Melawan Hati.
Source photo: pinterest.com
“Seharusnya kita tidak pernah bertemu, Luna.”
“Kenapa? Kamu menyesal?”
“Jatuh cinta sama kamu? Tidak, saya tidak pernah menyesal.”
“Lalu? Kenapa nada bicaramu barusan terdengar berbeda?”
“Saya hanya kesal pada diri saya sendiri.”
“Karena?”
“Karena seharusnya dari awal saya sadar, bahwa hubungan ini tidak pernah bisa dimulai.”
“Nich, kamu tahu alasannya.” Luna berusaha menggapai tangan Nichol. Menyadari itu, Nichol menarik tubuhnya mundur satu langkah.
“Kenapa jatuh cinta sesakit ini, Lun? Kenapa Tuhan ngizinin saya ketemu kamu, kalo akhirnya Dia juga tahu kita nggak akan bisa sama-sama?”
“Nich…”
“Jawab! Lun! Tolong jawab pertanyaan saya….”
“Nich, nggak semua pertanyaan ada jawabannya, kan? Tuhan pasti punya alasan yang kita nggak tahu.”
Nichol menundukkan wajahnya, dan beberapa detik kemudian terdengar tawa ringan darinya. Luna menatapnya dengan khawatir. “Nich…”
“Luna… Luna… saya nggak bodoh, Lun. Tuhan pun Maha Tahu dan Penyayang, kan? Lalu, kenapa Dia nggak bisa nyatuin kita, Lun? Apa perlu saya ‘berdiri’ di tempat kamu berdiri? Mungkin itu caranya biar kita—-“
“Nggak! Aku nggak mau!”
“Lun… nggak apa-apa. Hanya ini satu-satunya cara supaya kita bisa sama-sama.” Kini giliran Nichol yang berusaha menarik tangan Luna, tangan yang selama ini ingin sekali ia genggam. Sentuhan lembut yang selama ini telah membuatnya merasa aman dari dunia.
“Nich, aku nggak mau kamu pindah agama hanya karena aku! Apalagi atas nama cinta. Gimana kalo apa yang kamu sebut cinta, hanya ilusi belaka? Gimana kalo ternyata kita hanya sedang berjalan menuju luka yang lebih menyakitkan?”
Nichol tertawa. Ia melemparkan pandangannya ke arah lain sebelum kembali mengarahkan tatapannya ke mata Luna. Dengan sedikit anggukan, Nichol tersenyum dan berkata, “Saya mulai paham…”
“Nich…bukan itu maksud aku.”
“It’s okay. Sekarang semuanya mulai jelas, Lun.”
“Nich…,” mata Luna mulai memanas, genangan air mata mulai mengumpul di sudut matanya, siap turun dan mengaliri di pipinya, membentuk sungai kecil, “please, jangan mengambil kesimpulan yang bukan-bukan.”
“Lun… tolong jawab pertanyaan saya,” dengan suara paraunya Nichol berkata, “Apa kamu mencintai saya?”
Deg! Pertanyaan barusan berhasil menghancurkan pertahanan Luna. Air matanya turun perlahan. Tidak hanya membuat dadanya sesak, tapi kepingan cerita yang telah ia buat bersama Nichol juga jatuh dan terpisah dengan jarak.
“Nich… aku…”
“Kenapa, Lun? Kamu nggak bisa jawab?”
“Nich, aku cinta sama kamu, tapi…”
“Cukup, Lun! Tolong biarin saya bahagia dengan kalimatmu barusan. Jangan kamu teruskan, karena saya tahu akan ada luka yang akan menyiksa saya secara perlahan.”
“Nich…”
“Seharusnya kita nggak perlu bercengkrama, Lun. Seharusnya kita nggak perlu bertukar tawa. Seharusnya kita nggak perlu saling jatuh cinta. Dan seharusnya Tuhan nggak perlu mempertemukan kita. Entah saya yang terlalu bodoh karena telah mencintai kamu, atau Tuhan yang terlalu jahat karena telah menciptakan cinta. Saya nggak tahu, Lun.”
Luna menundukkan wajahnya, menutupinya dengan kedua telapak tangannya, berusaha menampung air mata yang tidak terbendung. Percayalah, rasanya sakit ketika dua insan yang saling jatuh cinta, harus dipisahkan secara paksa.
