"Bu, Yah. Bagaimana Jika Hari Ini Adalah Hari Terakhirku?"



Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku melihat matahari dan bulan? Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku menghirup udara? Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku bercengkrama? Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku melihat senyum mereka? Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku menatap mata mereka. Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku....

Malam ini, ditemani sebuah lagu bergenre romantis, kududuk di samping ranjang. Kusandarkan punggungnya ke badan ranjang, lalu membuka laptop dan bersiap menulis. Oh ya, untung saja tidak lupa. Sebentar, kuambil sebotol air putih dan menuangkannya ke gelas kaca. 

Dan kini jemari-jemariku telah siap menari di atas keyboard. Sudah seharian ini kegelisahan perihal itu muncul kembali. Kegelisahan yang tidak pernah kuundang sialnya datang kembali. Entahlah, apakah aku harus bersyukur atau kufur oleh kegelisahan itu. Kegelisahan itu tak lain adalah tentang kematian. 

Sudah beberapa bulan ini malam-malamku ditemani rasa takut akan kematian. Biasanya, orang-orang akan takut akan kematian dirinya sendiri. Tapi aku tidak. Aku lebih takut kematian itu datang pada orangtuaku. Karena bagiku:

 Perpisahan yang paling menyakitkan adalah perpisahan anak dan orangtua.

-Jafar Shodiq.

Kukatakan pada diriku berkali-kali sebelum membiarkan mata ini tertutup, "Everythings is gonna be okay, Far." And no, it's not. Semuanya tidak akan baik-baik saja. Karena Tuhan tidak pernah tidur dan malaikat maut tidak pernah nganggur. Setiap detik akan selalu ada nyawa yang pergi. Dan selalu ada kemungkinan nyawa itu adalah diriku atau orangtuaku. Selalu ada kemungkinan akan hal itu; sekarang atau selamanya. 

Mendadak benakku pergi ke sebuah loker dan mengambil selembar ingatan lalu membacakan isinya padaku. Tertulis di sana bahwa setiap yang bernyawa akan mati. Itu ucapan Tuhan dan Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan tidak pernah berbohong atau salah. Maka kegelisahan itu semakin menjadi dan menggerogoti malamku. 

Ketakutan akan perpisahan yang tidak akan pernah kuinginkan semakin merajalela. Meski hampir setiap hari aku mengobrol dengan orangtua via telfon atau SMS, rasa takut kehilangan semakin besar. Inilah yang dinamakan Tak Kenal Maka Tak Sayang dan Tak Dekat Maka Tak Terikat. 

Semakin dekat hubunganku dengan seseorang, maka semakin terikat batin dan pikiranku dengannya.

-Jafar Shodiq. 

 Meski begitu, lubang kehilangan pun akan semakin lebar dan dalam. 

Meski suatu hari nanti ucapan Tuhan itu pasti terjadi. Kupikir lebih baik bila aku yang pergi terlebih dahulu agar aku tidak menyaksikan kepergian orangtuaku. Tidak! Mereka pasti akan sedih karena kepergianku. Apa aku yakin akan hal itu? Tidak juga. Tapi... bukankah semua orangtua akan menangis menyadari Tuhan memanggil anaknya terlebih dahulu ketimbang diri mereka. 

Sembari menulis tulisan ini, kucoba putar memori indah yang sempat kuciptakan bersama mereka. Senyumku mendadak muncul saat aku mengingat bagaimana bahagianya ibuku menyambut kedatangannya selepas sekolah. Aku berlari ke arahnya dengan wajah sumringah meski badan telah lelah. Setiap pulang sekolah, aku selalu memanggilnya dan tak ingin masuk jika ia tidak berada di ambang pintu rumah. Ia pun selalu datang dengan wajah bidadarinya. Sebentar, aku meralatnya, wajahnya tidak seperti bidadari. Ia lebih cantik daripada bidadari. 

Begitu pun dengan ayahku. Hampir setiap malam kuhabiskan waktuku untuk duduk bersamanya dan menyimak setiap cerita hebat yang keluar dari mulutnya. Ayahku seperti perpustakaan berjalan, itu bagiku, terserah kalian setuju atau tidak karena ia ayahku, bukan ayah kalian. Ia memang keras kepala. Jika ada satu hal yang menurutnya adalah suatu kebaikan, ia akan lakukan hingga titik terakhir adalah tawakkal pada Tuhan. 

Bagiku, keduanya adalah mishdaq kebaikan Tuhan padaku. Tidak ada yang lebih bahagia selain melihat senyum dan tawa mereka. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat wajah mereka menampilkan kekecewaan. 

