Hembusan Nafas di Irak.
Kurang lebih tiga tahun saya tinggal di Irak, sebuah negara di Timur Tengah atau Asia Barat Daya. Bertetangga denga Iran di timur, Turki di utara, Suriah di barat laut, Yordania di barat serta Kuwait dan Arab Saudi di selatan.
Kaki saya pertama kali menapak di tanah Irak pada tahun 2017. Saat itu saya datang bersama para jamaah Arbain (40 hari mengenang syahadah Imam Husain A.S, cucu Rosulullah). Saya akan menulis artikel tentang Arbain suatu hari nanti. Doakan semoga riset saya berjalan lancar meski yang paling penting adalah niat saya untuk menulis. Ya semua penulis pun tahu rasanya writing's block atau saat otak terasa mandet dan mogok tak lagi tahu harus menulis apa. Bila dipaksa, tulisan pun akan liar entah kemana. Masalah ini adalah masalah yang wajar namun perlu dihajar. Karena penulis harus tetap produktif menulis dan harus menyingkirkan apa-apa yang menghambatnya menulis. Apalagi jika ia dikejar oleh editor, deadline klien atau semacamnya.
Penulis akan tetap menulis meski malaikat maut sudah berdiri di sampingnya.
-Jafar Shodiq.
Saya sedang duduk di tempat favorit saya menulis jikasanya kamar tak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk mengalirkan kata. Iya, teras kamar. Ditemani cahaya matahari yang menabrak jendela, pagi saya terasa seperti di pulau Dewata. Tak apa, meski saya belum pernah ke sana, dan semoga saya bisa ke sana, saya pun mampu membayangkan bagaimana nikmatnya duduk di tepi pantai Bali mendengarkan lantunan paling merdu; ombak laut. Tak heran jika orang-orang luar negri atau orang-orang non-Bali mengincar Bali sebagai tempat wisata, bahkan menjadi tempat menyatukan cinta.
Mungkin sebagian mahasiswa luar negri atau orang-orang Indonesia yang dulu atau kini menetap di luar negeri pun sempat dilontarkan pertanyaan, "Dari mana?" oleh orang lokal. Saat kita menjawab, "Indonesia." tak sedikit dari mereka yang bingung dan tidak tahu di mana Indonesia. Hal itu diketahui dari raut wajah mereka yang bengong sembari senyum-senyum tipis menghargai.
Saat seperti itu, cara yang tepat adalah melemparkan pertanyaan pada mereka, "Apa kalian tahu Bali?" Nah, kalo si penanya menganguk-ngangguk mengetahui pulau Bali, langsung saja bilang, "Nah. Bali tuh ada di Indonesia. Bali itu provinsi yang ada di negara Indonesia."
Kalo si penanya masih bingung juga. Itu artinya ia jarang berekreasi. Suruh aja cari sendiri via mbah Google. Kejadian seperti ini pun seringkali terjadi pada saya. Tak luput orang-orang Irak bertanya asal saya dari mana. Pertanyaan yang membuat saya benar-benar bosan karena setiapkali naik angkutan umum, warga setempat melihat saya dengan tatapan asing. Kurang ngajar, tampang Arab yang saya punya dari ibu saya pun tidak terlalu mempan untuk mereka. Setelah itu, mereka akan bertanya, "Dari Pakistan, ya?"
Jika mood saya sedang bagus, saya akan menjawab, "Bukan, Pak. Saya dari Indonesia." Berbeda jika mood saya sedang turun, saya akan menjawab, "Bukan, Pak. Saya dari Wakanda."
Di Irak, pertanyaan dari mana dan mau ke mana atau pertanyaan-pertanyaan tentang umur atau semacamnya, yang menurut sebagian besar negara Eropa adalah pertanyaan yang tidak layak dipertanyakan karena terlalu bersifat pribadi, tidak terlalu dipentingkan oleh mereka. Bermodal alasan persatuan umat Islam, mereka tidak malu untuk bertanya hal-hal seperti itu. Ada beberapa warga asing pun yang menyambutnya dengan biasa karena mereka pikir mereka lah yang harus beradaptasi dengan warga Irak. Sebagian yang lainnya merasa risih karena tidak terbiasa membagi informasi pribadi pada orang-orang baru.
