Kesepian
Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan cinta, lantas, kenapa orang tuaku membuangku dengan hina?
- Aulia.
“Tidak, Ra. Kakak tidak sedih. Karena dari kesepian, Kakak belajar untuk mengikhlaskan. Kakak belajar untuk lebih berdamai dengan masa lalu. Dan Kakak belajar untuk menyadari bahwa semua orang akan pergi,” jawab Aulia diakhiri dengan senyuman hangat ke adiknya.
Rara yang merasa bersalah dengan pertanyaannya mendekati Aulia, mendekapnya erat dan berkata, “Aku nggak akan pernah ninggalin Kakak. Meskipun Ka Aulia bukan Kakak kandung aku, tapi, Ka Aulia adalah orang yang paling berharga buat aku.”
Mendengar itu, Aulia merasa dadanya disentuh hangat. Seolah dinding yang selama ini ia pertahankan, mulai runtuh perlahan. Ia mulai paham, tidak selamanya ia harus terlihat kuat, tegar dan baik-baik saja. Ada beberapa keadaan yang memang tidak bisa ia tahan, hanya perlu ia persilakan datang, menemuinya lalu pergi. Ada beberapa luka yang memang harus ia terima. Ada beberapa harapan yang sejatinya hanya perlu dinikmati oleh kepala, bukan dunia.
“Ra, kamu tahu apa yang buat Kakak kuat sejauh ini?”
Rara menggelengkan kepala.
Dengan sentuhan lembut di ujung hidung Rara, Aulia berkata, “Karena Tuhan, Ra. Karena Kakak percaya Tuhan masih menyayangi Kakak. Karena Kakak percaya Tuhan masih memeluk Kakak di setiap malam, dan mencium kening Kakak di setiap pagi.”
“Gimana caranya Tuhan melakukan itu?”
“Lewat kamu, Ra,” Aulia kembali memeluk Rara, “kamu adalah bukti bahwa Tuhan masih sayang sama Kakak, Ra. Makasih, ya, udah meluk Kakak sebelum Kakak tidur dan cium kening Kakak setiap Kakak bangun. Bersama kamu, Kakak nggak pernah merasa kesepian, Ra. Kakak sayang sama kamu.”
Tuhan, bila kehadiranku tidak diinginkan, setidaknya biarkan kepergianku memberikan kebahagian
-Aulia
Komentar
Posting Komentar