Malam berganti malam, pun siang. Jarum pendek yang tengah towaf mengelilingi titik hitam itu tak kunjung berhenti selain karena battrai yang telah mati. Meski begitu, aku sadar bahwa waktu tidak mau diajak kompromi. Ia selalu saja berjalan bahkan berlari. Ia selalu lebih cepat daripada yang kubayangkan. 

Kemarin aku merasa seperti anak kecil yang tengah disuapi ibu atau seperti anak kecil yang sedang ditemani ayah bermain. Dan hari ini, tubuhku beranjak besar. Sudah ada beberapa bulu tipis di antara hidung dan mulutku. Aku pun sudah mulai merasakan ketertarikan lawan jenis. Sialnya, sama sepertiku, orangtuaku pun beranjak tua. Kulit mereka mulai kendor. Wajah mereka pun mulai dipenuhi keriput. Tenaga mereka pun tak sekuat dulu. Pendengaran dan penglihatan mereka pun mulai berkurang. 

Di suatu siang, kulepaskan rindu pada ibuku. Aku menghubunginya lewat WA. Kamera pun menyala setelah kupencet akses videocall. Sedetik kemudian wajah ibuku muncul di layar. Wajah yang saat ini menjadi wajah paling kurindukan siang dan malam hari. Wajah yang kuyakini adalah wajah pertama yang bahagia dan meneteskan air mata bahagia saat pertamakali aku lahir ke dunia. Wajah itu... wajah yang tidak pernah kurelakan ada satu orang pun membuatnya kecewa. Bila ada, maka ia harus berurusan denganku. Apapun akan kulakukan untuk mengembalikan senyumnya. Bila orang itu adalah aku, maka aku harus berurusan dengan Tuhan dan kuyakin Tuhan tidak akan memaafkan anak yang durhaka. 

Mendadak telingaku naik saat ibu bertanya, 'Muka umi udah mulai keriput ya, Dek?"

Entah apa maksud dari pertanyaan itu. Kujawab, "Iya. Tapi itu nggak berarti umi udah nggak cantik lagi. Karena dari dulu dan sampai detik ini, umi adalah perempuan paling cantik menurut Jafar.  Sampai kapanpun umi akan selalu cantik. Karena kecantikan umi bukan hanya dari fisik, tapi juga hati. Jafar selalu bersyukur sama Allah karena udah menjadikan Jafar sebagai anak umi, bukan oranglain."

Kulihat matanya berkaca-kaca, bersiap meneteskan air mata. Dengan lirih ia berkata, "Umi mohon dan minta sama anak-anak umi. Tolong jadiin umi nomor satu di hati dan hidup kalian. Umi tahu suatu saat nanti kalian akan berdampingan bersama oranglain. Tapi umi nggak mau kalian menjadikan umi nomor dua, tiga atau seterusnya. Umi mau selalu jadi nomor satu di mata kalian. Umur umi akan selalu berkurang hari demi hari dan di sisa umur umi, umi minta anak-anak umi tetap mencintai umi, menjadikan umi ratu di hati kalian. Bila nanti umi sudah tua dan malah menjadi beban buat kalian, umi minta maaf. Tapi umi hanya nggak mau kalian ninggalin umi." 

Percayalah, saat kutulis ucapan itu sekarang, air mataku telah membasahi pipi. Itu semua muncul karena rasa takut kehilangan. Aku terlalu takut. Aku terlalu takut kehilangan mereka. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa mereka. Entah pada siapa aku bercerita jika ada masalah. Entah pada siapa aku mengadu jika hidup menyiksaku. Entah pada siapa aku menangis jika nyatanya rencana-rencanaku gagal. Entah pada siapa aku meminta bantuan jika kaki, tangan dan hati ini telah lelah digunakan. 

"Bu, Yah. Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku, apakah kalian akan memaafkan semua kesalahan yang pernah kubuat? Apakah kalian menyesal telah memiliki aku? Apakah kalian kecewa dengan target yang belum kucapai?

"Bu, Yah. Ingin kukatakan aku mencintai kalian lebih dari apa yang kuucapkan dan kuperlihatkan. Meski kerapkali kuterlihat dingin dan cuek, namun hati dan otakku dipenuhi senyum dan kerinduan. Aku meminta maaf atas segala ucapan dan perbuatan kulakukan, dulu, sekarang atau nanti. Terimakasih atas segala cinta yang tidak pernah henti diberikan."

Kututup tulisan dengan ucapan;

Bu, Yah. Bila hari ini adalah hari terakhirku, kuingin kalian tahu aku bahagia bersama kalian. Semoga kita bertemu di surgaNya.

-Jafar Shodiq. 

Komentar

Postingan Populer