Tiga tahun tinggal di Irak memberi banyak pelajaran untuk saya. Tidak hanya pelajaran akademis, namun juga hidup. Jika di Indonesia setiap pagi saya akan sarapan bubur ayam dengan taburan kacang dan beberapa tusukan sate serta kerupuk atau nasi uduk dengan tempe hangat dan sambal hijau, maka di Irak saya sarapan roti atau dalam bahasa Arab disebut خبز serta keju atau selai stroberi. Iya, orang Irak memang hanya akan makan nasi di siang hari. Adapun minumannya, mereka sangat cinta dengan teh manis. Tidak tanggung-tanggung, gulanya pun bisa mencapai setengah gelas!! Ini sih bukan minum teh manis, tapi minum air gula!
Ya begitu, jadi kalo orang Irak bertanya kenapa orang Indonesia makan nasi tiga kali sehari bahkan sampai ada yang bilang kalo nggak makan nasi belum disebut makan, maka kita pun bertanya balik kenapa orang Irak minum teh tiga kali sehari bahkan dengan kadar gula yang tidak tanggung-tanggung banyaknya.
Keterangan Foto: Kampus + asrama Alawiyah, Najaf, Irak.
Kebetulan saya tinggal di asrama. Jadi perihal makanan pun tidak terlalu dipikirkan. Meskipun butuh waktu bagi lidah untuk menyesuaikan rasa, sampai saat ini ada beberapa makanan yang tidak cocok dengan lidah saya. Sekali coba lidah pun kelu dan rasanya nafsu makan tidak lagi ingin ditemu. Jika sudah seperti itu, pilihannya ada dua - tergantung kondisi dompet -;
A/ Beli/ order makanan dari luar dengan biaya yang cukup tinggi namun sehat.
B/ Beli mie instan dengan biaya yang terjangkau namun kematian semakin mendekat.
Kalau kalian ada di posisi saya, kalian pilih mana? Coba cerita sama saya.
Saat ini sedang musim panas. Tak terpikir suhu derajatnya mencapai 45 atau 50. Jangankan telor akan matang bila ditaruh di jalan, nasi putih pun akan menjadi nasi bakar bila ditaruh di bawah terik matahari Irak. Makanya itu, saat saat musim panas, biasanya saya akan diam di kamar, mengerjakan tugas, menulis artikel, novel atau cerpen - novel dan cerpen saya bisa dibaca di blog saya ini -, atau menonton film bergenre misteri atau crime.
Bila ditanya apakah saya suka film genre romance, jawabannya tidak terlalu suka. Saya tidak terlalu suka alur cerita melankolis yang memaikan perasaan manusia. Para penonton kerapkali dibuat berkhayal menjadi pemeran pria atau wanita. Setelah menonton film romantis, biasanya si cowok atau si cewek malah berkata, "Coba kamu kaya pemeran tadi. Aku pasti bahagia banget diperlakuin gitu." Haduh, ujung-ujungnya tuntutan lagi untuk jadi orang lain. Ucapan ini pun ada benarnya karena bagi saya menjadi diri sendiri sulit dilakukan karena lingkungan yang tidak mendukung.
Hidup ini memaksa kita menjadi bunglon yang harus bisa menyesuaikan diri di setiap tempat.
-Jafar Shodiq.
Perihal itu, saya pun akan menceritakannya lain waktu. Saya sendiri punya kegelisahan akan hal itu; menjadi diri sendiri atau menjadi orang lain.
Saat ini sudah jam 10.27 AM waktu Irak. Baiklah, segitu saya cerita saya hari ini. Bila kamu menyukainya, saya bersyukur. Bila tidak, tak apa-apa.
Semua orang kan punya hak untuk menilai.
-Jafar Shodiq.
Oh ya, tulisan-tulisan saya bisa kalian baca di blog saya ini. Bila ditanya kenapa masih saja aktif menulis, karena saya ingin sembuh. Dari apa? Sudah-sudah. Nanti tidak selesai-selesai menulisnya. Lain kali saya akan bercerita lebih banyak lagi. Tidak hanya tentang saya, tapi tentang kita. Bila kalian ingin bercerita tentang diri kalian atau curhat atau diskusi, kalian bisa berkomentar di kolom komentar atau hubungi saya lewat:
Instagram: Jafarshodiq16
Twitter: Jafarshodiq01
Email: Zaxreus16@gmail.com
Komentar
Posting Komentar