“Nich… aku cinta sama kamu. Aku cinta, Nich,” ucap Luna dengan parau.
Dengan lembut, Nichol menarik Luna ke dalam pelukannya, pelukan terakhir yang bisa ia berikan. Nichol mengangkat tangannya, meletakkannya di atas kepala Luna dan mengusapnya. Setelah menghela napas pendek, Nichol berbisik di dekat telinga Luna, “Lun… terima kasih karena sudah mencintai saya. Saya tidak pernah menyesal mengenalmu, apalagi mencintaimu. Terima kasih karena sudah menjadi bagian terindah dalam hidup saya. Terima kasih karena sudah menemani pagi dan malam saya. Terima kasih karena telah hadir dalam hidup saya, ketika semua orang pergi. Terima kasih karena sudah mengajarkan saya artinya jatuh cinta secara ikhlas. Saya mencintaimu, Lun. Selalu dan tidak akan pernah berubah.”
Luna yang mendengar itu tidak lagi mampu menahan air matanya. Ia tumpahkan semua kesedihannya dalam pelukan Nichol. Bersama Nichol, Luna punya cerita yang berbeda. Nichol telah membuatnya berani untuk melangkah, melawan kehidupan yang tidak kenal belas kasihan. Nichol adalah manusia yang ia cintai, tapi, Nichol pula manusia yang harus ia biarkan pergi, karena selamanya, Nichol tidak akan pernah bisa ia miliki.
“Hei,” Nichol melepaskan pelukannya dan kini dua tangannya sudah menyentuh pipi Luna. Dengan hangat ia mengusap air mata Luna, “jangan nangis lagi, ya. Saya minta maaf udah buat kamu nangis dan kebingungan, Lun. Saya terlalu egois. Saya minta maaf.”
“Kamu nggak salah, Nich.”
“Nggak, Lun. Saya salah karena sudah membuatmu harus memilih antara Tuhanmu atau saya. Dan kamu telah mengambil keputusan yang benar.”
“Nich…”
Nichol berusaha mengembangkan senyum di wajahnya. Dengan pelan, ia mengusap-usap rambut Luna sebelum berkata, “Kamu jaga diri baik-baik, ya. Saya pergi.”
Tanpa berucap apa-apa lagi, Nichol membalikkan badannya dan meninggalkan Luna sendirian. Meski begitu, telinganya masih saja mendengar isak tangis Luna. Nichol memejamkan mata, mengutuk dirinya sendiri karena ternyata pergi tidak semudah yang ia kira. Masih ada dorongan untuk kembali dan menemani Luna, memeluknya, dan membantunya melewati semua rintangan hidupnya. Tapi… cepat atau lambat ia memang harus pergi, melawan hati yang tidak ia kehendaki.
Teruntuk Tuhan saya dan Tuhannya.
Tuhan… ternyata jatuh cinta tidak selalu mendatangkan bahagia, kan? Beberapa darinya hanya mengukir luka. Sedangkan cinta adalah fitrah manusia. Saya mencintainya dan itu hak saya. Dia pun mencintai saya dan itu haknya. Berpisah bukanlah keinginan kita. Meski selama ini kita bergandengan tangan, tapi ternyata kita tidak sadar bahwa selama ini pula kita berbeda jalan.
Tuhan… tolong singkirkan memori tentangnya. Tolong biarkan ia keluar dari ruang cerita saya. Tolong jangan siksa saya dengan mengingat bagaimana indah senyumnya, hangat tawanya, dan lembut tatapannya.
Tuhan… terima kasih telah mengajarkan saya bahwa jatuh cinta adalah perihal mempertahankan atau melepaskan, perihal melihat tapi tidak terikat, perihal berdua tapi tidak bersama, perihal jujur meski hancur, perihal dua hati yang tidak selalu bisa disatukan.
Terima kasih, Tuhan. Saya bahagia telah mengenalnya, meski kehendakMu memisahkan kami berdua.
Dari hambaMu, Nichol.
*Cerita ini terinspirasi dari lagu Fiersa Besari berjudul Melawan Hati.
Komentar
Posting Komentar