Tuhan itu Pembohong!


Source photo: pinterest.com


“Tuhan itu pembohong!” 


Hardikan di atas berjalan melewati benak saya ketika saya merasa dunia ini tidak adil. Bagaimana tidak, saya sudah menggantungkan harapan dan doa pada-Nya, tapi keinginan saya tidak juga kunjung datang. 


Saat itu emosi menyelimuti kepala saya. Bahkan, di suatu sore ketika saya sedang duduk santai setelah berperang melawan tugas-tugas kuliah, saya mengeluarkan sebuah pertanyaan, “Tuhan, bagaimana jika Engkau, Tuhan yang saya anggap Tuhan bukanlah Tuhan dan Engkau hanya mengaku-ngaku sebagai Tuhan agar mendapat perhatian dan pengabdian? Bagaimana jika selama ini Tuhan yang saya sembah adalah hasil dari ciptaan saya sendiri? Bagaimana jika Tuhan itu tidak pernah benar-benar ada?”


Sebagai seseorang yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren selama enam tahun, saya berani berkata bahwa menjadi santri pesantren tidak menjamin saya menjadi ahli agama, atau bahkan taat pada apa yang orang-orang sebut kewajiban seorang hamba. 


Ya, kalian bisa berdalih bahwa lingkungan seharusnya menjadi salah satu pendorong besar dan kuat dalam membentuk karakter seseorang. Kita ambil contoh ma’ruf yang sudah turun temurun menjadi pengingat perihal kuatnya sebuah peran lingkungan. 


Contoh itu adalah jika seseorang bergaul dengan penjual minyak wangi, maka tidak menutup kemungkinan bau seseorang itu wangi. Pun jika seseorang itu bergaul dengan pengembala kambing, maka bisa saja baunya kurang sedap. 


Apa yang ingin disampaikan oleh orang yang menganalogikan contoh ini adalah besarnya peran sebuah lingkungan. Mungkin Anda bisa mengatakan pada saya bahwa saya seharusnya lingkungan pesantren mampu mempengaruhi saya, tapi saya akan melawan opini Anda dengan mengatakan;


Saya setuju perihal peran sebuah lingkungan, tapi dia bukanlah satu-satunya komponen dalam kehidupan seseorang. Ada banyak hal lain yang membentuk karakter seseorang, salah satunya adalah hubungannya dengan Tuhan. 


Alasan saya sederhana; saya, Anda dan manusia lainnya memiliki apa yang dinamakan ‘ikthiar’, sebuah kebebasan yang Tuhan berikan untuk berkehendak. Tidak heran bila salah satu mazhab dalam Islam menganut konsep ‘jalan tengah’, dalam arti manusia tidak sepenuhnya lepas dari Tuhan karena ia sadar bahwa tenaga atau kekuatan untuk bertindak atau berbuat adalah pemberian Tuhan, pun manusia tidak sepenuhnya terikat dengan Tuhan atau ibaratnya ‘terpaksa’, seolah ia robot karena ketika ia melakukan kezaliman maka tidaklah pantas kezaliman itu disematkan pada Tuhan dengan dalih semua perbuatannya atas kehendak Tuhan.


Dan dalam kasus saya, saya memiliki kehendak untuk mempertanyakan di mana Tuhan? Dan seperti apa Ia? Atau kenapa Ia tidak pernah menampakkan diri agar meyakinkan semua mahluk bahwa ia benar-benar ada? Toh, dalam kacamata akal, saya berhak menanyakan itu semua. 


Terlebih ketika saya merasa bahwa hubungan saya dengan Tuhan tidak memberikan hasil sesuai dengan apa yang saya butuhkan. 


Selama dua puluh dua tahun menjalani kehidupan, saya meyakini salah satu agama, bahkan menjalani kewajiban-kewajibannya. Tapi... belakangan ini saya mempertanyakan apakah agama yang saya yakini adalah agama yang mengantar saya pada Sang Pencipta? Atau jangan-jangan saya hanya meyakininya karena orangtua saya, kakek dan nenek saya, bahkan lingkungan saya meyakini agama yang serupa. Bisa dikatakan bahwa apa yang saya yakini adalah hasil keturunan, bukan pencarian. 


Ketika menyadari itu, saya dihadapkan dengan rasa takut yang sangat akut, karena saya seolah sedang menantang diri saya sendiri untuk mencari kebenaran dan seperti proses tumbuh yang lainnya, proses saya mencari kebenaran tidaklah mudah. Ada kekhawatiran akan dihakimi oleh orang-orang sekitar, tapi saya melawan dengan berdalih bahwa saya hidup hanya satu kali dan sangat disayangkan bila saya membuang waktu tanpa mengenal apa yang saya tuju. Di samping itu, saya menyadari bahwa perbedaan adalah satu hal yang sulit diterima di masyarakat Indonesia, karena bagi mereka berbeda itu sebuah kesalahan. 


Dalam proses mencari kebenaran, saya malah merasa semakin jauh dari tujuan. Entah karena terlalu banyak ceramah yang saling menjatuhkan dan menyalahkan sehingga saya merasa risih mendengarnya, atau karena selama ini saya mengambil cara yang salah. 


Setelah mendengar khotbah pada pendakwah - yang lebih mirip pidato - dari berbagai tempat ibadah, saya malah mengambil kesimpulan bahwa banyaknya orang memilih ateis alias orang yang tidak percaya agama bukan karena mereka menolak kebenaran, tapi karena apa yang disuguhkan padan mereka hanyalah perdebatan dalih antar agama atau mazhab, saling menjatuhkan dan mengkafirkan. 


Lantas, kembali sebuah pertanyaan lahir di kepala saya, “Apa yang Tuhan lakukan di saat umat manusia saling membunuh atas nama agama? Kenapa Ia tidak bergerak dan mendamaikan semuanya? Di mana rasa kepedulian-Nya sebagai Tuhan?”


Lagi-lagi saya menganggap bahwa Tuhan hanya bisa diam. Entah apa lagi yang bisa saya sematkan pada-Nya. Hidup saya berjalan seperti tanpa tujuan. Sebab semua harapan yang telah saya gantungkan, semuanya berjatuhan dan hanya menghasilkan kesedihan dan kehampaan. 


Di samping melontarkan pertanyaan itu, saya pun tidak mengesampingkan Tuhan sebagai wadah saya untuk berkeluh-kesah. Oleh karena itu, tidak jarang saya menuangkan apa yang saya tengah rasakan lewat tulisan. 




“Bersambung.”


Komentar

Postingan Populer