Biru dan Mentari



Source photo: pinterest.com



“Biru…”

“Saya sedang mau sendiri, Mentari.”

“Biru, aku…”

“Mentari! Kamu nggak dengar saya bilang apa?! Saya lagi mau sendirian! Sekarang kamu pergi!” 

Di tepi pantai, Biru membentak Mentari, menarik perhatian orang-orang yang tengah lalu-lalang menikmati ombak, suara paling merdu di bumi. Dengan sekuat tenaga Mentari tetap berdiri tegak di tempatnya, berusaha untuk tidak meninggalkan Biru, satu-satunya sahabat yang ia punya, tempatnya berbagi suka dan duka.

Dengan kekakuan, Mentari membuka mulutnya dan berkata, “Biru, aku nggak akan pergi. Aku nggak akan tinggalin kamu sendirian.”

Biru yang tengah berdiri di tepi pantai, membiarkan air laut membahasi kakinya, hanya bisa menunduk dan menjambak rambutnya sendiri. Terlalu banyak kerumitan yang mengobrak-abrik isi kepalanya saat ini. Ia tidak tahu apa, yang pasti ia tahu, kepalanya terasa begitu berat. 

Mentari yang melihat itu menghela napas, berusaha untuk tidak menangis. Jelas ia merasakan apa yang tengah Biru rasakan. Mereka berdua sudah tinggal bersama kurang lebih lima belas tahun. Iya. Mereka berdua tumbuh di sebuah panti asuhan. Mereka bukan kakak-adik, tapi hubungan mereka lebih dari saudara. Sedari kecil, mereka saling menjaga satu sama lain, dan kini usia keduanya sudah menginjak dua puluh tahun. Lima belas tahun mereka bersama, lima belas tahun juga Biru tidak tahu siapa orang tua kandungnya. 

Iya. Hanya Biru yang tidak tahu, karena para pengurus panti, anak-anak yang lain, Biru bahkan Mentari sendiri tahu bahwa orang tua Mentari telah meninggal karena dibunuh oleh para perampok saat ia masih berusia tiga tahun.

Dan kini, setelah hampir lima belas tahun bertanya dan berdoa pada Tuhan agar dipertemukan, Biru mendapatkan kesempatan bertemu orang tuanya. Sayangnya…

“Biru…” Mentari mencoba untuk mendekati Biru sebelum langkahnya terhenti.

“Saya nggak tahu, Tari. Saya nggak tahu, apakah saya yang terlalu egois, atau Tuhan punya rencana lain untuk saya. Tapi ini menyakitkan, Tari. Lima belas tahun saya tidak bertemu orang tua saya. Saya juga nggak tahu siapa mereka dan sekarang, ketika semesta mengizinkan saya untuk bertemu mereka, dengan mudahnya mereka menolak saya. Kamu masih ingat perkataan mereka barusan, kan?” Biru menoleh ke arah Mentari, menampilkan raut wajah hancur. 

Mentari mengangguk dan menghela napas pendek. Ia benar-benar tidak ingin Biru rapuh seperti ini. 

“Mereka bilang, ‘Kamu memang anak kami, tapi kami tidak lagi menginginkanmu, Biru.’, kamu dengar itu, kan, Tari?” Biru bertanya dengan nada berat, “Mentari, apa gunanya saya menjaga harapan ini bertahun-tahun kalo akhirnya yang menghancurkan harapan itu adalah orang tua saya sendiri?”

“Biru, Tuhan pasti punya alasan di balik ini semua.”

“Lagi, lagi Tuhan! Tuhan punya ini… Tuhan punya itu… Tuhan mau ini dan itu! Tapi pernahkah Tuhan menyadari bahwa yang saya butuhkan hanya pengakuan, Tari? Bukan dilupakan seperti ini! Saya nggak tahu lagi harus apa! Kenapa sangat sulit merasa dicintai, Tari? Kenapa?”

Mentari tidak lagi berpikir panjang. Ia mendekati Biru dan melingkarkan kedua tangannya di leher Biru, meletakkan kepalanya di bahunya sembari mengusap punggungnya. Lalu berkata, “Kamu berhak marah, Biru. Kamu pun berhak menangis. Kamu berhak kecewa. Dan kamu berhak dicintai. Tapi, aku mohon satu hal sama kamu, jangan pernah merasa sendiri. Aku akan selalu di samping kamu, Biru.” 

Tetesan air mata yang turun dari sudut mata Mentari jatuh mengenai baju Biru. Saat ini, yang ada di kepala Mentari adalah bagaimana caranya menyelamatkan Biru dari kehancuran dan kekecewaan. 

Biru…

Dunia memang jahat. Ia tidak memberi kesempatan kita untuk beristirahat. Kehilangan mungkin menyakitkan, namun, tidak dianggap jauh lebih menghancurkan. Saat ini kamu boleh menangis, mengeluarkan semua tekanan yang menyesakkan. Keluarkan, Biru… jangan takut ada yang menghakimimu, mengatakanmu lemah, atau pengecut. Karena aku, Mentari, akan selalu ada di sampingmu, tidak hanya menjadi temanmu, tapi juga bagian dari hidupmu. Aku tahu kamu pasti bisa menjalani hidup ini. 

Terkadang, kita memang butuh luka agar tahu artinya tawa. Terkadang, kita memang butuh kecewa agar tahu artinya bahagia. Terkadang, kita memang butuh dijatuhkan agar tahu artinya kemenangan. Terkadang, kita memang butuh dilupakan agar tahu rasanya diabadikan. Terkadang, kita memang butuh sendirian agar tahu hangatnya pelukan Tuhan. 

Tuhan… 

Tolong jaga Biru. Jangan biarkan ia rapuh dan runtuh. Aku tidak mau ia mengalami apa yang kualami. Tolong biarkan dia bahagia. Meski aku tahu, hidup bukan hanya tentang bahagia, namun ada juga kecewa. Tapi, setidaknya, aku tidak mau melihat ia seperti ini. Tolong, beri aku kekuatan untuk terus bersamanya. Dia sangat berarti dalam hidupku.

Dalam pelukan Mentari, Biru tidak kuasa menahan air mata. Tuhan, terima kasih atas luka yang Engkau beri. Saya tahu, semua luka pasti akan sembuh. Setidaknya ini hanya masalah waktu dan saya percaya bahagia saya akan tiba. 

Komentar

Postingan Populer