi menurutnya. 

Dia pun bercerita tentang kegelisahannya. Ia merasa bingung dengan apa yang sekarang ia rasakan. Ia bercerita pada saya bahwa ia dan sahabat ceweknya ini sudah bersahabat dari kecil. Keduanya tumbuh di lingkungan sederhana. Lalu saya bertanya, kenapa tidak menyatakan perasaan? 

Ia pun menjawab, "Khawatir setelah menyatakan perasaan malah persahabatannya putus di tengah perjalanan. Bukannya senang malah takut merasa hilang. Lagipula keluarga kami berdua tidak terlalu akur. Saya pun sadar bahwa saya tidak nggak akan bisa bahagiain dia. Kami terlalu terikat. Sayangnya dengan ikatan persahabatan, bukan yang lainnya. Di samping itu, ia pernah bilang sama saya kalo ternyata dia telah jatuh cinta sama orang lain. Dan saat itu saya memilih untuk memendam perasaan ketimbang kehilangan." 

Mendengar cerita singkat dari A, saya menyadari bahwa terlalu banyak resiko yang bisa timbul ketika dua insan lawan jenis menjalin persahabatan. Karena cinta itu alami. Saya tidak bisa menyalahkan kenapa A jatuh cinta pada sahabat ceweknya padahal sudah tahu ia adalah sahabatnya sejak kecil. Saya pun tidak bisa menyalahkan sahabat ceweknya kenapa jatuh cinta pada orang lain, bukan pada si A karena cinta dan kenyamanan adalah dua hal yang berbeda. Mungkin cewek ini nyaman dengan si A, tapi tidak cinta. 

Dari A saya merasakan kegelisahan itu dan dari kegelisahan itu saya menulis novel We Never Become Us karena saya menganggap bahwa A dan sahabat ceweknya adalah mishdaq dari kita yang tidak akan pernah menjadi kita. 



Perihal waktu terbit novel ini masih belum bisa saya sampaikan. InshaAllah secepatnya akan terbit dalam bentuk cetak. Saya harap novel saya tidak hanya sekedar menjadi buku bacaan, melainkan menjadi teman, sahabat dan keluarga bagi kita semua. 

Segitu saja cerita saya tentang novel terbaru saya. Jika kalian ingin bercerita perihal cinta dalam lingkaran persahabatan, atau mau bertanya tentang solusinya atau apa aja deh, kalian bisa berkomentar di kolom komentar. 

Saya pun ingin berterimakasih pada Allah SWT karena keberkahan dan kekuatan yang Ia berikan saya masih mampu berjalan sejauh ini. Tak lupa cinta saya selalu tercurah untuk Nabi Muhammad SAWW serta keluarganya. 

Tak lupa terimakasih untuk keluarga serta sahabat seperti Dyah, Hendra, Elsa, Zeldy, Afrizal dan sahabat-sahabat lainnya yang dari mereka buah pikiran saya muncul.

Oh ya, saya selalu menerima kritikan dan saran dari kalian. Untuk menghubungi saya, kalian bisa hubugni saya di:

IG: Jafarshodiq16

Twitter: Jafarshodiq01

Email: Zaxreus16@gmail.com

Komentar

Postingan Populer